Ketika kesabaran seorang wanita sedang diuji dengan sakitnya cinta maka hal yang tidak terduga dapat saja ia lakukan meski tidak sesuai dengan sikap atau pun sifatnya selama ini.
Dyandra sendiri sebenarnya adalah seorang wanita yang penyabar dan penuh kasih sayang. Selama ini ia dan Arka selalu berlomba-lomba untuk meminta maaf terlebih dahulu apabila mereka baru saja bertengkar hebat.Namun, kali ini ia sudah terlalu sakit dan frustasi dengan keadaan hidupnya sampai ingin berbuat sesuatu yang bisa membalaskan rasa sakit hatinya. Ia ingin Cersey sang wanita simpanan suaminya merasakan sakit yang ia rasakan yaitu hanya terdiam ketika melihat lelaki tercinta bermesraan dengan wanita lain.“Lakukan segera!” dukung Drupadi tertawa memeluk adik semata wayangnya. “Kamu yakin dia akan cemburu?” lanjutnya memastikan.“Entahlah, tapi ekspresi wajahnya selalu berubah setiap melihat Arka bersamaku,” jawab Dyandra terkekeh.“Lalu untuk Arka? Akan kamu apakan anak tengil itu? Sejak dulu aku tidak suka dengan dia! Kamu, sih, tetap memaksa menikah dengannya!” omel Drupadi bersungut-sungut.Usia Drupadi yang terpaut sepuluh tahun di atas Dyandra, tidak membuat persaudaraan mereka menjadi renggang.“Aku belum ada rencana untuk Arka. Dia semakin lama semakin bersikap manis. Ini, lihat kalungku,” pamer Dyandra tertawa pahit.“Orang kalau selingkuh itu, biasanya jadi lebih mesra dan nafsu sama pasangannya. Jangan heran kalau setelah ini dia semakin tergila-gila denganmu!” sahut Drupadi melempar sepotong kain contoh pakaian pada adiknya. Mereka tertawa terbahak meski terlihat jelas garis kesedihan di mata Dyandra. “Kamu harus sabar, Dya,” ucap Drupadi kemudian kembali memeluk dan menepuk-nepuk pundak adiknya.Dyandra mengangguk pelan. Semua sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. Keinginannya memiliki anak harus dibarengi dengan semua drama ini. Hanya satu harapan yang membuat dirinya tetap bersemangat adalah bayangan saat bayi itu lahir dan dia dapat menimangnya dalam pelukan.***“Aku ada hadiah untukmu, Say,” sambut Dyandra begitu Arka memasuki kamar tidur mereka.Hari ini Arka pulang agak sore dari kantor karena sudah berjanji akan mengajak dua wanita dalam hidupnya itu pergi menonton bioskop.“Oh ya? Aku kira kamu tidak peduli lagi padaku?” canda Arka mungkin setengah serius.“Darimana kamu punya pikiran seperti itu?” Dyandra terkejut mendengarnya.“Well, sejak dokter mengatakan … you know, bahwa ada masalah dengan kandunganmu, kamu berubah,” jawab Arka canggung lalu mengambil kotak hadiah dari tangan istrinya.Kembali hati Dyandra bergejolak. Ia mulai memikirkan perkataan Arka.Aku berubah? Seperti apa? Tapi, meskipun aku berubah, bukan berarti kamu bisa naik ranjang wanita lain tiap malam! Desis Dyandra membatin.“Wow! Jam tangan yang bagus sekali!” Arka menyukai hadiah pernikahannya. “Kemarilah …,” ucapnya kalem menarik tubuh Dyandra mendekat.Tanpa menunggu lama Arka mulai menjamah bibir sang istri dengan sapuan bibirnya sendiri. Telapak tangannya segera meraba punggung Dyandra dan terus turun ke bawah.“Kita jadi nonton bioskop?” kelit Dyandra diantara hujan ciuman Arka.