“Aku tidak mau punya anak.” Aliya mengatakannya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Apa kamu bilanng?” Reza menoleh ke arah istrinya yang baru dinikahinya selama enam bulan itu. Dia tidak mengira jika istrinya akan menjawab seperti itu, ketika dia menanyakan soal anak.
“Bukankah aku sudah mengatakannya cukup jelas. Aku tidak mau punya anak. Mereka akan menghalangi karirku.”
Reza terdiam. Dia tidak tahu harus mengatakan apa saat ini. Sebelum menikah mereka memang tidak pernah membahas soal keturunan. Dan Reza juga tak mengetahui jika istrinya tersebut selalu meminum obat kontrasepsi agar tidak bisa hamil.
Reza kemudian berpikir ketika ibunya menanyakan soal cucu. Ia sudah ingin menimang cucu kandung seperti teman-temannya yang lain. Saat itu Reza mengatakan pada ibunya jika dia akan membicarakan hal itu dengan Aliya. Namun Reza tak mengira jika Aliya memang tak ingin memiliki anak.
“Za, kamu tahu kan gimana perjuangan aku buat sampai di titik sekarang. Aku harus menunggu selama tujuh tahun buat dapat acara program sendiri. Dan aku tidak mau ketika aku hamil, gadis-gadis muda itu akan mengambil pekerjaanku. Karena aku tahu, aku tidak akan dibutuhkan lagi ketika tubuhku tidak bagus lagi ataupun ketika aku tidak cantik lagi.”
Reza menghela napasnya. Dia juga tak bisa membantah omongan Aliya, karena dia sangat mencintainya.
“Aku kerja dulu ya. Hati-hati di jalan.” Aliya mencium pipi Reza sebelum akhirnya dia keluar dari mobil dan berjalan masuk ke perusahaan penyiaran. Tempat dia bekerja selama sebelas tahun di sana.
Setelah kepergian Aliya, Reza mengusap wajahnya. Dia bingung apa yang harus dilakukannya sekarang. Jika dia mengatakan alasan Aliya tidak menginginkan anak karena demi karirnya, ibunya pasti akan marah dan memaksanya untuk meminta Aliya berhenti bekerja.
Tapi Aliya tak mungkin melakukannya karena wanita itu sangat menyukai pekerjaanya. Dan Reza tidak ingin ia sampai kehilangan istrinya tersebut.
“Apa yang harus aku katakan pada ibu?” gumam Reza bimbang.
***
“Saya Aliya Puspa. Sampai jumpa di acara Our Fashion minggu depan.” Aliya menutup acara programnya dengan baik seperti biasanya. Beberapa staff kemudian berjalan ke arahnya dan memperbaiki make-up serta rambutnya. Sepuluh menit lagi, Aliya harus mulai acara programnya yang lain.
Di sela-sela waktu istirahatnya, Aliya membaca beberapa komentar yang memenuhi poster program acaranya di i*******m yang baru saja tayang. Dia selalu senang membaca komentar yang memuji penampilannya.
“Apa dia benar-benar berumur tiga puluh lima tahun? Dia terlihat seperti gadis berusia dua puluh dua tahun.” Aliya tersenyum membacanya.
“Bukankah dia sudah menikah? Tapi kenapa penampilannya tidak berubah dari sepuluh tahun lalu? Apa dia vampir?” Aliya membaca komentar-komentar lainnya yang membuat hatinya begitu senang. Sampai saat ada satu komentar yang membuat perasaanya tiba-tiba menjadi sangat buruk.
“Bukankah seharusnya dia sudah punya anak? Apa dia mandul? Aku yakin sebentar lagi dia akan ditinggalkan suaminya karena tidak bisa memberikan keturunan.”
“Ish!” desis Aliya kesal. Dia sempat ingin membalas komentar itu, namun urung ketika produser memanggilnya.
