Caraku tertawa seolah tak pernah rapuh,
caraku tersenyum seolah tak pernah takut,
caraku berjalan seolah tak pernah jatuh,
caraku memandang dunia yang seolah sempurna.
*****
“Astaga, Bik.” Kala tertawa terbahak-bahak sekaligus malu karena ternyata pembantunya mendengar adegan layak sensor yang dia lakukan dengan Lady.
“Emang uang sewanya berapa, Den?” Bik Maneh memasang tampang serius.
“Sewa kos?” Kala sengaja menggoda pembantunya yang rada usil ini.
“Ih, Den Kala, mah. Seriusan ini.” Bik Maneh mencoba mencubit lengan majikannya karena gemas. Bukan hanya karena kalimat yang dilontarkan Kala, tapi memang bulu-bulu halus di lengan pria itu memang menggoda.
“Eits, nggak kena. Kenapa? Bik Maneh punya kandidat yang mau disewa rahimnya?” Kala balik bertanya sambil menghindari cubitan.
“Ya, saya kan sudah terbukti bisa hamil, lahiran lancar, kuat, sehat. Bibik aja atuh, Den. Lumayan uangnya bisa dipake beli sawah di kampung,” jawab Bik Maneh sambil menunjukkan lengannya.
“Hahaha, ya ampun. Jangan Bik, nanti nggak ada yang masakin kita kalau Bik Maneh hamil dan melahirkan. Lagian kami nggak mau wanita yang disewa bertemu dengan bayi kami setelah lahiran.” Kala memberikan alasan yang tentu saja tidak sepenuhnya benar.
Tidak mungkin bagi Kala untuk mengatakan bahwa salah satu syarat wanita yang disewa sebagai surrogate mother harus cantik, seperti kemauan istrinya. Bik Maneh bukan tidak cantik, tapi mungkin belum memenuhi standar Lady.
“Ayolah, Den. Habis melahirkan saya berhenti kerja, urus sawah aja di kampung.” Bik Maneh coba merayu.
“Maaf Bik, semalam kami sudah dapat orangnya. Tinggal susun perjanjian aja.” Kala terpaksa sedikit berbohong untuk menghentikan niatan Bik Maneh menawarkan rahimnya.
“Kami sendiri merasa lebih nyaman bekerja sama dengan orang yang sama sekali tidak tahu siapa kami dan kehidupan kami, Bik. Selesai urusan, ya sudah,” lanjut Kala.
Bik Maneh tidak menjawab. Ia pura-pura sibuk mencuci piring sambil cemberut. Melihat itu, Kala memilih kembali ke kamar dan bersiap untuk berangkat ke kantor.
Tiba di kantor, Kala menjelaskan semua rencana sewa rahim pada Pandu, sekretaris pribadinya.
“Jelas, kan? Jadi segera minta tim legal siapkan perjanjian yang paling aman. Kamu, segera selidiki Embun. Jangan terlalu banyak membuang waktu. Sambil coba cari kandidat cadangan yang kurang lebih fisik maupun sikap, mirip dengan gadis itu,” kata Kala.
“Siap, Pak. Sekarang juga saya temui tim legal. Tentang gadis itu, saya minta waktu maksimal lima hari untuk mengumpulkan informasi.”
“Tiga hari. Lima hari terlalu lama,” tukas Kala.
“Baik, Pak.” Pandu menjawab sembari menganggukkan kepala kemudian segera meninggalkan ruangan untuk menuju tim legal di lantai 14.
Ruang para direksi dan komisaris berada di lantai 30, bagian teratas dari gedung yang diberi nama Shakala Tower ini.
Semoga gadis itu memenuhi syarat dan bersedia menjadi surrogate mother. Kala berharap dalam hati. Tak berapa lama, ia sudah terlarut dalam pekerjaannya.
Sementara di tempat lain, Lady nampak sedang menikmati sarapan bersama teman-temannya setelah berolahraga bersama.
“Gue nggak bisa lama-lama, ya. Ada urusan penting,” kata Lady.
“Tumben, pagi-pagi lo sibuk?” tanya Carmel, sahabatnya.
“Iya, mo konsul sama Dokter Broto,” jawabnya.
“Dokter Broto, spesialis kandungan? Eh, lo hamil?” tanya Carmel lagi.
