Mendengar penjelasan dari putrinya membuat Johan menggaruk tengkuknya. Mengapa aku sampai melupakan hal itu? Monolog Johan dalam hati. Johan terdiam beberapa saat, setidaknya ia harus memikirkan cara untuk mencari jalan keluar atas permasalahan putrinya, karena memang dia sendiri yang membuat putrinya terlibat. "Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Johan penuh selidik. "Aku akan tetap seperti ini, ayah." Ujar Laura dengan tenang. "Nak, setidaknya situasi tadi tidak terlihat oleh Arini. Kamu bisa bersikap sesuai dengan yang ayah katakan tadi." Ujar Johan memberi solusi. Laura menatap wajah ayahnya dengan penuh heran. "Aku bukan bunglon yang bisa menyesuaikan sikapku dengan keadaan. Aku tak biasa memakai topeng seperti itu, ayah. " Ujar Laura dengan tegas. "Tapi Ayah tak enak sama Nak Reno. Ayah kasihan melihat dia diperlakukan seperti itu." "Jadi, Ayah lebih merasa kasihan pada Reno daripada aku yang merupakan korban disini?" Tanya Laura dengan penuh
Sementara itu, di ruangan Laura masih terdengar perdebatan kecil antara Laura dan Reno. Reno ingin memenuhi janjinya untuk menemani Laura keluar ruangan, namun Laura bersikeras menolaknya. Setelah kejadian bersama Arini tadi, tentu saja Laura semakin menutup hati, enggan menerima segala bentuk perhatian dari Reno. "Sudahlah, Laura, aku sudah bilang, jangan hiraukan omongan Arini tadi. Kamu fokus saja sama kehamilan kamu ini, urusan Arini biar nanti aku selesaikan, tidak usah khawatirkan itu." Tegas Reno lalu mengambil kursi roda, didekatkannya ke ranjang Laura, kemudian dengan secara paksa, ia menggendong Laura agar duduk di kursi roda tersebut. Laura berusaha memberontak, namun tenaga yang ia punya tentu tak bisa menahan kekuatan Reno yang berhasil menangkap tubuhnya. "Daripada kamu memaksa seperti ini, akan lebih baik jika aku batal keluar, aku akan tetap disini." Ujar Laura dengan ketus, padahal tubuhnya sudah duduk dengan rapi di kursi roda tersebut. Tentu saja Reno
Arini mengikuti arahan Dokter Gina yang keluar dari ruangan tersebut. Dia mengikuti sampai Dokter Gina berhenti di ruangannya. Begitu sampai di ruangan tersebut, Arini segera menutup pintu dengan rapat lalu duduk di kursi yang tersedia di sana. Dokter Gina yang terbiasa akan hal itu hanya bisa menggelengkan kepala lalu membuka jas putih yang melekat di tubuhnya. Ia lekas duduk bersebrangan di depan Arini yang tampak lesu. Matanya menatap tajam wajah sahabatnya yang terlihat kusut. "Rini, terlepas dari masalah yang baru saja terjadi, aku kecewa banget karena kamu tak bisa mengendalikan emosi." Ujar Dokter Gina yang langsung mengutarakan apa yang ada di benaknya. 'Rini' adalah panggilan kecil Arini. Mereka sudah berteman sejak masa SMP, membuat keduanya terbiasa bersama menceritakan keluh kesah hidup masing-masing. "Lalu, aku harus diam saja melihat suamiku sendiri berkhianat di depan mataku sendiri?" Ujar Arini yang memutar bola mata malas. "Arini Jelita, sejak kamu meny
Laura terdiam beberapa saat, hatinya tersentuh dengan perlakuan Reno. Ia merasakan kenyamanan saat bersama Reno kali ini, Ia sedikit mendongakkan kepala agar bulir air tak jatuh dari ujung matanya, bulir air mata bahagia, ya, Laura merasakan setitik kebahagiaan mendapat perlakuan manis ini. Namun beberapa saat kemudian, Laura disadarkan oleh seseorang yang menatapnya dengan tajam. Seorang wanita yang tiba-tiba berdiri di belakang Reno, menatap mereka dengan wajah penuh penghakiman. Laura menepis pelan tangan Reno yang masih menempel di perutnya. "Cukup Reno, anak ini ada karena sebuah rencana. Harus berapa kali aku tegaskan, kita adalah suami istri yang terikat kontrak, status kita akan berhenti saat anak ini lahir, jadi berhentilah bersikap seperti ini." Ketus Laura sambil memalingkan wajahnya. Prok..prok..prokWanita tersebut bertepuk tangan seraya menghampiri keduanya. Sontak Reno melirik ke belakang, mencari sumber suara yang membuatnya sedikit kaget. "Arini!" Ujar Reno d
