"Ada seseorang yang sedang membutuhkan ibu pengganti untuk dapat mengandung anaknya. Seorang yang baik dan berkecukupan. Hanya saja 5 tahun pernikahan mereka belum dikaruniai anak. Apa kamu bisa membantu?" dengan lembut Johan memberi penuturan. Dengan hati hati ia menyampaikan sampai Laura paham tujuan pembicaraan.
Laura tak mampu berkata, matanya langsung berkaca-kaca, ia tahu betul apa itu seorang ibu pengganti. Ayahnya sendiri yang menyarankan untuk masuk dalam hal ini. "Nak,, maafkan ayah, bukan maksud ayah untuk menjualmu. Ini sangat mendesak. Ayah tak tahu harus bagaimana. Mana ada orang yang mau meminjamkan uang sebanyak itu? Jual rumah kecil kita saja pasti tak akan dapat uang sebanyak itu. Kamu pikirkan baik-baik ya. Orang itu sudah berjanji jika bersedia akan diberi imbalan besar. Tentu itu jalan pintas untuk menyelamatkan ibumu." Laura terdiam, mencerna setiap kata yang baru saja diungkapkan ayahnya. Satu sisi ia ingin marah, bisa-bisanya ayahnya mengorbankan kehormatan anaknya demi uang, sisi lain ia tak ingin egois jika mengabaikan keselamatan ibunya. Laura menangis sejadinya, duduk di kursi tunggu dengan tangan yang menutup seluruh wajahnya yang telah basah. Beberapa saat kemudian, seorang perawat keluar dari ruangan Rina dalam keadaan panik. Tak lama seorang dokter datang dengan sedikit berlari disusul dua orang perawat. Laura dan ayahnya yang menyaksikan ikut panik. Johan yang ingin ikut masuk dihadang perawat, dengan terpaksa ia kembali berdiri dengan kekhawatiran di balik pintu ruangan. Setelah beberapa saat, dokter pun keluar dan menghampiri. “Pasien sudah tak bisa terlalu banyak menunggu, saya harap keluarga pasien cepat mengambil keputusan sebelum terlambat. “ ujar dokter penuh penekanan walau dengan penyampaian yang begitu lembut. Johan menatap wajah Laura dengan tajam. “Kali ini ayah serius meminta ketulusanmu sebagai anak, sungguh hidup dan mati ibumu ada pada keputusanmu.” kali ini Johan tak mengiba, ia sedikit memaksa karena sungguh ingin istrinya selamat. “Hidup dan mati ibu itu kuasa Tuhan. Aku tak dapat mengendalikannya. Ayah sendiri dari dulu selalu menasehatiku untuk selalu menjaga kehormatanku sebagai wanita. Harus selalu menjaga diriku, menjaga harga diriku. Kenapa sekarang ayah malah mau menjerumuskan aku? “ Laura yang sedari kecil tak bisa untuk marah pada orang tuanya, kini melewati batas itu. Gejolak api disemburkan karena tersulut oleh ayahnya sendiri. “Ayah mohon kali ini mengertilah. Ini demi keselamatan ibumu.” “Aku juga gak mau kehilangan ibu, aku sayang ibu, tapi aku juga tak mau kehilangan harga diriku, aku tak mau kehilangan masa depanku, apa ayah tak mengerti?” Tiba-tiba dokter kembali keluar dari ruangan Rina. “Pak, kondisi pasien semakin memburuk, secepatnya lakukan pengurusan administrasi, bila tidak, kami tak bisa menjamin ibu Rina dapat tertolong.” "Nak, keadaan ibumu semakin memburuk. Dokter bilang operasi harus segera dilakukan. Bagaimana dengan keputusanmu, nak?" Johan mengiba kembali dengan raut wajah yang penuh kesedihan. Laura memejamkan matanya dan menarik napas dalam. "Baiklah, demi keselamatan ibu, aku rela meski jadi seorang ibu pengganti." Setelah berucap seperti itu air matanya kembali luruh. Ayahnya memegang kedua bahu sang putri lalu merengkuhkan tubuhnya, memeluk erat tubuh sang putri dengan terisak. "Maafkan ayah.." dengan sedikit terbata ayahnya tak mampu lagi berkata. ** Sesuai kesepakatan, operasi Rina telah selesai, hanya menunggu pemulihannya saja. Laura harus menunaikan janjinya. Johan tengah mengatur strategi untuk mempertemukan Laura dengan seseorang di sebuah cafe yang memiliki ruangan privat. Tentu