“Argh!”
Mataku yang baru saja terpejam kini melebar mendengar suara orang menjerit. Diiringi suara isak tangis.Kutajamkan pendengaran untuk memastikan apakah itu benar adanya atau hanya halusinasi saja. Sebenarnya ini kali kedua aku mendengar itu dan posisinya sama, saat Mas Nata tidak ada di rumah.Jantungku bertalu dengan riuh. Kulirik jam yang menunjukkan pukul dua belas malam lebih lima menit. Aku semakin merasa takut apalagi Mas Nata tidak ada di rumah, tadi dia bilang harus lembur makanya tidak pulang.Sudah bukan hal aneh karena pekerjaannya begitu menumpuk, dia seorang CEO di perusahaan milik orang tuanya. Lelaki gila kerja yang tidak akan pernah mau beranjak dari tempat duduknya sebelum pekerjaan selesai.“Arghhh!”Jeritan selanjutnya kudengar begitu pilu. Aku sampai merinding dibuatnya. Apa orang itu disiksa sampai menjerit begitu? Tapi dari mana suara itu berasal?Dengan cepat aku turun dari ranjang dan berlari menuju kamar putriku. Setidaknya di sana aku tidak sendiri.“Mama kenapa?”Yuna sampai terbangun karena aku yang grasak-grusuk naik ke tempat tidurnya.“Papa belum pulang jadi Mama mau tidur di sini.”Dia mengangguk lalu kembali memejamkan mata.Aku tidak akan pernah bisa tidur jika tetap berada di kamarku sendiri karena suara itu terdengar sangat jelas. Aku bukan orang yang percaya hantu.[Mas, kapan pulang?]Saking takutnya aku langsung mengirimkan pesan pada Mas Nata.Padahal sebelum-sebelumnya tidak ada hal janggal seperti ini. Aku sudah tujuh tahun menghuni rumah ini semenjak menikah dengan Mas Nata.[Mas di jalan, sayang. Sebentar lagi sampai.]Sekarang baru aku bisa bernapas lega setelah membaca pesan darinya.Mataku tidak bisa terpejam kembali karena mendengar suara itu, padahal tadi sudah ngantuk berat. Perutku bermasalah sampai harus bolak-balik ke toilet dan sekarang baru merasa lebih baik.Aku, Hana Latifa Zahwa seorang ibu rumah tangga yang awalnya hanya staf biasa di kantor Mas Nata dan menjelma menjadi istrinya, sebuah takdir yang tidak pernah kusangka.Sekarang Yuna sudah mulai masuk taman kanak-kanak. Dia sangat aktif dan ceria. Kehadirannya menambah kebahagiaan rumah tanggaku dan Mas Nata.Deru suara mobil terdengar membuatku gegas keluar untuk melihat karena sebenarnya itu sudah pasti Mas Nata.“Mas.”Aku langsung berhambur memeluknya saat dia membuka pintu.“Kenapa?”“Aku tadi dengar suara aneh, Mas. Tidak mungkin rumah ini ada hantunya ‘kan.”“Ngaco! Mana ada hantu.”“Aku serius, Mas. Ini sudah kedua kali aku mendengar, sebelum ini juga pernah.”“Dimana kamu dengar? Coba aku mau tahu.”“Saat aku pindah ke kamar Yuna, suara itu tidak terdengar lagi. Tapi saat di kamar kita suaranya sangat jelas. Sepertinya kita harus adakan pengajian deh, Mas. Takutnya memang ada yang menunggui di sini, aku takut.”Mas Nata terkekeh, dia mengacak rambutku pelan, “Ada-ada saja. Ya sudah, ayo tidur lagi. Aku mau mandi dulu.”“Mas, ini tengah malam loh. Masa mau mandi.”“Gerah, sayang. Biar tidurnya nyenyak juga.”Kulihat juga Mas Nata tampak berkeringat padahal aku malah merasa dingin.Dia meraih tanganku, bergandengan tangan menuju kamar. Ini yang kusuka darinya, sikapnya selalu manis tidak peduli dalam kondisi apapun. Keberuntunganku sudah terpakai dengan dinikahi lelaki ini.“Kamu tidur duluan, aku mau mandi,” katanya sambil menangg*lkan kemeja yang dikenakan.Mas Nata masuk ke dalam kamar mandi sedangkan aku duduk di tepi ranjang menunggunya.Tidak ada lagi suara-suara itu kudengar. Apa mungkin hanya halusinasi saja? Entahlah. Aku enggan memikirkannya.Di sebelah kanan kamarku itu ruang kerja Mas Nata sedangkan sebelah kiri ada kamar Yuna. Apa mungkin suaranya dari sana ya? Dari ruang kerja Mas Nata.Aku jarang masuk ke sana juga soalnya.Hanya beberapa menit Mas Nata mandi, dia keluar dengan rambutnya yang basah.