“Jadi. Kasihan … Cersey. Dia … butuh … hiburan.” Arka terbata menjawab karena bibirnya sibuk melumat bibir Dyandra.“Perhatian sekali kamu terhadap Cersey,” sindir Dyandra sinis.“Kamu cemburu?” Arka menghentikan ciumannya dan menoleh cepat. Matanya justru terlihat berbinar.“Tidak. Buat apa?” kelit Dyandra berusaha cuek.Wajah Arka nampak sedikit kecewa mendengar jawaban istrinya. Ia berharap untuk bisa merasakan Dyandra menginginkan dirinya. Namun lagi-lagi, ia harus kecewa dengan jawaban datar dan normatif dari istrinya.“Ayo, kita berangkat sekarang.” Arka memutuskan untuk melangkah keluar sambil menggandeng tangan Dyandra. Ia tidak ingin memperpanjang lagi pembahasan cemburu ini.Di ruang tamu bawah, Cersey sudah siap menunggu. Wanita cantik yang masih muda berseri-seri dengan perut buncitnya menebar senyum manis menunggu kedatangan Arka dan Dyandra.Ia hanya memakai baju terusan tanpa lengan, dengan panjang sepuluh centi di atas lutut.“Yuk, berangkat,” ajak Arka menatap Cersey.Dyandra segera memperhatikan tatapan mata Arka kepada Cersey. Ia penasaran, apakah ada tatapan cinta, sama seperti cara Arka selalu menatapnya?Ternyata, tatapan itu ada walau hanya sekilas. Arka memang terbukti menatapnya lebih dari sekedar berteman. Hati Dyandra sesak melihatnya. Perih bagai tertusuk duri dari mawar yang begitu indah.“Ayo, Cersey,” ajak Dyandra sambil sengaja bermanja dengan memeluk Arka dari belakang.“Iya, mbak,” jawab Cersey tidak berkedip melihat Dyandra bergelayut manja di lengan Arka. Ekspresi wajah wanita muda ini berubah agak masam ketika ia ada di belakang Dyandra yang begitu mesra dengan Arka.Seandainya saja kamu tahu, betapa suamiku ini sangat mencintaiku. Kamu tidak lebih dari pemuas nafsunya saja, Cersey! Batin Dyandra mencibir saingannya.Seandainya saja kamu tahu betapa suamimu sangat hebat di atas ranjang bersamaku, Dyandra! Hati Cersey membanggakan kepiawaiannya dalam bercinta.Kedua wanita itu saling melempar senyum berbarengan dengan saling mengumpat satu sama lain dalam hati masing-masing.***Ketiganya memutuskan untuk menonton film drama berjudul “A Marriage Story”. Arka duduk di pojok. Berderet di sebelahnya adalah Dyandra dan Cersey.Sepanjang menonton bioskop, Arka tak henti menggenggam erat tangan istrinya. Sesekali ia mencium tangan Dyandra, lalu mendekap di dadanya.Sementara Dyandra yang sengaja ingin membuat panas Cersey, berkali-kali memeluk Arka, dan mencium mesra sang suami.Hanya saja, semakin mendekati akhir film, hati Dyandra merasa semakin sesak. Sejatinya film itu menceritakan pedihnya proses perceraian sepasang suami istri yang sebetulnya saling mencintai.Tanpa bisa ia tahan, air matanya menetes perlahan membasahi pipi mulusnya. Rasa sakit yang ia lihat di film seakan seiring dan senada dengan apa yang sedang ia rasakan jauh di dasar lubuk hatinya.“Kamu menangis?” bisik Arka mendekatkan wajahnya pada Dyandra.“Tidak, aku ‘kan sudah bilang, kalau aku kena flu,” dusta Dyandra menyeka air matanya.“Terharu lihat film-nya?” Arka bertanya lagi.“Diamlah, Mas. Aku baik-baik saja!” tukas Dyandra menyeka air matanya.