***
Malam harinya Aliya baru selesai mandi ketika suaminya pulang bekerja. Dia melakukan rutinitas hariannya seperti memakai skincare dan yang lainnya sambil duduk di depan meja rias. Ditatapnya Reza dari cermin. Tiba-tiba Aliya merasa penasaran dengan sesuatu.
“Apa aku membuatku kecewa?” tanya Aliya tiba-tiba.
Reza sontak menoleh ke arah istrinya dengan heran.
“Huh?”
“Apa kamu bersyukur bisa menikah denganku?” Aliya membalik tubuhnya dan menanyakan hal tersebut kepada Reza.
“Tentu saja. Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Reza tertawa mendengar pertanyaan konyol itu.
“Benar kan? Aku juga berpikir begitu. Di mana lagi kamu bisa menemukan wanita yang lebih baik dariku.”
Reza memiringkan kepalanya tidak mengerti. Kemudian dia menghampiri istrinya tersebut dan memeluknya dari belakang.
“Apa ada sesuatu yang menganggu pikiranmu?” tanya Reza. Dia merasa aneh karena tiba-tiba Aliya menanyakan hal yang tidak masuk akal.
“Tidak apa-apa. Mandilah, aku akan siapkan makan malam untukmu.” Aliya melepaskan diri dari pelukan Reza dan berjalan keluar kamar.
Selain sempurna di tempat kerja, Aliya juga sempurna menjadi seorang istri. Tak banyak wanita yang bisa berperan sebagai wanita karir, sekaligus ibu rumah tangga. Namun Aliya bisa seperti itu. Dia hanya tak bisa menjadi ibu dari seorang anak. Atau lebih tepatnya dia tidak mau.
Meskipun sudah ada pembantu di rumah itu, namun Aliya tetap melakukan hal-hal yang bisa dilakukannya. Dia membantu memasak dan menyiapkan makan siang atau malam untuk suaminya. Karena Aliya tak mau orang lain yang melakukan hal itu untuk suaminya sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara bel pintu yang berbunyi.
“Biar saya yang buka bu,” kata Sari, pembantu di rumah Aliya dan Reza.
“Oh, tolong ya.” Aliya melanjutkan pekerjaannya kembali di dapur itu.
Beberapa menit kemudian Sari datang bersama dengan Yulia, mertua dari Aliya yang tidak lain adalah ibu Reza.
“Malam Aliya,” sapa Yulia. Dia menghampiri menantunya tersebut dan memeluknya seperti anak kandung sendiri.
“Loh, ibu kok ke sini tidak bilang-bilang?” tanya Aliya yang langsung menyambut mertuanya tersebut.
“Kejutan. Ibu mau makan malam bareng di sini boleh kan?”
“Ya tentu boleh bu.”
Setelah Reza selesai mandi, laki-laki itu kemudian bergabung dengan istri dan ibunya di meja makan. Dia duduk di tengah, sedangkan istri dan ibunya duduk di samping kanan dan kirinya.
“Rumah kalian besar, apa kalian tidak merasa kesepian cuma berdua di sini?” tanya Yulia tiba-tiba di sela makan malam mereka.
Aliya dan Reza kemudian saling berpandangan. Heran, mengapa ibu mereka tiba-tiba menanyakan hal tersebut?
“Ada Sari juga bu,” sahut Aliya. Yang langsung disambut tawa mertuanya.
“Bukan itu maksud ibu. Tapi soal anak. Apa Aliya belum ada tanda-tanda jika dia hamil?”
Aliya menatap ke arah Reza. Dia pikir obrolan tentang anak sudah selesai pagi tadi. Tapi kenapa sekarang ibu Reza membahasnya juga?
“Soal itu—”
“Kami akan berusaha bu.” Tiba-tiba Reza memotong Aliya yang ingin menjawab. Membuat wanita itu sontak melirik ke arahnya bingung.
Tangan Reza menyentuh tangan Aliya di pangkuan wanita itu. Dia seolah menyuruh istrinya tersebut untuk diam.
