Share

KENAPA MAU NIKAH?

'BRENGSEK! KANEBO SAMPAH! COWOK KURANG AJAR!'

Kurasa makian itu belum cukup untuk menggambarkan kekesalanku pada Jevin. Bisa-bisanya dia menyeretku seperti karung beras saat mendatangi Papa Adendra dan rombongan keluarga Vivian. Apa dia tidak tahu bagaimana susahnya perempuan saat berjalan memakai heels setinggi 10 senti?

“Pelan-pelan, dong, Mas! Aku jalannya susah, nih!” protesku yang tak digubrisnya. Jangankan memelankan langkah, dia justru mempercepat ritme ayunan kakinya.

'Bangsat banget, nih, cowok! Semoga aja anak gue nanti bukan cowok. Gue enggak mau dia hidup  berhati dingin dan kasar kayak papanya. Duh! Amit-amit banget pokoknya!'

“Hello, Jevin! How are you?” tanya lelaki paruh baya yang mengenakan kacamata. Dia mengulurkan tangan dan tersenyum ramah kepada Jevin.

Jevin menyambut uluran tangan itu dan menciumnya dengan sopan.

'Ugh! Sok gentleman banget dia! Lagaknya udah kayak anak yang punya sopan santun aja! Mau cari muka di depan calon mertua ke dua?'

“Fine, Om. Om sendiri gimana?”

'Astaga! Bisa basa-basi juga ternyata. Sejak kapan? Sejak dia selingkuh sama Vivian?'

“Ya, seperti yang kamu lihat, Om makin tua,” jawab mertua Vivian sambil tertawa berat, khas bapak-bapak konglomerat.

Untuk pertama kalinya aku bersyukur karena Papaku jarang tertawa. Papaku itu nyaris sama seperti Jevin, jarang bicara dan tertawa.

Dulu aku sering protes dengan kekakuan Papa yang sangat kaku. Aku sempat heran, kenapa hidupku tidak mirip dengan pepatah ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’? Kenapa menantu Papaku lebih mirip dengannya dibandingkan aku yang jelas-jelas putri kandungnya?

Namun, pada hari ini aku merasa beruntung memiliki Papa yang berbeda dari bapak-bapak lain karena dia tidak pernah bersikap palsu di depan orang lain. Dia tidak pernah tertawa hanya untuk menyenangkan orang lain. Yaaa, contohnya seperti Om Konglomerat yang satu ini.

“Ini Jena, menantu saya.”

Papa Adendra ternyata lebih peka daripada putranya. Dia buru-buru memperkenalkanku kepada tamu-tamu itu sebelum aku canggung sendiri.

“Ooooh, jadi ini, toh, putrinya dokter Kevin?” Perempuan paruh baya langsung memegang kedua pundakku dan memindai tubuhku dari atas kepala sampai ujung kaki. Aku merasa seperti barcode barang yang sedang di-scan oleh kasir. “Cantik banget, ya!” Dia membimbingku ber-’cipika-cipiki’. “Mirip banget sama dokter  Kania,” tambahnya lagi saat menangkup wajahku.

'Ya iyalah mirip. Namanya juga anak. Bisa aja basa-basinya.'

Aku hanya tersenyum sosial, malas menyanggah atau berterima kasih atas pujian itu. Aku tidak ingin bersikap munafik seperti kebanyakan orang, merendah atau menolak pujian hanya untuk mendapat sanjungan yang lebih. Aku lebih suka dibilang sombong, tapi tidak munafik, daripada rendah diri, tapi dalam hati minta sanjungan lebih.

Setelah bersaliman dengan Pak Angkasa Prima serta istri dan putranya, aku ber-’cipika-cipiki’ lagi dengan Vivian yang menyambutku bagaikan sahabat dekat.

'‘Peres’ banget, nih, cewek! Sok akrab!'

“Maaf banget, ya, Vin, pas nikahan kemarin Om sama Tante lagi ada urusan Singapura, jadi enggak bisa datang,” kata Pak Angkasa Pura seraya menatap aku dan Jevin secara bergantian.

“No problem, Om.” Jevin menanggapi singkat dan ekspresi yang tidak sosial.

Setelah itu, Papa Adendra menggiring kami semua menuju ruang tamu. Aku dan Jevin berjalan paling belakang, tepat di belakang Vivian dan suami.

Aku sempat menyikut Jevin yang kembali menggenggam tanganku. Namun, dia hanya melirikku dari ekor matanya.