“Apa gerah banget sampai kamu keramas, Mas?”“Hm.” Dia menyahut sambil mengeringkan rambutnya.“Mas, lain kali kurangi begadangnya. Kamu juga harus pikirkan soal kesehatan kamu.”“Iya, besok aku tidak akan lembur. Pekerjaan sudah selesai hari ini.”Dia melangkah menuju walk in closet dan kembali dengan baju tidur yang sudah melekat di tubuhnya yang kekar.“Besok emang libur, Mas. Jelas tidak akan lembur.”“Berarti waktu kita untuk jalan-jalan ya?”“Tentu saja. Kalau sampai kamu ingkar seperti minggu kemarin, Yuna pasti akan merajuk.”***Sambil menunggu Mas Nata dan Yuna yang sedang joging, aku membuatkan cemilan untuk mereka. Di rumah ini memang art hanya datang untuk membersihkan rumah saja, sedangkan soal memasak aku sendiri yang turun tangan. Aku ingin berperan dengan ibu rumah tangga yang sesungguhnya.“Mas Nata tadi belum membawa keluar bekas kopinya.”Aku berbalik menuju ruang kerjanya. Tadi dia memeriksa dokumen di sini sebelum pergi bersama Yuna.Di atas meja kerja tidak ada cangkir kopi padahal belum dikembalikan ke dapur. Pandanganku menyapu ruangan dan mendapati cangkir itu ada di lemari tepat di samping patung kuda kecil. Mas Nata memang suka sekali barang-barang antik.Kemarin Yuna melihat patung ini dan ingin memainkannya tadi tidak belum kesampaian karena kubilang harus izin dulu pada papanya. Sepertinya Mas Nata juga tidak akan keberatan kalau aku mengambilnya, nanti kubersihkan dulu karena tampak sedikit berdebu padahal sering dibersihkan.“Loh, kok susah?” Aku mencoba menarik patung itu dari tempatnya namun yang terjadi malah lemari yang bergeser menampakkan tangga menuju sebuah ruang.Aku bahkan baru tahu Mas Nata memiliki ruangan bawah tanah. Ternyata patung itu kunci untuk membukanya. Jadi penasaran apa isi di dalam ruang bawah tanah, pasti keren seperti yang ada di dalam film.Bergeser untuk melihat isinya dan sedikit berjongkok.Mataku terbelalak, refleks aku membekap mulut melihat isi ruang bawah tanah itu.Hatiku mencelos mendapati pakaian d*lam wanita teronggok di sana bersebelahan dengan sebuah ikat pinggang yang kukenali itu milik Mas Nata. Aku bahkan belum pernah menginjakkan kaki di ruangan itu.Apa yang sebenarnya dia lakukan di belakangku? Apa ada hubungannya dengan suara rintihan yang tadi malam kudengar?“Sayang, kamu dimana?”Deg!Itu suara Mas NataDengan tangan gemetar aku mencoba mengembalikan patung kuda itu ke posisi semula sebelum Mas Nata datang. Saking paniknya takut ketahuan sampai menyenggol cangkir yang kini pecah tergeletak di lantai.Pintu berderit membuatku sontak menoleh.“Mas ….” Suaraku rasanya tercekat.“Kamu kenapa, sayang? Kok itu cangkir bisa jatuh.” Dia berjalan mendekat membuatku semakin takut ketahuan.Seharusnya Mas Nata yang takut ketahuan tapi ini malah sebaliknya. Sebelum semuanya jelas, aku akan pura-pura tidak tahu.Dari sudut mata bisa kulihat ruang bawah tanah itu sudah kembali tertutup dan aku bisa bernapas lega.“Tadi tangan aku tiba-tiba keram, Mas.”“Oh, ya udah. Biar nanti aku yang beresin ini. Kamu temenin Yuna aja.”Aku mengangguk lalu menyeret langkah keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk.Rahasia apa yang disembunyikan Mas Nata? Apa dia memiliki wanita lain? Aku harus mencari tahu.Lututku masih lemas.“Mama.”“Kenapa, Nak?”“Capek. Tapi Yuna suka jalan-jalan sama Papa.” Seny
