Share

Rahim Penebus Dosa
Rahim Penebus Dosa
Author: Snow White

AFTER AGREEMENT

"Satu. Tidak boleh bertanya ke mana, di mana dan bersama siapa."

Aku terdiam setelah membaca paragraf isi dari post-marriage requirements. Kutarik mataku dari lembaran kertas. Kutatap lelaki yang duduk di sofa seberang. Lelaki yang masih mengenakan setelan tuxedo lengkap dengan dasi kupu-kupu itu menyatukan kedua tangan di bawah dada.

"Perlu banget, ya, Mas, pakai beginian?"

Kuguncang kertas HVS yang tidak berharga ini. Mungkin akan berharga jika isinya adalah pernyataan kepemilikan tanah. Kenyataannya, kertas ini hanyalah sampah tidak berguna dan justru menjadi momok yang menggelikan untukku.

"Masa aku enggak boleh nanya kamu ke mana, dengan siapa, dan semalam berbuat apa?"

Ah, sepertinya otakku sedang melawak di situasi yang tidak tepat. Bagaimana bisa aku berhalusinasi mendengar reffrain lagu Kangen Band berjudul Yolanda, padahal tidak ada HP yang mengumandangkan playlist secara nyata? Bahkan tidak ada benda elektronik di atas meja tempatku menumpukan kedua siku saat ini.

Lucunya, lelaki yang kuajak bicara tidak menanggapi pertanyaanku sama sekali. Mata sayu dengan kelopak monolid itu hanya menatapku datar. Mungkin baginya suaraku hanyalah kicauan burung yang patut diabaikan.

Aku berdecak sebal seraya mengembalikan fokus mataku ke lembaran kertas. "Percuma ngomong sama batu," gumamku keras, sengaja ingin membuatnya tersinggung. Sayangnya, dia tidak merespons apa-apa. Mungkin hinaanku bukanlah masaalah besar baginya.

Dua. Bersedia 'digauli' sebanyak dua kali dalam seminggu, tepatnya di hari Senin dan Kamis.

Aku membenturkan kepala ke meja usai membaca paragraf isi yang kedua dalam hati. Geregetan, sebal, tapi rasanya tidak berdaya untuk mengajukan protes.

"Kenapa soal sex juga harus diatur, sih, Mas? Kita, 'kan, udah jadi suami-istri," rengekku sambil mengangkat kepala dan menatapnya. "Tujuan menikah, 'kan, supaya bebas berhubungan sex. Kalau dibatasi kayak gini, apa untungnya kita nikah?"

Lagi-lagi rengekanku diabaikan. Dia menatapku dengan netra sipitnya yang sayu.

Ya, ini memang salahku. Seharusnya sebelum menikah aku bertanya lebih dulu, apakah ada aturan yang ingin dia ajukan atau tidak. Aku yang menganggap pernikahan ini seperti pernikahan normal lantas setuju menikah tanpa mengetahui bahwa Jevin Putra Adendra-lelaki yang lima jam lalu mensahkan diri menjadi suamiku-telah mempersiapkan post-marriage requirements yang rumit. Ya, sebenarnya tidak rumit, mudah malah. Namun, tetap saja menurutku semua persyaratan yang dia ajukan tidak masuk akal. Kenapa dia enggak minta no sex aja sekalian?

Sebelum akad, dia tidak mengungkit adanya perjanjian tertulis seperti ini, jadi kupikir pernikahan kami akan baik-baik saja dan berjalan normal seperti pasangan pada umumnya. Seandainya aku mengetahui tentang persyaratan ini aku pasti akan menolak menikahinya. Buat apa menikah kalau untuk berhubungan badan aja waktunya musti dibatasi?

Sekarang aku sudah kepalang basah. Sudah menikah, tapi baru tahu bahwa ada persyaratan-persyaratan-tidak wajar-yang harus kupatuhi. Rasanya ingin sekali menolak, tapi takut menghadapi konsekuensinya. Aku belum membaca post-marriage requirements ini sampai habis, jadi aku belum mengetahui risiko apa yang akan kuhadapi jika menolak menuruti semua persyaratan ini.

Ah, sudahlah! Percuma bernegosiasi dengan kayu mati. Iyakan saja maka semuanya akan selesai. Toh, dia masih memberiku jatah sex.

Aku kembali menekuri kertas. Tiga. Istri diwajibkan melahirkan empat anak dalam kurun waktu lima tahun. Jika dalam waktu setahun pernikahan Istri tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda kehamilan, Suami berhak menjatuhkan talak satu.

"Astaghfirullaaah!" Aku mengurut dahi. Mendadak kepalaku terasa pusing. "Belum apa-apa kamu udah ngomongin soal talak, Mas?" tanyaku tak habis pikir. "Sebenarnya, pernikahan model apa, sih, yang lagi kamu rancang?"

