Share

Celoteh Pagi

Aku pernah sederas hujan,

terguyur harapan pahit yang kurangkai sendiri.

Aku pernah sekeras guntur,

berteriak meminta akhir pada angan yang kubangun sendiri.

Aku pernah sekering embun,

yang sekejap menguap dalam kenangan yang kuukir sendiri.

*****

Ketika Kala masuk ke kamar, Lady sudah mengenakan baju tidurnya.

“Gue ngantuk banget, Bee. Tidur duluan ya,” kata Lady sembari mengecup pipi kiri Kala.

“Nite, Honey.” Kala menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi, lalu membuka semua pakaian yang dikenakan, menyisakan boxer hitamnya. Segera ia menyusul Lady. Kala memang terbiasa tidur bertelanjang dada, hanya mengenakan boxer atau terkadang celana kolor.

Dilihatnya Lady sudah terlelap. Ia merebahkan tubuh di samping istri tercinta ini. Pikirannya menerawang, mengingat kejadian tiga tahun lalu awal mereka saling mengenal.

Kala bukan tipe pria yang berpikir tentang cinta dan segala hal romantis. Ia lebih suka menghabiskan waktu untuk bekerja di kantor. Karena itulah, orang tuanya memutuskan untuk mengenalkan atau lebih tepat menjodohkan dengan anak dari rekan-rekan mereka.

Kala masih seperti biasa, tidak terlalu banyak merespon saat acara makan malam untuk perkenalan. Begitu pun ketika ia bertemu Lady. Seingat Kala, wanita ini adalah kandidat keenam yang dihadirkan orang tuanya.

Memang bukan cinta yang dirasakan Kala saat itu, tetapi ada rasa tertarik pada wanita cantik berambut panjang dengan lekuk tubuh sempurna ini. Keanggunan dan ketegasan, terlihat jelas dari setiap ekspresi serta gerak gerik Lady. Cara ia berbicara, kosakata yang digunakan, semua itu cukup memukau.

Lady pun merasakan hal yang sama. Baginya, cinta itu tidaklah penting. Dia butuh suami cerdas, kompeten, mampu mengelola usaha keluarga besar mereka, dengan penampilan yang tentu tidak mengecewakan.

Mereka berdua adalah pewaris tunggal usaha keluarga. Keduanya sama-sama mencintai pekerjaan, bukan kisah romansa apalagi dramatis. Kesamaan ini membuat mereka merasa cocok dan nyaman satu sama lain.

Sama-sama anak tunggal, juga menjadi alasan kuat bagi mereka untuk berkolaborasi. Mereka tidak mau repot dengan urusan saudara ipar, perebutan kekuasaan dan warisan. Akan lebih nyaman jika keduanya memang anak semata wayang. Segala keputusan tentang keluarga, bisa lebih mudah serta lebih cepat diambil karena tidak melibatkan banyak pihak.

Seiring berjalannya waktu, mereka merasa saling membutuhkan, saling mengisi sebagai pasangan. Namun jika ditanya soal cinta, mungkin keduanya memang tak pernah tahu apa itu cinta. Yang dijalani sekarang adalah saling menyamankan, menjamin kebahagiaan dua pihak, and that’s enough for them.

Semua orang selalu memuji pasangan tersebut, baik kecocokan secara fisik maupun kekompakan dalam mengurus pekerjaan dan rumah tangga. Seolah serasi dan sempurna tanpa cela.

Kala mulai jengah dengan orang yang selalu bertanya kapan dia akan memiliki momongan. Sebagian memang menyimpulkan bahwa keduanya belum ingin memiliki anak karena sama-sama workaholik. Namun, tak jarang juga yang nyinyir dengan menggosip bahwa salah satu dari mereka pasti mandul.

Alasan terbesar tentu bukan karena orang lain, tapi Kala memang ingin memiliki keturunan. Ia ingin merasakan menjadi seorang ayah. Ada makhluk kecil yang akan menyambutnya tiap sore, saat pulang dari kantor.

Sudah tak sabar rasanya. Besok ia akan segera meminta Pandu untuk menyelidiki Embun. Perlahan, mata Kala mulai meredup, tertidur pulas menyusul Lady di alam mimpi.

***

“Morning, my Bee.” Sebuah kecupan mendarat di bibir Kala.

Kala membuka satu mata. Dilihatnya Lady sudah mengenakan baju olahraga.

