"Berdosa!" bentak Anilla dengan suara tinggi. Seperti ada kekuatan super meliputinya, dia bangkit sembari membanting tubuh Bagas ke atas kasur.
Bugh!
Suara tubuh Bagas terpental. Tubuhnya terpelanting hampir ke ujung kasur dan punggungnya membentur dinding.
"Ann! Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu sudah melampaui batas, Anilla Prameswari!" Dia meninggikan suaranya sembari membulatkan mata. Bukan hanya tatapannya saja yang tajam, namun rahangnya pun ikut mengeras, menahan segala amarah dalam jiwanya.
Anilla mencoba menjauhi Bagas, perlahan dia memundurkan beberapa langkah untuk menjauhi Bagas. Namun, apalah daya, dengan cepat Bagas mampu menarik kembali Anilla, dalam pelukannya.
"Tolong, Mas! Jangan jadi pemaksa seperti ini! Kalau kamu masih seperti ini, aku akan lari dan loncat dari gedung ini!"
Hahahaha!
Tawa sumbang penuh ejekan terdengar dari bibir Bagas yang mengira bahwa kata-kata Anilla hanya gertakan.
"Acara usang! Kamu hanya menggertak, 'kan, Ann. Aku tahu tipe perempuan seperti kamu yang hanya bisa mengancam ketika mereka terdesak, bukankah begitu, Anilla Prameswari!" Bagas mendekati Anilla dengan senyuman seraya menaikan kedua alisnya.
Sedangkan Anilla hanya bisa mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku–Aku sungguh-sungguh!" ucap Anilla terbata, walaupun dalam hati, dia membenarkan apa yang dikatakan Bagas, dia hanya berpura-pura.
"Loncat, sana!" titah Bagas.
"Ba–baik, aku loncat, nih! Aku...!" pekik Anilla sembari melangkah menjauhi Bagas. Satu, dua langkahnya mulai mendekati pintu balkon. Namun, sialnya setelah memberanikan diri untuk meloncat, kakinya malah tersangkut tirai panjang.
Bugh!
Anilla terjatuh dengan posisi yang mengkhawatirkan. Kaki kanannya tersangkut tirai sedangkan tubuh lainnya membentur kursi yang ada di sekitar balkon. "Ah, sial! Kenapa malah aku yang kena batunya?" gumam Anilla sembari membenarkan posisi duduknya.
Dengan langkah penuh percaya diri, Bagas mendekatinya. "Berani membantah lagi, istri kecilku! Butuh bantuan?" Dia menurunkan badannya dan berjongkok dengan melipat satu kakinya, di samping Anilla.
Hanya ada kata malu dalam benak Anilla, tetapi dia mencoba memberanikan dirinya. "Aku tidak butuh bantuan Anda, Juragan Bagas!" pekik Anilla penuh dengan ejekan. Dia mencoba berdiri, namun dia merasakan kebas yang sangat, disekujur kakinya. Beberapa kali mencoba, namun tetap tidak berhasil.
Bagas yang masih ada di sampingnya, tersenyum menatap Anilla yang semakin menggemaskan dengan segala tingkah lakunya. "Masih belum butuh bantuan?" tanyanya kembali sembari berbisik di samping telinga Anilla.
Dengan tatapan tajam, Anilla mendelikkan matanya. Dia kembali berusaha mengangkat tubuh, tetapi usahanya tetap gagal. Lelehan air mata kini membasahi pipinya. "Susah, Mas. Kakinya susah digerakkan!" lirih Anilla sembari menahan malu dan sakit.
Sembari tersenyum, kemudian Bagas mengendong Anilla dan membaringkannya di atas kasur, "Aku lihat dulu," ucap Bagas sembari menarik perlahan kaki Anilla. Dan Anilla hanya bisa meringis ketika Bagas menyentuh kakinya.
"Aw! Pelan sedikit, Mas, sakit!" jerit Anilla sembari menggigit bibir bawahnya.
"Kayaknya kaki kamu terkilir, Ann. Kamu mau ke rumah sakit?" tanya Bagas, padahal dia bisa memijat kaki Anilla dan memulihkannya. Dahulu ketika kuliah, dia pernah menjadi pelatih karate. Apabila ada yang terkilir ataupun cidera, dia tau titik mana yang harus dipijat.
"Gak usah! Nanti juga sembuh sendiri!" jawab Anilla ketus.
Bagas menarik kembali kaki Anilla. Dia berpikir masa iya, dia harus mengendong Anilla terus menerus.
"Tahan, ya!" seru Bagas.