Jevin merapatkan punggungnya ke sandaran sofa, masih dengan kedua tangan yang menyatu di bawah dada. "Saya sudah pernah ngomong, 'kan, kalau pernikahan kita enggak bakal sama dengan pernikahan orang-orang. Saya butuh anak secepatnya. Saya enggak mau buang-buang waktu menunggu. Jadi, kalau kamu enggak bisa menghasilkan ...." Dia menggantungkan penjelasan dan mengangkat bahu.

Menghasilkan? Menghasilkan katanya? Aku tertawa miris. Apa dia menyamakan rahim gue dengan ladang sawah?

"Jadi, kamu cuma menjadikan aku sebagai pabrik anak dan babumu, Mas?" tanyaku dengan nada sinis.

"Pabrik anak, yes. But, babu, no! Saya mempekerjakan beberapa ART, jadi kamu enggak perlu menyentuh pekerjaan rumah tangga."

Aku menggaruk alis dan memejamkan mata, mencoba untuk berpikir dari sudut pandangnya. Sayangnya, semakin aku berusaha memahami maka semakin buntulah otakku. Aku tidak bisa menebak, apa sebenarnya masalah dan keinginan lelaki ini.

"Tapi, Mas, aku masih muda. Usiaku masih 25. Aku belum siap punya anak."

Aku memang ingin berhubungan sex, tapi jujur aku belum siap memiliki anak. Tanggung jawabnya berat. Belum lagi derita yang harus kuhadapi saat hamil, melahirkan, dan menyusui, semuanya butuh kesiapan mental.

"Kamu lupa usia saya berapa?"

Pundakku merosot lesu. Ya, aku memang lupa kalau usianya sudah menginjak 32 tahun. Aku pernah tertipu mengira usianya sepantaran denganku karena wajahnya kelihatan jauh lebih muda dari usianya. Tidak ada kerutan di wajahnya. Kulitnya masih kencang, putih, dan tampak sangat mulus, jauh dari komedo, apalagi komodo.

"Memangnya Mama Papa kamu udah kebelet nimang cucu, ya, Mas?"

Setahuku, faktor yang menyebabkan lelaki ingin menikah dan segera memiliki momongan salah satunya adalah karena desakan orang tua. Namun, sejauh pengamatanku selama enam bulan sebelum pernikahan ini, kedua orang tua Jevin tidak sekuno orang tua lainnya. Mereka orang tua yang open minded, slow, tidak otoriter, dan membebaskan putra mereka mengambil keputusan semaunya.

"Jangan bawa-bawa orang tua saya. Ini enggak ada hubungannya sama mereka."

Jawaban Jevin menegaskan bahwa orang tuanya tidak menuntut apa pun pada pernikahan kami. Namun, hal ini justru semakin membuatku bingung, gerangan apa yang membuatnya ingin cepat-cepat memiliki anak? Setahuku dia bahkan tidak menyukai anak kecil.

Ah, ya, sudahlah! Turuti saja! Kepalaku sudah pusing gara-gara tiara yang masih terpasang di atas sasakan rambutku. Aku ingin cepat-cepat masuk kamar, melepas gaun pengantin yang ribet ini, menggantinya dengan lingerie yang sexy, lalu menggoda Jevin untuk segera menyetubuhiku. Kebetulan hari ini juga hari Kamis. Sesuai persyaratan ke dua, bukankah seharusnya hari ini aku diberi jatah?

"Okay, I agree," putusku daripada pembicaraan ini berlarut-larut. Aku tidak ingin mencari gara-gara dengan mengatakan tidak setuju. Aku tidak ingin menjanda di usia pernikahan yang baru menginjak angka 5 jam. Bukankah akan sangat merugikan kalau aku mendapat talak sebelum merasakan nikmatnya malam pertama?

Aku memukul meja dengan kedua telapak tanganku, sekalian menjadikannya tumpuan saat hendak bangkit. 45 menit duduk bersila-meski di atas sofa tetap saja membuat kakiku keram dan kesemutan. Pinggangku juga terasa kaku. Mungkin efek kelelahan karena kesibukan resepsi seharian ini.

"Tanda tangan dulu!" titahnya sambil menggelindingkan signature pen ke hadapanku. Ketika itu, posisiku masih setengah bangun, bahkan kedua kakiku belum berdiri lurus.

"Ya ampun, Mas, aku udah setuju. Ngapain musti tanda tangan lagi, sih? Ini bukan perjanjian kerjasama, 'kan?" tanyaku setelah mengempaskan pantat kembali ke sofa.

Sayangnya, lelaki yang begitu irit bicara ini tak menggubris keluhanku. Mata sipitnya masih menatapku sayu.

