Share

Bab 6. RDBS.

Penulis: Halii-choe
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-14 10:09:29

Haikal menatap Almira, matanya menyelidik, mencari sesuatu di balik ketegasan yang baru saja ia dengar.

“Kamu yakin ingin cerai darinya?” tanyanya, suaranya lebih pelan, lebih berhati-hati.

Almira tidak ragu. “Yakin! Kesalahan yang dia lakukan sudah terlalu jauh.”

Haikal masih belum puas. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menimbang kata-kata yang ingin ia ucapkan. “Apa kamu nggak mau kasih dia kesempatan kedua?”

Almira menghela napas pelan, lalu menatap Haikal langsung, seakan ingin memastikan ia benar-benar memahami. “Kalau selingkuhannya bukan sahabatku sendiri, mungkin aku masih bisa mempertimbangkan. Tapi untuk yang ini? Aku nggak bisa. Aku nggak akan bisa memaafkannya.”

Keheningan sejenak menyelimuti mereka.

Haikal mengerti. Dan lebih dari itu, ia menyadari sesuatu yang lain, kesempatan untuk dia memiliki Almira kembali.

Dulu, Almira menolaknya. Ia tahu alasannya bukan sekadar fokus belajar, tapi lebih dari itu, rasa minder yang tak pernah seharusnya ada.

Karena bagi Haikal, sejak dulu, ia tak pernah melihat keadaan Almira sebagai penghalang. Ia mencintainya apa adanya.

“Baiklah,” ucapnya akhirnya, suaranya mantap. “Aku akan bantu kamu.”

Almira terdiam, lalu mengangkat alis sedikit. “Benarkah? Serius?” seolah tidak sepenuhnya percaya.

Haikal tersenyum miring. “Tentu saja. Memangnya ada ucapanku yang nggak serius?” Ia menyandarkan siku ke meja, ekspresinya lebih ringan sekarang. “Aku suka sama kamu aja serius, kamunya aja yang nggak pernah anggap aku serius.”

Almira tersenyum kecil, meski ada sedikit kekakuan dalam gesturnya. Namun, ia tak lupa mengucapkan terima kasih.

Setelah itu, percakapan mereka mengarah ke sesuatu yang lebih besar.

Haikal menyodorkan ponselnya ke Almira, matanya penuh kesungguhan. Tanpa ragu, Almira mengambilnya dan memasukkan nomornya dengan cepat sebelum menyerahkannya kembali.

Begitu mendapatkan kontak itu, Haikal langsung menyimpannya, lalu menekan tombol panggil. Sekejap kemudian, ponsel Almira berdering di genggamannya, suara singkat yang menandakan sesuatu lebih dari sekadar pertukaran nomor, tetapi sebuah koneksi yang kini terjalin kembali.

Almira melirik layar sejenak, lalu mengunci ponselnya.

Haikal menarik napas ringan, lalu melirik jam di pergelangan tangannya. “Sepertinya aku mau pulang duluan. Ada sesuatu yang harus aku urus,” ujarnya, sedikit lebih singkat dari biasanya.

“Oh, iya. Terima kasih, ya,” ucap Almira dengan senyuman.

“Tak perlu bilang terima kasih, aku senang bisa bantu kamu,” ujar Haikal, setelah itu ia beranjak, langkahnya mantap saat meninggalkan tempat itu.

Almira hanya mengangguk lagi, tetapi matanya mengikuti langkah Haikal yang semakin menjauh.

Sesuatu dalam dirinya berkata, ini baru permulaan. Dan kali ini, ia tidak akan sendirian.

Dan tanpa disadari, masa lalu kini mulai menjadi bagian dari masa depan Almira.

~∆~∆~∆~

Siang itu, setelah pertemuan dengan Haikal berakhir, Almira tidak langsung pulang. Ada satu hal penting yang harus ia lakukan sebelum semuanya berubah, mengamankan apa yang seharusnya menjadi miliknya.

Mobilnya melaju dengan stabil menuju kantor Pak Firman, pengacara yang sudah lama ia kenal, karena beliau adalah teman almarhum ayahnya. Ia tahu, jika ada seseorang yang bisa dipercaya untuk mengurus surat-surat penting ini, itu adalah beliau.

Saat tiba di kantor, Almira menarik nafas dalam sebelum melangkah masuk. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Semuanya harus selesai sebelum keadaan semakin rumit.