“Lagi mo program. Doain ya.” Lady menjawab sambil melempar seutas senyuman.
“Gue duluan ya. Bye all,” pamitnya sembari melambaikan tangan.
“Bye. Hati-hati,” kata teman-temannya hampir serempak.
Lady berjalan menuju ke kasir untuk membayar, baru menuju mobil yang diparkir di depan.
Tempat makan ini memang bukan untuk kalangan seperti mereka. Namun, apa daya. Sepagi ini, belum ada restoran buka di sekitar gelanggang. Karena itu, warung ini menjadi langganan bagi banyak orang yang melakukan olahraga pagi di sini.
Lady mengemudikan mobilnya kembali ke rumah. Dia berencana untuk mandi dulu, baru ke rumah sakit menemui Dokter Broto, yang kebetulan sudah ia kenal sejak kuliah.
Mereka berdua masih satu almamater di National University of Singapore, tetapi berbeda jurusan. Lady mempelajari Business Management sedangkan Broto, tentu saja kedokteran.
Lady mengenal lelaki itu dari Celine, teman sejurusannya, pacar Broto ketika semester tiga. Tak berapa lama setelah berkenalan, mereka putus karena Broto jatuh cinta pada Lady.
Tentu saja Celine tidak tahu mengenai alasan itu karena Broto menyimpan rapat-rapat. Ia hanya mengatakan bahwa lebih nyaman menganggapnya sebagai teman, tidak lebih. Beruntung gadis itu bisa menerima dan tidak menjadi masalah berkepanjangan. Sementara Lady sendiri selalu menolak saat Broto menyatakan cinta berkali-kali, bahkan hingga mereka lulus kuliah.
Pria itu memang bersih, tubuh cukup ideal, keluarga berada, cerdas, dan masih banyak lagi kelebihan yang dimilikinya. Namun, profesi dokter bukan sesuatu yang menarik bagi Lady. Ia berpikir untuk mencari suami seorang pelaku bisnis. Dengan demikian perusahaan keluarga dapat dikelola dan dikembangkan bersama.
Selain itu, Lady tidak ingin terjatuh pada situasi percintaan yang rumit. Bagi dia, tidak perlu pacaran. Menikah dengan kriteria tepat, jauh lebih menjanjikan dari sekadar kisah cinta penuh romansa, cemburu, perselingkuhan dan hal-hal basi lainnya.
Menikah adalah sebuah kesepakatan dalam satu fase hidup manusia. Kalau menemukan yang satu visi misi, saling memenuhi kriteria juga standar satu sama lain, itu sudah cukup.
Kenyamanan menjalani hubungan sebagai life partner, jauh lebih bisa diterima oleh Lady dibandingkan konsep cinta-cintaan yang tidak logis.
Ditambah lagi, Broto adalah mantan kekasih Celine, teman dia sendiri. Pasti akan sangat tidak nyaman jika mereka pada akhirnya jadian. Belum lagi kesalahpahaman yang mungkin terjadi. Bisa saja Celine menuduh dia merebut Broto, sudah mengincar dari dulu dan gosip-gosip miring yang akan datang menerpa. So damn complicated! Lady tidak mau itu terjadi.
Tak berapa lama setelah lulus kuliah, Broto menikahi seorang gadis satu profesi. Namun tetap saja, Lady masih bertahta dalam ruang utama di hatinya.
[Jadi jam 10 kan, Broto?]
Lady mengirimkan pesan singkat melalui telepon genggamnya.
[Ay ay, my Lady. Sudah gue kosongin jadwal buat lo]
Broto membalas dengan perasaan yang mulai tidak menentu. Sejak semalam, Lady sudah menghubunginya untuk mengajak bertemu. Walau ini adalah pertemuan antara dokter dan pasien, tetap saja hati pria itu menjadi tidak tenang. Jantung seolah kehilangan irama dalam detakan, yang biasa slow pop menjadi house remix.
Broto bahkan sudah piktor duluan. Sebagai seorang dokter spesialis kandungan, ia sudah biasa melihat organ wanita dalam berbagai variasi bentuk dan warna. Namun, apakah ia sanggup melihat milik Lady? Membayangkannya saja sudah membuat keringat deras mengucur dan napas terengah-engah. Lalu bagaimana kalau ia harus menyaksikan di depan mata dan berjarak hanya beberapa jengkal dari wajah?
