Home / Romansa / Rahasia di Balik Meja Kerja / Chapter 06 - Hati-Hati, Ada Jatuh Cinta di Antara Deadline

Share

Chapter 06 - Hati-Hati, Ada Jatuh Cinta di Antara Deadline

Author: Xzyon_
last update Last Updated: 2025-05-28 09:02:55

Setelah malam itu di mobil, aku nggak bisa tidur.

Bukan karena kopi instan sachetan yang tadi kuminum di kantor, tapi karena kalimat Adrian yang muter-muter di kepalaku kayak sinetron tanpa iklan.

"Aku tertarik sama kamu."

"Kalau suatu saat aku ngajak kamu... bukan buat meeting, tapi buat makan malam... kamu nggak kaget."

Plis, Pak. Aku udah kaget dari kalimat ketiga. Ini bukan nonton film, tapi dada aku beneran ngilu-ngilu dikit kayak abis sit-up dua kali.

*****

Pagi harinya, aku bangun dengan kepala penuh drama dan rambut segimbal gulali. Udah kayak tokoh utama drama Thailand yang lupa siapa dirinya.

Dan untuk pertama kalinya, aku berangkat kerja tanpa drama snooze alarm. Bahkan sarapan. Bahkan pakai concealer.

Kenapa? Karena ada kemungkinan besar aku akan satu ruangan sama orang yang bilang dia tertarik padaku.

Lo tau rasanya masuk kantor setelah itu semua? Rasanya kayak masuk sekolah setelah nulis surat cinta ke guru BK. Deg-degan, awkward, tapi setengah penasaran juga.

*****

Begitu sampai kantor, aku langsung ngibrit ke meja tanpa nengok kanan-kiri. Dinda yang baru dateng lima menit kemudian langsung nempelin mukanya ke meja kerjaku kayak detektif nyari clue.

"RAN. GUE TAU LO MENYEMBUNYIKAN SESUATU."

"Apa, Din?" Aku sok polos. Padahal jantung udah kayak parade marching band.

"Semalam lo lembur, kan? Trus Adrian pulang bareng lo."

Aku membeku.

Dinda semangat banget, kayak nyium gosip artis baru kawin siri. "Lo jangan bilang gak terjadi apa-apa, ya."

"Ya... dia cuma bilang... yaa..." Aku menggeliat kayak ulat mau ganti kulit.

"Apa?!" Dia makin mendekat.

"...dia bilang tertarik sama aku," bisikku. Kayak ngomong dosa besar di pengakuan dosa.

Dinda langsung berdiri dari kursi. "YA AMPUN GUE NGGAK SALAH DENGER?!"

"Pelan-pelan napa. Ini kantor, bukan konser dangdut."

"GILA. GILA. Ran, lo sadar nggak sih? Ini kayak mimpi tiap karyawan kantoran. Dideketin CEO yang ganteng, wangi, dan... dan punya akun LinkedIn yang isinya semua pencapaian emas!"

Aku nyengir. "Tapi... gue nggak tahu harus gimana. Maksudnya... ini tuh... wow."

"Lo suka sama dia nggak?"

Pertanyaan itu menghantamku lebih keras dari pertanyaan 'Kapan nikah?' di acara keluarga.

Aku diem. Bukan karena nggak tahu, tapi karena takut tahu.

"Aku... nyaman. Tapi juga takut. Ini tuh... bisa jadi jebakan, Din. Kalau semua ini salah... bisa-bisa karier gue tamat."

Dinda narik kursi, duduk, terus pelan-pelan narik tanganku. "Ran. Kadang-kadang, yang kita takutin itu bukan karena nggak ada kemungkinan bahagia. Tapi karena kita nggak biasa dapat yang baik. Dan sekarang, mungkin lo lagi dapet sesuatu yang beneran baik."

Aku tercekat.

Dinda dan momen-momen bijak dadakannya ini... selalu kena di hati.