saja karena tujuan pembicaraan bersifat rahasia. Laura tengah menunggu di tempat yang sudah ditentukan dengan harap-harap cemas. Ia mengecek ponselnya dan tiba-tiba teringat akan kekasihnya yang sedang berjuang mengumpulkan dana di negeri orang untuk meminangnya karena melihat lock screen di hpnya terpasang foto mereka bersama. Laura seketika merasa sedih, Ia merasa akan mengkhianati kekasihnya, Devan. Ia tak tahu kemana arah hubungan mereka setelah ini. Tapi sekarang sudah beda cerita. Laura akan mengandung anak orang, tentu saja ia tak bisa percaya diri untuk hubungannya dengan kekasih. Mau tak mau dia harus siap untuk berakhirnya hubungan mereka. Laura memainkan jemarinya dengan jantung yang berdegup tak karuan. Merasa tak siap dengan pertemuan ini. Tak lama suara derap langkah terdengar mendekat., Laura semakin menundukkan wajahnya, tak berani menatap wajah lelaki yang ia tebak adalah seseorang yang ayahnya maksud. "Laura..." Laura menajamkan pendengarannya. Ia merasa tak asing dengan suara tersebut. Sejenak kemudian ia dongakkan kepala. Seketika matanya membelalak, tak percaya dengan seseorang yang kini berada di depannya. "Re-Reno?" Laura menjawab sapaan dengan terbata. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa di hadapannya saat ini adalah Reno yang ia kenal. Reno teman SMAnya juga orang yang sempat mengisi hatinya, meski akhirnya perasaan itu harus ia kubur dalam-dalamDua orang paruh baya turun dari mobil tersebut. Arini menghampiri keduanya dan memeluknya. "Bagaimana kabarmu, sayang?" Ujar wanita itu sambil memeluk Arini. "Kabarku baik, ma, pa. Ayo kita masuk." Ajak Arini pada keduanya. Lalu mereka masuk dan saling berjabat tangan dengan keluarga Wijaya. "Bu Feli, Pak Sofyan, kenalkan ini Laura, wanita yang kami maksud." Ujar Tari dengan bangga. Feli dan Sofyan memperhatikan Laura sekilas lalu menghampiri Laura dan menjabat tangan Laura sebagai tanda perkenalan. "Saya Feli, mamanya Arini, dan ini Sofyan, suami saya." Ujar Feli memperkenalkan diri dengan nada datar. Laura merasa sedikit terganggu dengan nada datar Feli tetapi ia tetap membalas uluran tangan itu dengan sopan kemudian memperkenalkan dirinya juga. Lalu acara makan malam dimulai, dengan sesekali diiringi ngobrol ringan mengenai kabar masing-masing. Laura yang notabenenya orang baru, hanya diam dan memperhatikan interaksi mereka. Walau sebenarnya dalam hati ia masi
Reno menyunggingkan senyum. "Laura, meskipun kamu disini karena sebuah kesepakatan, tapi bukan berarti kamu orang asing, kamu sudah kami anggap sebagai keluarga. Jadi, jangan sungkan atau menganggap dirimu bukan siapa-siapa di sini." Ujar Reno dengan tenang. Laura tampak menunduk, ia memainkan jarinya karena perasaan yang tidak menentu. "Tapi aku cukup tahu diri akan hal itu." Ujar Laura pelan. "Nggak, kamu nggak boleh seperti itu. Mama pasti akan marah jika anggapanmu disini seperti tadi." Ujar Reno menggerutu. "Tapi, Reno.." Baru saja Laura akan bicara, namun Reno segera menatapnya tajam sambil memegang kedua lengan Laura. "Posisikan dirimu di sini senyaman mungkin, anggap ini seperti di rumahmu sendiri. Kita adalah keluarga dan kamu tidak boleh menyangkal lagi akan hal ini." Ujar Reno tegas. Laura menatap Reno dengan tatapan nanar. Ia lalu menerbitkan senyuman indah di bibirnya, "Terima kasih, Reno." kata Laura dengan lembut. Reno menganggukkan kepalanya sambil me
