Besoknya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Alarm belum sempat bunyi, tapi aku udah melek kayak abis mimpi disawer gaji tiga digit. Aku mandi lebih lama, pilih kemeja warna biru langit (katanya warna tenang dan bikin orang terlihat profesional—padahal niatnya biar matching sama warna mata bos baru. Ups.)
Sesampainya di kantor, aku mencoba terlihat santai. Cuek. Tidak terobsesi. Tapi langkahku terlalu ringan untuk dibilang wajar. Bahkan lift kantor aja kayak lebih cepat mengantarku ke lantai lima. Biasanya dia suka drama ngadat di lantai tiga.
"Tumben datang awal?" tanya Mas Tyo dari bagian IT sambil menoleh dari belakang monitor.
Aku pura-pura garuk kepala yang nggak gatal. "Lagi pengin jadi karyawan teladan. Kali aja dapet bonus."
Dia nyengir. "Atau dapet perhatian bos baru?"
Aku tersedak air minumku sendiri. "Kamu denger gosip dari mana sih?!"
"Aku nggak butuh gosip. Aku cukup duduk di dekat pantry dan mendengar degupan jantungmu waktu dia ngomong 'kamu' kemarin."
Astagaaaa.
Ternyata kantor ini bukan cuma tempat kerja. Tapi juga reality show tanpa kamera tersembunyi.
*****
Seketika aku merasa tanganku gatal untuk menyapanya. Tapi aku juga takut... terlalu kentara.
"Ran," suara lembut itu datang dari belakangku.
OH. DEAR. GOSIP. DIA. NGOMONG. LAGI.
"Iya?" tanyaku sambil berusaha tersenyum natural, padahal wajahku udah panas kayak rice cooker.
"Kamu bisa temenin aku ke ruang arsip? Aku mau cari data lama, tapi jujur... aku nggak ngerti sistem pengarsipan kantor ini."
Oh tentu. Sistem itu dibuat di zaman Majapahit. Aku pun terkadang perlu G****e Maps kalau mau cari data tahun 2021.
"Bisa, Pak. Tapi jangan harap ruangannya rapi. Ruang arsip kita lebih mirip museum horor."
Dia tertawa kecil. "Aku udah siap mental."
Kami pun berjalan berdampingan. Rasanya kayak pasangan drama Korea yang lagi investigasi kasus rahasia perusahaan. Sayangnya, kenyataannya lebih mirip dua orang yang terjebak di gudang sempit penuh debu dan map kusut.
"Map 2021 harusnya di sini..." gumamku sambil jongkok dan menarik tumpukan dokumen yang beratnya kayak beban hidup usia 30-an.
Adrian ikut jongkok di sebelahku. "Kamu nggak takut semut?"
Aku menoleh pelan. "Saya lebih takut laporan yang nggak balance, Pak."
Dia tertawa lagi.
Dan aku mulai sadar, tawa dia... adiktif.
*****
"GIMANA."
"Gimana apanya?"
"Jangan pura-pura amnesia, Rani. Kamu habis barengan ke gudang arsip sama cowok seganteng itu. Cerita sini."
Aku menghela napas. "Kita cuma nyari map. Nggak ada pelukan. Nggak ada candle light dinner. Cuma debu dan map tebal."
"Tapi matamu beda. Bersinar."
"Itu karena kelilipan kertas laminating."
*****
Aku mulai suka kamu, Pak Adrian.
Dan itu, sejujurnya, agak menakutkan.
*****
To Be Continued
Terima Kasih telah membaca cerita ini, semoga kalian terhibur ya
Setelah malam itu di mobil, aku nggak bisa tidur.Bukan karena kopi instan sachetan yang tadi kuminum di kantor, tapi karena kalimat Adrian yang muter-muter di kepalaku kayak sinetron tanpa iklan."Aku tertarik sama kamu.""Kalau suatu saat aku ngajak kamu... bukan buat meeting, tapi buat makan malam... kamu nggak kaget."Plis, Pak. Aku udah kaget dari kalimat ketiga. Ini bukan nonton film, tapi dada aku beneran ngilu-ngilu dikit kayak abis sit-up dua kali.*****Pagi harinya, aku bangun dengan kepala penuh drama dan rambut segimbal gulali. Udah kayak tokoh utama drama Thailand yang lupa siapa dirinya.Dan untuk pertama kalinya, aku berangkat kerja tanpa drama snooze alarm. Bahkan sarapan. Bahkan pakai concealer.Kenapa? Karena ada kemungkinan besar aku akan satu ruangan sama orang yang bilang dia tertarik padaku.Lo tau rasanya masuk kantor setelah itu semua? Rasanya kayak masuk sekolah setelah nulis surat cinta ke guru BK. Deg-degan, awkward, tapi setengah penasaran juga.*****Begi
Setelah malam itu di kafe rooftop, aku pulang dengan kepala penuh tanda tanya dan dada penuh... ya, penuh deg-degan.Bukan karena kopinya mengandung kafein tingkat dewa. Tapi karena Adrian—bosku sendiri—baru aja bilang aku itu beda, jujur, spontan, dan bikin segalanya terasa lebih hidup.Bos, plis… jangan gitu. Aku bisa salah paham dan mulai ngelamun nyari nama anak.Besok paginya, aku bangun lebih awal. Ajaib. Biasanya alarm lima kali snooze, baru bangun. Tapi pagi ini? Alarm baru bunyi dua detik, aku udah duduk. Kayak tokoh utama film yang sadar dirinya punya peran penting dalam hidup orang lain.Aku berdiri di depan cermin sambil oles lip tint yang biasanya cuma kupakai kalau ada kondangan. Hari ini… buat meeting. Meeting bareng Adrian."Tenang, Ran," bisikku ke pantulan wajah sendiri. "Ini cuma kerja. Cuma kerja."Tapi bibirku udah kayak abis makan stroberi langsung dari ladangnya.*****Di kantor, Dinda udah nunggu di meja, matanya melotot kayak baru lihat diskon 90 persen di tok
