Share

Bab 2

last update Huling Na-update: 2025-01-20 11:58:11

"Tunggu!"

Seorang pria muda berpakaian rapi datang tergesa. Wajahnya serius, tatapannya langsung tertuju pada Juragan Sagara.

"Saya tidak bisa membiarkan ini terjadi begitu saja," katanya tegas.

Kalingga yang tengah memandangi jemarinya yang saling memilin mendongak dengan mata membesar. Harapan terselip di hatinya, tetapi sirna ketika pria itu berhenti di hadapan Juragan Sagara, dan bukan dirinya.

“Ini tidak benar,” lanjut pria itu dengan nada tegas, menatap tajam ke arah sang Juragan.

Juragan Sagara tersenyum tipis, santai, seakan protes itu angin lalu. Namun, sebelum ia menjawab, langkah lain terdengar di belakang pria itu. Seorang laki-laki tinggi dengan wajah dingin dan sorot mata tajam muncul di lorong. Gala Sagara.

“Kenapa Papa memanggilku ke sini?” tanya Gala langsung, tanpa basa-basi. Tatapannya menusuk sang ayah, tanpa memperhatikan siapa pun di sekitarnya.

Juragan Sagara melipat tangan di dada, wajahnya serius. “Aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Itu saja.”

“Berjalan lancar?” Gala tertawa pendek, nadanya penuh sarkasme. “Menyuruhku menikahi seorang gadis yang bahkan aku tidak kenal? Apa Papa sudah gila?”

Perasaan Kalingga bagai dihantam gelombang besar. Kata-kata Gala, yang diucapkan dengan dingin tanpa perasaan, membuat tubuhnya gemetar. Namun, ia tidak punya kekuatan untuk membalas. Pandangannya kembali ke ruangan ayahnya, di dalam sana sang ayah terbaring lemah di ranjang menunggu kepastian dari hidupnya selanjutnya. Tangan Kalingga menggenggam erat gamisnya, seolah-olah itu satu-satunya pijakan yang ia miliki.

Juragan Sagara menghela napas. "Aku sudah menjelaskan semuanya lewat telepon. Kalian berdua saja yang keras kepala."

Gala melirik pada Ilman lalu Kalingga sekilas. Pandangannya dingin, tetapi ada ketegangan yang sulit diuraikan di sana. "Apa maksud Papa menyuruhku menikah dengan gadis ini? Apa Papa pikir aku akan menurut begitu saja?"

"Kalau kamu mau terus menikmati hasil jerih payahku, maka pernikahan ini harus kamu lakukan," balas Juragan dengan suara rendah tapi penuh ancaman. "Atau aku akan tarik semua aset yang sekarang kamu kelola."

Kalingga tertegun. Ia merasa seperti barang tawar-menawar di tengah konflik ayah dan anak ini. Namun, saat Gala mendesah panjang, ia tahu bahwa pria itu kalah dalam perdebatan ini.

Gala mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. “Papa selalu memaksakan kehendak. Kali ini pun sama.”

“Kalau kamu tidak mau, aku akan menarik semua aset yang kamu kelola sekarang,” ancam Juragan Sagara lagi.

Gala terdiam. Sorot matanya berubah, dari penuh kemarahan menjadi keraguan. Dalam diam, ia menatap sepenuhnya pada Kalingga untuk pertama kali. Gadis itu tampak rapuh, dengan kepala tertunduk dan bahu bergetar.

“Papa benar-benar keterlaluan,” gumamnya pada akhirnya.

Namun, sebelum Gala bisa membuat keputusan, suara lembut tetapi tegas terdengar dari sudut ruangan.

“Lingga, jangan khawatir. Aku di sini. Ayahmu pasti sembuh, berdoalah. Mintalah kesembuhan pada Allah.”

Kalingga menoleh, dan matanya bertemu dengan Ilman. Laki-laki itu berdiri tidak jauh darinya, dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Sorot matanya hangat, penuh perhatian, berbeda dari Gala yang dingin dan sulit dijangkau.

