Aku baru duduk lima menit, secangkir kopi belum sempat diseruput, dan playlist mellow pagi ini baru nyampe lagu kedua, ketika notifikasi G****e Calendar muncul seperti petir di siang bolong:
📅 Meeting All-Staff: Jam 10.00 – R. Presentasi Besar – Agenda: Perkenalan dan Penyelarasan Visi
Aku menatap layar, lalu menatap cermin kecil di laci meja.
“Visi? Yang aku lihat sekarang cuma kantung mata dan jerawat kecil yang muncul kayak hadiah kejutan,” gumamku sambil panik menepuk-nepuk bedak padat ke wajah. Sialnya, aku malah kelebihan dan sekarang pipiku kayak pantat bayi yang baru bedakan.
Dinda menyembul dari belakang kubikel, matanya berbinar kayak penonton sinetron yang baru tahu kalau tokoh utamanya amnesia.
"Rani, kamu udah siap? Aku denger-denger, hari ini bos baru bakal nyampaikan presentasi perdananya. Serius. Ini kayak debut K-pop tapi versi kantor."
Aku meliriknya lemas. "Debut K-pop? Aku takut malah kayak audisi X-Factor kalau dia mulai nanya-nanya dan aku jawabnya pake logat Betawi."
"Tenang, kamu lucu. Itu daya tarik."
Aku melirik lagi, kali ini lebih tajam. "Kalau aku ngelawak di depan bos, namanya bukan lucu, Din. Tapi cari surat peringatan."
*****
Adrian berdiri di depan, postur tegak dan wajahnya tenang banget. Kayak presenter berita ekonomi. Aku memperhatikan tiap gerakannya. Ya ampun, bahkan cara dia buka presentasi pakai pointer pun elegan. Nggak ada goyangan tangannya. Kalau aku? Buka file Excel aja kadang suka kejepit kuku sendiri.
"Selamat pagi semuanya. Saya Adrian, dan saya senang bisa jadi bagian dari keluarga besar PT Nusantara Tumbuh Cerah." Ia mengulas senyum kecil. "Hari ini saya ingin mengenal kalian lebih dekat, dan juga menyampaikan beberapa penyesuaian yang saya rasa bisa bikin kita kerja lebih efektif dan… nggak terlalu kaku."
Ngomong-ngomong soal nggak kaku, Pak… kamu kayaknya ngeliat aku pas berdiri waktu itu. Harusnya udah tahu betapa luwesnya lututku bergetar…
"Kita mulai dari perkenalan per divisi. Nggak usah formal ya. Anggap aja ini semacam sharing. Saya pengin tahu siapa kalian, apa yang kalian suka kerjain, dan kalau bisa... satu fakta random dari hidup kalian."
Fakta random? Waduh. Fakta bahwa aku pernah kepleset depan klien pas lagi pakai sepatu hak baru termasuk, nggak?
Giliran tim keuangan tiba.
Dinda berdiri duluan, seperti biasa dengan percaya diri seorang beauty vlogger.
"Saya Dinda dari tim keuangan. Saya suka bikin spreadsheet yang rapi, dan fakta random saya adalah… saya bisa tidur sambil duduk di mana aja, termasuk di dalam kereta dan… ya, kadang di toilet."
Seluruh ruangan tertawa.
Giliran berikutnya: aku.
Aku berdiri dengan lutut yang agak goyah.
"Saya Rani… dari tim keuangan juga. Saya biasanya ngurus rekap pengeluaran, reimbursement, dan catatan kecil… eh, maksudnya catatan rinci. Fakta random saya… hmm… saya pernah kirim email penting ke direktur… tapi lupa ngapus bagian catatan internal yang isinya 'tolong jangan kasih ini ke Pak Bowo, nanti dia salah lagi.'"
Suasana hening dua detik.
Lalu tawa pecah.
Termasuk dari Adrian.
Tuh kan.
Gagal jadi misterius.
Sukses jadi meme internal kantor.
*****
"Kamu lucu banget, Ran. Gokil. Adrian ngakak, tuh."
"Aku bukan lucu karena niat, Din. Itu luka lama yang nggak usah dibuka ulang."
"Tapi tetap lucu. Bikin kesan, loh."
Aku membuka email dan mencoba fokus. Tapi pikiran masih ke satu hal: tadi, saat aku duduk, aku sempat melihat Adrian menatap ke arahku. Bukan tatapan bos ke staf. Tapi lebih… lama. Lebih… penasaran?
Atau aku aja yang terlalu banyak nonton FTV?
"Rani, boleh ngobrol sebentar?"
Aku menoleh. "T-tentu, Pak. Mau ngobrol di… sini atau?"
"Ayo ke rooftop. Aku butuh udara segar."
Udara segar katanya.