“Kalian sudah menikah enam bulan loh. Itu teman kuliah kamu Za, si Mita sudah hamil, padahal kalian duluan yang menikah.”
“Enam bulan masih baru bu. Banyak yang lebih lama juga kok.” Reza masih setia menjawab pertanyaan demi pertanyaan dari ibunya. Sementara Aliya diam sambil menunduk. Dia ingin sekali mengatakan pendapatnya, namun genggaman tangan Reza semakin kuat ketika dirinya mencoba untuk bicara.
“Coba kamu cek kesehatan kamu Al, mungkin ada yang salah dengan rahim kamu.”
Kali ini Aliya sudah tidak tahan lagi. Dia berdiri dan menatap mertuanya tersebut.
“Jadi ibu mau menyalahkan Aliya?”
Aliya duduk di dalam mobilnya, menatap jalanan panjang yang membentang di hadapannya. Kota ini, yang telah menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya selama bertahun-tahun, kini akan ia tinggalkan. Semua sudah berakhir, dan inilah waktunya untuk memulai lembaran baru.Teleponnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ruby. Aliya sempat ragu sebelum akhirnya membukanya. Sebuah foto muncul di layar, memperlihatkan bayi mungil yang baru lahir, sedang digendong oleh Reza.Terima kasih, Aliya. Karena dirimu, aku pernah merasakan dicintai oleh laki-laki sebaik Reza. Aku tahu kita punya masa lalu yang rumit, tapi aku tidak pernah benar-benar membencimu. Kau tetap sahabat baikku.Aliya merasakan dadanya menghangat. Ia tak menyangka Ruby akan mengirim pesan seperti ini. Kenangan lama kembali bermunculan—masa-masa ketika mereka masih bisa tertawa bersama, sebelum semuanya menjadi begitu rumit. Ia menghela napas panjang dan mengetik balasan singkat.Selamat atas kelahiran anakmu, Ruby. Aku harap kalian b
Aliya menyesap kopinya pelan, menatap keluar jendela kafe yang memperlihatkan lalu lalang orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Di hadapannya, Sean duduk dengan ekspresi tenang, menunggunya untuk berbicara lebih dulu. Sudah lama mereka tidak bertemu, dan sekarang, setelah semua yang terjadi, Aliya merasa ini adalah waktu yang tepat untuk membuka diri."Kau kelihatan lebih kurus," komentar Sean akhirnya, memecah keheningan di antara mereka.Aliya tersenyum tipis. "Mungkin karena akhir-akhir ini banyak hal yang harus kupikirkan."Sean mengangguk, memahami maksud di balik kata-katanya. "Jadi, kau benar-benar sudah memutuskan?"Aliya menghela napas. "Ya. Aku sudah bicara dengan Reza. Aku membawa surat cerai, tapi dia masih menolak menandatanganinya. Aku bisa melihat dia berusaha membuatku berubah pikiran, tapi aku tidak bisa. Aku sudah terlalu jauh melangkah untuk kembali lagi."Sean menatapnya lekat-lekat, lalu berkata dengan suara lebih lembut, "Dan kau baik-baik saja deng
Aliya melangkah memasuki rumah dengan hati yang telah bulat. Setelah berminggu-minggu menghindar, akhirnya ia kembali, membawa sesuatu yang akan mengubah hidupnya dan Reza selamanya. Dalam genggamannya, ada sebuah map cokelat berisi surat cerai yang sudah ia siapkan sejak lama. Tak ada amarah dalam hatinya saat ini, hanya keinginan untuk menebus segalanya dan melanjutkan hidup.Reza yang sedang duduk di ruang tamu terdiam saat melihat Aliya masuk. Mata mereka bertemu, dan dalam sepersekian detik, Reza tahu bahwa ini bukanlah kunjungan biasa. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Aliya—keteguhan yang selama ini ia hindari untuk dihadapi."Kamu sudah pulang," ujar Reza, mencoba menekan debaran jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat.Aliya mengangguk kecil, lalu tanpa banyak basa-basi, ia meletakkan map itu di atas meja. "Aku sudah memikirkan ini matang-matang, Reza. Ini surat perceraian kita. Aku harap kamu bisa menandatanganinya."Reza menatap map itu seolah-olah isinya adalah