“Lepasin!” pintaku tanpa suara, hanya gerakan bibir yang kubuat sejelas-jelasnya. Aku juga mengangkat gengganggam tangan kami agar dia mengerti, apa yang kumaksud. Namun, dosa besar kalau Jevin sampai menuruti perintahku. Dia bahkan dengan mudahnya mendelik dan mengabaikanku dengan ekspresi yang anteng.

'Berengsek! Okay kalau lo maunya begini. Gue enggak bakal tanggung-tanggung dalam berakting.'

Kusentak tangannya secara kasar hingga genggamannya berhasil terlepas. Aku sempat melihat ekspresi kekagetan di wajahnya meski hanya sekejap. Wajah itu kembali kaku beberapa saat kemudian.

Namun, ekspresi kaget itu kembali lagi dengan durasi yang cukup lama ketika aku menarik tangannya dan menaruhnya di pinggangku. Dia sempat menarik tangannya, tapi tanganku menahannya lebih kuat. Kami juga beradu pelototan mata sebagai isyarat bahwa kami saling menentang. Namun, Jevin kali ini harus menerima kekalahan saat langkah orang-orang di depan kami sudah disambut oleh keluarganya yang lain.

“Kalau akting, tuh, jangan tanggung-tanggung!” bisikku ke telinganya dengan gerakan bibir yang kuminimalisir. “Kalau mau buat Vivian cemburu, Mas harus kerja lebih ekstra,” tambahku yang membuatnya menoleh dalam keadaan kening yang berkerut samar.

Detik berikutnya, sebelah alisnya terangkat. Ekspresi itu kumaknai bahwa dia berpura-pura tidak mengerti atau menyangkal ucapanku.

"Ngawur!"

Tanggapannya hanya kutanggapi dengan decihan dan tawa miring.

'Ngawur katanya? Dia kira gue ini cewek yang gampang di-baperin? Oh, Big no!'

Tepat pada saat Papa Adendra menyuruhku dan Kevin duduk di sebelahnya, aku mendapat telepon dari Armand Mustafa, fans fanatik Ayu Ting-Ting. Teleponnya kusambut dengan suka cita yang tiada tara karena aku tidak harus berkumpul dengan orang-orang membosankan, macam keluarga Jevin. Aku mengasingkan diri ke kolam renang agar bisa leluasa berbicara dengan Armand.

[Hello, Babe! Where are you?]

Nada bicaranya yang sudah seperti lelaki setengah matang membuatku merinding jijik. “Sampah! Geli gue!” sungutku sembari duduk di kursi ayunan yang terbuat dari bambu. “Gue lagi di museum siksa kubur,” tambahku sambil menopangkan kaki kanan di atas kaki kiri.

[Owh! Seru enggak, Babe? Ikutan, dong!]

“Cuss! OTW aja langsung. Gue tunggu!”

[HA-HA! Lo di mana, sih? Rumah mertua?]

“Di mana lagi?”

Aku balas bertanya dengan nada malas.

[Roman-romannya, lo kayak lagi bete banget, nih.]

“Bukan roman-romannya lagi, Mustafa. Gue memang bete banget.”

[Why?]

“Biasalah. Gedeg gue sama kanebo kering. Dia manfaatin gue buat bikin selingkuhannya 'cembokir'.”

[WHAT? Selingkuhan? Demi apa lo? Siapa orangnya?]

Aku menjauhkan HP dari telinga untuk menjaga gendang telingaku dari kerusakan akibat nyaringnya suara Armand.

“Enggak demi siapa-siapa dan bukan siapa-siapa juga,” jawabku sambil memindah posisi HP dari telinga kanan ke telinga kiri.

[Lo serius, Na?]

“Serius, bangsat!”

[Astaga! Gue benar-benar enggak nyangka kalau Bos Jevin berani selingkuh. Ck-ck-ck! Kasian banget lo, Na.]

“Makasih, loh, ya, atas keprihatinannya, tapi sayang gue enggak butuh. By the way, ada apa lo nelpon gue?”

[Tadinya gue mau ngajakin hangout. Tapi, yaaa, berhubung lo lagi di museum siksa kubur, ya, 'udin'-lah, gue cari partner yang free aja.]

“Lo enggak mau nyelametin gue dari situasi yang menyiksa jiwa ini, gitu?”

