Rahasia di Balik Meja Kerja

Rahasia di Balik Meja Kerja

last updateLast Updated : 2025-05-28
By:  Xzyon_Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
6Chapters
53views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Rani Widyastuti punya tiga prinsip hidup yang sakral: jangan lupa password e-banking, jangan sentuh es krim mantan kos, dan yang paling penting—jangan jatuh cinta sama atasan sendiri. Sayangnya, prinsip terakhir itu resmi runtuh sejak kedatangan Adrian Baskara, bos baru yang bikin satu kantor mendadak rajin pakai eyeliner. Ganteng? Iya. Karismatik? Banget. Tapi buat Rani, cinta diam-diam pada atasan itu seperti cicilan KPR—bikin deg-degan dan nggak ada jaminan lunas. Dengan strategi ninja, Rani berusaha menyembunyikan rasa sukanya di balik file laporan dan post-it warna pink. Tapi bagaimana kalau ternyata sang bos juga menyimpan rahasia kecil tentang Rani? Rahasia yang bisa mengubah segalanya... atau bikin satu kantor meledak karena drama internal lebih heboh dari sinetron prime time. Ini bukan sekadar kisah cinta kantor biasa. Ini tentang rahasia, tawa, dan satu meja kerja yang jadi saksi bisu jatuh cinta paling absurd tahun ini.

View More

Chapter 1

Chapter 01 - Bukan Hari Senin Biasa

Kalau hari Senin biasanya identik dengan kantung mata, kopi dingin, dan kemeja kusut, maka hari ini agak beda. Aku—Rani Widyastuti—bangun lebih pagi, pakai kemeja yang masih wangi setrika, dan bahkan sempat sarapan bukan cuma dengan kopi dan galau.

Penyebab perubahan hidup yang drastis ini cuma satu: bos baru.

"Dia katanya masih muda, Ran. Terus tinggi, putih, dan katanya lulusan luar negeri. Gaya banget!" bisik Dinda, teman satu timku, sambil menyeruput teh tarik dari gelas yang lebih besar dari niatnya kerja hari ini.

Aku mendengus pelan. "Terus kenapa emangnya kalau lulusan luar negeri? Emang dia mau ngajarin kita cara bikin laporan keuangan sambil main ski?"

"Ya siapa tahu dia ngajak kamu dinner dulu, baru ngajarin ski-nya."

Aku nyaris menyemburkan roti isi telurku. "Ngajak aku dinner? Din, aku ini siapa? Admin keuangan yang laptopnya aja udah dua kali diselamatin Pak Herman dari BSOD."

"Tapi kamu lucu. Mungkin dia suka cewek lucu."

Aku menatap Dinda dengan tatapan khas: tatapan 'kamu-perlu-istirahat'. Tapi di lubuk hatiku yang terdalam—yang biasanya tersimpan untuk mikirin diskon tanggal kembar—aku sedikit penasaran juga. Oke, mungkin bukan sedikit. Mungkin… banyak.

Kami duduk di pojok pantry sambil pura-pura produktif. Tapi kenyataannya, semua karyawan hari ini mendadak lebih modis dari biasanya. Bahkan Bu Nia dari bagian gudang pakai blush on. Blush on, Din!

Lalu dia datang.

Langkah sepatu kulitnya terdengar jelas di lorong. Setiap langkah seperti efek suara di film-film. Aku nggak bisa menahan diri untuk ikut menoleh. Dan saat itulah, mataku bertemu dengan dia—bos baru kami—Adrian Baskara.

Jantungku kayak dicekik jemuran.

Tinggi, rapi, wajahnya serius tapi bukan tipe yang galak. Lebih kayak... profesor muda di drama Korea. Senyumnya tipis, tapi cukup buat bikin satu lantai kantor ini mendadak diam. Termasuk aku. Dan aku ini tipe yang bahkan bisa berceloteh saat mati lampu.

"Selamat pagi semuanya." Suaranya terdengar tenang. Percaya diri. Nyebelin.

Aku langsung menunduk, pura-pura sibuk membuka email. Padahal yang kebuka malah Shopee—aku lupa nutup tab semalam. Sial.

"Kamu Rani, ya?" Sebuah suara berat mendekat ke arahku. Aku menoleh dengan gerakan ala slow-motion.

Ya Tuhan. Dia berdiri. DI DEPANKU.

