MasukDavid Longman bahkan masih ingin mengucapkan beberapa kalimat hinaan kepada Calvin, tetapi tentu saja mulutnya kini sedang tersumpal oleh keterkejutannya sendiri.
“Tidak mungkin…” gumam David Longman pelan, “pemuda itu bahkan hanya meraba-raba tubuh Emily, tetapi, bagaimana bisa?”
Dua asisten David Longman juga sama terkejutnya dengan sang dokter. Mereka juga yakin jika Emily sudah tak mungkin bisa disembuhkan. Apalagi hanya dengan diraba-raba dengan tangan kosong.
Mustahil!
“Siapa tadi yang berkelakar ingin memohon kujadikan sebagai murid?” tanya Calvin, tentu saja dengan senyum lebar penuh kemenangan.
David Longman tercekat diam. Dengan diliputi rasa penasaran, ia berjalan menghampiri Emily yang kini tengah berada di pangkuan Edward.
David mencoba menyentuh pembuluh nadi di tangan Emily sembari mengobservasi keadaan Emily secara menyeluruh. Rasa keterkejutan David kian membesar. Emily bukan hanya sembuh dari keracunan, tetapi, ia bisa memprediksi jika Calvin ternyata juga telah memperlancar aliran darah Emily.
“Teknik apa yang sudah kau lakukan, anak muda?” tanya David Longman kepada Calvin, kini ia tak mampu menutupi rasa kagum dan terkejutnya. “Anak muda, siapa namamu? Bolehkah… Bolehkah… Bolehkah di lain waktu kita berbincang-bincang? Ah, maksudku, bolehkah aku berguru padamu?”
Dua asisten David Longman juga dibuat tercekat kaget ketika mereka melihat senior mereka saat ini tampak sangat menghormati Calvin Reed.
Calvin Reed tersenyum ramah lalu mengajak David Longman berjabat tangan. “Calvin Reed. Jika aku tak sibuk, tentu kita bisa berbincang-bincang.”
David Longman merasakan bulu kuduknya meremang saat ia menjabat tangan Calvin. Entah itu adalah sensasi emosional atau memang Calvin memiliki aura khusus, ia kesulitan membedakannya. Namun yang pasti, David Longman kini menampakkan ekspresi hormat yang begitu besar kepada Calvin.
“Terima kasih atas kemurahan hati anda, Tuan Reed,” ucap David kepada Calvin.
Calvin Reed mengangguk, lalu beralih menoleh ke arah Edward Miller.
“Putri anda sudah sehat, dia hanya butuh istirahat yang cukup untuk mengembalikan tenaganya yang terkuras selama proses pengobatan,” gumam Calvin kepada Edward.
Edward Miller mengangguk dengan mata sembab, ia mengucap terima kasih berkali-kali seraya memeluk tubuh putrinya yang lemas. Yang jelas, Emily memang sudah siuman tetapi gadis itu memang terlihat lemas tak bertenaga.
“Tuan Reed, seperti janjiku sebelumnya, tolong ucapkan permintaanmu, dan aku akan memenuhinya, kuharap permintaanmu berada dalam batas kemampuanku.”
Saat itu, Calvin Reed baru saja akan mengucapkan sesuatu. Tetapi, terdengar teriakan dari arah pintu gerbang mansion.
“Ayah… Bagaimana keadaan Emily?!”
Terdengar ada seorang gadis yang sedang berlari terengah-engah menghampiri semuanya.
Calvin menoleh ke belakang, betapa terkejutnya dia ketika melihat siapa yang datang.
“Kau?!” ucap Calvin terkejut.
“Kau?!” ucap gadis itu tak kalah terkejut. Gadis itu lantas mengamati sekeliling, beberapa waktu lalu ayahnya menelepon, mengabarkan jika adiknya dalam keadaan buruk dan dia dengan tergesa-gesa pulang ke rumah. Namun, betapa terkejutnya dia karena kini ia bertemu lagi dengan pria yang semalam tidur dengannya.
“Pria cabul kurang ajar! Kau bahkan mengikutiku hingga ke rumahku?!” bentak gadis itu kepada Calvin.
Calvin mengerutkan kening dan menjawab, “lihat baik-baik, aku datang duluan di sini. Bukankah ini lebih mirip kau yang mengikutiku?!”
“Bajingan! Aku akan melaporkanmu ke polisi!”
“Dahlia!” bentak Edward Miller kepada putri sulungnya. “Tunjukkan rasa hormatmu pada Tuan Reed!”
Dahlia Miller mengerutkan kening. “Tuan Reed?”
“Ya. Tuan Calvin Reed yang sudah menyembuhkan adikmu! Minta maaflah kepadanya atas kelancangan sikapmu!” bentak Edward lagi. “Aku bahkan sudah bersumpah untuk menuruti permintaan Tuan Reed sebagai balas budi, bagaimana bisa kau datang-datang langsung membentaknya?!”