“Kenapa, Mbak?” tanya Cersey ikut memperhatikan Dyandra yang berusaha berhenti menangis.Masih bisa kalian bertanya ada apa dan kenapa? Kalian manusia tidak punya hati! Racau Dyandra dalam kalbunya yang terseok perih.“Ayolah, film sudah selesai. Aku mau ke kamar mandi dulu.” Dyandra segera berlari keluar studio.Arka dan Cersey bengong melihat polah Dyandra. Keduanya kemudian berjalan perlahan menuruni tangga di bioskop menuju pintu keluar.“Ada apa dengan istrimu?” desis Cersey pada Arka.“Aku juga tidak tahu. Kenapa dia menangis? Film itu tentang perceraian, bukan? Jangan-jangan dia ingin meninggalkan aku?” Arka menebak-nebak dan menjadi kalut sendiri.BERSAMBUNGSeorang wanita sedang duduk di sebuah meja restoran bersama satu orang anak perempuan berusia tiga tahun yang teramat cantik dan menggemaskan. Keduanya nampak asyik memandangi layar ponsel. Sang Bunda berucap, “Hari ini kita merayakan ulang tahunnya Ayah Arka. Kamu harus selalu mendoakan Ayah Arka, ya?” Mengatakan itu dengan mata berbinar, mengecup kening putrinya dengan khidmat. Ada satu desiran perih yang tak pernah bisa tertutup sempurna di dalam kalbu sang wanita. Ada satu cinta yang akan selalu ia kenang. Dari seseorang yang telah berkorban nyawa untuknya. Maka, ia akan memastikan nama sang almarhum suami selalu harum di mata putri mereka. Hasya yang baru menginjak usia tiga tahun hanya manggut-manggut mendengar permintaan ibunya. Ia menatap layar dan memandangi lelaki yang disebut sebagai ayahnya. “Ayah Arka, ya, Bunda?” ucapnya manis dan polos. “Iya, Ayah Arka. Setelah dari restoran ini, kita akan mengunjungi makamnya dan berdoa di sana
Dyandra datang ke rumah duka yang telah dipenuhi oleh keluarga besar Hasbyan serta kerabat lain. Rumah itu, tempatnya tinggal bersama Arka selama sepuluh tahun terakhir. Melangkah gontai, naik ke lantai dua, ke kamar mereka. Sekelebat ingatan muncul. Bahwa pada suatu waktu, ia melangkah dengan kegontaian yang sama di tangga ini setelah mendengar dengan telinganya sendiri bagaimana sang suami meniduri wanita lain. “Tuhan, kenapa sakit sekali?” tangisnya terisak ketika duduk di atas ranjang dan memandangi seluruh kamar tidur mereka. Foto pernikahan, foto liburan keliling dunia, bahkan foto saat mereka masih kuliah bersama terpampang rapi di sana. Arka tidak pernah mengenyahkan foto-foto ini, bahkan setelah surat curai ia layangkan satu bulan lalu. Hancur, Dyandra sangat hancur melihat semua kenangan diri yang tak akan terulang kembali. Perih yang tak terperi mengoyak setiap detik hingga air mata tak bisa berhenti mengalir. Mengambil pi
Pintu ruang operasi terbuka dengan lambat. Beberapa orang keluar dan memperlihatkan bukan wajah-wajah yang senang atau pun bahagia. Akan tetapi ….“Keluarga Pak Arka?” Mereka kembali bertanya, dan Dyandra melangkah gontai. Di belakangnya ada Moeryati yang juga berjalan teramat limbung hingga harus dipegangi oleh adiknya. “Arka ….” Dyandra tidak bisa meneruskan pertanyaan. Kalimat selanjutnya menyangkut di tenggorokan. Satu kata yang tidak bisa ia ucap. Tidak, tolonglah jangan seperti ini! Tidak atas namanya! Jerit Dyandra di dalam hati. Bagaimana ia bisa memaafkan dirinya sendiri kalau akhirnya ….“Maafkan kami, tapi … untuk sesaat beliau stabil. Selanjutnya, ada pembuluh darah lain yang mendadak pecah di otak dan ….”“Anakku!” jerit Moeryati menghentakkan kaki ke lantai berkali-kali. Ia mengguncang tubuh Aryati semakin lama semakin kecang. “Arkaaa!” Ambruk sudah Moeryati ke atas lantai sambil menangis, meraung, tersedu-sedu d
