Share

7. Omongan Mertua

“Aku udah feeling kalau kamu bakal balik ke apartemen buat ambil barang-barang,” ujar Pramam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Senyumnya tampak pongah di sana.

“Hubungan kita udah berakhir, Mas, apa perlu aku ingatkan lagi?”

Pramam melangkah maju, mendekati Mara yang sayangnya menarik diri darinya. “Ra, come on, aku cuma mau ngobrol sama kamu sebentar soal program rahim pengganti Anne,” gumamnya frutasi. “Apa alasan kamu mau menerima permintaan dari istri kekasihmu, Ra?”

“Sekarang aku udah nggak punya pacar,” simpul Mara yang enggan membalas tatapan Pramam. “Dan aku rasa, aku bebas mau menjawab pertanyaanmu atau nggak.”

 “Kenapa, Ra?” Suara Pramam berubah parau. “Jujur sama aku, kenapa harus kamu yang merelakan rahim untuk anakku dan Anne?”

Manik Pramam terus tertuju pada gadis yang kini bersandar di dinding dekat pintu. Tujuan utamanya bukan menyudutkan, tapi entah mengapa situasi mendadak berubah. Ia tak ingin menyakiti gadisnya, juga istri sahnya.

“Karena Mbak Anne pantas bahagia, meskipun kamu berkhianat di belakangnya, aku akan bertanggungjawab dan berjanji untuk membuatnya senang dengan kehadiran anak dalam hidupnya.”

Mendengar gadisnya bicara, Pramam terhenyak. Bagaimana mungkin si pihak ketiga malah bertindak ingin bertanggungjawab? Lantas ia melangkah mendekat, mengikis jarak hingga tangannya berhasil meraih pundak Mara dan mencengkeramnya cukup kuat.

“Kenapa harus kamu yang bertanggungjawab? Itu aku, harusnya aku, Ra!” protes Pramam.

Mara menggeleng cepat. Punggungnya yang sudah menubruk dinding dingin, kini ditambah getar yang muncul. “Aku berdosa sudah menjadi orang ketiga, itulah kenapa aku harus melakukan ini,” isaknya yang perlahan pecah.

“Nggak, Ra. Aku nggak memberi izin. Lagi pula kamu belum bilang ke kakak dan adikmu soal ini. Kalau mereka tahu, kamu nggak mungkin bisa seyakin ini, Ra.”

Sekian lama menjalin hubungan, nyatanya Pramam tahu betul sesiapa yang paling diprioritaskan Mara dalam hidup. Selain dirinya sendiri, ada Laras dan Yena yang getol memiliki tempat tersendiri di hati seorang Mara. Dan keputusan menerima permintaan Anne, rasanya tidak cukup masuk akal.

Mara menandaskan, “Jangan mengancamku, Mas. Keputusanku udah bulat dan nggak bisa diganggugugat!”

Kaki Mara terayun menuju kamar, usai menepis cengkeraman Pramam dengan mendorong dadanya kuat-kuat. Tangan mungil itu berhasil menarik koper besar di sudut ruang. Lekas ia membuka lemari dan meletakkan pakaian ke dalam koper.

Hingga kemudian Pramam menyusul dan berdiri di belakangnya. Rupanya pria itu tak hanya diam di tempat, melainkan menautkan kedua tangan untuk melingkar di bagian perut Mara. Dagunya sengaja jatuh di pundak Mara yang sesekali embusan napas kasar mendarat baik di leher si wanita. Si gadis mematung, ada gelenyar aneh ketika tangan-tangan Pramam menyentuh bagian perut.

“Aku akan cari perempuan di luar sana untuk menggantikanmu, Ra,” bisik Pramam kemudian.

Sadar perbuatan Pramam keluar jalur, Mara menepis kedua tangan kekar itu dari tubuhnya. Mara memutar tubuh. Kembali mendorong dada Pramam kuat-kuat hingga pria itu mundur beberapa langkah.

“Silakan, tapi biarkan aku meyakinkan Mbak Anne kalau rahimku cocok untuk ikut program itu,” tangkasnya telak.

“Persetan, Mara!” seru Pramam kesal. Ia menyugarkan rambut beberapa kali, sebelum akhirnya menatap tajam Mara. “Kamu sudah gila?”

Mara tergelak, hingga napasnya tersengal dan dibarengi bahu yang bergerak naik-turun. “Memang, semenjak kamu menyeretku ke lingkaran setan ini!”

***

 “Kamu selalu cantik dari segala kondisi, Sayang.”

Pramam muncul di balik pintu, melangkah mendekati sang istri yang tengah mematutkan diri di depan cermin. Kiranya sudah puluhan kali Anne berputar sambil menggerakkan pakaiannya yang mahal. Sorot matanya berubah sedih kala menangkap perut yang tak lagi membesar. Dan kini Pramam mengikis jarak dengan memeluknya dari arah belakang.

Anne melirik, lantas tersenyum tipis. Pujian demi pujian yang dilayangkan padanya, terasa tidak cukup untuk mengobati luka akibat kehilangan ke sekian kali. Sampai sudah dua pekan setelah kepergian janinnya, wanita itu masih merasakan gerak geli di perutnya.

“Apa dengan tubuhku yang begini, masih bisa membuat kamu bergairah, Mas?” Anne mencurahkan kekhawatiran sambil menggerakkan telunjuk di punggung tangan Pramam.

