Share

3. Tuhan! Kenapa Harus Seperti ini?

"Berdosa!" bentak Anilla dengan suara tinggi. Seperti ada kekuatan super meliputinya, dia bangkit sembari membanting tubuh Bagas ke atas kasur. 

Bugh!

Suara tubuh Bagas terpental. Tubuhnya terpelanting hampir ke ujung kasur dan punggungnya membentur dinding.

"Ann! Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu sudah melampaui batas, Anilla Prameswari!" Dia meninggikan suaranya sembari membulatkan mata. Bukan hanya tatapannya saja yang tajam, namun rahangnya pun ikut mengeras, menahan segala amarah dalam jiwanya.

Anilla mencoba menjauhi Bagas, perlahan dia memundurkan beberapa langkah untuk menjauhi Bagas. Namun, apalah daya, dengan cepat Bagas mampu menarik kembali Anilla, dalam pelukannya. 

"Tolong, Mas! Jangan jadi pemaksa seperti ini! Kalau kamu masih seperti ini, aku akan lari dan loncat dari gedung ini!" 

Hahahaha!

Tawa sumbang penuh ejekan terdengar dari bibir Bagas yang mengira bahwa kata-kata Anilla hanya gertakan.

"Acara usang! Kamu hanya menggertak, 'kan, Ann. Aku tahu tipe perempuan seperti kamu yang hanya bisa mengancam ketika mereka terdesak, bukankah begitu, Anilla Prameswari!" Bagas mendekati Anilla dengan senyuman seraya menaikan kedua alisnya. 

Sedangkan Anilla hanya bisa mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku–Aku sungguh-sungguh!" ucap Anilla terbata, walaupun dalam hati, dia membenarkan apa yang dikatakan Bagas, dia hanya berpura-pura.

"Loncat, sana!" titah Bagas.

"Ba–baik, aku loncat, nih! Aku...!" pekik Anilla sembari melangkah menjauhi Bagas. Satu, dua langkahnya mulai mendekati pintu balkon. Namun, sialnya setelah memberanikan diri untuk meloncat, kakinya malah tersangkut tirai panjang.

Bugh!

Anilla terjatuh dengan posisi yang mengkhawatirkan. Kaki kanannya tersangkut tirai sedangkan tubuh lainnya membentur kursi yang ada di sekitar balkon. "Ah, sial! Kenapa malah aku yang kena batunya?" gumam Anilla sembari membenarkan posisi duduknya.

Dengan langkah penuh percaya diri, Bagas mendekatinya. "Berani membantah lagi, istri kecilku! Butuh bantuan?" Dia menurunkan badannya dan berjongkok dengan melipat satu kakinya, di samping Anilla.

Hanya ada kata malu dalam benak Anilla, tetapi dia mencoba memberanikan dirinya. "Aku tidak butuh bantuan Anda, Juragan Bagas!" pekik Anilla penuh dengan ejekan. Dia mencoba berdiri, namun dia merasakan kebas yang sangat, disekujur kakinya. Beberapa kali mencoba, namun tetap tidak berhasil. 

Bagas yang masih ada di sampingnya, tersenyum menatap Anilla yang semakin menggemaskan dengan segala tingkah lakunya. "Masih belum butuh bantuan?" tanyanya kembali sembari berbisik di samping telinga Anilla.

Dengan tatapan tajam, Anilla mendelikkan matanya. Dia kembali berusaha mengangkat tubuh, tetapi usahanya tetap gagal. Lelehan air mata kini membasahi pipinya. "Susah, Mas. Kakinya susah digerakkan!" lirih Anilla sembari menahan malu dan sakit.

Sembari tersenyum, kemudian Bagas mengendong Anilla dan membaringkannya di atas kasur, "Aku lihat dulu," ucap Bagas sembari menarik perlahan kaki Anilla. Dan Anilla hanya bisa meringis ketika Bagas menyentuh kakinya.

"Aw! Pelan sedikit, Mas, sakit!" jerit Anilla sembari menggigit bibir bawahnya.

"Kayaknya kaki kamu terkilir, Ann. Kamu mau ke rumah sakit?" tanya Bagas, padahal dia bisa memijat kaki Anilla dan memulihkannya. Dahulu ketika kuliah, dia pernah menjadi pelatih karate. Apabila ada yang terkilir ataupun cidera, dia tau titik mana  yang harus dipijat. 

"Gak usah! Nanti juga sembuh sendiri!" jawab Anilla ketus.

Bagas menarik kembali kaki Anilla. Dia berpikir masa iya, dia harus mengendong Anilla terus menerus. 

"Tahan, ya!" seru Bagas.