Pak Firman menyambutnya dengan ramah, seperti biasa. Mereka duduk di ruang kerja yang tenang, dan Almira segera menjelaskan maksud kedatangannya.

“Rumah itu memang bukan murni aku beli sendiri, tapi sejak awal mas Aiman sudah bilang kalau rumah itu untukku,” ucapnya dengan mantap. “Aku nggak mau ada celah bagi dia untuk menarik kembali perkataan itu ketika semuanya sudah berubah.”

Pak Firman mengangguk, membaca situasi dengan cepat. “Kita bisa mulai dari surat kepemilikan dan dokumen lainnya,” ujarnya, tangannya mulai membolak-balik beberapa berkas yang ada di mejanya. “Selain rumah, apakah ada aset lain yang ingin kamu pastikan tetap milikmu?”

Almira terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Iya, ada beberapa barang berharga lainnya.”

Percakapan mereka berlanjut, detail demi detail dibahas dengan teliti. Almira memastikan tidak ada celah yang bisa membuat Aiman berubah pikiran.

Saat ia menandatangani dokumen pertama, ada satu pikiran yang melintas di benaknya.

Ini bukan hanya tentang rumah. Ini tentang kebebasan.

Dan sebelum semua menjadi lebih sulit, ia harus memastikan bahwa kebebasan itu tetap berada di tangannya.

Di tengah percakapan dengan Pak Firman, Almira berusaha tetap fokus pada setiap detail yang mereka bahas. Dokumen-dokumen tersebar di atas meja, membentuk gambaran besar tentang langkah yang harus diambil. Namun, suasana tenang itu terganggu oleh suara notifikasi dari ponselnya, memecah konsentrasi sejenak.

Almira melirik layar, sebuah pesan masuk di handphonenya.

Merasa ada sesuatu yang penting, ia meminta izin pada Pak Firman sebelum membuka ponselnya. Jemarinya dengan cekatan menggeser layar, lalu matanya menangkap isi pesan dari Haikal.

Pesannya singkat, jelas, meminta foto suaminya.

Tanpa berpikir panjang, Almira segera membuka galeri, memilih gambar yang paling jelas, dan mengirimkannya dalam hitungan detik. Tidak ada keraguan, tidak ada basa-basi. Ini bagian dari rencana, bagian dari langkah yang harus ia jalankan.

Begitu pesan terkirim, ia mengunci ponselnya kembali dan mengembalikan fokusnya pada percakapan dengan Pak Firman.

Saat itu, satu hal pasti dalam benaknya, semua ini akan segera berubah. Dan ia harus memastikan dirinya sudah berada di posisi yang benar saat perubahan itu tiba.

~∆~∆~∆~

Sore itu, sambil menunggu suaminya pulang, Almira sibuk memilih pakaian yang akan ia kenakan nanti malam. Jemarinya perlahan menyusuri setiap kain, memastikan semuanya sesuai dengan acara resepsi pernikahan teman Aiman.

Saat ia tengah merapikan setelan yang akan dipakai suaminya, suara langkah kaki terdengar dari luar kamar.

Aiman baru saja tiba.

Almira menangkap bayangannya sekilas di cermin, tetapi tidak langsung menoleh. Ia enggan memulai percakapan. Namun, mau tak mau, ada sesuatu yang harus ia tanyakan.

Tanpa menatap langsung, ia akhirnya bersuara, nada suaranya datar.

“Mau berangkat jam berapa?”

“Jam tujuh-an.” Jawaban Aiman pendek, tanpa ketertarikan, tanpa tambahan apa pun.

Almira tidak bertanya lagi. Tidak ada alasan untuk memperpanjang percakapan yang tidak ia inginkan.

Setelah semua pakaian siap, ia merapikan semuanya dengan tenang, lalu melangkah keluar dari kamar.

Di belakangnya, Aiman tetap duduk di sofa, matanya tertuju pada ponselnya, seolah kehadiran Almira tak pernah benar-benar diperhitungkan.

Dan bagi Almira, itu tidak lagi penting.

Bukan percakapan ini yang akan menentukan segalanya, tapi apa yang terjadi setelahnya.

***

Acara resepsi pernikahan teman Aiman berlangsung meriah. Lampu-lampu berpendar di ruangan penuh tamu, suara musik mengalun lembut mengiringi obrolan ringan di setiap sudut. Aiman berjalan berdampingan dengan Almira, membawanya menemui beberapa teman lama dan tentu saja, sang pengundang.