"Ma-mau, apa!" teriak Anilla semakin membahana, ketika Bagas sedikit memutar dan memijat kakinya. Tangannya yang bebas, terus menerus memukul lengan Bagas, terkadang mencengkram, sampai meninggalkan bekas luka dari kuku Anilla. Bagas meringis ketika Anilla memperlakukannya seperti ini.
Setelah beberapa saat, Bagas menurunkan kaki Anilla sembari menggerakkan-gerakan tangannya yang sakit karena ulah Anilla. Dia membulatkan mata ketika menyingkap kaosnya.
"Anilla Prameswari, apa yang sudah kamu lakukan! Kamu sengaja memukul dan mencakarku!" ucapnya tegas sembari memperlihatkan lengannya yang lebam dan terluka karena cakaran.
Padangan Anilla menoleh pada lengan yang ditunjukkan Bagas. Sembari terkekeh dia berkata, "Itu pembalasan dari hati terdalam aku!" Tawanya kembali terdengar sumbang di telinga Bagas. Tapi kali ini, dia membiarkan Anilla dengan ejekannya.
"Gimana, kakinya? Masih sakit?" tanya Bagas dengan suara rendah.
Anilla mencoba menginjakkan kakinya dan berjalan perlahan dihadapan Bagas. "Masih ngilu, tapi sudah mendingan! Terima kasih, ya, Mas," ujarnya tulus.
"Biasa saja! Orang lain pun, pasti aku tolong. Kalau tengah kesulitan kayak gini," seloroh Bagas seakan tidak mempedulikan, kata-kata tulus dari bibir istrinya.
Anilla hanya mendengkus kesal ketika mendengar Bagas.
"Mas, kita pulang saja, Aku kangen sama Ambu!" ajak Anilla, berharap Bagas mengerti kenapa dia tidak ingin melanjutkan bulan madu bersamanya.
"Oh! Mau ngadu sama Ambu, kalau kamu jadi istri kedua!" ejeknya kembali.
Mata Anilla kembali membulat, wajah merona terganti dengan merah padam, "Ya Tuhan. Kenapa aku harus dipersatukan dengan manusia minus rasa ini?" jerit Anilla di dalam hatinya.
"Tidak, Mas! Biarkan ini menjadi rahasia diantara kita saja!" jawabnya singkat. Namun, menyimpan rasa perih yang sangat, dalam hatinya. Biarlah dia yang menyimpan sendiri kisah hidupnya ini. Dia tidak ingin menjadi beban kedua orangtuanya yang telah membesarkannya dalam pelukan kasih sayang. Terlebih lagi, dia tidak ingin ayahnya terkena serangan jantung hanya karena kecerobohannya memilih pasangan. Biarlah kegagalan yang dia rasakan, tertelan oleh waktu dan mungkin dia akan terbiasa dengan gelar sebagai istri kedua.
"Ok! Tapi hanya setengah hari saja! Setelah itu, kamu ikut ke rumahku," ucap Bagas santai sembari menaikan kaki kanannya di atas kaki kiri.
"Setengah hari! Itu terlalu cepat, Mas! Aku ingin bersama mereka, melepas mereka tanpa beban. Aku mohon, Mas!" Mata Anilla memohon dengan menahan bulir mata yang telah membentuk disetiap sudut matanya.
"Keputusanku, tidak bisa dirubah, Ann! Kalau tidak mau, aku akan membawa semua barang yang telah aku berikan. Dan kamu akan menyaksikan ketika Ambu dan ayah kamu menjadi terhina di depan para tetangga!" Bagas kembali mengancam Anilla.
Sebenarnya dia terkekeh sendiri ketika mengancam Anilla. Walupun dia tahu, apa yang telah dilakukan pada Anilla adalah perbuatan yang jahat, tetapi dia tidak mempunyai pilihan selain menyetujui permintaan istrinya. Dan barang yang telah dia berikan kepada Anilla, telah menjadi milik orangtuanya.
"Jadi, bagaimana? Mau tinggal setengah hari atau langsung pergi ke rumahku, pagi ini juga?" tanyanya sembari menoleh pada Anilla yang masih diam seribu bahasa.
Seakan tidak ada pilihan, akhirnya dengan berat hati, Anilla menyetujui permintaan Bagas. Pulang ke rumah orang tuanya, hanya untuk membereskan baju dan berpamitan saja.
"Tuhan! Kenapa jadi seperti ini? Tadinya aku membayangkan hidup bahagia bergelimang harta bersama suami yang bertabur dengan tahta. Namun, sekarang aku hanya bisa membayangkannya hidup diantara bayang-bayang suami dan istri pertamanya! Akh!" lirih Anilla sembari mengacak rambutnya sendiri.