“Mas Ilman .…” Kalingga berbisik. Ada sedikit kelegaan di matanya.

Ilman mendekat dan menunduk sedikit, suaranya rendah tetapi terdengar jelas. “Aku akan memastikan kamu baik-baik saja. Jangan khawatir soal ayahmu. Kita semua di sini untuk membantumu.”

Kalingga merasa air matanya semakin deras. Hanya Ilman yang selama ini memberinya sedikit rasa nyaman, rasa aman, di tengah kekacauan yang menderanya.

Namun, pemandangan itu memicu sesuatu dalam diri Gala. Pandangan matanya yang dingin berubah menjadi sesuatu yang sulit diartikan. Melihat asistennya yang biasanya kaku dan acuh pada perempuan berubah menjadi lembut di depan Kalingga membuatnya berpikir keras.

Juragan Sagara yang memperhatikan perubahan ekspresi Gala segera mengambil kesempatan. “Papa tahu kamu tidak menyukai ide ini, tetapi tidak ada cara lain, bisnis kita akan berhenti tanpa keturunan dari kamu, Gala.”

Gala mendesah panjang. Matanya beralih ke Kalingga, yang masih menangis. Interaksinya dengan Ilman membuat rasa kesal muncul di dadanya—entah kenapa. Mungkin karena ia tidak ingin ada orang lain yang terlihat lebih "peduli" dibanding dirinya.

“Baik,” katanya dengan suara datar. “Tapi aku punya syarat.”

“Apa itu?” tanya Juragan Sagara, matanya berbinar.

“Tidak ada yang boleh tahu pernikahan ini. Termasuk Selena dan Mama.”

Juragan Sagara tersenyum lebar. “Aku setuju. Tapi aku juga punya syarat. Gadis ini harus memberikanmu keturunan dalam waktu dua tahun. Kalau tidak, semuanya batal.”

Gala menatap ayahnya dengan penuh ketidaksukaan, tetapi akhirnya mengangguk. Dia mengepalkan tangan, tetapi tetap menjaga nada suaranya tetap dingin. "Baik, selama itu berarti aku tidak kehilangan kendali atas apa yang sudah kupunya."

Kalingga hanya bisa terdiam. Kata-kata mereka seperti hukuman yang menghujam hatinya. Namun, bayangan ayahnya yang terbaring lemah di ruang ICU membuatnya tidak punya pilihan lain.

Malam itu juga Juragan Sagara telah mempersiapkan pernikahan siri dengan cepat. Seorang pemuka agama dipanggil ke rumah sakit, dan Pak Kasno yang menjadi wali nikah Kalingga hanya bisa pasrah.

“Dengan mas kawin seperangkat alat salat, saya terima nikahnya ...,” ujar Gala mantap, meski tanpa ekspresi sedikit pun di wajahnya.

Air mata mengalir di pipi Kalingga. Ia tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terjadi dalam situasi seperti ini—tanpa cinta, hanya untuk sebuah perjanjian.

Setelah akad selesai, Gala berdiri di samping Kalingga, menjaga jarak. Namun, pandangannya terus mengawasi Ilman, yang masih berdiri tidak jauh.

Gala melirik sekilas pada Kalingga. "Mulai sekarang, lakukan apa yang aku perintahkan. Jangan macam-macam! Kamu istriku!" katanya tegas penuh penekanan.

Kalingga tidak menjawab. Ia hanya menggigit bibir, menahan tangis.

Kalingga terisak, memegang tangan ayahnya yang dingin. Gala berdiri di sudut ruangan, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Namun, saat Kalingga berbalik dan menangis tanpa suara, Gala secara refleks mengulurkan tangan, membiarkannya bersandar di dadanya

Untuk pertama kalinya, Kalingga menangis dalam pelukan seorang pria selain ayahnya. Dan untuk pertama kalinya pula, Gala merasa hatinya sedikit terusik oleh tangisan itu.

Di tengah tangisnya, Kalingga mendongak dan menatap Gala. "Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri," bisiknya. "Semua ini salahku."