"Ma-mau, apa!" teriak Anilla semakin membahana, ketika Bagas sedikit memutar dan memijat kakinya. Tangannya yang bebas, terus menerus memukul lengan Bagas, terkadang mencengkram, sampai meninggalkan bekas luka dari kuku Anilla. Bagas meringis ketika Anilla memperlakukannya seperti ini.

Setelah beberapa saat, Bagas menurunkan kaki Anilla sembari menggerakkan-gerakan tangannya yang sakit karena ulah Anilla. Dia membulatkan mata ketika menyingkap kaosnya.

"Anilla Prameswari, apa yang sudah kamu lakukan! Kamu sengaja memukul dan mencakarku!" ucapnya tegas sembari memperlihatkan lengannya yang lebam dan terluka karena cakaran.

Padangan Anilla menoleh pada lengan yang ditunjukkan Bagas. Sembari terkekeh dia berkata, "Itu pembalasan dari hati terdalam aku!" Tawanya kembali terdengar sumbang di telinga Bagas. Tapi kali ini, dia membiarkan Anilla dengan ejekannya.

"Gimana, kakinya? Masih sakit?" tanya Bagas dengan suara rendah.

Anilla mencoba menginjakkan kakinya dan berjalan perlahan dihadapan Bagas. "Masih ngilu, tapi sudah mendingan! Terima kasih, ya, Mas," ujarnya tulus.

"Biasa saja! Orang lain pun, pasti aku tolong. Kalau tengah kesulitan kayak gini," seloroh Bagas seakan tidak mempedulikan, kata-kata tulus dari bibir istrinya.

Anilla hanya mendengkus kesal ketika mendengar Bagas.

"Mas, kita pulang saja, Aku kangen sama Ambu!" ajak Anilla, berharap Bagas mengerti kenapa dia tidak ingin melanjutkan bulan madu bersamanya.

"Oh! Mau ngadu sama Ambu, kalau kamu jadi istri kedua!" ejeknya kembali.

Mata Anilla kembali membulat, wajah merona terganti dengan merah padam, "Ya Tuhan. Kenapa aku harus dipersatukan dengan manusia minus rasa ini?" jerit Anilla di dalam hatinya.

"Tidak, Mas! Biarkan ini menjadi rahasia diantara kita saja!" jawabnya singkat. Namun, menyimpan rasa perih yang sangat, dalam hatinya. Biarlah dia yang menyimpan sendiri kisah hidupnya ini. Dia tidak ingin menjadi beban kedua orangtuanya yang telah membesarkannya dalam pelukan kasih sayang. Terlebih lagi, dia tidak ingin ayahnya terkena serangan jantung hanya karena kecerobohannya memilih pasangan. Biarlah kegagalan yang dia rasakan, tertelan oleh waktu dan mungkin dia akan terbiasa dengan gelar sebagai istri kedua.

"Ok! Tapi hanya setengah hari saja! Setelah itu, kamu ikut ke rumahku," ucap Bagas santai sembari menaikan kaki kanannya di atas kaki kiri.

"Setengah hari! Itu terlalu cepat, Mas! Aku ingin bersama mereka, melepas mereka tanpa beban. Aku mohon, Mas!"  Mata Anilla memohon dengan menahan bulir mata yang telah membentuk disetiap sudut matanya.

"Keputusanku, tidak bisa dirubah, Ann! Kalau tidak mau, aku akan membawa semua barang yang telah aku berikan. Dan kamu akan menyaksikan ketika Ambu dan ayah kamu menjadi terhina di depan para tetangga!" Bagas kembali mengancam Anilla. 

Sebenarnya dia terkekeh sendiri ketika mengancam Anilla. Walupun dia tahu, apa yang telah dilakukan pada Anilla adalah perbuatan yang jahat, tetapi dia tidak mempunyai pilihan selain menyetujui permintaan istrinya. Dan barang yang telah dia berikan kepada Anilla, telah menjadi milik orangtuanya.

"Jadi, bagaimana? Mau tinggal setengah hari atau langsung pergi ke rumahku, pagi ini juga?" tanyanya sembari menoleh pada Anilla yang masih diam seribu bahasa.

Seakan tidak ada pilihan, akhirnya dengan berat hati, Anilla menyetujui permintaan Bagas. Pulang ke rumah orang tuanya, hanya untuk membereskan baju dan berpamitan saja.

"Tuhan! Kenapa jadi seperti ini? Tadinya aku membayangkan hidup bahagia bergelimang harta bersama suami yang bertabur dengan tahta. Namun, sekarang aku hanya bisa membayangkannya hidup diantara bayang-bayang suami dan istri pertamanya! Akh!" lirih Anilla sembari mengacak rambutnya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status