Perjalanan hidup Anilla memang membingungkan. Sesekali dia membentur-benturkan kepala pada jok mobil, sembari memejamkan mata. Tangan kanan memijat bagian antara kedua alisnya. Dalam benak hanya memikirkan cara, supaya orangtuanya tidak mengetahui permasalahan yang tengah terjadi. Hati Anilla semakin pedih ketika dia harus berbohong. Tidak pernah sekalipun, dia berkata bohong di depan ayah dan ambu-nya. Namun, sekarang mau tidak mau dia harus melakukannya. "Ya Alloh! Ampuni segala dosa yang telah hamba perbuat!" lirih Anilla. Tanpa sadar lelehan air mata keluar dari tiap sudut matanya. Namun, dia tidak berani untuk membuka mata. Dia terus berpura-pura tertidur di dalam mobil sedan hitam milik Bagas. Bagas menoleh pada Anilla yang sedari tadi hanya diam seribu bahasa. Lelehan-lelehan air mata Anilla kini mulai mengusik rasa bersalahnya. "Kenapa aku harus jadi orang sejahat ini? Sebenarnya aku tidak ingin menyakiti kamu, Ann. Maafkan aku!" gumamnya dalam batin. "Ann! K
"Di mana Ayah sama Ambu, Mang? Cepat katakan!" bentak sembari menangis. Kini tangisannya seakan tak mampu terkendali. Kedua tangannya mencengkram bahu Mamang dan tanpa sadar kini tubuhnya duduk di atas lantai dingin. Dia menangis meraung-raung, ditambah suaranya yang semakin lirih. Paman Anilla hanya mengeryitkan dahinya, ketika melihat kondisi Anilla yang tak pernah bersikap seperti ini. Dengan lembut dia menurunkan tangan Anilla, "Neng Anilla, dengarkan, Mamang! Mamang mah baru pertama lihat neng Anilla nangis seperti ini!" telisik si Mamang karena sepengatahuan dia, kehidupan Anilla sangat jauh dari kata sedih dan susah. "Anilla takut mereka sakit, Mang!" teriak Anilla meluapkan segala kekesalannya. Ya, mungkin dia menangis bukan hanya khawatir pada orang tuanya, tetapi lebih pada menyalurkan rasa marah dan sedih yang dia rasakan pada saat ini. Bagas tak berani mendekati Anilla karena dia pun sadar, memberikan ketenangan pada Anilla hanya membuatnya semakin terluk
Setelah membereskan pakaian Anilla dan beberapa barang kesayangannya. Mereka memutuskan langsung pulang ke rumah Bagas. Dalam hati, Anilla hanya berharap baik-baik saja. Meskipun rasa cemas terus bergelayut dalam pikirannya. Cemas membayangkan kalau istri pertama Bagas akan menjambak rambutnya yang selalu dia rawat. Membayangkan pukulan demi pukulan akan dia terima. Dengan menghela napas panjang Anilla hanya bisa pasrah. "Nasi sudah jadi bubur, Anilla. Jalani semua ini dengan ikhlas!" batin Anilla berkata.Perjalanan yang terasa panjang, pasalnya baru kali ini Anilla datang ke rumah Bagas. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, selama perjalanan benaknya hanya diliputi oleh semua pemikiran yang belum terjadi. Memang karakter Anilla seperti itu, dia gadis yang selalu terlihat ceria dan tenang padahal kenyataannya dia seorang gadis yang selalu merasa cemas dan manja."Kamu mau makan dulu, Ann?" Bariton Bagas memecah keheningan.Netra Anilla beralih pad
Mobil Bagas terparkir di rumah elite dengan design modern, cat warna putih mendominasi rumah tersebut. Taman terhampar mewah dengan rumput hijau yang terpelihara. Beberapa mobil terparkir di rumah besar. Seharusnya Anilla bahagia, ketika melihat segala kemewahan yang ditampilkan di depan mata. Namun, sekarang lihatlah kini dia hanya bisa menundukkan pandangannya. Tak bergeming ketika Bagas mengajaknya masuk ke dalam rumah. "Ayo, masuk, Ann!" ajak Bagas. Dia menunjuk dengan wajahnya. Anilla hanya tersenyum sekilas. Melihat suaminya, yang kini telah menjadi imamnya. Dia mengiringi langkahnya dengan do'a-do'a, hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja. Bagas melangkah melewati Anilla, sedangkan Anilla berjalan di belakangnya. Bagas mengetuk pintu dan keluar lah seorang perempuan cantik dengan riasan natural. Tanpa mempedulikan Anilla, Bagas langsung memeluk dan mencium istri pertamanya ini. Jangan tanya lagi kini hati Anilla begitu sakit, terasa ribuan belati menghu