Almira tersenyum kecil saat diperkenalkan, berusaha menyesuaikan diri dengan suasana, meski pikirannya tak sepenuhnya berada di sini. Ia memperhatikan bagaimana Aiman berbicara dengan santai, tertawa, seolah tidak ada sesuatu yang mengganjal di antara mereka.

Kemudian, seseorang baru saja memasuki ruangan, Ari, teman kuliah Aiman. Langkahnya penuh percaya diri saat mendekat ke arah mereka.

Saat Aiman mengenalkan Almira sebagai istrinya, Ari menghentikan gerakannya sejenak, alisnya mengerut. Ada kebingungan di sana.

“Aiman,” ucapnya pelan tetapi terdengar jelas, matanya menatap penuh pertanyaan. “Perempuan yang tadi kamu bawa ke mall siapa? Kukira dia istrimu, karena kalian terlihat sangat akrab.” pertanyaan itu terucap pelan, tapi masih bisa didengar Almira.

Sejenak, waktu seolah berhenti.

Percakapan yang tadinya mengalir ringan kini berubah sunyi.

Aiman menoleh ke arah Almira, ekspresinya berubah, dagunya sedikit terangkat, matanya tertarik ke satu titik, seakan mencari jawaban yang bisa ia berikan tanpa membiarkan dirinya terjebak lebih dalam.

Tetapi, dalam tatapan itu, ada sesuatu yang tidak bisa ia sembunyikan. Ketegangan.

~∆~∆~∆~∆~∆~

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 19. RDBS.

    Pintu apartemen terbuka perlahan, suara gesekan antara engsel dan kayu terdengar pelan, hampir seperti peringatan akan badai yang akan datang. Aiman melangkah masuk, melepaskan jasnya dengan gerakan lelah. Seharian bekerja menguras tenaganya, membuat tubuhnya terasa berat, dan pikirannya hanya menginginkan satu hal, tidur dan ketenangan. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara nyaring menghantam udara. "Jadi gini caramu pulang? Diam aja, seolah gak ada yang perlu dibahas?" Aiman menghela napas panjang, meletakkan tasnya tanpa menoleh. Dadanya terasa sesak, bukan karena kelelahan, tapi karena tahu percakapan ini tidak akan berakhir dengan baik. "Lia, aku capek." ucapnya, suaranya lebih sebagai permohonan daripada pernyataan. Tapi Lia tidak terpengaruh, "Aku juga capek, Bebz! Capek nunggu kamu ngelakuin sesuatu! Kamu pikir rumah itu bakal balik sendiri kalau kamu cuma duduk manis?" Aiman menutup matanya sejenak, berusaha mencari sedikit kesabaran yang masih tersisa.

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 18. RDBS.

    Siang itu, mobil Almira terhenti di depan kedai kopi. Jam tangannya menunjukkan pukul 11:45, lima belas menit lebih awal dari waktu yang sudah ditentukan. Tak masalah, lebih baik menunggu daripada tergesa-gesa. Almira memesan cappuccino dan duduk di sudut ruangan, mengamati setiap orang yang berlalu-lalang. Tak lama kemudian, suara langkah tergesa terdengar mendekat. Lia muncul dengan ekspresi penuh emosi, matanya menyala tajam, dan tanpa membuang waktu, ia langsung menarik kursi dan duduk di hadapan Almira. "Kamu gila, ya?!" suara Lia meluncur tanpa basa-basi, nadanya tinggi, tajam. Tanpa menoleh, Almira tetap tenang, hanya meraih cangkirnya dan menyesap sedikit sisa cappuccino di dalamnya. "Siapa yang gila?" jawabnya datar, seolah tidak tertarik untuk memasuki perdebatan yang sudah ia duga akan terjadi. Lia, yang baru saja duduk di hadapannya, tampak kehilangan kesabaran dalam sekejap. "Kamu! Kenapa kamu jual rumah itu?! Apa kamu nggak kepikiran kalau aku bakal tinggal di s

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 17. RDBS.