Tidak segera menjawab, Pramam justru mendaratkan kecupan singkat di sebelah pipi Anne. Lalu turun ke area leher yang hendak diterkamnya saat itu juga. Namun, Anne menghindar.

“Aku nggak minta kamu buktikan detik ini juga, lho,” dengkus Anne. “Kamu kudu siap-siap, kita harus check semua kesehatan Mara. Semoga aja hasilnya baik, biar aku bisa cepat-cepat gendong anak sendiri.”

Harapan Anne begitu besar untuk memiliki keturunan. Sama seperti Pramam, tapi tidak sebesar milik Anne. Pramam sudah berserah diri dengan apa yang terjadi nanti. Jika di dunia ini rejeki anak tidak datang padanya, itu bukan masalah besar. Lagi pula ia percaya jika Pramam akan terus menyayanginya, sekalipun tanpa kehadiran anak di antara mereka.

“Kita pasti bisa, kita lakukan terbaik untuk semuanya,” sahut Pramam sebelum beringsut ke walk in closet yang menyatu dengan kamar.

I love you, Mas.” Anne berujar seketika begitu Pramam baru melangkah. Pria itu menoleh dan tersenyum, lalu menangkup wajah Anne untuk memberikan satu kecupan singkat di bibir.

I love you more, Ann.”

Rasanya manis, kelewat manis hingga mampu menutupi kegelisahan Pramam sejak kali terakhir bertemu dengan Mara kemarin. Wanita itu resmi memutuskan hubungan dan pindah tempat tinggal. Kini Pramam hanya bisa bernostalgia di apartemen mewah yang sengaja dibeli dengan mengatasnamakan Mara Cikal. Meski begitu, Pramam tidak serta merta melupakan Anne dan segala keinginannya memiliki keturunan.

Sesaat sebelum melajukan mobil sekaligus menunggu Anne naik, Pramam menyempatkan diri untuk mengecek riwayat obrolannya dengan Mara. Pesan terakhir yang ia kirim beberapa jam lalu urung dibaca. Namun, deretan kalimat tanya guna memastikan keadaan si wanita sudah terbaca.

Pramam mengesah pelan dan segera memasang sabuk pengaman ketika pintu penumpang dibuka dari luar. Anne duduk dengan napas tersengal, seperti baru berlari karena buru-buru. Penampilannya cukup elegan dengan gaun warna coral.

Tanpa ditanya sang suami, Anne sudah lebih dulu memulai, “Mara udah di jalan, katanya mau sampai di rumah sakit.” Ia menarik seatbelt dan bergegas memasangnya. “Ayo, Mas, agak cepetan. Aku nggak enak sama Mara.”

Pramam mengangguk patuh. Walau dalam benak ada perasaan tak terima. Mara bisa saja membaca dan membalas pesan-pesan yang datang dari Anne, tapi tidak darinya.

Mengeratkan kepalan di kemudi, Pramam berusaha menenangkan pikiran sebelum akhirnya melajukan mobil. Akan tetapi, jalannya harus terhenti sebelum mencapai bibir gerbang. Bunyi klakson memuakkan terdengar cukup nyaring.

“Ibu kamu ke rumah, Mas?” ujar Anne mengerutkan kening begitu mengetahui mobil mewah hendak masuk ke pekarangan rumah. “Kok kamu nggak bilang-bilang kalau Ibu mau ke sini? Kita udah ada janji sama Dokter Mega, lho, Mas?”

 “Aku nggak tahu beneran kalau Ibu mau ke sini,” aku Pramam yang kemudian memarkirkan kembali mobilnya. “Tunggu sebentar ya, Sayang?”

Anne tahu betul jika disuruh menunggu, sudah pasti urusan semakin panjang. Mengingat kehadiran ibu mertua yang jarang sekali datang. Sekalinya datang, bisa runyam semua rencana.

Mau tak mau Anne turun dari mobil dan menyusul sang suami. Suasana hatinya berubah mendadak, rasanya ingin memakan orang. Namun, ekspresinya segera ditutupi dengan senyum agar tak menimbulkan curiga.

“Kalian mau ke mana pagi-pagi begini?” Dengan gelagat sombongnya, Ina Basuki menyergap anak serta menantunya tanpa basa-basi. “Apa jangan-jangan mau program anak lagi dan buang-buang duit?”

Pramam meminta sang ibu untuk duduk terlebih dahulu. Tak enak kelihatannya baru datang, tapi sudah menyudutkan. Ia juga menyuruh Anne untuk menempatkan diri, meski wanita itu sudah geram setengah mati.

“Anne, kamu ngaku aja. Rencana apa lagi yang kamu pikirkan untuk menguras harta suamimu?”

Anne mengangkat wajah. “Memang sejak kapan aku berniat menguras harta suami sendiri, Bu?”

“Wah, kamu lupa atau pura-pura, sih?” sahut Ina Basuki heran. “Apa perlu Ibu kasih bukti berapa uang Pramam yang kamu keluarkan buat program bayi-bayimu itu?”

Anne mengeratkan pegangan di tali tas yang melingkari bahunya. Tatapnya menyalak, ingin membalas kata-kata yang sama tajamnya dengan sang mertua. Namun, ia masih memiliki sopan santun sekaligus nama yang harus dijaga.

Belum berhenti sampai di sana, Ina Basuki melanjutkan, “Kalau kamu berulah lagi, lebih baik kamu danai sendiri program anak yang belum pasti itu. Daripada kerjaannya keguguran terus?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status