Entah kenapa ketika aku bertanya dengan niatan bercanda seperti ini hatiku malah terasa tercubit. Aku benar-benar berharap, ada seorang pahlawan yang membawaku pergi dari rumah keluarga Jevin Putra Adendra. Aku sudah tidak betah di sini. Apalagi semenjak kedatangan Vivian.

[Bentar-bentar! Lo bilang jiwa lo tersiksa? Lo serius, Na?]

Aku bisa mendengar nada keseriusan Armand. Sepertinya dia tidak menyangka bahwa aku berkata demikian.

[Jangan bilang lo udah jatuh ....]

“Tck! Jangan ngadi-ngadi, deh, Man!” Aku sudah bisa menebak lanjutan dari kalimatnya yang menggantung. “Ya, udah, deh. Kalau enggak ada yang mau diomongin lagi, gue mau menghadap—”

[Et-et-et! Don’t close my call! Gue masih mau ngobrol.]

Aku diam-diam tersenyum, senang karena akhirnya dia mau menyita waktuku agar bisa menghindari Jevin dan Vivian.

Wait-wait! Kenapa aku harus menghindari dua manusia itu? Memangnya apa salahku?

[Jujur, deh, Na, sebenarnya lo udah mulai suka, ‘kan, sama Bos Jevin?]

Aku mengembuskan napas melalui hidung sembari melipat tangan kanan di bawah dada. Aku juga menyandarkan punggungku agar lebih rileks dalam menghadapi pertanyaannya.

Armand adalah satu-satunya orang yang mengetahui perjanjianku dan Jevin—kecuali soal kehamilanku. Armand adalah wadah sampah terbaik yang selalu kugunakan untuk menumpahkan uneg-uneg-ku pada Jevin. Aku selalu curhat dengannya mengenai riak rumah tanggaku.

Yaaa, sebenarnya tidak banyak yang ku-curhat-kan karena aku dan Jevin memang jarang bertengkar dan jarang bicara. Dia hanya berbicara saat ada hal penting yang ingin disampaikan, sementara aku sering mengoceh, tapi sering pula diabaikan. Keabaian Jevinlah yang sering membuatku kesal hingga akhirnya menumpahkannya kepada Armand.

Armand juga mengetahui soal ketidakadaan cinta di antara kami. Aku menikah dengan Jevin hanya karena aji mumpung. Yaaa, mumpung ada yang melamar. Mumpung yang melamar adalah lelaki dari keluarga tajir melintir yang bibit, bebet, dan bobotnya terjamin. Kalau lamaran mamanya kutolak, aku khawatir menjadi perawan tua. Memangnya mertua mana yang mau meminangku jadi menantu sedangkan aku tidak memiliki modal apa pun selain rupa yang cantik, body yang sexy, karir yang pasti, dan orang tua yang berjabatan tinggi. Aku bahkan tidak bisa memasak, mencuci pakaian, mencuci piring, dan pekerjaan rumah lainnya. Jika mendapat menantu sepertiku, mertua lain di luar sana sudah pasti akan langsung menyuruh putranya menalakku.

“Gue suka uangnya,” jawabku diplomatis.

[Enggak! Lo suka orangnya!]

Aku mengernyit mendengar bantahannya. Namun, beberapa detik kemudian kernyitanku terurai dengan sendirinya.

“Semua orang juga suka Jevin kali, Man. Cuma cewek bego yang enggak suka sama dia. Dia punya segalanya kecuali kepekaan dan keramahan.”

[Enggak-enggak-enggak! Bukan suka dalam konteks tertarik yang gue maksud. Maksud gue, lo udah sayang sama dia. Bahkan mungkin lo udah ... cinta sama dia.]

Aku menggosok hidungku yang mendadak terasa gatal. Kuusap wajahku sembari memikirkan ‘tuduhan’ Armand yang semena-mena. Aku tidak bisa menjawab dengan cepat karena tidak ingin salah menyusun kalimat.

“Kalau sayang mungkin iya, Man,” akuku realistis. “Dia suami gue. Dia enggak pernah hitung-hitungan kalau soal kasih nafkah. Kalau soal kewajiban, dia udah menjalankan sesuai aturan hukum dan agama. Cuma cewek yang enggak punya hati yang enggak sayang sama suami kayak dia.” Aku sempat menjeda sebentar karena bingung sendiri dengan jawabanku. “Eh, by the way, kenapa kita jadi ngomong ini, sih? Alih topik aja, deh! Enggak seru!”

[Kenapa, sih, lo mau nikah sama dia?]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status