****"

Hari itu berjalan dengan keanehan manis. Adrian beberapa kali melewati mejaku dan senyum kecil. Aku cuma bisa senyum balik, sok cool. Padahal dalam hati udah ngepikir, 'Dia inget gak ya omongannya semalem? Jangan-jangan dia ngigau waktu ngomong begitu?'

Sampai akhirnya, sekitar jam tiga sore, aku dikirimin chat.

Adrian : Ada waktu buat ngobrol sebentar sore ini?

Aku: Ada. Di ruang meeting kecil?

Adrian: Di luar kantor. Butuh udara segar.

Waduh. Kok kayak mau confess lagi?

*****

Jam lima, aku dan Adrian udah duduk di bangku taman kecil deket gedung. Tempatnya sepi, ada pohon rindang, dan angin sore yang lumayan bikin rambutku kayak habis diföhn setengah kering.

"Maaf ya ngajak keluar gini lagi," katanya sambil duduk di sampingku. "Aku cuma pengin lebih leluasa ngomong."

"Nggak apa-apa kok," jawabku pelan.

Dia menatapku. Mata itu... tenang, tapi nyimpen sesuatu. Kayak danau yang keliatannya adem, padahal bawahnya bisa dalam banget.

"Aku tahu hubungan antara atasan dan bawahan itu sensitif. Dan aku juga sadar omonganku kemarin bisa bikin kamu bingung."

Aku angguk. “Jujur aja, iya.”

Adrian tersenyum tipis. "Tapi aku serius, Ran. Aku nggak main-main. Aku suka kamu. Tapi aku juga nggak mau ngerusak profesionalisme."

"Jadi... maksudnya?" Aku masih ragu-ragu, walau jantung udah lari sprint.

"Aku pengin kenal kamu lebih jauh. Di luar kantor. Tapi kalau kamu nggak nyaman... aku janji nggak akan maksa. Dan di kantor, aku tetap bakal profesional."

Aku terdiam. Suasana taman jadi saksi.

"Kalau aku... juga pengin kenal kamu lebih jauh, itu boleh?" tanyaku lirih.

Dia menoleh. Dan senyumnya... penuh lega. "Lebih dari boleh."

*****

Malam itu aku pulang dengan senyum aneh yang nggak bisa hilang. Sampai mamaku yang nelpon nanya, "Kamu lagi deket sama siapa, ya?"

"Enggak, Ma. Cuma... happy aja."

Padahal... iya. Aku lagi deket sama seseorang. Seseorang yang bikin kerjaan terasa nggak cuma soal laporan dan deadline.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku ngerasa... ada yang benar-benar ngelihat aku. Bukan cuma Rani si staf administrasi. Tapi Rani si manusia. Yang bisa diketawain, diajak diskusi, dan mungkin... dicintai.

*****

Tapi seperti semua kisah cinta yang belum 100% jadi, selalu ada bab baru yang bikin deg-degan.

Dan bab itu... datang keesokan harinya.

Waktu aku masuk kantor, semua mata melirik ke arahku.

Bukan karena lip tint atau gaya rambut. Tapi karena... kabar yang lagi panas.

"Lo udah denger, Ran?" bisik Dinda.

"Dengar apaan?"

"Ada rumor. Katanya lo deket banget sama Adrian. Dan katanya... lo bakal naik jabatan karena itu."

Aku terdiam. Rasanya kayak ditampar angin dingin di ruang freezer.

"Siapa yang bilang?" tanyaku, suara mulai kaku.

"Nggak tahu. Tapi udah mulai nyebar."

Dan tiba-tiba, dunia kerja yang semalam terasa manis... berubah jadi medan ranjau.

Karena cinta itu indah. Tapi ketika udah masuk ranah kantor...

...hati-hati. Bisa-bisa bukan cuma cinta yang dipertaruhkan. Tapi juga harga diri, reputasi, dan... mungkin, rasa percaya.