Gala hanya diam, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang berubah. Dia memilih tidak menjawab, tetapi pandangannya yang dingin tampak sedikit melunak. Di sudut lain, Ilman mengamati mereka dengan tatapan penuh arti, tetapi tanpa sepatah kata pun.

Iftiati Maisyaroh

Wah, apa Gala akan jatuh cinta pada Kalingga?

| 4
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
BalqizAzzahra
sepertinya dia terkena panas asmara
goodnovel comment avatar
Azzurra
seperti nya bakal jatuh cinta
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Rahim yang Tergadai   Season 2 Tetap Bersama

    Mentari pagi belum sepenuhnya naik ketika Galen perlahan membuka matanya. Tubuh Maiza masih tertelungkup di dadanya, napasnya tenang, wajahnya damai. Malam panjang yang mereka ulang berkali-kali itu telah menguras seluruh tenaga dan emosi. Tapi Galen tersenyum kecil. Semua itu nyata. Dia kembali ke tempat yang seharusnya: pelukan Maiza. Perlahan ia bangkit dari tempat tidur, menarik selimut menutupi tubuh kekasihnya. Ia mengenakan kembali celananya, melangkah ringan ke dapur. Tangannya mulai bekerja: mengiris bawang, mengocok telur, menyalakan kompor, dan menyiapkan kopi. Sambil memasak, benaknya melayang ke masa lalu. Ingatannya menguar, sejelas aroma tumisan yang memenuhi udara. Di penjara, Kalingga—ibunya—datang bersama Gala dan Sagara. Pertemuan itu seperti lembaran hidup yang dicabik paksa. Sagara tak lagi segarang dulu, kini hanya pria tua penuh penyesalan. Ia bicara lirih, mengaku semuanya. Bahwa semua ini bermula da

  • Rahim yang Tergadai   Season 2 Maiza Menggila

    "Lakukan saja perintahku, NOAH!" bentak Maiza, suaranya meledak dalam kemarahan.Tak ada sepatah kata pun keluar dari Noah—sang asisten yang juga sahabat Galen. Ia hanya mengangguk singkat, lalu memutar balik kemudinya, melaju menuju tempat yang disebutkan Maiza.Perempuan itu terdiam, pikirannya sibuk menenun kegelisahan. Tatapannya kosong, mengarah lurus ke depan. Wajahnya datar dan dingin—tanpa jejak kesedihan, apalagi kebahagiaan. Namun perlahan, raut itu berubah. Menegang. Menyiratkan kemurkaan yang membakar.‘Kalau ini bukan halusinasi, aku harus tahu apa yang sebenarnya Galen sembunyikan dariku! Mungkin aku lemah di matanya, tapi aku akan buktikan kalau aku bisa hidup tanpa dia!’‘Sudahlah, Za ... ikhlaskan. Buka lembaran baru. Kamu Direktur Utama perusahaan multinasional sekarang—itu kesempatan langka! Gunakan baik-baik, Iza! Kamu bisa!’Suara-suara itu berisik di kepalanya. Saling tindih, saling beradu, seperti dua sisi dirinya t

  • Rahim yang Tergadai   Season 2 Lakukan Saja!

    "Apa ini bagian dari prank, Noah?" Maiza menggeleng dengan senyum kaku yang dipaksakan, meski air matanya telah jatuh tanpa disadari. Suaranya bergetar saat teriakannya pecah, “Ini nggak lucu!?” Ia menggeleng lebih kuat, mata terpejam rapat menahan denyut luka yang begitu dalam.Tubuhnya perlahan kehilangan tenaga. Lututnya lemas, jatuh meluruh ke lantai dingin. Ia terus menggeleng, tangisnya meledak bersamaan dengan wajah yang telah basah kuyup oleh air mata yang tak terbendung.“Galeeen,” panggilnya lirih, suara itu hampir tak terdengar. Tangannya mengusap dada, mengepal erat di sana. “Permainan apa lagi yang harus aku jalani, Tuhan ....” isaknya pecah, mengguncang bahunya dalam tangisan tersedu-sedu.———‘Ingatlah satu hal dariku, Mai ... kamu harus lebih tangguh dari masa lalu kamu. Semua yang kamu lalui adalah obat, meski pahit itu akan membuatmu lebih kuat. Lupakan yang telah ada di belakangmu, syukuri apa yang kamu jalani dan yakinlah bahwa