“Mama nggak ada nelpon kok.” Keningku berkerut mendengar penuturan Mama mertua.“Oh, mungkin aku salah dengar, Ma. Ya udah, aku tutup ya, Ma. Mau mandiin Yuna soalnya.”Tanganku mengepal. Mas Nata membohongiku, semua ini semakin memperjelas kalau dia ada main dengan perempuan lain. Aku tidak akan mungkin hanya diam saja, rumah tanggaku di ujung tanduk.“Mama, cakenya habis.”“Iya.” Kulempar benda pipih itu ke atas ranjang.Dadaku bergemuruh karena rasa sesak yang menyiksa. Masih tidak menyangka Mas Nata sampai hati mengkhianati janji suci pernikahan kami.“Yuna mau lagi.”“Nggak boleh, Yuna udah habisin semua loh. Kalau papa lihat pasti marah, nanti beli lagi. Tapi bukan hari ini oke?”Dia merengut kesal dengan bibir yang mengerucut, “Tapi dibeliin 'kan?”“Iya. Enak cakenya?” Kuusap lembut rambutnya yang hitam legam sedikit bergelombang itu.“Enak.”“Nanti Yuna bantu Mama buat ikan bakar ya. Kemarin siapa yang bilang mau makan ikan bakar?”“Yuna.” Dia mengangkat tinggi-tinggi tangann
Mataku membulat sempurna. Tubuhku yang membelakangi Mas Nata langsung menegang seketika.“Mau ambil minum.” Dengan cepat aku melangkah keluar kamar.Ponsel Mas Nata masih dalam genggaman, kupegang di depan perut agar dia tidak sadar.Saat sampai di ruang tengah. Aku langsung mengirimkan tangkapan layar ke whatsappku sebelum keluar dari email itu. Menghapus riwayat pesan agar Mas Nata tidak curiga.Kulempar begitu saja benda pipih itu ke atas sofa.Kecewa, marah dan cemburu menjadi satu. Tapi aku tidak mau gegabah, mencoba tenang meski sulit.Tidak mau Mas Nata curiga, aku kembali ke kamar. Dia juga terlihat kembali tidur. Wajahnya tampak polos tak berdosa. Apa dia tidak pernah merasa bersalah sudah mengkhianati aku? Dia masih bisa tidur dengan tenang.Kenapa aku bisa ditakdirkan menikah dengan laki-laki yang hatinya terbagi dua seperti ini. Bahkan membayangkannya saja tidak pernah malah sekarang tiba-tiba mengalami.Hati yang selalu dijaganya dengan sikap manis dan romantis kini terlu
Mas Nata dan Mbak Nadia bergandengan tangan dengan mesra masuk ke dalam mobil.Apa ini? Dia memiliki lebih dari satu selingkuhan?Dengan tangan gemetar, aku mengabadikan momen perselingkuhan Mas Nata. Aku tidak akan langsung melabraknya apalagi di depan banyak orang. Itu sama saja mempermalukan diriku sendiri, takutnya kalau sampai ada yang kenal dan nanti malah berita semakin meluas dan keluargaku tahu.Setelah mereka masuk ke dalam lobby, aku pun turun.“Mbak, ongkos sama helmnya.”Kulepaskan helm itu dan memberikan ongkos sebelum berlari masuk tanpa memperdulikan teriakan tukang ojek yang mau memberikan uang kembalian.Aku duduk di sebuah sofa meraih majalah untuk menutupi wajah agar tidak ketahuan. Jaraknya lumayan dekat jadi aku bisa mendengar mereka bicara.“Menginap, Mas?”“Nggak bisa. Nanti sore Hana pulang, jadi di sini paling bisa sampai jam 1 atau jam 2 siang.”“Ya sudah, nggak apa-apa.” Wanita itu mengulas senyum yang membuatku sangat muak.Kutekan kuat-kuat dada yang tera
