Rani Widyastuti punya tiga prinsip hidup yang sakral: jangan lupa password e-banking, jangan sentuh es krim mantan kos, dan yang paling penting—jangan jatuh cinta sama atasan sendiri. Sayangnya, prinsip terakhir itu resmi runtuh sejak kedatangan Adrian Baskara, bos baru yang bikin satu kantor mendadak rajin pakai eyeliner. Ganteng? Iya. Karismatik? Banget. Tapi buat Rani, cinta diam-diam pada atasan itu seperti cicilan KPR—bikin deg-degan dan nggak ada jaminan lunas. Dengan strategi ninja, Rani berusaha menyembunyikan rasa sukanya di balik file laporan dan post-it warna pink. Tapi bagaimana kalau ternyata sang bos juga menyimpan rahasia kecil tentang Rani? Rahasia yang bisa mengubah segalanya... atau bikin satu kantor meledak karena drama internal lebih heboh dari sinetron prime time. Ini bukan sekadar kisah cinta kantor biasa. Ini tentang rahasia, tawa, dan satu meja kerja yang jadi saksi bisu jatuh cinta paling absurd tahun ini.
View MoreKalau hari Senin biasanya identik dengan kantung mata, kopi dingin, dan kemeja kusut, maka hari ini agak beda. Aku—Rani Widyastuti—bangun lebih pagi, pakai kemeja yang masih wangi setrika, dan bahkan sempat sarapan bukan cuma dengan kopi dan galau.
Penyebab perubahan hidup yang drastis ini cuma satu: bos baru.
"Dia katanya masih muda, Ran. Terus tinggi, putih, dan katanya lulusan luar negeri. Gaya banget!" bisik Dinda, teman satu timku, sambil menyeruput teh tarik dari gelas yang lebih besar dari niatnya kerja hari ini.
Aku mendengus pelan. "Terus kenapa emangnya kalau lulusan luar negeri? Emang dia mau ngajarin kita cara bikin laporan keuangan sambil main ski?"
"Ya siapa tahu dia ngajak kamu dinner dulu, baru ngajarin ski-nya."
Aku nyaris menyemburkan roti isi telurku. "Ngajak aku dinner? Din, aku ini siapa? Admin keuangan yang laptopnya aja udah dua kali diselamatin Pak Herman dari BSOD."
"Tapi kamu lucu. Mungkin dia suka cewek lucu."
Aku menatap Dinda dengan tatapan khas: tatapan 'kamu-perlu-istirahat'. Tapi di lubuk hatiku yang terdalam—yang biasanya tersimpan untuk mikirin diskon tanggal kembar—aku sedikit penasaran juga. Oke, mungkin bukan sedikit. Mungkin… banyak.
Kami duduk di pojok pantry sambil pura-pura produktif. Tapi kenyataannya, semua karyawan hari ini mendadak lebih modis dari biasanya. Bahkan Bu Nia dari bagian gudang pakai blush on. Blush on, Din!
Lalu dia datang.
Langkah sepatu kulitnya terdengar jelas di lorong. Setiap langkah seperti efek suara di film-film. Aku nggak bisa menahan diri untuk ikut menoleh. Dan saat itulah, mataku bertemu dengan dia—bos baru kami—Adrian Baskara.
Jantungku kayak dicekik jemuran.
Tinggi, rapi, wajahnya serius tapi bukan tipe yang galak. Lebih kayak... profesor muda di drama Korea. Senyumnya tipis, tapi cukup buat bikin satu lantai kantor ini mendadak diam. Termasuk aku. Dan aku ini tipe yang bahkan bisa berceloteh saat mati lampu.
"Selamat pagi semuanya." Suaranya terdengar tenang. Percaya diri. Nyebelin.
Aku langsung menunduk, pura-pura sibuk membuka email. Padahal yang kebuka malah Shopee—aku lupa nutup tab semalam. Sial.
"Kamu Rani, ya?" Sebuah suara berat mendekat ke arahku. Aku menoleh dengan gerakan ala slow-motion.