*****

To Be Continued.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia di Balik Meja Kerja   Chapter 06 - Hati-Hati, Ada Jatuh Cinta di Antara Deadline

    Setelah malam itu di mobil, aku nggak bisa tidur.Bukan karena kopi instan sachetan yang tadi kuminum di kantor, tapi karena kalimat Adrian yang muter-muter di kepalaku kayak sinetron tanpa iklan."Aku tertarik sama kamu.""Kalau suatu saat aku ngajak kamu... bukan buat meeting, tapi buat makan malam... kamu nggak kaget."Plis, Pak. Aku udah kaget dari kalimat ketiga. Ini bukan nonton film, tapi dada aku beneran ngilu-ngilu dikit kayak abis sit-up dua kali.*****Pagi harinya, aku bangun dengan kepala penuh drama dan rambut segimbal gulali. Udah kayak tokoh utama drama Thailand yang lupa siapa dirinya.Dan untuk pertama kalinya, aku berangkat kerja tanpa drama snooze alarm. Bahkan sarapan. Bahkan pakai concealer.Kenapa? Karena ada kemungkinan besar aku akan satu ruangan sama orang yang bilang dia tertarik padaku.Lo tau rasanya masuk kantor setelah itu semua? Rasanya kayak masuk sekolah setelah nulis surat cinta ke guru BK. Deg-degan, awkward, tapi setengah penasaran juga.*****Begi

  • Rahasia di Balik Meja Kerja   Chapter 05 - Kalau ini Bukan Taksiran, Aku Mau Lempar Kalender

    Setelah malam itu di kafe rooftop, aku pulang dengan kepala penuh tanda tanya dan dada penuh... ya, penuh deg-degan.Bukan karena kopinya mengandung kafein tingkat dewa. Tapi karena Adrian—bosku sendiri—baru aja bilang aku itu beda, jujur, spontan, dan bikin segalanya terasa lebih hidup.Bos, plis… jangan gitu. Aku bisa salah paham dan mulai ngelamun nyari nama anak.Besok paginya, aku bangun lebih awal. Ajaib. Biasanya alarm lima kali snooze, baru bangun. Tapi pagi ini? Alarm baru bunyi dua detik, aku udah duduk. Kayak tokoh utama film yang sadar dirinya punya peran penting dalam hidup orang lain.Aku berdiri di depan cermin sambil oles lip tint yang biasanya cuma kupakai kalau ada kondangan. Hari ini… buat meeting. Meeting bareng Adrian."Tenang, Ran," bisikku ke pantulan wajah sendiri. "Ini cuma kerja. Cuma kerja."Tapi bibirku udah kayak abis makan stroberi langsung dari ladangnya.*****Di kantor, Dinda udah nunggu di meja, matanya melotot kayak baru lihat diskon 90 persen di tok

  • Rahasia di Balik Meja Kerja   Chapter 04 - Jangan-Jangan Aku Lagi di FTV?

    Aku duduk di halte depan kantor, nungguin ojek online yang kayaknya lagi cari jalan pulang dari Bandung. Udara panas, makeup udah luntur, dan aku masih bengong mikirin omongan Adrian tadi di rooftop."Aku butuh bantuanmu. Tapi bukan soal kerjaan."Kalimat itu muter-muter di kepala kayak lagu dangdut remix. Bukannya fokus balas chat dari Dinda yang nanya, "Lo hidup nggak sih, Ran? Kenapa tiba-tiba ilang?", aku malah ngelamun sambil ngelus-ngelus sedotan di tangan yang tadi kupakai buat ngaduk teh.Sampai akhirnya motorku datang dan aku naik tanpa banyak mikir. Begitu duduk, si abang nanya, "Mbaknya Rani, ya?""Iya, Bang. Jalan aja, jangan nanya macem-macem ya, hati saya lagi goyang."Abangnya ngangguk paham. "Oh, abis meeting besar, ya? Saya sering jemput penumpang yang abis meeting, memang suka mellow."Luar biasa empati abang ini.*****Sampai rumah, aku langsung masuk kamar dan ngelempar tas kayak di film remaja. Buka ikat rambut, nyalain kipas, terus jatuh ke kasur sambil teriak, "

  • Rahasia di Balik Meja Kerja   Chapter 03 - Badai Bernama Meeting

    Aku baru duduk lima menit, secangkir kopi belum sempat diseruput, dan playlist mellow pagi ini baru nyampe lagu kedua, ketika notifikasi Google Calendar muncul seperti petir di siang bolong:📅 Meeting All-Staff: Jam 10.00 – R. Presentasi Besar – Agenda: Perkenalan dan Penyelarasan VisiAku menatap layar, lalu menatap cermin kecil di laci meja.“Visi? Yang aku lihat sekarang cuma kantung mata dan jerawat kecil yang muncul kayak hadiah kejutan,” gumamku sambil panik menepuk-nepuk bedak padat ke wajah. Sialnya, aku malah kelebihan dan sekarang pipiku kayak pantat bayi yang baru bedakan.Dinda menyembul dari belakang kubikel, matanya berbinar kayak penonton sinetron yang baru tahu kalau tokoh utamanya amnesia."Rani, kamu udah siap? Aku denger-denger, hari ini bos baru bakal nyampaikan presentasi perdananya. Serius. Ini kayak debut K-pop tapi versi kantor."Aku meliriknya lemas. "Debut K-pop? Aku takut malah kayak audisi X-Factor kalau dia mulai nanya-nanya dan aku jawabnya pake logat Be

  • Rahasia di Balik Meja Kerja   Chapter 02 - Jangan Kepedean, Ran

    Besoknya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Alarm belum sempat bunyi, tapi aku udah melek kayak abis mimpi disawer gaji tiga digit. Aku mandi lebih lama, pilih kemeja warna biru langit (katanya warna tenang dan bikin orang terlihat profesional—padahal niatnya biar matching sama warna mata bos baru. Ups.)Sesampainya di kantor, aku mencoba terlihat santai. Cuek. Tidak terobsesi. Tapi langkahku terlalu ringan untuk dibilang wajar. Bahkan lift kantor aja kayak lebih cepat mengantarku ke lantai lima. Biasanya dia suka drama ngadat di lantai tiga."Tumben datang awal?" tanya Mas Tyo dari bagian IT sambil menoleh dari belakang monitor.Aku pura-pura garuk kepala yang nggak gatal. "Lagi pengin jadi karyawan teladan. Kali aja dapet bonus."Dia nyengir. "Atau dapet perhatian bos baru?"Aku tersedak air minumku sendiri. "Kamu denger gosip dari mana sih?!""Aku nggak butuh gosip. Aku cukup duduk di dekat pantry dan mendengar degupan jantungmu waktu dia ngomong 'kamu' kemarin."Astagaaaa.Tern

  • Rahasia di Balik Meja Kerja   Chapter 01 - Bukan Hari Senin Biasa

    Kalau hari Senin biasanya identik dengan kantung mata, kopi dingin, dan kemeja kusut, maka hari ini agak beda. Aku—Rani Widyastuti—bangun lebih pagi, pakai kemeja yang masih wangi setrika, dan bahkan sempat sarapan bukan cuma dengan kopi dan galau.Penyebab perubahan hidup yang drastis ini cuma satu: bos baru."Dia katanya masih muda, Ran. Terus tinggi, putih, dan katanya lulusan luar negeri. Gaya banget!" bisik Dinda, teman satu timku, sambil menyeruput teh tarik dari gelas yang lebih besar dari niatnya kerja hari ini.Aku mendengus pelan. "Terus kenapa emangnya kalau lulusan luar negeri? Emang dia mau ngajarin kita cara bikin laporan keuangan sambil main ski?""Ya siapa tahu dia ngajak kamu dinner dulu, baru ngajarin ski-nya."Aku nyaris menyemburkan roti isi telurku. "Ngajak aku dinner? Din, aku ini siapa? Admin keuangan yang laptopnya aja udah dua kali diselamatin Pak Herman dari BSOD.""Tapi kamu lucu. Mungkin dia suka cewek lucu."Aku menatap Dinda dengan tatapan khas: tatapan '

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status