"Jadi ini, Devan, proyek yang aku maksud. Gedung ini milik Wijaya Corp yang sudah lama tidak digunakan. Aku dengar, Wijaya Corp akan menggunakan gedung ini kembali, untuk dijadikan cabang baru yang akan dirintis. " Ujar Jefri seperti seorang roomtour yang menjelaskan langsung pada tempatnya. Devan hanya menganggukkan kepalanya, sambil menatap satu persatu sudut yang ditunjukkan Jefri. "Apa sudah ada gambaran tentang apa saja yang akan kamu renovasi?" Tanya Devan lebih lanjut. "Tentu saja. Sekitar delapan puluh persen akan diubah total. Dan selebihnya akan disesuaikan dengan desain pilihan yang mereka inginkan. Pembangunannya akan dimulai dari minggu depan, nanti gambaran tugasnya akan aku berikan. " Ujar Jefri menjelaskan. "Oke, sedikitnya aku mulai memiliki gambaran. " Ujar Devan percaya diri. "Goodjob. Ini yang membuat aku percaya diri dengan mengajakmu bekerja sama. Kamu pasti akan cepat tanggap dengan jobdesk yang diberikan.
Laura tersadar dengan tangan yang diikat dibelakang. Laura memicingkan matanya, menatap sekeliling. Tempat yang asing, dengan penampakan barang-barang bekas yang berserakan. Dimana aku? Mengapa aku bisa ada disini? Batin Laura meringis, ia ingin berbicara, berteriak dan meminta pertolongan. Namun naasnya, mulutnya tertutup rapat dengan lakban yang tak bisa ia raih. Laura mengerang, mengeluarkan suara yang tak bisa dijelaskan. Mencoba berontak dan ingin segera keluar dari tempat asing tersebut. Tiga orang berbaju hitam datang, sepertinya mereka mengetahui Laura telah tersadar. "Wah, Nona, rupanya kamu sudah bangun." Ujar salah seorang pria, lalu mengelus lembut wajah Laura yang sedang bergetar menahan rasa takut. "Tidak usah takut, kami tidak akan menyakitimu. Hahaha" Ujar pria yang lain, lalu tertawa seakan ada sesuatu yang lucu. Laura hanya mampu menggelengkan kepalanya, dahinya mengucurkan keringat, dan kakinya sed
Desahan dan erangan saling bersahutan, senada dengan gerakan yang mengguncang ranjang di apartemen milik Arini yang menjadi hadiah ulang tahunnya dua tahun yang lalu. Apartemen mewah dengan view pusat kota menjadi saksi bisu pergumulan panas yang sudah terjadi hingga puluhan kali itu. Arini mengerang hebat, setelah dirinya mencapai klimaks, kepuasan yang selalu ia dapat saat ia bersama dengan Gery. Tempat di samping Arini berbaring menjadi berguncang hebat, saat Gery menjatuhkan badannya setelah berhasil menembak peluhnya. Keringat mereka saling bercucuran, dan napas tersenggal membuat keduanya menetralkan diri dengan menatap langit-langit kamar tersebut. "Terima kasih sayang, hari ini kamu menepati janjimu. " Ujar Gery sambil mengusap anak rambut Arini yang menghalangi wajahnya, lalu mengecup bibirnya dengan lembut. Arini hanya tersenyum sambil mengatur napasnya yang masih tersenggal. Seakan belum puas dengan pergumulan panas yang baru saja terjadi, Gery mulai memai
"Sayang, aku senang sekali, akhirnya kamu pulang dan bisa menemani masa kehamilanku ini. Pokoknya kamu harus janji, kamu nggak boleh berangkat lagi ke Australia." Ujar Dina dengan lembut. Ia bergelayut manja pada kekasih gelapnya yang baru dua hari datang dari Australia. Devan melepas pegangan tangan Dina dengan perlahan. "Dina, aku sudah bilang. Jangan bersikap seperti ini jika kita sedang di area umum. Kamu harus ingat, hatiku tidak akan pernah bisa lepas sepenuhnya dari Laura. Namun, sebagai lelaki sejati, aku tidak akan lepas dari tanggung jawab. Aku tidak akan lari dari anak itu. Aku akan bantu membiayai anak itu, namun aku tidak bisa menikahimu. " Ujar Devan dengan tegas. Dina mengerucutkan bibirnya setelah Devan berbicara dengan lantang bahwa ia masih mencintai Laura. Usaha kerasnya selama ini, hingga menjebak Devan dan akhirnya mengandung seorang anak, ternyata tidak bisa menjadi alasan yang kuat. Dina menegakkan badannya, lalu memainkan minuman dihadapannya. "Aku
Melihat Pak Bejo seperti dalam keadaan berdebat, Keysa merasa geram, ada masalah apa yang membuat Pak Bejo tak kunjung memasuki mobil kembali. "Kak, sepertinya ada yang harus diselesaikan. Kakak nggak apa-apa kan kalau aku tinggal sebentar? Aku akan menghampiri Pak Bejo untuk menanyakan apa yang terjadi. " Tanya Keysa perlahan. "Kamu yakin mau menghampiri mereka?" Laura malah balik bertanya, dan tersirat kekhawatiran yang tiba-tiba. Keysa mengangguk mantap. Anak muda seperti Keysa, tidak akan bisa hanya berdiam begitu saja saat melihat sesuatu yang janggal terjadi. "Oke, kamu hati-hati, jaga emosi. Biasanya orang-orang seperti itu pandai memancing emosi. " Ujar Laura memperingatkan, setelah dirinya mulai merasa tenang, Laura bisa lebih berfikir kritis. Keysa hanya tersenyum lalu keluar dari mobil tersebut. Tanpa mau mendengarkan percakapan mereka, Keysa segera angkat suara untuk menanyakan kepastiannya. "Jadi sebenarnya mau kalian itu apa? Kita hanya mau melewati jal
Keysa menghembuskan napas lega saat Tari telah melenggang pergi meninggalkan Villa. "Hem, jadi seperti ini rasanya berada dalam sebuah masalah yang ditutup-tutupi." Ujar Keysa dengan pelan. Laura tersenyum. " Hidup itu sebuah drama. Terkadang, tidak semua orang harus tahu apa yang sedang terjadi pada hidup kita. Nikmatilah, ini hanya sebuah kerikil yang sedang menguji kekuatan hati." "Ya ampun, ya ampun, kakak iparku ini ternyata bisa sepuitis ini. " Ujar Keysa memuji dengan senyum canda yang menggoda. Laura tertawa, namun terhenti saat menyadari satu kata yang dirasa aneh. "Kakak ipar?" Keysa yang juga ikut tertawa langsung berhenti. Lalu ia mengerutkan keningnya. " Ada yang salah?" Tanya Keysa memasang wajah polos. Laura menggelengkan kepalanya. "Sedikit aneh, tapi its oke, aku tidak masalah. " Ujar Laura berusaha tenang, hatinya merasa senang. Dianggap sebagai kakak ipar, itu hal yang spesial, namun mengingat posisinya, tentu Laura tahu diri. Mungkin kata 'sementara