Laura terdiam beberapa saat, hatinya tersentuh dengan perlakuan Reno. Ia merasakan kenyamanan saat bersama Reno kali ini, Ia sedikit mendongakkan kepala agar bulir air tak jatuh dari ujung matanya, bulir air mata bahagia, ya, Laura merasakan setitik kebahagiaan mendapat perlakuan manis ini. Namun beberapa saat kemudian, Laura disadarkan oleh seseorang yang menatapnya dengan tajam. Seorang wanita yang tiba-tiba berdiri di belakang Reno, menatap mereka dengan wajah penuh penghakiman. Laura menepis pelan tangan Reno yang masih menempel di perutnya. "Cukup Reno, anak ini ada karena sebuah rencana. Harus berapa kali aku tegaskan, kita adalah suami istri yang terikat kontrak, status kita akan berhenti saat anak ini lahir, jadi berhentilah bersikap seperti ini." Ketus Laura sambil memalingkan wajahnya. Prok..prok..prokWanita tersebut bertepuk tangan seraya menghampiri keduanya. Sontak Reno melirik ke belakang, mencari sumber suara yang membuatnya sedikit kaget. "Arini!" Ujar Reno d
Laura terbangun saat matahari mulai menyalurkan kehangatannya. Dia menggeliat nikmat dengan mata yang memicing saat mulai merasakan sedikit silau dari cahaya yang menembus jendela. "Maaf mbak, jika hal ini mengejutkanmu, saya hanya terbiasa membuka tirai saat pagi agar cahaya masuk." Ujar seorang perawat setelah mengetahui Laura terbangun karena aktivitasnya. "Tidak apa-apa sus, malah bagus jadinya saya tidak terlalu kesiangan." Ujar Laura yang merasa tak enak. Laura tipikal anak yang selalu bangun pagi-pagi sekali, dia pekerja keras sehingga terbiasa bangun lebih awal, namun kali ini tidak biasanya ia terlambat bangun seperti ini. "Nggak kesiangan kok, mbak. Memang seharusnya anda lebih banyak istirahat agar cepat pulih." Ujar suster sambil mengecek sebentar infus yang tertancap di tangan Laura. "Tapi saya ingin keluar sus, badan saya pegal kalau tiduran terus seperti ini." Ujar Laura dengan memelas. "Baiklah, saya akan bawa mbak keluar ruangan sekalian untuk berjemur,
Setelah kepergian Tari, Laura mengambil ponselnya yang berada di atas nakas, tepat berada di samping ranjang rumah sakit. Ia baru teringat hari ini belum memberi ucapan Happy Anniversay ke Devan. Walau sangat terlambat, setidaknya belum berganti hari karena waktu masih menunjukkan pukul 21.00 malam. Jari tangan Laura bergerak dengan lincah. Mengetikkan satu per satu kata yang manis untuk mengungkapkan rasa cintanya pada Devan. Walau sebenarnya suasana hati Laura sedang terbalik dengan itu semua karena kejadian hari ini banyak yang membuatnya merasa gundah. Setelah beberapa kalimat tersusun rapi, Laura segera mengirimkan pesan cintanya itu pada Devan, ia juga baru sempat membalas pesan-pesan yang telah dikirim Devan untuknya. Selesai urusan pesan, Laura memeluk ponselnya yang menampilkan foto Devan di sana. Seketika suasana hati Laura berubah menjadi sangat membaik, ia tersenyum sendiri dengan ponsel yang masih melekat di dadanya. Belum selesai dengan bayangan indahnya bersa
Laura tampak kaget, ia sedikit curiga dengan sikap Arini yang menurutnya aneh. "Meskipun kita sesama wanita, tapi aku tak bisa menyelesaikan hajatku jika ada orang lain disini." Ujar Laura dengan gugup. "Kamu pikir aku sudi menyaksikan orang berak disini, hah?" Arini menatap tajam Laura, ia berbicara dengan nada yang pelan karena tak mau mertuanya curiga jika ia sampai berteriak di dalam kamar mandi. "Lalu, apa yang mbak lakukan disini?" Arini mendekati Laura dengan senyum sinisnya hingga mereka hanya berjarak beberapa senti. "Laura Adelia, selamat kamu berhasil mengambil hati mertuaku. Kamu ambil semua perhatian dan kasih sayangnya." Arini bertepuk tangan dengan pelan hingga nyaris tak mengeluarkan suara. "Aku akui, aku tak bisa sepertimu, hamil dan melahirkan keturunan keluarga Sanjaya. Namun kamu jangan pernah berharap untuk menggantikan posisiku di keluarga Reno." Arini menatap Laura dengan tajam, memegang rahang Laura dengan kencang membuat Laura kesusahan untuk
Laura membuka matanya perlahan, ia melihat ke sekeliling, dimana ada Tari yang tersenyum mendekatinya dan juga Arini yang berdiri memperhatikannya. "Mama." Kata Laura dengan lemah, ia masih belum mempunyai banyak energi untuk bicara sekalipun. "Iya, Laura. Apa yang kamu rasakan sekarang?" Tanya Tari dengan lembut. Laura hanya menggelengkan kepala kemudian berusaha untuk bangkit dari pembaringannya. "Kamu istirahat saja, jangan dulu bangun. Biar kami panggilkan dokter saja." Seru Tari mencegah Laura. "Biar aku saja yang panggilkan dokternya, ma." Kata Arini yang cemburu melihat kelembutan sikap Tari pada Laura. Arini melenggang keluar dengan langkah gontai. Ia tampak lesu, apalagi tadi dia mendengar kondisi Laura dari dokter yang membuatnya semakin risau, tak tahu harus bahagia atau sedih. "Mengapa aku bisa ada disini, ma?" Tanya Laura yang masih bingung, seingatnya tadi ia masih berada di kantor Reno. "Kamu tadi pingsan di kantor, Dina yang menemukanmu tergelet