Batara terbelalak, begitu pula istrinya dan sang besan. Anak-anak mereka menjadi target pembunuhan? Kegilaan apa lagi ini di rumah tangga Dyandra dan Arka.“Di pinggir jalan tadi ada sebuah bengkel sepeda motor yang sudah tutup. Dia memiliki CCTV yang mengarah ke jalanan. Kami sudah memeriksanya dan apa yang terlihat makin menguatkan bukti bahwa ini bukanlah kecelakaan biasa,” tutur Sersan Andi. Dyandra masih termangu, ia mencoba mengingat apa yang terjadi. “Ban mobilku mendadak kempes. Pak Tri menepi. Tiba-tiba ada sepeda motor kencang menubruknya. Aku segera keluar untuk melihat kondisi Pak Tri. Kemudian … kemudian ….”Tak mampu meneruskan kalimat karena setelah itu terjadilah hal yang membuatnya sangat syok hingga kini. Kedua tangan gemetar saat mengingat detik demi detik nyawa hampir melayang. “Aku tidak tahu Arka dari mana … dia … dia … aku ditarik! Dia tertubruk mobil!” raung Dyandra memeluk ibunya dan menangis kencang. “Pak Arka
Terus menjerit, suara Dyandra mulai tertutup oleh sirine mobil ambulans dan polisi yang datang ke lokasi nahas tersebut. Orang ramai mengatakan tabrak lari kepada dua orang petugas hukum berseragam cokelat yang datang. Dari dalam ambulans, dua orang segera turun dan memeriksa keadaan Arka. “Kritis, cepat bawa ke rumah sakit,” ucap salah satu dari mereka dan berlari kembali ke dalam mobil untuk mengambil ranjang dorong. Pak Tri saat diperiksa oleh petugas ternyata sudah meninggal dunia. Leher sopir malang itu patah saat ditubruk sangat kencang oleh pengendara sepeda motor. Dengan dibantu oleh warga sekitar, ambulans berhasil membawa Arka masuk dan Dyandra duduk di kursi panjang, menatap nanar pada Arka yang sudah tidak sadarkan diri.“Halo, Dru?” isaknya menelepon sang kakak dan segera menjelaskan apa yang terjadi. “Tolong jemput Bu Wuri dan Hasya. Aku mau ke rumah sakit bersama Mas Arka!” pintanya sesenggukkan. Drupadi terengah, tidak
Dyandra spontan menuruni mobil saat melihat sopirnya tertubruk sepeda motor dengan kencang hingga terpental. Ia menjerit kencang sambil menghampiri. Sama sekali tidak tahu bahwa semua ini adalah rekayasa yang dibuat oleh Pondra dan Rani untuk menyingkirkan sang target. Baru saja beberapa detik di pinggir jalan raya, dua buah lampu terang menerjang. Sontak menoleh ke belakang, mata Dyandra terbelalak saat sebuah kendaraan menuju ke arahnya dengan snagat kencang. Tidak ada niat untuk mengerem, apalagi membanting setir agar tidak menubruknya. Dengan sangat jelas, mobil itu ingin menggempur tubuhnya. Semua terjadi dengan sangat cepat hingga rasa syok menguasai sang wanita. Membuat tubuhnya membeku tak dapat berbuat apa pun, termasuk menghindari bencana yang sebentar lagi terjadi. Seiring mendekatnya dua sinar bundar tersebut, Dyandra hanya bisa memejamkan mata dan menutup wajah. Ia pasrah jika memang ini akhir hidup yang tertulis untuknya.