“Mau jogging?” tanya Kala sambil berusaha mengumpulkan nyawa.

“Iya, lanjut sarapan sama teman-teman. Gue pergi duluan, ya. Bik Maneh udah siapin sarapan buat lo,” seru Lady sambil melambaikan tangan.

Kala memandang punggung istrinya, menjauh dari kamar mereka. Lady memang jarang ke kantor. Semua urusan perusahaan, secara teknis ditangani langsung oleh Kala. Sesekali mereka berdiskusi di rumah atau di kantor. Wanita itu sibuk dengan teman-teman sosialita, shopping, atau menghabiskan waktu di ruang seni.

Lady gemar melukis dan seni rupa. Karena itu, ada satu ruangan khusus di rumah ini yang dijadikan studio seni pribadi. Tempat favoritnya menghabiskan waktu.

Kala segera bangkit setelah merasa nyawanya sudah lengkap dan menuju kamar mandi. Dia melihat sekilas ke arah jam dinding di kamar, pukul 06.30.

Selesai mandi, Kala menuju ruang makan untuk menyantap sarapan yang sudah disiapkan Bik Maneh, pembantu kesayangan.

“Morning, Den Bee,” sapa Bik Maneh manja.

“Astaga, Bik. Sejak kapan manggil saya gitu? Dimarahin Lady loh, kalau kedengeran,” kata Kala geli, karena Bee adalah panggilan sayang istrinya untuk dia.

“Aduh, Den, sekali-sekali mumpung nggak ada Non Honey.” Bik Maneh makin menggoda Kala. Dia memang sering mendengar mereka berdua saling memanggil dengan mesra.

Bik Maneh sedikit cemburu dengan kemesraan dua orang majikannya. Asep, sang suami, mana bisa diajak kompak dengan panggilan sayang. Sekarang saja, ia selalu memanggil Bik Maneh dengan panggilan ‘Ndut’, kalau tidak ‘Gentong’.

Padahal aku ini nggak gendut, cuma montok berlebih, batin Bik Maneh menghibur diri.

“Saya nggak nanggung ya kalau sampai Lady dengar terus marah. Hahaha.” Kala tak kuasa menahan tawa melihat kelakuan centil pembantunya.

“Silahkan makan, Den Bee,” kata Bik Maneh sambil mengerling manja.

“Duduk sini, Bik. Temani saya makan.” Kala menunjuk kursi di hadapannya.

“Ih, Den. Bibi udah makan tadi,” tolaknya.

“Idih, GR banget Bibi, mah. Saya cuma minta Bik Maneh duduk, temani saya yang lagi makan. Nggak nyuruh ikutan makan. Weeek,” goda Kala.

“Oh, ya sudah. Kirain mo dipaksa makan juga. Bibi kan nggak bisa nolak kalo dipaksa,” jawabnya sambil terkekeh.

“Mang Asep, gimana kabarnya, Bi?” Kala membuka percakapan soal suaminya. Ia sudah hafal, satu pertanyaan akan dijawab dengan panjang kali lebar kali tinggi oleh Bik Maneh. Kalaupun menanyakan tentang suaminya, nanti cerita akan meluas sampai ke tetangga-tetangga.

Lumayan biar nggak sepi, nyuruh dia ngoceh, pikir Kala.

Benar saja. Bik Maneh sudah mulai berceloteh tanpa henti dari soal suami, anak, orang tua, tetangga, pak RT, sampai tukang jamu di kampungnya. Ibarat penyanyi, dia ini bisa live show untuk konser lima album sekaligus. Kalau diibaratkan acara berita, wanita ini layaknya Dunia Dalam Berita. Semua hal dibahas.

Akhirnya Kala selesai tanpa mengucap sepatah kata pun sepanjang makan. Ia hanya mendengarkan ocehan wanita di depannya sambil sesekali terkekeh mendengar kisah lucu yang keluar dari mulut Bik Maneh.

“Den, kemarin saya dengar nyari sewa rahim, ya?” tanya Bik Maneh tiba-tiba.

“Uhuk .... Bik, nguping ya?” Kala melotot marah, karena tersedak dan tahu bahwa pembantunya menguping pembicaraan.

“Ih, nggak nguping, Den. Orang Bibi teh maunya dengerin suara ah uh ah uh ronde kedua. Eh, malah nggak ada. Nggak sengaja malah denger soal sewa rahim,” jawabnya polos tanpa dosa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status