Aku duduk di halte depan kantor, nungguin ojek online yang kayaknya lagi cari jalan pulang dari Bandung. Udara panas, makeup udah luntur, dan aku masih bengong mikirin omongan Adrian tadi di rooftop.
"Aku butuh bantuanmu. Tapi bukan soal kerjaan."
Kalimat itu muter-muter di kepala kayak lagu dangdut remix. Bukannya fokus balas chat dari Dinda yang nanya, "Lo hidup nggak sih, Ran? Kenapa tiba-tiba ilang?", aku malah ngelamun sambil ngelus-ngelus sedotan di tangan yang tadi kupakai buat ngaduk teh.
Sampai akhirnya motorku datang dan aku naik tanpa banyak mikir. Begitu duduk, si abang nanya, "Mbaknya Rani, ya?"
"Iya, Bang. Jalan aja, jangan nanya macem-macem ya, hati saya lagi goyang."
Abangnya ngangguk paham. "Oh, abis meeting besar, ya? Saya sering jemput penumpang yang abis meeting, memang suka mellow."
Luar biasa empati abang ini.
*****
Sampai rumah, aku langsung masuk kamar dan ngelempar tas kayak di film remaja. Buka ikat rambut, nyalain kipas, terus jatuh ke kasur sambil teriak, "APAAN SIH INI?"
Dinda langsung nelpon. Nggak nanya basa-basi. Langsung gas.
"Lo kenapa, Ran? Tadi Adrian manggil lo buat apaan? Kok lo kayak abis nonton episode terakhir drama Korea yang semua orangnya mati?"
Aku narik napas panjang. "Dia bilang mau ngobrol lagi. Di luar kantor. Dan... katanya bukan soal kerjaan."
"HAAH? DI LUAR KANTOR? NGGAK SOAL KERJAAN? RAN, LO NGGAK SADAR APA?! INI UDAH BABAK BARU, WOY!"
Aku diem.
"Babak baru? Maksud lo dia mau ngajak aku jadi partner bisnis kopi kekinian?"
"DASAR LO NIH. ITU TANDA-TANDA DIA MAU DEKETIN LO, NGERTI NGGAK?"
Aku bengong. Lalu duduk pelan, pelan banget. Seolah kalau aku bergerak terlalu cepat, dinding kamar bisa roboh.
"Tapi... tapi kita beda dunia, Din. Dia tuh CEO, aku tuh... karyawan yang pernah salah ngirim email dan nyebut nama Pak Bowo."
"Justru! Itu dia. Lo beda. Makanya dia tertarik. Nggak semua orang bisa bikin CEO nahan tawa pas meeting, Ran."
Aku garuk-garuk kepala. Bukan karena gatal, tapi karena otakku nge-lag.
*****
Besok paginya, aku datang ke kantor dengan mental setengah siap, setengah beku. Tapi dari pagi sampai siang, Adrian nggak kelihatan. Aku mulai mikir: *Jangan-jangan dia lupa? Jangan-jangan dia cuma bercanda? Jangan-jangan kemarin aku halu?*
Sampai akhirnya jam tiga sore, dia muncul. Bukan dari pintu utama, tapi dari arah pantry. Dan dia langsung ke arahku.
"Rani. Sore ini kamu kosong?"
Kosong? Hatiku sih penuh. Tapi jadwal? Kosong. Kosong banget malah.
"Eee... bisa kosong, Pak. Kenapa, ya?"
Dia senyum kecil. "Temui aku di parkiran bawah jam lima. Aku jemput."
Aku mau nanya lebih lanjut, tapi dia udah jalan pergi.
Temui aku? Jemput? Parkiran?
Astaga. Jangan-jangan... jangan-jangan ini beneran FTV?
*****
Jam lima tepat, aku udah berdiri di parkiran bawah dengan detak jantung kayak genderang marching band. Mobil hitam Adrian berhenti di depanku. Dia buka kaca.
"Masuk, yuk."
Ya Tuhan. Ini bukan mimpi. Ini nyata.
Begitu aku masuk, wangi parfumnya langsung bikin aku lupa cara ngomong. Aku cuma bisa duduk diam, megang tas erat-erat kayak pelampung.
"Kamu suka tempat tenang, nggak?" tanyanya sambil nyetir santai.
"Suka. Yang penting bukan kuburan ya, Pak."
Dia ketawa kecil. "Tenang aja. Tujuan kita jauh dari horor, walau mungkin tetap menyeramkan."
Lho? Serem dalam arti apa ini?
Setelah lima belas menit melintasi kemacetan Jakarta, kami sampai di sebuah kafe rooftop yang sepi. Sunset di langit bikin suasananya jadi... gila. Romantis banget. Aku jadi ngerasa harusnya aku pakai lipstik.
Kami duduk. Dia pesen kopi, aku pesen lemon tea. Dia buka obrolan dengan nada pelan.
"Rani, kamu pasti penasaran kenapa aku minta ketemu kayak gini."