Meski meringis kesal, aku akhirnya mengalah dan mengambil signature pen itu. Kububuhkan tanda tanganku di atas nama Jena Dheandra Pratama yang diapit tanda kurung.

Usai tanda tangan, kulempar signature pen itu ke sofa, tepatnya ke samping kanannya. Benda tak berdosa itu berakhir tragis dengan terjepit di antara punggung dan pantat sofa.

"Puas, 'kan, Mas? Udah, ya! Aku mandi dulu! Capek!"

"Kamu enggak ada permintaan?" tanyanya sambil menarik punggung dari sandaran dan mengurai lipatan kakinya. Dia mengulurkan tangan untuk mengambil kertas yang telah kutandatangani.

"Enggak ada," jawabku ketus, lalu bangkit dan ngacir ke kamar mandi. Namun, belum sampai setengah menit, aku kembali keluar untuk mengambil koper. Kuseret koperku ke dalam kamar mandi, lalu kubanting pintu keras-keras.

"Brengsek banget! Tau gini, enggak bakal gue terima lamaran orang tuanya. Udah kaku kayak kanebo kering, pelit ngomong, eh banyak aturan pula." Aku mendecakkan lidah seraya menggelengkan kepala. "Kayaknya gue harus mempersiapkan diri buat jadi janda kapan aja," ucapku pesimis sambil berlutut untuk membuka koper.

Aku dan Jevin sebenarnya satu kantor. Lebih tepatnya, dia adalah atasan dari atasannya atasanku-dengan kata lain dia adalah bos tertinggi alias CEO di Stencilindo. Stencilindo adalah tools desain grafis berbasis web, desktop, dan android. Aku bekerja di badan usaha ini sebagai graphic designer sejak usiaku masih 21 tahun, artinya sudah 4 tahun aku mengabdikan diri untuk kemajuan perusahaan Jevin.

Delapan bulan yang lalu, kantorku mengadakan anniversary party yang ke delapan. Pada momen itu, tasku dan tas mamanya Jevin tidak sengaja tertukar saat kami di toilet. Beliau yang lebih dulu pergi sambil berteleponan dengan seseorang tidak menyadari bahwa tas yang dijinjing bukanlah tasnya. Aku mengejarnya untuk mengembalikan tas kami.

Hal gila yang membuatku stress adalah saat mamanya Jevin mengaku kehilangan dompet. Menurut pengakuannya, dompet itu tadinya masih tersimpan dalam tas. Secara otomatis, aku merasa tertuduh sebagai tersangka karena akulah orang yang terakhir kali memegang tasnya.

"Sumpah, Bu. Saya enggak buka tas Ibu. Apalagi sampai ngambil dompetnya."

Begitulah klarifikasiku yang gugup dan panik. Aku bahkan sudah terbayang diseret ke kantor polisi dan menghabiskan malam di sel tahanan.

"Eh, enggak, kok. Saya enggak nuduh kamu yang ngambil," sangkalnya seraya mengibaskan kedua tangan. "Kalau kamu yang ambil, enggak mungkin kamu mau mengembalikan ke saya, 'kan?"

Meski beliau tidak menuduh, tetap saja aku merasa tidak enak hati. Aku sampai kebingungan memikirkan langkah apa yang bisa kuperbuat untuk membersihkan nama baikku dan menemukan dompet beliau.

Di momen genting itulah Jevin datang sebagai penyelamatku. Dia menghampirinya mamanya dan memberikan dompet-yang katanya tercecer di kursi penonton. Pada detik itu juga akhirnya aku mengetahui bahwa aku berurusan dengan mamanya bosku.

Sejak hari itu, entah kenapa aku dan mamanya Jevin kerap bertemu secara tidak sengaja, baik itu di mall ataupun salon kecantikan langgananku. Kami cocok dalam mengobrol hingga beberapa kali beliau mengajakku makan bersama.

Dua bulan kemudian beliau mengungkapkan keinginan untuk menjadikanku sebagai menantu. Waktu itu, aku senang sekali membayangkan diriku menjadi istri CEO setelah jomlo menahun. Kupikir dengan menjadi istri CEO kehidupanku akan menjadi lebih mudah dan santai. Aku lupa bahwa bosku ini memiliki karakter yang unik dan aneh.

"Kalau tau bakalan kayak gini, mending jomlo seumur hidup, deh. Soal sex gampang. Sekarang, 'kan, banyak jasa penyedia lelaki panggilan yang bisa memuaskan perempuan gatal sepertiku."

Ya, sefrustrasi inilah aku sekarang. Namun, apa hendak dikata? Pisang sudah terlanjur menjadi smoothies. Aku tidak mungkin meminta cerai saat aku sendiri belum 'mencicipinya'. Lagipula kasihan Papa dan Mamaku. Mereka pasti malu gara-gara putrinya menjadi janda setelah lima jam resepsi usai.

