LOGIN"Sudah lama menunggu?" Tanya Reno sambil duduk berseberangan dengan Laura.
"Maksud kamu? Jadi kamu?" Laura semakin diyakinkan dengan pertanyaan Reno barusan. Ia semakin tak percaya, akhir-akhir ini ia mendapat kejutan yang tak mengenakkan hati. Kenyataan ini sulit ia terima. Setelah bertahun-tahun tak bertemu, Reno tiba-tiba datang dan akan masuk dalam kehidupannya bersama masalah baru. "Kamu tentu sudah mengetahui maksud dan tujuanku kemari." Tanpa basa basi menanyakan kabar terlebih dulu, Reno langsung saja pada tujuan pembicaraannya agar Laura tak salah sangka. "Jadi benar, orang yang dimaksud ayahku adalah kamu?" tanya Laura lebih meyakinkan. Reno mengangguk mantap dengan senyum tipis di bibirnya. "Bagaimana bisa Reno? Kamu tentu sudah kenal Pak Johan adalah ayahku. Tentu saja kamu tahu yang kamu tuju itu aku? Kenapa harus aku?" Laura tak dapat menyembunyikan kekesalannya. "Justru karena itu kamu. Aku yakin kamu mampu. Kamu orang yang tepat yang bisa menolongku. Kita sudah kenal dekat sedari dulu, walau beberapa tahun tidak bertemu tapi aku yakin kamu masih Laura yang dulu kukenal." Laura menggelengkan kepalanya dengan mata yang mulai berair. "Kalau aku tak bisa menolongmu bagaimana?" "Ternyata benar dugaanku, kamu masih seperti dulu, gadis polos yang selalu lebih pesimis di awal, butuh banyak alasan untuk meyakinkanmu kalau kamu itu sebenarnya bisa. Padahal yang kamu takutkan selalu berakhir dengan kemenangan." "Kamu jangan mengaitkan ini dengan masa lalu Reno. Hal yang kamu lakukan sekarang lebih menghancurkanku dibanding saat kamu menikah dulu." Tak sadar Laura telah membuka rahasia yang dulu ia tutup dengan rapat. Kini tanpa rem, mulutnya bicara begitu saja. "Maksud kamu? Kehancuran saat aku menikah?" Reno mengerutkan kening, ia belum paham maksud dari yang disampaikan Laura. "Sudahlah, itu bukan urusanmu, yang jelas sekarang kamu telah berhasil membuat hidupku hancur. " Laura mengelak. "Maaf, aku tak bermaksud membuatmu hancur. Lagipula disini kita saling menguntungkan bukan? Kita masih sama seperti dulu, ibarat simbiosis mutualisme, saling membutuhkan satu sama lain. Jadi jangan merasa kamu yang paling dirugikan." Lagi-lagi Reno menyamakan dengan kebersamaannya dulu saat masih sekolah bersama Laura. "Aku wanita, Reno, yang aku korbankan adalah harga diriku, sedangkan kamu berkorban uang yang dengan mudah bisa kamu dapatkan kembali. Apa salah jika aku merasa aku yang paling rugi?" tangis Laura pecah tak mampu menahan sesak yang sedari tadi menghimpit dada. "Laura.." Reno mendekat, tangannya ia renggangkan bersiap untuk memeluk Laura yang masih menangis. Dari dulu Reno tidak bisa melihat Laura menangis, sekarang ia sendiri penyebab Laura harus menjatuhkan bulir air mata itu. Dengan sigap Laura menjauh, ia sadar pria di hadapannya sekarang adalah milik orang lain. Meski dulu pernah sedekat nadi, kemana-mana selalu bersama walau sebatas teman, tapi sekarang Reno sudah menjadi suami orang. Tentu ia tahu batasan itu. "Jangan mendekat Reno." Laura mengusap pelan air matanya. Reno duduk kembali, "Kamu masih mau kan meneruskan perjanjian ini?" tanya Reno perlahan. Laura tak menjawab, ia memalingkan wajahnya menghindari tatapan Reno. "Laura, jika kamu keberatan dengan perjanjian ini karena aku adalah temanmu, maka kamu boleh kesampingkan hal itu, kamu bisa anggap aku ini orang yang nggak kamu kenal, dan anggap ini perjanjian bisnis." Tutur Reno berusaha meyakinkan. "Apa? jadi maksud kamu aku jual diri gitu? " Laura semakin dibuat emosi, ia sangat tersinggung jika harga dirinya dijadikan bisnis. "Astaga, bukan begitu maksudku, Laura." "Iya, karena kamu pria kaya dengan seenaknya membeli harga diriku dengan uangmu. " "Tak ada yang membeli harga diri disini. Aku tegaskan itu," kali ini Reno sedikit menegaskan ucapannya agar Laura berhenti merutukinya. "Baiklah, kita anggap ini sebagai bentuk membantu teman." Reno hampir kehilangan akal untuk membujuk Laura. "Laura, jika kamu memutuskan perjanjian ini kamu tahu kan konsekuensinya?" akhirnya Reno menemukan jurus jitu. Seketika Laura membungkam, ia tak dapat mengelak jika itu mengenai konsekuensi pembatalan kontrak. Sebelumnya, Johan telah menunjukkan rekapan perjanjian dimana tertulis jika membatalkan perjanjian mereka akan mendapatkan sanksi yang berat. Salah satunya mengembalikan uang DP sebesar 500 juta yang telah digunakan untuk biaya operasi dan perawatan ibunya juga uang kompensasi 50 persen dari yang sudah diterima. Tentu hal itu menjadi ketakutan tersendiri untuk Laura. Padahal, ia datang ke pertemuan ini untuk bertemu dengan pembuat janji dan penandatanganan kontrak. “Aku telah mendatangkan seorang pengacara untuk mengurus kontrak kita. Nanti kamu bisa pahami dulu isi kontraknya.” Reno menyodorkan kontrak ke hadapan Laura. Laura membaca satu per satu poin dalam kontrak sebelum menandatanganinya. Ia tentu tak mau gegabah dalam mengambil keputusan. Walau mau tak mau harus setuju, setidaknya ia bisa sedikit bernegosiasi jika ada poin yang janggal menurutnya. Salah satu hal tertera disana bahwa Laura diminta menjadi ibu pengganti dengan cara inseminasi. "Mengapa harus dengan inseminasi?" Tanya Laura sejenak dengan berkas masih berada di tangannya. "Jadi kamu mau proses pembuahan secara langsung?" Goda Reno, karena dulu mereka teman yang akrab, membuatnya sudah tak canggung lagi jika sedang bersama. Seketika mata Laura membulat, dia jadi gelagapan. "Maksud aku kan bisa seperti metode bayi tabung, dimana kalian menitipkan sel telur dan sperma dalam rahimku. Eh, jadi maksudnya ini kamu akan gunakan sel telur punyaku?" Laura baru menyadari akan hal ini. Laura pikir Reno hanya ingin menyewa rahimnya, dimana dia akan mengandung anak orang lain, ternyata dia akan mengandung darah dagingnya sendiri. Kebimbangan kembali menghantuinya. "Iya. Karena sel telur Arini bermasalah, membuat kami tak bisa sekalipun melakukan program bayi tabung. Aku sengaja memilih inseminasi, karena aku sangat mencintai istriku, tak tega aku mengkhianatinya lebih dari itu. " Tutur Reno dengan wajah yang serius. "Mengkhianati?" Laura mengerutkan kening. "Tunggu, mengapa Arini tidak ikut kemari? tanya Laura yang menemukan kejanggalan. Reno menggelengkan kepala. "Aku belum siap memberitahunya. " "Apa? Jadi kamu buat perjanjian ini tanpa restu seorang istri? Kamu gila ya Reno. "Arini telah sampai di Villa satu jam sebelum jam makan siang tiba. Saat di mobil tadi, ia telah menghubungi Reno untuk memastikan sesuatu yang masih mengganjal tentang isi pesan yang masih menggantung tadi. Saat ditelepon tadi, Reno tak banyak bicara. Namun saat Reno mengajaknya bertemu dan makan siang bersama, kehawatirannya seakan menghilang begitu saja. Langkahnya menjadi sangat pasti. Arini merasa saat ini dunia masih ia genggam. Tak ada yang perlu ia khawatirkan, apalagi ditakutkan. Saat ia hendak memasuki pintu, Bi Ijah yang menyadari kedatangannya, dengan sigap membukakannya pintu. Arini melenggang masuk dengan langkah yang tegas, punggung yang lebih tegap, serta merasa percaya diri karena telah memenangkan sesuatu yang memuaskan hatinya waktu kemarin. "Siapkan masakkan yang spesial! Siang ini Reno akan makan siang disini." Ujar Arini tanpa menatap Bi Ijah yang berdiri tertunduk. "Baik, Non." Sebelum naik ke lantai atas, Arini merasa ingin mengetahui keadaan L
Arini menyipitkan matanya yang sedang terpejam, lalu berusaha menutup wajahnya dengan selimut. Sinar matahari pagi yang menyorot lewat jendela kamarnya, menganggu tidur nyenyaknya. "Sayang, apa kamu tidak mau membuatkanku sarapan pagi?" Tanya Gery sambil menyugar rambutnya yang basah dengan handuk. Setelah mandi, Gery dengan sengaja membuka tirai gorden yang menutup rapat jendela. Ia ingin kilau cahaya membangunkan Arini yang sulit ia ganggu. Perutnya lapar dan ia ingin Arini memasakkannya sesuatu. Arini membuka selimutnya dengan enggan. Lalu, ia beranjak dari kasurnya hendak pergi mandi. "Kamu pesan saja makanan dari bawah. Billnya biar aku yang urus." Ujar Arini sebelum punggungnya benar-benar hilang di balik pintu toilet. Gery mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Lalu, ia melakukan apa yang Arini suruh. Gery hanya modal tampang, sedangkan urusan dompet, Arini selalu bisa menjadi andalannya. Usaha bengkelnya akhir-akhir ini mengalami penurunan. Namun itu tak membua
Setelah berpamitan, Reno segera mengajak Sony pergi. Kali ini ia tak mengajak Johan, karena Laura masih membutuhkan penjagaan, namun Laura menolak disediakan bodyguard. Reno akan lebih tenang jika Johan yang berganti menjaga Laura, karena Laura pun tak menolak hal itu. Setelah Reno memasuki mobil, Sony segera berdehem sebelum ia melajukan mobilnya. "Bos, apa rapat dengan Purna Jaya tidak jadi direschedule? " Tanya Sony saat mengira Reno akan menghadiri rapat yang sempat akan ditunda karena pagi tadi Reno sempat demam. "Tidak. Ke Jalan Summer saja. " Ujar Reno dengan tatapan datar. Sony sempat mengerutkan kening. Setahunya, alamat yang disebutkan adalah alamat salah satu apartemen keluarga Reno. Mau apa dia kesana? Sejak Reno mengangkatnya jadi Asisten pribadi, ia banyak belajar dari Dina tentang apa yang biasa bosnya lakukan. Serta ia menghafal alamat-alamat yang berkaitan dengan hidup Reno termasuk kolega bisnisnya. Ternyata hal itu ada positifnya di saat-saat seperti i
"Apa_ apa kamu marah karena tadi aku menyentuh bibirmu?" Tanya Reno perlahan. Reno sempat memejamkan matanya saat mengatakan itu. Ia sangat ragu namun ia sangat ingin tahu alasan Laura bersikap dingin padanya. Laura membelalakkan matanya menatap Reno. Sebelum akhirnya wajahnya bersemu merah menahan malu. Ia menjadi salah tingkah. Namun ia tak ingin Reno menyadarinya. Mengapa Reno harus mengungkit kejadian tadi? Laura sangat malu, meskipun saat itu terjadi, Laura tak bisa mengelak, ia merasa candu. Tapi, apakah Reno harus membahas itu? "Reno! Apa hal itu harus kamu bahas?" Laura merasa geram karena Reno mengatakan apa yang seharusnya tak mereka bahas. "Aku, aku minta maaf soal tadi. Aku nggak tahu, Lau. Saat tadi, aku tak bisa menahannya. Saat kamu menggigit bibirmu, aku nggak bisa tak melakukan itu. " Ujar Reno dengan jujur. Laura mengerutkan keningnya. Mengapa Reno berbicara sefrontal itu? Laura sangat enggan membahasnya. Namun Reno terlanjur membuka cerita itu, mau tak mau La
"Nak, kamu nggak apa-apa? " Tanya Rina menghampiri Laura yang sedang duduk di kursi belakang rumah. Laura sedang melamun, sehingga ia tak menyadari jika ibunya datang. Dan saat ibunya bertanya, Laura jadi tersentak kaget. "Em, nggak apa-apa, Bu. Tentu saja aku baik-baik saja." Ujar Laura dengan tersenyum. "Tapi, kata Reno kandunganmu..." "Tidak apa-apa. Dia kuat, Bu. Tidak usah khawatir." Ujar Laura segera menyela ucapan ibunya. Ia tak ingin Ibunya khawatir. Rina menghela nafas, ia tahu betul jika Laura sedang berbohong. Jelas-jelas ia sudah mendengar semuanya dari Reno. Namun ia pun tahu betul dengan sifat Laura yang selalu ingin terlihat kuat di hadapan orang lain, serapuh apapun itu. "Ibu percaya, anak ini kuat. Seperti mamanya tentunya. " Rina menoel hidung Laura saat berkata seperti itu. Awalnya Laura tertawa saat ibunya menggodanya. Lama kelamaan senyuman itu memudar, saat ia menyadari sesuatu. Ia merasa tertegun. Aku? Mamanya? Tapi, anak ini akan ku sera
Laura?" Melihat Laura hanya diam menunduk, Dokter Gina segera menggubrisnya. Laura mengangkat pandangannya, dengan mata yang mulai berkaca-kaca, ia menatap Dokter Gina yang sepertinya sangat menantinya penjelasan. Tapi, lagi-lagi Laura menimbang, ia bukanlah seorang pengadu. Bukankah kejadian yang ia alami kemarin adalah peringatan besar untuknya dari Arini? Laura tak bisa mengatakan itu pada Dokter Gina. Ia tahu, keselamatan janinnya adalah yang utama. Ia tak perlu mengumbar kejadian suram kemarin pada siapapun. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu untuk cerita. Tapi, bolehkah kalau semisal aku memberimu sedikit acuan? Ya, memang ini bukan ranahku. Sesuatu yang terjadi padamu adalah sebuah permasalahan internal. Dan kamu berhak untuk tak menceritakannya pada siapapun." Ujar Dokter Gina dengan perlahan. Laura hanya menganggukkan kepalanya perlahan sambil tangan mengelus perutnya. Setelah melihat gestur penyetujuan itu, Dokter Gina merapatkan duduknya lebih dekat dengan Laura.