Ya Tuhan. Dia berdiri. DI DEPANKU.
Aku langsung berdiri seperti kena setrum. "I-iya, Pak. Saya Rani. Staf admin keuangan. Yang biasa kirim rekap mingguan. Dan... eh, kadang typo. Tapi nggak sering kok, itu cuma kalau saya lagi... eh, ya—"
"Tenang saja. Saya cuma mau kenalan," ujarnya sambil tersenyum. "Saya Adrian. Boleh kamu bantu aku sedikit nanti? Aku masih perlu penyesuaian sama sistem laporan di sini."
Kamu.
Dia bilang kamu.
Otakku sudah berhenti memproses sejak baris pertama. Tapi refleksku mengangguk cepat, sangat cepat. Kalau kepala ini dilepas, mungkin udah loncat sendiri ke meja sebelah.
Setelah dia pergi, Dinda muncul dari balik lemari arsip kayak ninja. "RAN. KAMU DILIHATIN BOS. LANGSUNG. EMPAT MATA."
"Lima," gumamku lemah.
"Hah?"
"Satu mataku masih ngelirik Shopee."
*****
Hari itu, aku berusaha seprofesional mungkin. Tapi aku sadar satu hal: ternyata sulit banget jadi profesional kalau bos kamu aromanya kayak gabungan parfum mahal dan keputusan yang sulit.
Adrian duduk di ruangannya, beberapa meter dari mejaku. Dan aku? Tiap lima menit sekali ngetik lalu hapus, ngetik lalu hapus. Bukan karena nggak ngerti tugas. Tapi karena otakku sekarang penuh dengan bayangan dia—dan kalimat: "Kamu bisa bantu aku, ya?"
Oh, aku bisa bantu banyak, Pak. Termasuk bantu ngecek kadar deg-degan per detik.
Saat istirahat siang, aku mencoba bersikap biasa. Tapi Dinda, makhluk kecil penuh rasa ingin tahu dan energi berlebih, menyeretku ke kantin dengan semangat investigatif.
"Kamu suka dia ya?"
"APA?!" Aku hampir menumpahkan sambal ke seragam security.
"Ssst! Suara kamu, Rani. Aku bukan budek. Tapi jujur deh. Kamu kelihatan banget tadi grogi. Pipi kamu merah kayak abis ditampar kenyataan."
Aku pura-pura sibuk mengaduk sop ayam. "Gimana nggak grogi, dia terlalu... rapi. Terlalu wangi. Terlalu... nggak kayak kita."
Dinda menyipitkan mata. "Kita? Aku sih masih ada peluang. Kamu doang yang terlalu denial."
Aku mendengus. "Aku bukan denial. Aku realistis."
"Realistis itu bagus. Tapi denial itu yang lebih seru buat dijadiin gosip."
****
Sore harinya, saat aku hampir selesai rekap bulanan, sebuah suara pelan terdengar dari belakangku.
"Ran, kamu ada waktu sekarang?"
Aku menoleh dan menemukan Adrian berdiri sambil bawa map.
Ya Tuhan. Waktu? Waktu hidup? Waktu cinta? Waktu luang? Aku punya semua kalau kamu yang minta.
"Boleh, Pak. Mau saya bantu apa?"
Dia tersenyum lagi. Manis. Damai. Kayak... jaminan THR cair tepat waktu.
"Kita mulai dari laporan pengeluaran minggu lalu, ya. Aku ingin paham alurnya, biar bisa nyatu sama tim."
Nyatu sama tim? Ya Tuhan, nyatu sama aku aja boleh nggak sih?
Aku berusaha fokus sambil menunjukkan file di layar. Tapi jarak kami terlalu dekat. Dan aromanya... oh, kenapa kamu harus pakai parfum yang bikin otakku error begini?
"Kamu kerja di sini udah lama, ya?" tanyanya tiba-tiba.
"Hampir empat tahun, Pak. Mulai dari zaman AC kantor masih suka bocor dan meja saya pernah jadi sarang kucing liar."