Laura berusaha meyakinkan diri bahwa kali ini ia salah lihat. Namun beberapa kali menajamkan penglihatannya, tetap saja yang berada di hadapannya kini adalah sebuah kenyataan. Laura berfikir sejenak, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Satu sisi ia tak ingin ikut campur. Perannya sekarang sekadar memenuhi kesepakatan, tak peduli bagaimana bentuk keharmonisan hubungan pembuat kontrak. Namun sisi lain, dalam lubuk hatinya berkata, ia tidak boleh diam saja. Reno sebagai temannya punya hak untuk ia bela. Laura segera mencari keberadaan ponselnya di dalam tas kecil miliknya. Niat hati ingin mengambil gambar sebagai bukti untuk kedepannya. Baru saja ponsel diarahkan ke jendela, ternyata mobil mereka melaju dan Laura kehilangan jejak Arini. Laura mendecak kesal, ia merutuki dirinya yang terlalu lama mengambil ponsel hingga tak bisa mempunyai bukti. Reno harus tahu, tapi aku harus cari bukti yang kuat. Monolog Laura dalam hati. ** Laura turun dari mobil dalam ke
Dengan cepat, Rina segera menyodorkan segelas air putih pada Laura. "Minumlah, nak." Laura menerimanya dan langsung meminumnya dengan perlahan. Ia Lalu menatap wajah sang ibu dengan penuh tanda tanya. "Makan itu pelan-pelan, kalau terburu-buru ya gitu, jadi tersedak." Ujar Rina yang cerewet. Laura menghembuskan napas lega. Ia kira ibunya curiga dirinya hamil, ternyata tadi hanya sedikit candaan saja, buktinya Rina tak membahas lagi soal ngidam. Laura segera menyudahi acara makannya. Ia takut jika terlalu rakus akan membuat Rina curiga. Toh, ngidamnya sudah terlaksana dengan baik. "Kamu akan menginap disini, kan?" Tanya Rina dengan semangat. Laura terdiam sejenak lalu menatap ibunya dan menggelengkan kepala. "Sepertinya tidak bisa, bu. Besok harus kembali bekerja." Ujar Laura dengan lirih. "Baiklah, ibu mengerti, walau sebenarnya ibu ingin sekali kamu berlama-lama disini." Ujar Rina maklum. "Maafkan aku, bu. Aku tak bisa menemani ibu disini. Laura janji akan menyempat
"Tega kamu, mas." Ujar Arini dengan lirih. "Aku bisa jelaskan ini." Balas Reno cepat. "Jelaskan apa, mas? Ngasih tahu kalau kalian berhasil membodohiku dengan tinggal berdua di dalam kamar seperti ini?!” Ujar Arini dengan emosi. Laura yang menyadari suara itu segera menghampiri ke arah pintu. "Mbak Arini.." Ujar Laura yang merasa kaget. "Apa? Kamu kaget mengapa aku tiba-tiba ada di sini?" Ujar Arini dengan tatapan sinis. Reno segera menarik Arini keluar, "Ayo, kita bicara." Ucap Reno sambil menarik tangan istrinya yang masih emosi. Setelah Reno dan Arini pergi, Laura segera menutup pintu kamarnya. Ia menghembuskan napas pelan, berusaha untuk tak menghiraukan kedatangan Arini, walau sebenarnya tetap saja ia merasa bersalah dan tak enak hati. Untung saja saat ini pikirannya jernih sehingga bisa mengontrol kondisi emosionalnya dengan mudah. Ia mengingat perkataan dokter untuk bisa mengendalikan diri demi keselamatan janin yang berada dalam kandungannya. Toh, ia jug
"Bu, aku mohon, maafkan aku, Bu.." Reno terbangun kala mendengar rintihan orang yang berada di sampingnya. Ia bangkit perlahan dan melihat wajah Laura berkeringat deras. Segera ia menggoyangkan tubuh Laura dengan pelan, agar Laura tersadarkan dari mimpinya. "Laura,, Laura." Ujar Reno dengan perlahan, “Laura!”. Laura membuka matanya dengan cepat, napasnya tersengal seolah telah berlari karena dikejar sesuatu. "Kamu tidak apa-apa? Apa kamu mimpi buruk?" Tanya Reno saat melihat Laura terduduk sambil mengatur napasnya. Seketika Laura menoleh ke arah Reno yang berada di sampingnya. Matanya seketika terbelalak. "AAA!..." Teriak Laura ketika baru menyadari ada seorang pria di atas ranjangnya. Reno segera membekap bibir Laura dengan tangannya. "Mengapa kamu berteriak?" Tanya Reno panik, ia tak ingin orang mendengarnya dan berfikir yang tidak-tidak. Laura memberontak, ia melepaskan tangan Reno yang masih menutup bibirnya. "Harusnya aku yang bertanya. Kamu ngapain disin