Reza duduk diam di tepi ranjang rumah sakit, menatap Ruby yang tampak pucat di bawah sorotan lampu ruangan. Sejak beberapa hari terakhir, kondisi istrinya semakin memburuk. Stres, kecemasan, dan ketakutan yang terus menghantuinya telah membuat Ruby berkali-kali pingsan, bahkan sempat mengalami pendarahan ringan. Dokter mengatakan kondisi ini bisa berbahaya bagi janin jika terus berlanjut.Namun, yang paling menghantam Reza bukanlah kekhawatiran akan kesehatan Ruby saja, melainkan pengakuan yang akhirnya keluar dari bibir istrinya."Aku... aku diperkosa, Reza... oleh Satria... sebelum aku bersamamu."Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya. Reza tidak mengenal siapa Satria, tetapi dari kepanikan Ruby yang begitu nyata, dari ketakutannya yang tak bisa disembunyikan, ia tahu bahwa pria itu adalah ancaman besar bagi istrinya.Ruby yang berbaring di ranjang masih menolak menatap Reza. Matanya berkaca-kaca, tangannya mencengkeram selimut seolah berusaha menahan guncangan yang terus mener
Esok harinya, Sean baru saja sampai di kota K tempat kerja barunya selama satu tahun ke depan. Dia menatap pintu masuk studio yang tak begitu besar, namun tak juga terbilang kecil. Setelah menarik napas panjang, lelaki itu mendorong pintu berfilter hitam itu dan masuk untuk menyapa penyiar yang akan bekerja dengannya hari ini.Sean masuk dan melihat studio radio yang menyala. Seorang wanita duduk di sana dan sedang membicarakan sesuatu dengan salah satu staff. Rasanya tak percaya, Sean membeku di tempatnya dan menatap lama Aliya yang belum menyadari kehadiran Sean di sana. Aliya sendiri tidak tahu jika Sean lah yang akan menjadi kameramennya selama di sana.Aliya tanpa sengaja menatap ke depan dan melihat Sean yang masih berdiri di tempatnya. Wanita itu tersenyum dan melambaikan tangannya, membuat jantung Sean tiba-tiba berdesir. Dia salah tingkah hingga tak membalas sapaan dari Aliya.“Takdir macam apa ini?” gumam Sean seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Entah har
“Baiklah, aku akan mencarikan rumah sakit lain. Bagaimanapun juga kenyamanmu lebih penting dari apapun saat ini.” Untungnya jawaban dari Reza membuat Ruby bernapas lega. Dia sudah berpikir jika Reza akan berpikir yang tidak-tidak padanya. Yang terpenting dia bisa terbebas dari Satria untuk sementara waktu.Sesampainya di rumah Reza tak mendapati Aliya berada di rumah. Dia tak mengerti kenapa istrinya itu begitu sibuk dan semakin sulit untuk ditemui. Dan hal itu membuatnya sedikit kesal pada Aliya.“Ada apa?” tanya Ruby ketika dia melihat Reza yang terlihat gusar ketika baru sampai di rumah.“Aliya tidak ada di rumah. Dan dia sering begini sekarang. Pergi tanpa bilang, dan sekarang tidak jelas dia ada di mana.”“Mungkin masalah pekerjaan. Bukankah Aliya memang selalu sibuk?”“Tidak. Dia jadi semakin parah akhir-akhir ini.”Melihat Ruby yang tampak ikut cemas, membuat Reza tak tega. Sepertinya sudah cukup bagi Ruby dengan masalah kehamilannya. Reza tak ingin menambah beban wanita itu de