Aku duduk di halte depan kantor, nungguin ojek online yang kayaknya lagi cari jalan pulang dari Bandung. Udara panas, makeup udah luntur, dan aku masih bengong mikirin omongan Adrian tadi di rooftop."Aku butuh bantuanmu. Tapi bukan soal kerjaan."Kalimat itu muter-muter di kepala kayak lagu dangdut remix. Bukannya fokus balas chat dari Dinda yang nanya, "Lo hidup nggak sih, Ran? Kenapa tiba-tiba ilang?", aku malah ngelamun sambil ngelus-ngelus sedotan di tangan yang tadi kupakai buat ngaduk teh.Sampai akhirnya motorku datang dan aku naik tanpa banyak mikir. Begitu duduk, si abang nanya, "Mbaknya Rani, ya?""Iya, Bang. Jalan aja, jangan nanya macem-macem ya, hati saya lagi goyang."Abangnya ngangguk paham. "Oh, abis meeting besar, ya? Saya sering jemput penumpang yang abis meeting, memang suka mellow."Luar biasa empati abang ini.*****Sampai rumah, aku langsung masuk kamar dan ngelempar tas kayak di film remaja. Buka ikat rambut, nyalain kipas, terus jatuh ke kasur sambil teriak, "
Aku baru duduk lima menit, secangkir kopi belum sempat diseruput, dan playlist mellow pagi ini baru nyampe lagu kedua, ketika notifikasi Google Calendar muncul seperti petir di siang bolong:📅 Meeting All-Staff: Jam 10.00 – R. Presentasi Besar – Agenda: Perkenalan dan Penyelarasan VisiAku menatap layar, lalu menatap cermin kecil di laci meja.“Visi? Yang aku lihat sekarang cuma kantung mata dan jerawat kecil yang muncul kayak hadiah kejutan,” gumamku sambil panik menepuk-nepuk bedak padat ke wajah. Sialnya, aku malah kelebihan dan sekarang pipiku kayak pantat bayi yang baru bedakan.Dinda menyembul dari belakang kubikel, matanya berbinar kayak penonton sinetron yang baru tahu kalau tokoh utamanya amnesia."Rani, kamu udah siap? Aku denger-denger, hari ini bos baru bakal nyampaikan presentasi perdananya. Serius. Ini kayak debut K-pop tapi versi kantor."Aku meliriknya lemas. "Debut K-pop? Aku takut malah kayak audisi X-Factor kalau dia mulai nanya-nanya dan aku jawabnya pake logat Be
Besoknya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Alarm belum sempat bunyi, tapi aku udah melek kayak abis mimpi disawer gaji tiga digit. Aku mandi lebih lama, pilih kemeja warna biru langit (katanya warna tenang dan bikin orang terlihat profesional—padahal niatnya biar matching sama warna mata bos baru. Ups.)Sesampainya di kantor, aku mencoba terlihat santai. Cuek. Tidak terobsesi. Tapi langkahku terlalu ringan untuk dibilang wajar. Bahkan lift kantor aja kayak lebih cepat mengantarku ke lantai lima. Biasanya dia suka drama ngadat di lantai tiga."Tumben datang awal?" tanya Mas Tyo dari bagian IT sambil menoleh dari belakang monitor.Aku pura-pura garuk kepala yang nggak gatal. "Lagi pengin jadi karyawan teladan. Kali aja dapet bonus."Dia nyengir. "Atau dapet perhatian bos baru?"Aku tersedak air minumku sendiri. "Kamu denger gosip dari mana sih?!""Aku nggak butuh gosip. Aku cukup duduk di dekat pantry dan mendengar degupan jantungmu waktu dia ngomong 'kamu' kemarin."Astagaaaa.Tern
Kalau hari Senin biasanya identik dengan kantung mata, kopi dingin, dan kemeja kusut, maka hari ini agak beda. Aku—Rani Widyastuti—bangun lebih pagi, pakai kemeja yang masih wangi setrika, dan bahkan sempat sarapan bukan cuma dengan kopi dan galau.Penyebab perubahan hidup yang drastis ini cuma satu: bos baru."Dia katanya masih muda, Ran. Terus tinggi, putih, dan katanya lulusan luar negeri. Gaya banget!" bisik Dinda, teman satu timku, sambil menyeruput teh tarik dari gelas yang lebih besar dari niatnya kerja hari ini.Aku mendengus pelan. "Terus kenapa emangnya kalau lulusan luar negeri? Emang dia mau ngajarin kita cara bikin laporan keuangan sambil main ski?""Ya siapa tahu dia ngajak kamu dinner dulu, baru ngajarin ski-nya."Aku nyaris menyemburkan roti isi telurku. "Ngajak aku dinner? Din, aku ini siapa? Admin keuangan yang laptopnya aja udah dua kali diselamatin Pak Herman dari BSOD.""Tapi kamu lucu. Mungkin dia suka cewek lucu."Aku menatap Dinda dengan tatapan khas: tatapan '