Padahal oksigen di sekitar aku udah habis sejak kamu nyebut nama.
*****
Dia berdiri beberapa langkah di depanku, memandangi ruangan yang mulai sepi satu per satu. Cahaya dari luar ruangan jatuh di sisi wajahnya, menyoroti rahang tegas dan mata yang… ya ampun, kenapa kelihatan sedih?
"Aku mau bicara sebentar," katanya akhirnya. Suaranya pelan, hampir berbisik, seakan takut suara itu bisa membangunkan sesuatu yang sudah lama dia kubur.
Aku mengangguk, meski jantungku tiba-tiba berdebar tanpa aba-aba.
"Apa ada yang salah?" tanyaku, berusaha terdengar tenang walau tangan udah mulai dingin.Dia menatapku. Lama. Dalam. Dan untuk sesaat, aku merasa seperti bukan lagi pegawainya—bukan juga si Rani yang selalu salah parkir dan kebanyakan drama. Tapi seseorang yang penting. Seseorang yang dia cari.
"Rani... aku butuh bantuanmu. Tapi bukan soal kerjaan."
Aku diam. Otakku langsung menayangkan tiga ribu kemungkinan.
Bantuan apa? Kenapa aku? Kenapa bukan sekretarisnya? Kenapa dia kelihatan seperti habis kehilangan sesuatu yang penting banget?"Aku tahu ini nggak biasa, tapi... bisakah kita ngobrol di luar kantor? Tempat yang lebih... santai."
Aku masih diam, setengah antara "oh my God" dan "ini mimpi kan?"
Adrian menarik napas panjang dan menatapku dengan tatapan yang bahkan bisa bikin AC kantor kalah dingin.
"Ada sesuatu yang harus aku jelaskan. Tentang aku. Tentang alasanku kembali ke Jakarta."
Dan di detik itu juga, perasaan aneh muncul di dadaku.
Sesuatu bilang ini bukan cuma soal pekerjaan. Bukan juga soal aku dan perasaan bodoh yang diam-diam tumbuh tiap kali dia lewat.Ini... awal dari badai yang lebih besar.
To Be Continued
Setelah malam itu di mobil, aku nggak bisa tidur.Bukan karena kopi instan sachetan yang tadi kuminum di kantor, tapi karena kalimat Adrian yang muter-muter di kepalaku kayak sinetron tanpa iklan."Aku tertarik sama kamu.""Kalau suatu saat aku ngajak kamu... bukan buat meeting, tapi buat makan malam... kamu nggak kaget."Plis, Pak. Aku udah kaget dari kalimat ketiga. Ini bukan nonton film, tapi dada aku beneran ngilu-ngilu dikit kayak abis sit-up dua kali.*****Pagi harinya, aku bangun dengan kepala penuh drama dan rambut segimbal gulali. Udah kayak tokoh utama drama Thailand yang lupa siapa dirinya.Dan untuk pertama kalinya, aku berangkat kerja tanpa drama snooze alarm. Bahkan sarapan. Bahkan pakai concealer.Kenapa? Karena ada kemungkinan besar aku akan satu ruangan sama orang yang bilang dia tertarik padaku.Lo tau rasanya masuk kantor setelah itu semua? Rasanya kayak masuk sekolah setelah nulis surat cinta ke guru BK. Deg-degan, awkward, tapi setengah penasaran juga.*****Begi
Setelah malam itu di kafe rooftop, aku pulang dengan kepala penuh tanda tanya dan dada penuh... ya, penuh deg-degan.Bukan karena kopinya mengandung kafein tingkat dewa. Tapi karena Adrian—bosku sendiri—baru aja bilang aku itu beda, jujur, spontan, dan bikin segalanya terasa lebih hidup.Bos, plis… jangan gitu. Aku bisa salah paham dan mulai ngelamun nyari nama anak.Besok paginya, aku bangun lebih awal. Ajaib. Biasanya alarm lima kali snooze, baru bangun. Tapi pagi ini? Alarm baru bunyi dua detik, aku udah duduk. Kayak tokoh utama film yang sadar dirinya punya peran penting dalam hidup orang lain.Aku berdiri di depan cermin sambil oles lip tint yang biasanya cuma kupakai kalau ada kondangan. Hari ini… buat meeting. Meeting bareng Adrian."Tenang, Ran," bisikku ke pantulan wajah sendiri. "Ini cuma kerja. Cuma kerja."Tapi bibirku udah kayak abis makan stroberi langsung dari ladangnya.*****Di kantor, Dinda udah nunggu di meja, matanya melotot kayak baru lihat diskon 90 persen di tok