"Okay, you're so beautiful, Jena! You're sexy!" pujiku sambil meraba lekuk pinggangku. Pantulan diriku dalam cermin begitu memuaskan. Memakai lingerie hitam, ketat, dan kurang bahan membuat kepercayaan diriku bangkit. Jade double V bodysuit ini membuatku merasakan sensasi menjepit-jepit di bawah sana.

"Now it's time to let go of my virginity," gumamku mantap sambil memutar badan tanpa mengalihkan pandangan dari cermin.

Puas menyaksikan kecantikan diri, aku melenggang keluar kamar mandi dan mendapati Jevin sudah duduk bersandar dan berselonjor kaki di tengah ranjang. Dia sudah melepaskan tuxedo, menyisakan kemeja putih yang kedua lengannya ditarik sampai ke siku. Pandangannya terfokus pada tablet yang dipegang.

"Mas!" panggilku sensual sambil berjalan meliuk-liuk seperti wanita penggoda. Aku juga memilin-milin rambutku dengan telunjuk.

Jevin hanya melirikku sebentar, tapi kemudian kembali fokus pada tablet-nya. Dia tidak terganggu ketika aku merangkak naik, duduk di sebelahnya, dan meraba-raba dadanya.

"Hari ini Kamis, 'kan, Mas?" tanyaku yang masih betah menggunakan nada sensual. Aku bahkan berani menyandarkan kepala di pundaknya tanpa permisi.

"Kamu enggak malu, ya, kayak pelacur gitu?" tanyanya datar tanpa memindahkan fokus dari dokumen yang sedang dibaca.

"Enggak, dong! Aku, 'kan, sekarang istrimu, Mas," jawabku seraya menciumi curuk lehernya.

Perempuan lain mungkin akan tersinggung dengan sebutan 'pelacur' tadi. Namun, hatiku tidak sesensitif itu. Aku justru sengaja bersikap seperti pelacur agar bisa memuaskan libidoku yang tidak pernah tersalurkan demi mematuhi larangan agama dan adat istiadat. Masa bodoh dengan lidahnya yang tajam. Lagipula bukankah dia ingin segera mempunyai anak? Jadi, bukankah sekarang kami harus cepat-cepat memulai penyemaian benih?

Tapi, memang dasar kanebo kering! Aku sudah meraba-raba dan menciuminya di segala titik yang terbuka, tapi dia masih saja bergeming. Dia bahkan tidak terganggu saat menandatangani dokumen digital.

Kalau gini caranya, lama-lama gue bisa basah sendirian, nih. Duh, udah enggak tahan! Ini cowok kapan, sih, mau bereaksi?

Aku benar-benar heran, kenapa Jevin masih bisa terlihat tenang, padahal aku sudah memastikan bahwa miliknya sudah mengeras di bawah sana. Apakah dia tidak merasa sesak? Apakah dia belum tergoda untuk-

"Kamu enggak bisa sabar dikit, ya? Saya masih sibuk. Wait five minutes!" pintanya yang masih betah menatap layar gawai.

Baiklah. Asalkan bukan hitungan jam, aku rela menunggu.

Kira-kira adegannya bakal sama enggak, ya, kayak di film-film biru? Ah, kalau sama, gue khawatir kalau desahan gue bakal-eits! Hotel ini kedap suara, 'kan? Jadi, harusnya gue enggak perlu khawatir sama tetangga kamar sebelah. Gue bisa teriak sepuas hati.

Asyik! Akhirnya Jevin mematikan tablet dan meletakkannya di atas nakas sisi kiri. Aku sudah kegirangan karena mengira dia akan langsung mencumbuku. Ternyata, dia cukup lama berdiam diri dan menatapku datar tanpa ekspresi. Aku kehilangan semangat begitu mencapai menit ke tiga. Kupikir dia akan mengutarakan penolakan dengan alasan lelah untuk menghindari malam pertama, tapi ternyata ....

Kucing mana tahan kalau diiming-imingi ikan? Sekenyang-kenyangnya, dia pasti nyambar, kok.

Aku tertawa dalam hati saat merasakan keganasannya meraup bibirku. Dia seperti pemain pro yang baru saja dilepas untuk melawan si amatir.

Jika tadi aku berusaha mengitimidasi, sekarang justru akulah yang merasa terintimidasi. Cumbuannya benar-benar melelahkan dan tanpa jeda, membuatku kewalahan untuk hanya sekadar bernapas.

"Are you ready to start now?" tanyanya saat berhenti sejenak dengan napas tersengal-sengal.

Bukannya menjawab aku justru terperangkap ke dalam tatapan mata sipitnya. Kubelai pipinya, kusapu keringat di dahinya, lalu kuraup bibirnya. Semoga saja dia paham bahwa tindakanku adalah jawaban yes atas pertanyaannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status