    Suasana malam itu terasa begitu sunyi, hanya diiringi suara hembusan angin yang sesekali menggetarkan tirai jendela. Aiman melangkah masuk, wajahnya terlihat lelah, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik, beban yang tak terlihat, yang menggantung di pikirannya seperti awan mendung yang tak kunjung pecah. Lia yang sejak tadi duduk di sofa langsung menoleh begitu melihat Aiman memasuki ruangan. Senyum lebar menghiasi wajahnya, ekspresinya penuh antusias. "Gimana, bebz? Udah selesai? Almira sudah keluar dari rumah itu?" tanyanya dengan mata berbinar. Aiman tidak menunjukkan banyak reaksi. Langkahnya tetap terjaga, tanpa memperlambat sedikit pun. Dengan suara datar, ia menjawab singkat, "Sudah." Jawaban itu seolah terlalu biasa, terlalu ringan dibandingkan besarnya keputusan yang baru saja terjadi. Namun, Lia tidak peduli. Baginya, jawaban itu cukup untuk membuatnya melompat dari duduknya, mengikuti Aiman yang kini menuju kamar. "Kapan kita pindah

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 16. RDBS.

    Aiman memandang rumah itu sejenak, jendela-jendela tertutup rapat, tetapi lampu teras masih menyala, memberi sedikit kehidupan di tengah keheningan malam. Ia menghembuskan napas panjang, meraih gagang pintu mobil, lalu melangkah keluar. Langkahnya mantap, tetapi pikirannya penuh tanda tanya yang belum terjawab. Seharusnya, ini tidak perlu terjadi. Seharusnya, Almira tidak perlu melakukan hal sejauh ini untuk meninggalkan semuanya. Tetapi ia tetap melangkah. Begitu sampai di depan pintu rumah, ia menekan bel. Detik demi detik berlalu, terasa lebih lambat dari biasanya. Pintu pun akhirnya terbuka, memperlihatkan sosok Bu Ami di belakang pintu. Wanita itu berdiri tegak, memandang Aiman dengan ekspresi yang sulit ditebak, tidak sepenuhnya dingin, tetapi juga tidak hangat seperti dulu. Ada jeda beberapa detik sebelum Aiman akhirnya berkata, "Malam, Bu. Almira ada?" suaranya terdengar hati-hati, seperti seseorang yang tahu bahwa setiap kata yang akan keluar harus diper

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 15. RDBS.

    Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah jendela, menyoroti sudut kamar Almira yang ada di rumah orang tuanya. Ia berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya sekali lagi. Roknya jatuh sempurna, blusnya rapi, dan hijabnya tertata dengan baik. Tak ada yang perlu diperbaiki, semuanya sudah seperti yang ia inginkan. Hari ini adalah hari baru, hari yang benar-benar baru. Dari arah dapur, Bu Ami muncul, mengelap tangannya dengan kain setelah selesai merapikan meja makan. Ia berhenti di ambang pintu, matanya sedikit menyipit saat memperhatikan Almira yang tampak siap untuk pergi. "Mau ke mana, Al?" tanyanya, nadanya terdengar bingung. Almira mengambil tasnya dan melirik sekilas ke arah ibunya. "Mau survey tempat buat buka toko kue nanti," jawabnya tanpa ragu, suaranya penuh semangat. Bu Ami mengernyit, langkahnya mendekat. "Apa gak terlalu cepat? Apa kamu nggak mau nenangin pikiran dulu?" tanyanya, nada suaranya sarat dengan kekhawatiran. Almira tersenyum

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 14. RDBS.

    Aiman duduk tegak di depan penghulu, sesekali melirik ke arah Lia yang tampak sedikit resah di tempatnya. Orang tua Lia duduk dengan sikap tenang, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pak Penghulu menatap Aiman sejenak sebelum berbicara, "Bagaimana, sudah siap?" Tanpa ragu, Aiman mengangguk. "Baiklah, kalau begitu kita mulai sekarang." Penghulu mulai bersiap mengucapkan ijab qobul. Semua orang menahan napas, menunggu kata-kata pertama keluar dari mulutnya.“Brak!” Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Suara hantaman kayu terhadap dinding membuat semua orang sontak menoleh. Di ambang pintu, Almira berdiri dengan tegak. Langkahnya mantap, sorot matanya tajam. Rahangnya mengeras, dan nafasnya sedikit terburu-buru, seolah baru saja bergegas ke tempat ini tanpa memikirkan apa pun selain satu tujuan. Ruangan yang tadinya penuh ketegangan kini berubah menjadi syok total. Lia menegang, jari-jarinya mencengkeram kain gaunnya dengan kuat. Orang tuanya saling bertukar pandang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status