You can do it, Broto. Profesional please, batinnya menyemangati diri sendiri.
Jika memang kau datang untukku,jangan hanya sekedar singgah,jadilah bagian dari diriku,yang takkan pernah terpisah.*****Lady menuju ruang praktek Broto yang terletak di salah satu sudut rumah sakit elit di kawasan Jakarta Selatan. Semalam ia sudah membuat jadwal konsultasi dengannya.“Permisi, saya sudah ada janji dengan Dokter Broto, atas nama Ladyane Wilson,” kata Lady pada asisten Broto.“Ditunggu sebentar ya, Bu,” jawab gadis berseragam perawat ini mempersilahkan Lady duduk. Terlihat gadis itu mengetuk pintu ruangan Broto tiga kali sebelum membukanya.“Atas nama ibu Ladyane sudah datang, Dok,” katanya.“Thanks ya.” Broto bergegas mendekati pintu. Gadis itu duduk kembali ke mejanya.“Hai, Lad. Masuk.” Broto menyapa sembari tersenyum.Lady membalas dengan senyum dan melangka
Berjumpa itu mudah, tak seperti berpisah. Mengenal itu indah, tak seperti melupakan. **** “Gue rasa ini bukan saat yang tepat untuk bicara itu, Broto. Gue butuh Kala bukan hanya sebagai suami, tapi juga partner. Dia partner bisnis, juga partner of life gue. Dari dulu gue nggak peduli sama yang namanya cinta-cintaan. Non sense dengan itu semua.” Lady memandang tajam pada pria di hadapannya. “Jadi itu alasan lo nolak cinta gue?” Dokter muda itu menundukkan kepala menghindari tatapan Lady yang seperti elang sedang mengincar buruan. Tak sanggup ia melawan mata seorang wanita yang sudah menyerap habis semua cinta di hatinya hingga tak tersisa sedikitpun untuk yang lain, termasuk Ningrum istrinya. “Gue pilih Kala as a husband karena kami bisa kelola dan kembangkan bisnis bersama. Dia sangat capable untuk itu, dan the most important thing is kami punya visi misi, pandangan
Aku tidak sedang menggenggam dan digenggam oleh siapapun Aku tidak sedang menjaga juga dijaga hati manapun ***** “Dasar gila kamu, Al. Cewek itu bukan jam tangan, yang puas kamu pelototin terus dibuang gitu aja.” Embun memukul kepala Alaska, teman kerjanya. Sudah ke sekian kalinya ia harus mendengar cerita putus nyambung Al dengan para gadis. “Idih, gue mah bukan melototin doang. Rugi amat.” Al tersenyum nakal. “Dasar mesum, buaya cabul.” Embun tertawa ngakak melihat kelakuan jejaka tampan yang usianya hanya selisih setahun dengan dia. “Rugi dong perut gue kotak-kotak kalo masih mainan sabun sendiri,” jawabnya sambil mengusap-usap perutnya. Pria ini memang tampan. Tubuh padat atletis, walau tidak kekar. Sudah hampir dua tahun mereka bersahabat sejak Embun bekerja di hotel ini. Embun mungkin satu-satunya wanita di tempatnya bekerj
Bertahan pada situasi yang sulit, atau pergi mencari kenyamanan? Berdiri tegar dengan rasa sakit, atau melangkah menuju bahagia? ***** “Lo serius mo PHK Claudia malam ini?” Embun memandang wajah pria itu dari samping ketika mereka berboncengan motor. Mereka menuju taman kota untuk bertemu Claudia yang sebentar lagi akan mengisi daftar barisan para mantan seorang Alaska. “Ciyus lah!” Alaska yang mengenakan jaket bomber army sedikit berteriak. Entah kenapa, dari semua gadis yang hinggap di pelukannya, tak satupun mampu membuat dia terikat dalam jangka waktu yang lama. Rekor pacaran terlama Alaska hanya tujuh bulan. Dan tentu saja ia sudah mencicipi tubuh mereka. “Pernah nggak sih mikir kasihan gitu sama mereka, Al?” Embun memeluk Alaska karena laju motor terasa lebih kencang dari sebelumnya. “Gue ngajarin mereka untuk jadi cewek setrong, l