Laura terbangun saat matahari mulai menyalurkan kehangatannya. Dia menggeliat nikmat dengan mata yang memicing saat mulai merasakan sedikit silau dari cahaya yang menembus jendela. "Maaf mbak, jika hal ini mengejutkanmu, saya hanya terbiasa membuka tirai saat pagi agar cahaya masuk." Ujar seorang perawat setelah mengetahui Laura terbangun karena aktivitasnya. "Tidak apa-apa sus, malah bagus jadinya saya tidak terlalu kesiangan." Ujar Laura yang merasa tak enak. Laura tipikal anak yang selalu bangun pagi-pagi sekali, dia pekerja keras sehingga terbiasa bangun lebih awal, namun kali ini tidak biasanya ia terlambat bangun seperti ini. "Nggak kesiangan kok, mbak. Memang seharusnya anda lebih banyak istirahat agar cepat pulih." Ujar suster sambil mengecek sebentar infus yang tertancap di tangan Laura. "Tapi saya ingin keluar sus, badan saya pegal kalau tiduran terus seperti ini." Ujar Laura dengan memelas. "Baiklah, saya akan bawa mbak keluar ruangan sekalian untuk berjemur,
Setelah kepergian Tari, Laura mengambil ponselnya yang berada di atas nakas, tepat berada di samping ranjang rumah sakit. Ia baru teringat hari ini belum memberi ucapan Happy Anniversay ke Devan. Walau sangat terlambat, setidaknya belum berganti hari karena waktu masih menunjukkan pukul 21.00 malam. Jari tangan Laura bergerak dengan lincah. Mengetikkan satu per satu kata yang manis untuk mengungkapkan rasa cintanya pada Devan. Walau sebenarnya suasana hati Laura sedang terbalik dengan itu semua karena kejadian hari ini banyak yang membuatnya merasa gundah. Setelah beberapa kalimat tersusun rapi, Laura segera mengirimkan pesan cintanya itu pada Devan, ia juga baru sempat membalas pesan-pesan yang telah dikirim Devan untuknya. Selesai urusan pesan, Laura memeluk ponselnya yang menampilkan foto Devan di sana. Seketika suasana hati Laura berubah menjadi sangat membaik, ia tersenyum sendiri dengan ponsel yang masih melekat di dadanya. Belum selesai dengan bayangan indahnya bersa
Laura tampak kaget, ia sedikit curiga dengan sikap Arini yang menurutnya aneh. "Meskipun kita sesama wanita, tapi aku tak bisa menyelesaikan hajatku jika ada orang lain disini." Ujar Laura dengan gugup. "Kamu pikir aku sudi menyaksikan orang berak disini, hah?" Arini menatap tajam Laura, ia berbicara dengan nada yang pelan karena tak mau mertuanya curiga jika ia sampai berteriak di dalam kamar mandi. "Lalu, apa yang mbak lakukan disini?" Arini mendekati Laura dengan senyum sinisnya hingga mereka hanya berjarak beberapa senti. "Laura Adelia, selamat kamu berhasil mengambil hati mertuaku. Kamu ambil semua perhatian dan kasih sayangnya." Arini bertepuk tangan dengan pelan hingga nyaris tak mengeluarkan suara. "Aku akui, aku tak bisa sepertimu, hamil dan melahirkan keturunan keluarga Sanjaya. Namun kamu jangan pernah berharap untuk menggantikan posisiku di keluarga Reno." Arini menatap Laura dengan tajam, memegang rahang Laura dengan kencang membuat Laura kesusahan untuk
Laura membuka matanya perlahan, ia melihat ke sekeliling, dimana ada Tari yang tersenyum mendekatinya dan juga Arini yang berdiri memperhatikannya. "Mama." Kata Laura dengan lemah, ia masih belum mempunyai banyak energi untuk bicara sekalipun. "Iya, Laura. Apa yang kamu rasakan sekarang?" Tanya Tari dengan lembut. Laura hanya menggelengkan kepala kemudian berusaha untuk bangkit dari pembaringannya. "Kamu istirahat saja, jangan dulu bangun. Biar kami panggilkan dokter saja." Seru Tari mencegah Laura. "Biar aku saja yang panggilkan dokternya, ma." Kata Arini yang cemburu melihat kelembutan sikap Tari pada Laura. Arini melenggang keluar dengan langkah gontai. Ia tampak lesu, apalagi tadi dia mendengar kondisi Laura dari dokter yang membuatnya semakin risau, tak tahu harus bahagia atau sedih. "Mengapa aku bisa ada disini, ma?" Tanya Laura yang masih bingung, seingatnya tadi ia masih berada di kantor Reno. "Kamu tadi pingsan di kantor, Dina yang menemukanmu tergelet
“Aku tidak mendengar kabar pernikahannya. Dia seorang gadis, sudah setahun bekerja dengan sangat baik di kantor ini. Namun beberapa minggu lalu aku mendengar kabar kehamilannya yang tiba-tiba. Sebenarnya kabar ini merusak citra buruk perusahaan, aku juga sedang menangani hal ini.“ Reno kembali menjelaskan. Laura tampak kaget mendengar berita mengenai temannya sendiri. Ia menatap Reno lamat-lamat membuat Reno mengerutkan alisnya.“Kamu sama sekali nggak tahu tentang ini?” Tanya Reno yang heran melihat Laura tampak melongo. Laura menggelengkan kepala dengan wajah polosnya. “Nggak tahu.”Reno menepuk pelan keningnya. Baru saja akan berbicara kembali, tiba-tiba terdengar ketukan yang membuat keduanya melihat ke arah pintu. "Masuklah." Seru Reno, tanpa menunggu lama, Johan masuk dan menutup kembali pintu ruangan. "Baiklah, ayah sudah datang. Aku ada urusan sebentar, kamu bisa panggil Dina jika membutuhkan sesuatu. Ruangan Dina tepat di samping ruangan ini." Reno mengambil sebuah b