"Tega kamu, Mas! Setiap detik kamu menghancurkan hidupku, terakhir kamu berkata akan berusaha mencintai aku! Tapi, sekarang kata-katamu bagai belati yang menusuk hati ini. Kamu terang-terangan tidak akan membagi cintamu untukku!" lirih Anilla, dia menarik kakinya dan melipatnya sedikit. Ingin rasanya berteriak atau menjambak kepala mereka yang dengan sengaja melukai dirinya."Tak ada lagi yang bisa aku lakukan, aku hanya bisa diam dalam sunyi. Membayangkan kalian selalu bersama sedangkan aku hanya jadi boneka patung yang terpajang tanpa arti," gumam Anilla seraya menangisi semua kejadian yang baru saja dilihat dan didengarnya.Perlahan dia membalikkan tubuh ringkihnya karena tidak sanggup lagi menatap jelas suami dan sahabatnya, berpelukan di depan mata. "Kapan cintamu akan berlabuh pada hatiku, Mas? Apakah aku sanggup melihat dan menjalani semua ini? Aku menyerah, aku lemah, aku hanya bisa pasrah menunggu kepastian dari takdir Illahi!" lirihnya kembali terdengar karen
"Mas, sudahi! Aku tidak mau menyakiti Adisti! Aku bilang lepas!" bentak Anilla dengan tatapan tajam. "Aku masih menikmatinya, Sayang!" rengek Bagas sembari menempelkan bibirnya pada bahu Anilla. "Tolong, Mas! Mengerti keadaan kami berdua. Walaupun, pernikahan ini saran Adisti tapi dia juga perempuan yang mudah terluka!" tegas Anilla dengan nada tegas. Dengan wajah kesal Bagas bangkit dari tubuh Anilla, kemudian bersandar di ranjang. "Aku ingin belajar mencintai kamu, Ann. Dan kamu sudah membuatku mabuk oleh wangi tubuhmu!" Suaranya semakin manja. Sesaat Bagas menoleh pada Anilla, dia mengembangkan senyuman ketika melihat rambut Anilla yang berantakan karena ulahnya. Dengan lembut dia merapihkan rambut Anilla. "Kamu cantik, Ann!" kilah Bagas yang mampu membuat tubuh Anilla melayang tinggi, terasa ribuan kupu-kupu menari indah di dalam perutnya. Wajah Anilla menoleh sesaat pada Bagas, "Sudah, Mas! Jangan gombal deh, kita temui Adisti! Di mana kamar mandinya?" t
"Menurutlah! Kalau kamu masih membantah... maka ganjarannya, semua harta yang aku berikan pada ayah dan ambu akan aku tarik kembali! Camkan itu!" bentak Bagas setengah berbisik tepat di samping kanan daun telinga Anilla.Mendengar kata-kata Bagas yang terkesan menyombongkan diri, amarah kembali membuncah dalam batin Anilla. "Silakan ambil kembali semua harta yang telah Anda berikan. Tapi ingat kalau benih ini tumbuh menjadi janin, jangan coba-coba mengambilnya dariku!" ujar Anilla seraya membalikkan tubuh. Matanya kini menatap Bagas dengan tatapan tajam tanpa berkedip. Dalam benaknya hanya ada kata benci ketika Bagas selalu mengancam kelemahannya.Plak!Plak!Dua tamparan keras kini mendarat di pipi mulus Anilla. Sesaat Anilla menatap Bagas dengan tatapan penuh tanya. "Apa Adisti diperlakukan seperti ini juga?""Sakit? Tamparan ini adalah hukuman supaya kamu tidak berkata seperti itu lagi! Aku ini suami kamu, Anilla! Dosa hukumn
Dalam kalut Anilla membereskan baju dari lemari, dan memindahkannya ke dalam koper.Dia sudah tidak peduli lagi, apa yang akan dikatakan oleh ayah dan ambu. Anilla sangat yakin ketika sampai di rumah, orang tuanya akan menghujani dengan rentetan pertanyaan dan wejangan. Tetapi hal itu akan lebih terasa lebih baik daripada terus bersinggungan dengan wajah-wajah munafik Bagas dan Adisti.Tok!Tok!Suara ketukan terdengar jelas, tapi tak memberhentikan aktivitas Anilla, dia terus membereskan barang-barangnya. Dia sangat yakin pasti Adisti dan Bagas ada di belakang pintu. Entah apa rencana mereka, apa untuk melepaskan atau menahannya?"Ann! Tolong buka pintunya! Kita harus bicara!" pinta Bagas sembari berdiri di balik pintu kamar Anilla. Wajah Anilla semakin berang, ketika mendengar suara Bagas. Tangannya terus memasukkan semua barang-barang miliknya dengan kasar."Ann!"Kini terdengar suara lembut Adisti