Alam mengambil seseorang darimu, yang tak kau sangka akan kehilangannya. Semesta hadirkan dia untukmu, yang tak kau sangka akan memilikinya. ***** Alaska mencoba meyakinkan Embun untuk mau menerima bantuannya, walau mungkin tidak banyak. Tapi seperti biasa, gadis keras kepala ini selalu menolak. “Kepala batu,” rutuk Alaska. “Bukan gitu, aku cuma nggak mau ngerepotin siapapun.” “Gengsi tinggi,” kata pria itu lagi. “Nggak ada gengsi, hanya mau mandiri.” “Sok kuat.” Tak mau kalah lelaki itu berucap lagi. “Mau nggak mau harus kuat.” “Terserah lo deh.” Alaska menyerah untuk terus berdebat. “Sayur asem aja, jangan lodeh.” Embun mengulum senyum. “Gue ada tabungan dikit kok, Mbun. Udah lo pake aja kagak apa-apa. Suer. Gue juga belum butuh. Jadi sama aja, buat apa tu duit ngendon di tabungan kan. Lo pake kan jadi l
Entah berapa hati telah kutolak untuk satu hati yang tak pernah pasti ***** “Sudah order?” Pria itu menarik kursi di hadapan Lady. Broto memandang sekilas ke sekeliling. Sebuah kafe dengan nuansa rustic yang sebagian dinding dibiarkan setengah jadi berbalur semen kasar, dipadu interior baru tapi bergaya kuno di beberapa sudut. Tata cahaya bergaya modern plus tambahan beberapa lukisan pop art menambah nyaman suasana. “Sungguh perpaduan yang apik,” batin Broto. “Belum. Sekalian nunggu lo.” Lady berusaha bersikap setenang mungkin. Broto masih asyik menyapu pandangan ke sekeliling kafe. Terlihat beberapa anak muda tak henti berfoto. Memang, tempat ini instagramable banget. Beberapa tanaman hias buatan ditambahkan di sudut ruangan. “Tempatnya keren,” puji Broto. “Iya. Nyaman aja di sini. Walau sebetulnya lebih banyak anak muda yang nongkrong di kafe ini,” jawab Lady sambil t
Kita adalah juri untuk diri kita sendiri, tanpa perlu orang lain menjabarkan, tentang apa dan siapa kita. ***** “Lo yakin dengan semua ini, Lad?” Broto masih tercengang. Wanita itu terlihat tenang. Sangat tenang bahkan. Broto sama sekali tidak mengira bahwa Lady akan setenang itu membicarakan semua ini. “A thousands percent. Gue nggak pernah setengah-setengah jalanin apapun. Semua selalu gue pertimbangkan dengan matang. Termasuk keputusan gue menikah dengan Kala, dan sekarang, to have an affair with you. Tapi mungkin dari sekarang kita jangan sebut affair. Kita bisa ganti dengan kesepakatan, gimana?” Lady yakin pria itu pasti akan menerima tawaran dari dia. Karena itu ia tampak lebih tenang dari sebelumnya. “Second Love. Walau bagi gue, lo itu tetap number one.” Broto menyecap americano coffee di cangkirnya. “Numero Uno. Kaya chocolatos aja. Hahaha.” L
Semesta telah menuliskanyang datang pasti akan pergilalu muncul sebuah pertanyaanapakah yang pergi pasti kembali?*****“Kasih gue waktu ya, Lad. Gue kudu pertimbangkan baik-baik,” jawab Broto.Akhirnya mereka lanjut berbincang santai. Tentu saja, sesekali Lady memasukkan bahasan tentang anak dan hubungan yang akan mereka jalani. Seiring waktu, sikap mereka sudah layaknya pasangan kekasih. Kemesraan itu tumbuh perlahan dan natural.Lady memang berusaha mengarahkan perasaannya sebagai pasangan Broto. Dia tidak ingin pria itu ragu untuk membantu. Tidak mungkin juga bagi wanita itu untuk terus berpura-pura suka.“Gue harus mencoba untuk benar-benar suka dan menerima Broto sebagai pria milik gue. Dengan demikian, semua tidak akan terasa berat untuk dijalani. Nggak mungkin juga selamanya gue bersandiwara, pasti sangat menderita. Kepalang basah,