Aku mengangguk. Jujur aja, aku lebih dari penasaran. Aku udah setengah stress.
"Aku balik ke Jakarta bukan cuma karena ditugaskan. Aku balik karena... ada sesuatu yang belum selesai."
Aku mengernyit. "Belum selesai gimana, Pak?"
Dia menghela napas. Matanya menatap jauh ke arah matahari terbenam, kayak di film-film.
"Aku pernah kerja di sini, lama sebelum kamu masuk. Dan aku pernah kehilangan seseorang yang penting. Bukan karena kematian... tapi karena pilihan."
Wah. Ini mulai terdengar kayak adegan drama prime time.
"Kamu tahu Bu Mira dari HRD?" tanyanya pelan.
Aku mengangguk. "Tahu. Yang suka pakai bros sebesar piring, kan?"
Dia senyum kecil. "Iya. Dia kakakku. Dan dia yang nyuruh aku balik. Tapi bukan buat sekadar kerja."
Aku makin bingung. "Terus... buat apa, Pak?"
"Buat mulai dari awal. Termasuk... memperbaiki sesuatu yang pernah aku abaikan."
Aku makin nggak ngerti. Tapi sebelum aku sempat tanya lagi, dia menatapku dalam-dalam.
"Dan aku rasa... kamu bisa bantu aku."
Aku menelan ludah. "Bantu apa, ya? Maksudnya?"
"Aku butuh seseorang yang bisa aku percaya. Buat jadi penghubung aku sama tim. Bukan sebagai atasan, tapi sebagai... rekan. Dan kamu, Rani. Kamu beda dari yang lain. Kamu jujur, kamu... spontan. Dan kamu bikin semuanya terasa lebih hidup."
Aku bengong.
Rekan? Kepercayaan? Hidup?
Aku tiba-tiba ngerasa kayak tokoh utama di novel w*****d.
"Jadi, kamu bersedia bantu aku? Tapi ini bisa berarti kita bakal sering bareng. Meeting bareng, brainstorming bareng... dan mungkin makan siang bareng juga."
Aku mencoba senyum, walau jantung udah marathon.
"Kalau memang itu butuhnya... aku siap bantu, Pak."
Dia tersenyum. Kali ini lebih lebar. Dan aku rasa... senyum itu buatku. Bukan karena aku staf. Tapi karena aku Rani.
Dan mungkin... karena badai ini baru saja dimulai.
*****
To Be Continued.
Setelah malam itu di mobil, aku nggak bisa tidur.Bukan karena kopi instan sachetan yang tadi kuminum di kantor, tapi karena kalimat Adrian yang muter-muter di kepalaku kayak sinetron tanpa iklan."Aku tertarik sama kamu.""Kalau suatu saat aku ngajak kamu... bukan buat meeting, tapi buat makan malam... kamu nggak kaget."Plis, Pak. Aku udah kaget dari kalimat ketiga. Ini bukan nonton film, tapi dada aku beneran ngilu-ngilu dikit kayak abis sit-up dua kali.*****Pagi harinya, aku bangun dengan kepala penuh drama dan rambut segimbal gulali. Udah kayak tokoh utama drama Thailand yang lupa siapa dirinya.Dan untuk pertama kalinya, aku berangkat kerja tanpa drama snooze alarm. Bahkan sarapan. Bahkan pakai concealer.Kenapa? Karena ada kemungkinan besar aku akan satu ruangan sama orang yang bilang dia tertarik padaku.Lo tau rasanya masuk kantor setelah itu semua? Rasanya kayak masuk sekolah setelah nulis surat cinta ke guru BK. Deg-degan, awkward, tapi setengah penasaran juga.*****Begi
Setelah malam itu di kafe rooftop, aku pulang dengan kepala penuh tanda tanya dan dada penuh... ya, penuh deg-degan.Bukan karena kopinya mengandung kafein tingkat dewa. Tapi karena Adrian—bosku sendiri—baru aja bilang aku itu beda, jujur, spontan, dan bikin segalanya terasa lebih hidup.Bos, plis… jangan gitu. Aku bisa salah paham dan mulai ngelamun nyari nama anak.Besok paginya, aku bangun lebih awal. Ajaib. Biasanya alarm lima kali snooze, baru bangun. Tapi pagi ini? Alarm baru bunyi dua detik, aku udah duduk. Kayak tokoh utama film yang sadar dirinya punya peran penting dalam hidup orang lain.Aku berdiri di depan cermin sambil oles lip tint yang biasanya cuma kupakai kalau ada kondangan. Hari ini… buat meeting. Meeting bareng Adrian."Tenang, Ran," bisikku ke pantulan wajah sendiri. "Ini cuma kerja. Cuma kerja."Tapi bibirku udah kayak abis makan stroberi langsung dari ladangnya.*****Di kantor, Dinda udah nunggu di meja, matanya melotot kayak baru lihat diskon 90 persen di tok