  • Rahim yang Tergadai   Season 2 Memilih Pergi

    Maiza masih terduduk di lantai, memeluk foto dan secarik kertas yang telah mengubah segalanya. Dada sesak, tangis mengalir tanpa bisa ditahan. Entah berapa menit berlalu dalam diam dan guncangan.Hingga suara ponsel berdering memecah keheningan. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat tanpa sempat melihat nama di layar."Halo?" Suaranya parau."Bu Maiza?" Suara dari seberang terdengar ragu. "Saya dari kepolisian. Kami ... kami ingin menyampaikan kabar duka."Maiza membeku."Apa maksud Anda?""Tahanan atas nama Galen, suami Anda ... ditemukan meninggal dunia pagi ini di ruang isolasi. Beliau diduga mengalami serangan jantung mendadak."Ponsel nyaris terlepas dari genggamannya. Maiza menatap kosong ke depan, seperti tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya."T-tidak ... tidak mungkin. Baru saja aku masih ... masih bertemu dengannya! Dia baik-baik saja!"Suara dari seberang terdengar berat, seolah terb

  • Rahim yang Tergadai   Season 2 Bebas atau Tidak?

    "Aku sudah tak mengenalimu lagi, Hubby ...." suara Maiza pecah saat akhirnya ia berdiri dan berbalik, meninggalkan ruang tahanan dengan linangan air mata.Ia melangkah cepat keluar, seolah tak ingin siapa pun melihat rapuhnya. Kedua tangannya menutup mulut dan mengusap wajah yang kini telah basah. Dalam benaknya, kenangan bersama Galen berkelebat seperti kolase yang tersusun acak—tak utuh, tapi penuh warna.Ia mengingat saat pertama kali bertemu Galen, di taman itu, ketika hidupnya terasa seperti reruntuhan. Saat dia menangis dalam diam, dan pria muda itu menghampiri dengan kalimat sederhana yang mampu menyentuh hatinya.Sejak itu, Maiza percaya bahwa masih ada lelaki baik di dunia ini. Tapi mengapa sekarang, sosok yang dulu penuh perhatian itu menghilang? Ke mana mahasiswa polos itu pergi?Galen yang dulu melindunginya dari preman cabul—pria yang begitu sabar dan menjaga batas, yang tak pernah sekalipun memaksakan hasrat. Ia masih ingat jelas mal

  • Rahim yang Tergadai   Season 2 Kemarahan Galen

     Flashback – Sebelum Maiza Sadar di Apartemen Galen"Bereskan ma–yatnya," titah Galen sambil menekan earpiece-nya.Tubuhnya tegak, tatapan dinginnya mengarah pada sosok yang tergeletak lemah di sofa. Wajah Maiza tampak damai dalam ketidaksadaran, namun bayangan kemesraan antara mantan pasangan suami istri itu terus mengganggunya. Wajah Galen kembali mengetat, rona merah amarah naik ke pipi. Ia mengalihkan pandang, melangkah cepat keluar ruangan tanpa menoleh sedikit pun.Namun baru beberapa langkah, ia berhenti mendadak. Tangannya meremas rambut sendiri, kepalanya tertunduk, dan matanya terpejam kuat—seperti sedang berusaha menghapus senyuman Maiza di pagi hari dari pikirannya."Aaarrrgh!" teriaknya tertahan, membalikkan badan dengan gerakan penuh gejolak. Ia berjalan cepat kembali, melepas jaket dan merobek gorden hingga terlepas dari gantungannya.Dengan gerakan kasar, ia membungkus tubuh tak berbusana Maiza yang terkulai di sofa. Tidak ada

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status