Aku langsung berdiri seperti kena setrum. "I-iya, Pak. Saya Rani. Staf admin keuangan. Yang biasa kirim rekap mingguan. Dan... eh, kadang typo. Tapi nggak sering kok, itu cuma kalau saya lagi... eh, ya—"

"Tenang saja. Saya cuma mau kenalan," ujarnya sambil tersenyum. "Saya Adrian. Boleh kamu bantu aku sedikit nanti? Aku masih perlu penyesuaian sama sistem laporan di sini."

Kamu.

Dia bilang kamu.

Otakku sudah berhenti memproses sejak baris pertama. Tapi refleksku mengangguk cepat, sangat cepat. Kalau kepala ini dilepas, mungkin udah loncat sendiri ke meja sebelah.

Setelah dia pergi, Dinda muncul dari balik lemari arsip kayak ninja. "RAN. KAMU DILIHATIN BOS. LANGSUNG. EMPAT MATA."

"Lima," gumamku lemah.

"Hah?"

"Satu mataku masih ngelirik Shopee."

*****

Hari itu, aku berusaha seprofesional mungkin. Tapi aku sadar satu hal: ternyata sulit banget jadi profesional kalau bos kamu aromanya kayak gabungan parfum mahal dan keputusan yang sulit.

Adrian duduk di ruangannya, beberapa meter dari mejaku. Dan aku? Tiap lima menit sekali ngetik lalu hapus, ngetik lalu hapus. Bukan karena nggak ngerti tugas. Tapi karena otakku sekarang penuh dengan bayangan dia—dan kalimat: "Kamu bisa bantu aku, ya?"

Oh, aku bisa bantu banyak, Pak. Termasuk bantu ngecek kadar deg-degan per detik.

Saat istirahat siang, aku mencoba bersikap biasa. Tapi Dinda, makhluk kecil penuh rasa ingin tahu dan energi berlebih, menyeretku ke kantin dengan semangat investigatif.

"Kamu suka dia ya?"

"APA?!" Aku hampir menumpahkan sambal ke seragam security.

"Ssst! Suara kamu, Rani. Aku bukan budek. Tapi jujur deh. Kamu kelihatan banget tadi grogi. Pipi kamu merah kayak abis ditampar kenyataan."

Aku pura-pura sibuk mengaduk sop ayam. "Gimana nggak grogi, dia terlalu... rapi. Terlalu wangi. Terlalu... nggak kayak kita."

Dinda menyipitkan mata. "Kita? Aku sih masih ada peluang. Kamu doang yang terlalu denial."

Aku mendengus. "Aku bukan denial. Aku realistis."

"Realistis itu bagus. Tapi denial itu yang lebih seru buat dijadiin gosip."

****

Sore harinya, saat aku hampir selesai rekap bulanan, sebuah suara pelan terdengar dari belakangku.

"Ran, kamu ada waktu sekarang?"

Aku menoleh dan menemukan Adrian berdiri sambil bawa map.

Ya Tuhan. Waktu? Waktu hidup? Waktu cinta? Waktu luang? Aku punya semua kalau kamu yang minta.

"Boleh, Pak. Mau saya bantu apa?"

Dia tersenyum lagi. Manis. Damai. Kayak... jaminan THR cair tepat waktu.

"Kita mulai dari laporan pengeluaran minggu lalu, ya. Aku ingin paham alurnya, biar bisa nyatu sama tim."

Nyatu sama tim? Ya Tuhan, nyatu sama aku aja boleh nggak sih?

Aku berusaha fokus sambil menunjukkan file di layar. Tapi jarak kami terlalu dekat. Dan aromanya... oh, kenapa kamu harus pakai parfum yang bikin otakku error begini?

"Kamu kerja di sini udah lama, ya?" tanyanya tiba-tiba.

"Hampir empat tahun, Pak. Mulai dari zaman AC kantor masih suka bocor dan meja saya pernah jadi sarang kucing liar."

Dia tertawa pelan. "Serius? Kamu bertahan di kantor ini dengan kondisi itu?"

Aku mengangguk. "Karena gaji tetap masuk, Pak. Gaji adalah segalanya."

Dia tertawa lagi. Aku nggak tahu kenapa, tapi aku suka suara tawanya. Dan aku mulai berpikir, mungkin... mungkin hari Senin nggak seburuk itu.

Mungkin, justru ini adalah Senin yang paling berbahaya.

Tapi juga paling menyenangkan.

****

To Be Continued

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
6 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status