“Aku tidak mendengar kabar pernikahannya. Dia seorang gadis, sudah setahun bekerja dengan sangat baik di kantor ini. Namun beberapa minggu lalu aku mendengar kabar kehamilannya yang tiba-tiba. Sebenarnya kabar ini merusak citra buruk perusahaan, aku juga sedang menangani hal ini.“ Reno kembali menjelaskan. Laura tampak kaget mendengar berita mengenai temannya sendiri. Ia menatap Reno lamat-lamat membuat Reno mengerutkan alisnya.“Kamu sama sekali nggak tahu tentang ini?” Tanya Reno yang heran melihat Laura tampak melongo. Laura menggelengkan kepala dengan wajah polosnya. “Nggak tahu.”Reno menepuk pelan keningnya. Baru saja akan berbicara kembali, tiba-tiba terdengar ketukan yang membuat keduanya melihat ke arah pintu. "Masuklah." Seru Reno, tanpa menunggu lama, Johan masuk dan menutup kembali pintu ruangan. "Baiklah, ayah sudah datang. Aku ada urusan sebentar, kamu bisa panggil Dina jika membutuhkan sesuatu. Ruangan Dina tepat di samping ruangan ini." Reno mengambil sebuah b
"Tinggallah bersama kami di rumah keluarga Wijaya." Seru Tari dengan wajah yang masih mengiba. Arini tampak melongo mendengar permintaan Mamanya pada Laura, sedangkan bagi Laura sendiri, ia tak begitu kaget karena sedari awal ia telah curiga sebelumnya. "Ma, tolong pikirkan kembali apa yang baru saja mama katakan. Secara tidak langsung kita akan membuka rahasia kita pada dunia." Arini menyela ucapan mama mertuanya dengan cepat, tanpa mau mendengarkan jawaban Laura yang sedang diajak bicara. Laura menganggukkan kepala tanda setuju pada ucapan Arini. "Tante, eh, maaf Ma. Kali ini aku belum bisa memenuhi keinginan Mama. Kontrak kita ini bersifat rahasia, aku tak ingin jika aku masuk ke rumah keluarga Wijaya malah akan mempersulit masalah. Aku dan Reno juga sudah sepakat, selama kontrak ini berlangsung, aku akan tetap tinggal di villa. Jadi dengan berat hati, aku tak bisa melakukan apa yang mama mau." Laura memegang kedua tangan Tari, ia berusaha meyakinkan Mama mertuanya. “Tapi i
Reno yang menerima penolakan itu merasa kecewa. Dia merasa canggung karena Laura yang berada di hadapannya kini malah tak ingin berteman sekalipun dengannya. Keduanya nampak diam tak bersuara, hanya suara detik jarum jam yang menjadi penggiring keheningan. Setelah diam beberapa saat, akhirnya Reno kembali mengutarakan pertanyaan yang sudah ingin mencuat dari jauh-jauh hari. "Hmm, Laura. Satu hal lagi yang harus aku tanyakan padamu." Kata Reno dengan gugup. Laura menaikkan sebelah alisnya, "Apa itu?" "Apa sekarang kamu mempunyai seorang kekasih?" Tanya Reno perlahan. Seketika Laura terdiam, ia meletakkan cangkir di atas nakas lalu menghembuskan napasnya pelan. "Ada, malah dia sedang berjuang di negeri orang untuk meminangku. Tapi..." Laura langsung menunduk, tak mampu melanjutkan ceritanya. "Maafkan aku. Aku telah membuat masalah baru di hidupmu. Bukan hanya soal kamu yang harus mengorbankan rahimmu, tapi juga perasaan, terutama hubungan kamu dengan kekasihmu. Aku tak be
Reno yang menyadari tingkah Arini hanya mengedikkan bahunya tak acuh, dia berfikir setelah ini hanya perlu sedikit merayunya saja. Reno terus membantu Laura sampai ke dalam kamar lalu membaringkan Laura di atas ranjang. "Laura, terima kasih banyak. " Ucap Reno yang ikut duduk di pinggir ranjang tempat Laura dibaringkan. "Aku tidak melakukan apapun yang mengharuskanmu mengucapkan terima kasih padaku." kata Laura tak acuh. Setelah Arini menemuinya di mobil, Laura lebih bersikap dingin pada Reno. Dia menjaga jarak, semata-mata untuk menghargai perasaan Arini yang menurutnya telah rapuh karenanya. "Aku sudah aman disini, lagipula ada Bi Ijah yang akan menemaniku. Lebih baik kamu susul saja istrimu, dia sedang membutuhkanmu." Ujar Laura kembali tanpa menatap wajah Reno. "Kamu juga istriku dan kamu lebih membutuhkanku sekarang." Tanpa sadar Reno berkata demikian, membuat ia segera memukul bibirnya sendiri karena berkata spontan seperti itu. Laura yang mendengarnya langsung me