“Ma-”“Hana yang bakalan menggantikan posisi kamu, Nata.”Aku terbelalak mendengar itu, begitupun Mas Nata.Sungguh, aku tidak mengharapkan hal ini. Bahkan aku tidak ingin Mama tahu dengan cara seperti ini.“Sebelum kamu dapat maaf dari Hana, posisi itu akan tetap ditempati Hana.” Mama berucap dengan tegas dengan sorot mata tajam.Mas Nata tidak bisa berkata-kata, dia paling tidak berani pada Mamanya.Sekarang aku belum bisa mengambil keputusan, semuanya harus jelas dulu. Setelah itu baru aku akan memilih untuk tetap tinggal atau pergi.Tidak mudah bagiku untuk pura-pura baik setelah semua fakta terungkap dan hatiku tersayat.“Hana, kamu jangan takut. Mama akan selalu ada di pihak kamu. Nata memang harus dikasih pelajaran!” Mama menggenggam erat tanganku.Rasanya memiliki kekuatan lebih karena mama mertuaku sendiri ada di pihakku, tidak membela anaknya yang berbuat salah.“Ma, aku mengaku salah tapi nggak gini juga dong. Masa harus Hana yang gantiin aku sih? Dia juga nggak bakalan bis
Malam ini, aku memilih untuk tidur di kamar Yuna. Meski sebenarnya mata ini jelas akan sulit terpejam. Aku masih tidak menyangka Mas Nata sampai hati melakukan sesuatu yang menghancurkan hati dan hidupku.Air mata berjatuhan kala menatap wajah polos Yuna yang terlelap. Keberadaannya akan membuatku semakin kuat bukan lemah.“Mama pasti akan melakukan yang terbaik buat Yuna.” Kudekap erat tubuhnya sambil menahan isak tangis agar tidak membuat Yuna terjaga.Pagi harinya, aku yang biasanya menyiapkan sarapan kini sibuk bersiap untuk pergi ke kantor. Yuna sudah pergi dibawa oleh Mama, sedangkan di rumah hanya ada aku dan Mas Nata.Mama tidak mau Yuna mendengar sesuatu yang tak pantas, aku pun sama. Karena setelah semua terbongkar, pertengkaran antara aku dan Mas Nata pasti tidak akan bisa terhindarkan.Mas Nata tidak ada di kamar, entah kemana dia pergi.“Sayang, kenapa sudah rapi?” Dia keluar dari ruang kerjanya, menatapku dengan lekat.Memindai penampilanku dari atas sampai bawah.“Lupa?
Selama perjalanan, tidak ada yang buka suara baik aku ataupun Mas Nata. Tadi saja Mbak Nadia langsung ngacir setelah memberikan sarapan yang hanya ditaruh di rumah, nanti juga Mas Nata pasti akan memakannya, tidak mungkin tidak.Tampang seseorang memang tidak bisa mencerminkan bagaimana perilakunya. Saat pertama kali bertemu, Mbak Nadia terlihat baik terpancar dari wajahnya yang polos dengan senyum ramah. Tapi semua itu ternyata hanya sebuah topeng.“Nanti kalau sudah beres urusan kantor, kamu bisa pulang.”“Kamu mau Mas jadi bapak rumah tangga, Yang?”Aku mengedikkan bahu. “Anggap saja begitu.”“Mending kamu di rumah, nggak usah pusing-pusing mikirin soal pekerjaan.”“Kamu nggak bakalan bisa merayu aku, Mas! Keputusan aku tetap sama.”Helaan napas Mas Nata terdengar jelas.Sampai di kantor ternyata semuanya sudah berkumpul untuk menyambutku. Padahal aku tidak meminta penyambutan seperti ini. Nanti agak siang baru akan dilakukan rapat bersama dengan para pemegang saham. Aku bukan oran
“Kamu jangan asal bicara ya. Kamu itu bukannya selingkuhan suami saya? Jangan coba-coba bohongin saya!”Dia tertawa dengan sorot mata tak biasa, “Suami Tante itu Papa saya.”Deg.Aku terdiam, masih mencerna ucapannya.Gadis itu mengeluarkan beberapa lembar foto dari dalam tasnya.Hatiku langsung teriris melihat foto Mas Nata berdampingan dengan Mbak Nadia yang sedang menggendong seorang bayi. Fotonya seperti foto lama karena mereka terlihat masih muda.“Ini, foto aku saat baru dilahirkan. Dan ini ….” Dia menunjukkan foto dengan formasi sama hanya saja ada gadis kecil yang kutaksir seusia Yuna. Dan satu lagi, foto yang sepertinya diambil baru-baru ini.“Saat aku ulang tahun ke lima dan foto terbaru, bulan kemarin saat aku ulang tahun ke 16. Sengaja aku bawa biar Tante nggak bisa nyangkal lagi. Ini asli ya, Tan. Bukan editan. 17 tahun lebih Papa dan Mama aku nikah dan Tante hadir buat jadi perusak. Ya, Tante minimal tahu dirilah. Sampai kapanpun pelakor nggak bakalan menang. Kalau masih