Dia tertawa pelan. "Serius? Kamu bertahan di kantor ini dengan kondisi itu?"
Aku mengangguk. "Karena gaji tetap masuk, Pak. Gaji adalah segalanya."
Dia tertawa lagi. Aku nggak tahu kenapa, tapi aku suka suara tawanya. Dan aku mulai berpikir, mungkin... mungkin hari Senin nggak seburuk itu.
Mungkin, justru ini adalah Senin yang paling berbahaya.
Tapi juga paling menyenangkan.
****
To Be Continued
Setelah malam itu di mobil, aku nggak bisa tidur.Bukan karena kopi instan sachetan yang tadi kuminum di kantor, tapi karena kalimat Adrian yang muter-muter di kepalaku kayak sinetron tanpa iklan."Aku tertarik sama kamu.""Kalau suatu saat aku ngajak kamu... bukan buat meeting, tapi buat makan malam... kamu nggak kaget."Plis, Pak. Aku udah kaget dari kalimat ketiga. Ini bukan nonton film, tapi dada aku beneran ngilu-ngilu dikit kayak abis sit-up dua kali.*****Pagi harinya, aku bangun dengan kepala penuh drama dan rambut segimbal gulali. Udah kayak tokoh utama drama Thailand yang lupa siapa dirinya.Dan untuk pertama kalinya, aku berangkat kerja tanpa drama snooze alarm. Bahkan sarapan. Bahkan pakai concealer.Kenapa? Karena ada kemungkinan besar aku akan satu ruangan sama orang yang bilang dia tertarik padaku.Lo tau rasanya masuk kantor setelah itu semua? Rasanya kayak masuk sekolah setelah nulis surat cinta ke guru BK. Deg-degan, awkward, tapi setengah penasaran juga.*****Begi
Setelah malam itu di kafe rooftop, aku pulang dengan kepala penuh tanda tanya dan dada penuh... ya, penuh deg-degan.Bukan karena kopinya mengandung kafein tingkat dewa. Tapi karena Adrian—bosku sendiri—baru aja bilang aku itu beda, jujur, spontan, dan bikin segalanya terasa lebih hidup.Bos, plis… jangan gitu. Aku bisa salah paham dan mulai ngelamun nyari nama anak.Besok paginya, aku bangun lebih awal. Ajaib. Biasanya alarm lima kali snooze, baru bangun. Tapi pagi ini? Alarm baru bunyi dua detik, aku udah duduk. Kayak tokoh utama film yang sadar dirinya punya peran penting dalam hidup orang lain.Aku berdiri di depan cermin sambil oles lip tint yang biasanya cuma kupakai kalau ada kondangan. Hari ini… buat meeting. Meeting bareng Adrian."Tenang, Ran," bisikku ke pantulan wajah sendiri. "Ini cuma kerja. Cuma kerja."Tapi bibirku udah kayak abis makan stroberi langsung dari ladangnya.*****Di kantor, Dinda udah nunggu di meja, matanya melotot kayak baru lihat diskon 90 persen di tok
Aku duduk di halte depan kantor, nungguin ojek online yang kayaknya lagi cari jalan pulang dari Bandung. Udara panas, makeup udah luntur, dan aku masih bengong mikirin omongan Adrian tadi di rooftop."Aku butuh bantuanmu. Tapi bukan soal kerjaan."Kalimat itu muter-muter di kepala kayak lagu dangdut remix. Bukannya fokus balas chat dari Dinda yang nanya, "Lo hidup nggak sih, Ran? Kenapa tiba-tiba ilang?", aku malah ngelamun sambil ngelus-ngelus sedotan di tangan yang tadi kupakai buat ngaduk teh.Sampai akhirnya motorku datang dan aku naik tanpa banyak mikir. Begitu duduk, si abang nanya, "Mbaknya Rani, ya?""Iya, Bang. Jalan aja, jangan nanya macem-macem ya, hati saya lagi goyang."Abangnya ngangguk paham. "Oh, abis meeting besar, ya? Saya sering jemput penumpang yang abis meeting, memang suka mellow."Luar biasa empati abang ini.*****Sampai rumah, aku langsung masuk kamar dan ngelempar tas kayak di film remaja. Buka ikat rambut, nyalain kipas, terus jatuh ke kasur sambil teriak, "