Aku duduk di halte depan kantor, nungguin ojek online yang kayaknya lagi cari jalan pulang dari Bandung. Udara panas, makeup udah luntur, dan aku masih bengong mikirin omongan Adrian tadi di rooftop."Aku butuh bantuanmu. Tapi bukan soal kerjaan."Kalimat itu muter-muter di kepala kayak lagu dangdut remix. Bukannya fokus balas chat dari Dinda yang nanya, "Lo hidup nggak sih, Ran? Kenapa tiba-tiba ilang?", aku malah ngelamun sambil ngelus-ngelus sedotan di tangan yang tadi kupakai buat ngaduk teh.Sampai akhirnya motorku datang dan aku naik tanpa banyak mikir. Begitu duduk, si abang nanya, "Mbaknya Rani, ya?""Iya, Bang. Jalan aja, jangan nanya macem-macem ya, hati saya lagi goyang."Abangnya ngangguk paham. "Oh, abis meeting besar, ya? Saya sering jemput penumpang yang abis meeting, memang suka mellow."Luar biasa empati abang ini.*****Sampai rumah, aku langsung masuk kamar dan ngelempar tas kayak di film remaja. Buka ikat rambut, nyalain kipas, terus jatuh ke kasur sambil teriak, "
Aku baru duduk lima menit, secangkir kopi belum sempat diseruput, dan playlist mellow pagi ini baru nyampe lagu kedua, ketika notifikasi Google Calendar muncul seperti petir di siang bolong:📅 Meeting All-Staff: Jam 10.00 – R. Presentasi Besar – Agenda: Perkenalan dan Penyelarasan VisiAku menatap layar, lalu menatap cermin kecil di laci meja.“Visi? Yang aku lihat sekarang cuma kantung mata dan jerawat kecil yang muncul kayak hadiah kejutan,” gumamku sambil panik menepuk-nepuk bedak padat ke wajah. Sialnya, aku malah kelebihan dan sekarang pipiku kayak pantat bayi yang baru bedakan.Dinda menyembul dari belakang kubikel, matanya berbinar kayak penonton sinetron yang baru tahu kalau tokoh utamanya amnesia."Rani, kamu udah siap? Aku denger-denger, hari ini bos baru bakal nyampaikan presentasi perdananya. Serius. Ini kayak debut K-pop tapi versi kantor."Aku meliriknya lemas. "Debut K-pop? Aku takut malah kayak audisi X-Factor kalau dia mulai nanya-nanya dan aku jawabnya pake logat Be
Besoknya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Alarm belum sempat bunyi, tapi aku udah melek kayak abis mimpi disawer gaji tiga digit. Aku mandi lebih lama, pilih kemeja warna biru langit (katanya warna tenang dan bikin orang terlihat profesional—padahal niatnya biar matching sama warna mata bos baru. Ups.)Sesampainya di kantor, aku mencoba terlihat santai. Cuek. Tidak terobsesi. Tapi langkahku terlalu ringan untuk dibilang wajar. Bahkan lift kantor aja kayak lebih cepat mengantarku ke lantai lima. Biasanya dia suka drama ngadat di lantai tiga."Tumben datang awal?" tanya Mas Tyo dari bagian IT sambil menoleh dari belakang monitor.Aku pura-pura garuk kepala yang nggak gatal. "Lagi pengin jadi karyawan teladan. Kali aja dapet bonus."Dia nyengir. "Atau dapet perhatian bos baru?"Aku tersedak air minumku sendiri. "Kamu denger gosip dari mana sih?!""Aku nggak butuh gosip. Aku cukup duduk di dekat pantry dan mendengar degupan jantungmu waktu dia ngomong 'kamu' kemarin."Astagaaaa.Tern
Kalau hari Senin biasanya identik dengan kantung mata, kopi dingin, dan kemeja kusut, maka hari ini agak beda. Aku—Rani Widyastuti—bangun lebih pagi, pakai kemeja yang masih wangi setrika, dan bahkan sempat sarapan bukan cuma dengan kopi dan galau.Penyebab perubahan hidup yang drastis ini cuma satu: bos baru."Dia katanya masih muda, Ran. Terus tinggi, putih, dan katanya lulusan luar negeri. Gaya banget!" bisik Dinda, teman satu timku, sambil menyeruput teh tarik dari gelas yang lebih besar dari niatnya kerja hari ini.Aku mendengus pelan. "Terus kenapa emangnya kalau lulusan luar negeri? Emang dia mau ngajarin kita cara bikin laporan keuangan sambil main ski?""Ya siapa tahu dia ngajak kamu dinner dulu, baru ngajarin ski-nya."Aku nyaris menyemburkan roti isi telurku. "Ngajak aku dinner? Din, aku ini siapa? Admin keuangan yang laptopnya aja udah dua kali diselamatin Pak Herman dari BSOD.""Tapi kamu lucu. Mungkin dia suka cewek lucu."Aku menatap Dinda dengan tatapan khas: tatapan '