Aku duduk di halte depan kantor, nungguin ojek online yang kayaknya lagi cari jalan pulang dari Bandung. Udara panas, makeup udah luntur, dan aku masih bengong mikirin omongan Adrian tadi di rooftop."Aku butuh bantuanmu. Tapi bukan soal kerjaan."Kalimat itu muter-muter di kepala kayak lagu dangdut remix. Bukannya fokus balas chat dari Dinda yang nanya, "Lo hidup nggak sih, Ran? Kenapa tiba-tiba ilang?", aku malah ngelamun sambil ngelus-ngelus sedotan di tangan yang tadi kupakai buat ngaduk teh.Sampai akhirnya motorku datang dan aku naik tanpa banyak mikir. Begitu duduk, si abang nanya, "Mbaknya Rani, ya?""Iya, Bang. Jalan aja, jangan nanya macem-macem ya, hati saya lagi goyang."Abangnya ngangguk paham. "Oh, abis meeting besar, ya? Saya sering jemput penumpang yang abis meeting, memang suka mellow."Luar biasa empati abang ini.*****Sampai rumah, aku langsung masuk kamar dan ngelempar tas kayak di film remaja. Buka ikat rambut, nyalain kipas, terus jatuh ke kasur sambil teriak, "
Aku baru duduk lima menit, secangkir kopi belum sempat diseruput, dan playlist mellow pagi ini baru nyampe lagu kedua, ketika notifikasi Google Calendar muncul seperti petir di siang bolong:📅 Meeting All-Staff: Jam 10.00 – R. Presentasi Besar – Agenda: Perkenalan dan Penyelarasan VisiAku menatap layar, lalu menatap cermin kecil di laci meja.“Visi? Yang aku lihat sekarang cuma kantung mata dan jerawat kecil yang muncul kayak hadiah kejutan,” gumamku sambil panik menepuk-nepuk bedak padat ke wajah. Sialnya, aku malah kelebihan dan sekarang pipiku kayak pantat bayi yang baru bedakan.Dinda menyembul dari belakang kubikel, matanya berbinar kayak penonton sinetron yang baru tahu kalau tokoh utamanya amnesia."Rani, kamu udah siap? Aku denger-denger, hari ini bos baru bakal nyampaikan presentasi perdananya. Serius. Ini kayak debut K-pop tapi versi kantor."Aku meliriknya lemas. "Debut K-pop? Aku takut malah kayak audisi X-Factor kalau dia mulai nanya-nanya dan aku jawabnya pake logat Be
Besoknya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Alarm belum sempat bunyi, tapi aku udah melek kayak abis mimpi disawer gaji tiga digit. Aku mandi lebih lama, pilih kemeja warna biru langit (katanya warna tenang dan bikin orang terlihat profesional—padahal niatnya biar matching sama warna mata bos baru. Ups.)Sesampainya di kantor, aku mencoba terlihat santai. Cuek. Tidak terobsesi. Tapi langkahku terlalu ringan untuk dibilang wajar. Bahkan lift kantor aja kayak lebih cepat mengantarku ke lantai lima. Biasanya dia suka drama ngadat di lantai tiga."Tumben datang awal?" tanya Mas Tyo dari bagian IT sambil menoleh dari belakang monitor.Aku pura-pura garuk kepala yang nggak gatal. "Lagi pengin jadi karyawan teladan. Kali aja dapet bonus."Dia nyengir. "Atau dapet perhatian bos baru?"Aku tersedak air minumku sendiri. "Kamu denger gosip dari mana sih?!""Aku nggak butuh gosip. Aku cukup duduk di dekat pantry dan mendengar degupan jantungmu waktu dia ngomong 'kamu' kemarin."Astagaaaa.Tern
Kalau hari Senin biasanya identik dengan kantung mata, kopi dingin, dan kemeja kusut, maka hari ini agak beda. Aku—Rani Widyastuti—bangun lebih pagi, pakai kemeja yang masih wangi setrika, dan bahkan sempat sarapan bukan cuma dengan kopi dan galau.Penyebab perubahan hidup yang drastis ini cuma satu: bos baru."Dia katanya masih muda, Ran. Terus tinggi, putih, dan katanya lulusan luar negeri. Gaya banget!" bisik Dinda, teman satu timku, sambil menyeruput teh tarik dari gelas yang lebih besar dari niatnya kerja hari ini.Aku mendengus pelan. "Terus kenapa emangnya kalau lulusan luar negeri? Emang dia mau ngajarin kita cara bikin laporan keuangan sambil main ski?""Ya siapa tahu dia ngajak kamu dinner dulu, baru ngajarin ski-nya."Aku nyaris menyemburkan roti isi telurku. "Ngajak aku dinner? Din, aku ini siapa? Admin keuangan yang laptopnya aja udah dua kali diselamatin Pak Herman dari BSOD.""Tapi kamu lucu. Mungkin dia suka cewek lucu."Aku menatap Dinda dengan tatapan khas: tatapan '