Aku baru duduk lima menit, secangkir kopi belum sempat diseruput, dan playlist mellow pagi ini baru nyampe lagu kedua, ketika notifikasi Google Calendar muncul seperti petir di siang bolong:📅 Meeting All-Staff: Jam 10.00 – R. Presentasi Besar – Agenda: Perkenalan dan Penyelarasan VisiAku menatap layar, lalu menatap cermin kecil di laci meja.“Visi? Yang aku lihat sekarang cuma kantung mata dan jerawat kecil yang muncul kayak hadiah kejutan,” gumamku sambil panik menepuk-nepuk bedak padat ke wajah. Sialnya, aku malah kelebihan dan sekarang pipiku kayak pantat bayi yang baru bedakan.Dinda menyembul dari belakang kubikel, matanya berbinar kayak penonton sinetron yang baru tahu kalau tokoh utamanya amnesia."Rani, kamu udah siap? Aku denger-denger, hari ini bos baru bakal nyampaikan presentasi perdananya. Serius. Ini kayak debut K-pop tapi versi kantor."Aku meliriknya lemas. "Debut K-pop? Aku takut malah kayak audisi X-Factor kalau dia mulai nanya-nanya dan aku jawabnya pake logat Be
Besoknya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Alarm belum sempat bunyi, tapi aku udah melek kayak abis mimpi disawer gaji tiga digit. Aku mandi lebih lama, pilih kemeja warna biru langit (katanya warna tenang dan bikin orang terlihat profesional—padahal niatnya biar matching sama warna mata bos baru. Ups.)Sesampainya di kantor, aku mencoba terlihat santai. Cuek. Tidak terobsesi. Tapi langkahku terlalu ringan untuk dibilang wajar. Bahkan lift kantor aja kayak lebih cepat mengantarku ke lantai lima. Biasanya dia suka drama ngadat di lantai tiga."Tumben datang awal?" tanya Mas Tyo dari bagian IT sambil menoleh dari belakang monitor.Aku pura-pura garuk kepala yang nggak gatal. "Lagi pengin jadi karyawan teladan. Kali aja dapet bonus."Dia nyengir. "Atau dapet perhatian bos baru?"Aku tersedak air minumku sendiri. "Kamu denger gosip dari mana sih?!""Aku nggak butuh gosip. Aku cukup duduk di dekat pantry dan mendengar degupan jantungmu waktu dia ngomong 'kamu' kemarin."Astagaaaa.Tern
Kalau hari Senin biasanya identik dengan kantung mata, kopi dingin, dan kemeja kusut, maka hari ini agak beda. Aku—Rani Widyastuti—bangun lebih pagi, pakai kemeja yang masih wangi setrika, dan bahkan sempat sarapan bukan cuma dengan kopi dan galau.Penyebab perubahan hidup yang drastis ini cuma satu: bos baru."Dia katanya masih muda, Ran. Terus tinggi, putih, dan katanya lulusan luar negeri. Gaya banget!" bisik Dinda, teman satu timku, sambil menyeruput teh tarik dari gelas yang lebih besar dari niatnya kerja hari ini.Aku mendengus pelan. "Terus kenapa emangnya kalau lulusan luar negeri? Emang dia mau ngajarin kita cara bikin laporan keuangan sambil main ski?""Ya siapa tahu dia ngajak kamu dinner dulu, baru ngajarin ski-nya."Aku nyaris menyemburkan roti isi telurku. "Ngajak aku dinner? Din, aku ini siapa? Admin keuangan yang laptopnya aja udah dua kali diselamatin Pak Herman dari BSOD.""Tapi kamu lucu. Mungkin dia suka cewek lucu."Aku menatap Dinda dengan tatapan khas: tatapan '
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments