LOGIN"Ibumu sedang tidur, jangan mengganggunya. Kamu tunggu saja di depan, ayah akan segera menyusulmu."
Baru saja Laura membuka pintu ruangan ibunya dengan raut wajah menahan emosi, ayahnya langsung menodongnya dengan berbagai pernyataan. Ayahnya sudah tahu betul, kali ini putrinya akan protes mengenai perjanjian kontraknya. Tak ingin masalah ini diketahui istrinya, Johan meminta Laura tak membahas itu di ruangan tersebut. "Kontraknya sudah kamu tanda tangani?" tanya Johan yang ikut duduk di ruang tunggu. Laura menganggukkan kepala dengan bibir yang mengerucut, ia langsung membalikkan badan, menghadap sang ayah dengan tatapan yang tajam. Sikapnya kali ini lebih siap untuk menginterogasi ayahnya. "Kenapa Ayah tidak bilang kalau laki-laki yang membutuhkan ibu pengganti itu adalah Reno? Kenapa Ayah tidak jujur padaku dari awal? Mengapa harus Reno?" "Maafkan ayah, nak. Jika ayah memberitahumu dari awal, kamu pasti tidak akan mau melakukannya." "Aku tak menyesali keputusanku untuk menyetujui kontrak itu, karena aku sangat sayang sama ibu, namun aku sangat menyesali tindakan ayah yang tak mau jujur padaku." Laura tak mampu menatap sang ayah karena kekecewaannya. "Ayah mohon kamu mengerti, justru karena orang itu Reno, makanya Ayah percaya. Kita sudah mengenalnya sejak dulu, dia orang yang baik, apa salahnya jika kali ini kita menolongnya juga?" "Menolong dalam hal apa, ayah? Menjual harga diri kita dengan nominal yang tak bisa kita gapai?" "Laura," Johan menajamkan suaranya, namun ia sadar, ini wilayah rumah sakit, sehingga ia berusaha untuk mengontrol emosinya. Laura merasakan kembali sakit di hatinya. Baru kali ini ayahnya bertindak lebih keras padanya, walaupun itu bukan kekerasan fisik. Johan dari dulu selalu bersikap lembut pada Laura, kini mereka malah sering beradu argumen dengan keadaan yang memanas seperti ini. Johan mengatur napasnya, ia berusaha untuk duduk tenang, sebenarnya ia juga memaklumi tindakan Laura yang sedikit membangkang, ini semua tidak akan terjadi kalau dia tak memintanya masuk dalam masalah yang cukup rumit ini. Laura masuk ke dalam ruangan ibunya, tak lama ia kembali dengan setelan kerja berupa jaket yang biasa ia gunakan untuk narik ojek online. "Laura, kamu mau kemana?" cegah Johan saat putrinya melenggang keluar tanpa pamit. "Aku mau menenangkan pikiranku dulu sambil aku bekerja agar tak terlalu pusing memikirkan masalahku." "Tapi Reno bilang kamu gak boleh lagi kerja, nak. Dia minta kamu harus menjaga kesehatan, proses inseminasi harus dilakukan saat tubuhmu benar-benar sehat sayang. Kamu disinilah, sambil kita menjaga ibumu." Johan berusaha memberi pengertian dengan lembut. "Reno bukan siapa-siapa aku. Jadi dia tak berhak melarangku melakukan sesuatu hal. Untuk inseminasi pasti aku lakukan, aku tak akan ingkar janji. " "Tapi kamu sudah menandatangani kontrak itu. Kamu harus bertanggung jawab untuk melakukannya dengan baik. Reno juga berhak melarangmu, itu untuk kebaikan kamu juga. " "Sudah aku bilang Reno bukan siapa-siapa, ayah. Jadi, dia tak berhak untuk mengaturku, meskipun aku sudah ada perjanjian kontrak dengannya, bukan berarti seluruh hidupku adalah haknya, kan?" Laura bergegas pergi daripada terus berdebat tak ada ujungnya. "Tapi sebentar lagi dia akan menjadi suamimu." Satu kalimat yang berhasil membuat Laura menghentikan langkahnya. Laura mengerutkan dahinya, "Maksud Ayah?" "Laura, ayah memang sudah jahat karena memaksamu melakukan hal itu, tapi Ayah juga tidak mau anak Ayah terjerumus ke dalam dosa besar. Ayah akan meminta Reno menikahimu sebelum kamu benar-benar dijadikan sebagai ibu pengganti. " Seketika mata Laura membelalak, satu hal lagi yang mengejutkannya saat ini. "Menikah?" Laura menggelengkan kepala. Kembali terbayang dalam memorinya, ia pernah membayangkan sebuah pernikahan impian dimana ia bersanding dengan orang yang ia cintai. Menjadi ratu sehari dimana ia akan menjadi orang yang paling bahagia saat itu. Ah sudahlah, itu hanya angan semata, lenyap sudah harapan untuk hal itu. Menikah dengan yang terkasih saja sudah seperti harapan yang harus segera dikubur dalam-dalam, Monolog Laura dalam hati.Arini menyipitkan matanya yang sedang terpejam, lalu berusaha menutup wajahnya dengan selimut. Sinar matahari pagi yang menyorot lewat jendela kamarnya, menganggu tidur nyenyaknya. "Sayang, apa kamu tidak mau membuatkanku sarapan pagi?" Tanya Gery sambil menyugar rambutnya yang basah dengan handuk. Setelah mandi, Gery dengan sengaja membuka tirai gorden yang menutup rapat jendela. Ia ingin kilau cahaya membangunkan Arini yang sulit ia ganggu. Perutnya lapar dan ia ingin Arini memasakkannya sesuatu. Arini membuka selimutnya dengan enggan. Lalu, ia beranjak dari kasurnya hendak pergi mandi. "Kamu pesan saja makanan dari bawah. Billnya biar aku yang urus." Ujar Arini sebelum punggungnya benar-benar hilang di balik pintu toilet. Gery mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Lalu, ia melakukan apa yang Arini suruh. Gery hanya modal tampang, sedangkan urusan dompet, Arini selalu bisa menjadi andalannya. Usaha bengkelnya akhir-akhir ini mengalami penurunan. Namun itu tak membua
Setelah berpamitan, Reno segera mengajak Sony pergi. Kali ini ia tak mengajak Johan, karena Laura masih membutuhkan penjagaan, namun Laura menolak disediakan bodyguard. Reno akan lebih tenang jika Johan yang berganti menjaga Laura, karena Laura pun tak menolak hal itu. Setelah Reno memasuki mobil, Sony segera berdehem sebelum ia melajukan mobilnya. "Bos, apa rapat dengan Purna Jaya tidak jadi direschedule? " Tanya Sony saat mengira Reno akan menghadiri rapat yang sempat akan ditunda karena pagi tadi Reno sempat demam. "Tidak. Ke Jalan Summer saja. " Ujar Reno dengan tatapan datar. Sony sempat mengerutkan kening. Setahunya, alamat yang disebutkan adalah alamat salah satu apartemen keluarga Reno. Mau apa dia kesana? Sejak Reno mengangkatnya jadi Asisten pribadi, ia banyak belajar dari Dina tentang apa yang biasa bosnya lakukan. Serta ia menghafal alamat-alamat yang berkaitan dengan hidup Reno termasuk kolega bisnisnya. Ternyata hal itu ada positifnya di saat-saat seperti i
"Apa_ apa kamu marah karena tadi aku menyentuh bibirmu?" Tanya Reno perlahan. Reno sempat memejamkan matanya saat mengatakan itu. Ia sangat ragu namun ia sangat ingin tahu alasan Laura bersikap dingin padanya. Laura membelalakkan matanya menatap Reno. Sebelum akhirnya wajahnya bersemu merah menahan malu. Ia menjadi salah tingkah. Namun ia tak ingin Reno menyadarinya. Mengapa Reno harus mengungkit kejadian tadi? Laura sangat malu, meskipun saat itu terjadi, Laura tak bisa mengelak, ia merasa candu. Tapi, apakah Reno harus membahas itu? "Reno! Apa hal itu harus kamu bahas?" Laura merasa geram karena Reno mengatakan apa yang seharusnya tak mereka bahas. "Aku, aku minta maaf soal tadi. Aku nggak tahu, Lau. Saat tadi, aku tak bisa menahannya. Saat kamu menggigit bibirmu, aku nggak bisa tak melakukan itu. " Ujar Reno dengan jujur. Laura mengerutkan keningnya. Mengapa Reno berbicara sefrontal itu? Laura sangat enggan membahasnya. Namun Reno terlanjur membuka cerita itu, mau tak mau La
"Nak, kamu nggak apa-apa? " Tanya Rina menghampiri Laura yang sedang duduk di kursi belakang rumah. Laura sedang melamun, sehingga ia tak menyadari jika ibunya datang. Dan saat ibunya bertanya, Laura jadi tersentak kaget. "Em, nggak apa-apa, Bu. Tentu saja aku baik-baik saja." Ujar Laura dengan tersenyum. "Tapi, kata Reno kandunganmu..." "Tidak apa-apa. Dia kuat, Bu. Tidak usah khawatir." Ujar Laura segera menyela ucapan ibunya. Ia tak ingin Ibunya khawatir. Rina menghela nafas, ia tahu betul jika Laura sedang berbohong. Jelas-jelas ia sudah mendengar semuanya dari Reno. Namun ia pun tahu betul dengan sifat Laura yang selalu ingin terlihat kuat di hadapan orang lain, serapuh apapun itu. "Ibu percaya, anak ini kuat. Seperti mamanya tentunya. " Rina menoel hidung Laura saat berkata seperti itu. Awalnya Laura tertawa saat ibunya menggodanya. Lama kelamaan senyuman itu memudar, saat ia menyadari sesuatu. Ia merasa tertegun. Aku? Mamanya? Tapi, anak ini akan ku sera
Laura?" Melihat Laura hanya diam menunduk, Dokter Gina segera menggubrisnya. Laura mengangkat pandangannya, dengan mata yang mulai berkaca-kaca, ia menatap Dokter Gina yang sepertinya sangat menantinya penjelasan. Tapi, lagi-lagi Laura menimbang, ia bukanlah seorang pengadu. Bukankah kejadian yang ia alami kemarin adalah peringatan besar untuknya dari Arini? Laura tak bisa mengatakan itu pada Dokter Gina. Ia tahu, keselamatan janinnya adalah yang utama. Ia tak perlu mengumbar kejadian suram kemarin pada siapapun. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu untuk cerita. Tapi, bolehkah kalau semisal aku memberimu sedikit acuan? Ya, memang ini bukan ranahku. Sesuatu yang terjadi padamu adalah sebuah permasalahan internal. Dan kamu berhak untuk tak menceritakannya pada siapapun." Ujar Dokter Gina dengan perlahan. Laura hanya menganggukkan kepalanya perlahan sambil tangan mengelus perutnya. Setelah melihat gestur penyetujuan itu, Dokter Gina merapatkan duduknya lebih dekat dengan Laura.
"Permisi, Pak Sony, Pak Reno, selamat pagi." Ujar Dokter Gina dengan sopan setelah Sony membukakannya pintu dan mempersilakannya masuk. Laura telah datang dari dapur, dan ia kaget dengan kedatangan Dokter Gina. "Loh, Dokter Gina? " Ujar Laura yang masih kaget. "Selamat Pagi, Laura. Bagaimana keadaanmu? Aku datang hanya untuk memeriksa kandunganmu." Ujar Dokter Gina yang seperti memahami kebingungan Laura. Laura menatap Reno tak mengerti, seolah meminta penjelasan, karena datangnya Sony saja juga atas permintaan Reno. Ia yakin kedatangan Dokter Gina pun adalah karenanya. Sedangkan Reno membalasnya dengan tersenyum. "Aku yang memanggilnya kemari. Tentunya aku sangat mengkhawatirkan kehamilanmu setelah kejadian kemarin. " Ujar Reno menjelaskan. Laura menghembuskan nafas pasrah. Sebetulnya ia merasa sangat baik-baik saja, meskipun memang kemarin sempat ikut khawatir karena terasa sedikit kram di perutnya. Namun Dokter kandungannya terlanjur datang, ia tak mungkin menola