Dahlia Miller terdiam. Adiknya baru saja disembuhkan oleh pria cabul yang semalam tidur dengannya.
“Aku? Minta maaf kepadanya?” tanya Dahlia kepada ayahnya, ia masih kesulitan mencerna keadaan.
“Tak perlu. Lagi pula aku tak menginginkan permintaan maaf darinya,” gumam Calvin menengahi ketegangan di antara Edward dan putri sulungnya.
Dengan menarik napas dalam, Calvin bergumam lagi, “Karena, sebenarnya ada hal lain yang kuinginkan.”
Dahlia Miller menelan ludah, ia bergidik ngeri membayangkan keinginan apa yang akan diucapkan oleh Calvin. Ia khawatir Calvin akan menyebut kejadian semalam lalu memeras ayahnya agar Calvin tetap tutup mulut.
“Sebutkan keinginan anda, Tuan Reed,” ucap Edward.
“Tuan, saya tak membutuhkan imbalan apa pun terkait dengan kesembuhan putri anda. Tetapi, ada satu hal yang saya inginkan. Saya ingin membatalkan pertunangan saya dengan cucu keluarga Miller.”
“Masuklah, Xavier,” balas Calvin dari dalam.“Dan kalian berdua,” ujar Calvin kepada Dahlia dan Jill. “Simpan senjata racun kalian. Xavier bukanlah orang bisa kalian serang menggunakan racun.”Xavier adalah tangan kanan dari Eldran King. Dan itu cukup membuat Calvin memahami mengapa William tak berkutik di hadapan sosok ini. Pria ini memiliki julukan Raja Neraka di antara para War God, berurusan dengannya sama saja mengambil tiket berangkat ke neraka.Krek…Pintu kamar belakang terbuka bersamaan dengan lampu seluruh vila menyala kembali. Sosok Xavier muncul dari balik pintu dengan mengenakan pakaian serba hitam. Xavier menunduk dalam, memberi hormat kepada Calvin Reed.“Maaf karena telah membuat sedikit kekacauan di tempat anda, Mr. Reed,” ucap Xavier dengan nada datar, membuat Dahlia dan Jill sulit menebak apakah Xavier berada di pihak Calvin atau musuh.“Bagaimana keadaan William?” tanya Calvin tak kalah datarnya.Xavier menarik napas dalam. “Dia hanya kehilangan kesadaran. Jika tub
Beberapa saat berselang, lampu kamar belakang padam seketika. Gelap total menelan ruangan, seolah semua cahaya ditarik keluar begitu saja. Yang tersisa hanya suara napas tiga orang yang terjebak di dalamnya. Napas Dahlia tercekat dan terburu, terdengar jelas di keheningan. Jemarinya mencengkeram botol racun hingga buku-buku jarinya memutih, rasa dingin dari kaca botol meresap ke kulitnya. Jill berdiri di dekat pintu, bahunya kaku, otot-ototnya tegang seperti busur yang ditarik terlalu lama. Di balik genggamannya yang rapat, botol racun lain bersembunyi, siap digunakan kapan saja.Waktu berjalan lambat. Lima menit yang dijanjikan William terasa seperti penantian tanpa akhir. Setiap detik menyeret seperti menit, dan setiap menit terasa seperti satu jam penuh siksaan.Tiba-tiba terdengar letupan.DORR!Suara itu memecah udara, tajam dan menusuk. Kaca dari arah ruang tamu pecah, serpihannya berderak jatuh menghantam lantai marmer, menimbulkan gema getir. Bau debu halus ikut terbawa bersa
Matahari sudah semakin menanjak, sinarnya menembus tirai tipis Regal Ridge Villa. Calvin Reed duduk bersandar di sofa, wajahnya pucat. Efek New Moon kian nyata. Tubuhnya bergetar tipis, seperti orang yang sedang berjuang keras melawan maut. Meski matanya tetap terbuka, sorotnya tak lagi setajam biasanya.Di sisi sofa, Lucius Black mulai siuman. Kedua tangannya terborgol di belakang kursi besi, tubuhnya diikat erat dengan tali tambahan di dada dan kakinya. Kursi itu sengaja diposisikan menghadap William Jones yang berdiri tegap, wajahnya dingin bagai batu.Lucius tersenyum samar, bibirnya masih berlumur darah. “Begini caranya kalian memperlakukan tamu?” tanyanya dengan nada meremehkan. “Aku kira Dewa Perang punya tangan kanan yang lebih pantas. Ternyata hanya anak kecil dengan wajah kotor.”William hanya menatap lurus, tidak terpancing. Sorot matanya tajam, seolah menembus kebanggaan kosong Lucius.Lucius mendengus geli. “Jangan menatapku seperti itu. Kau bahkan tak punya kuasa menentu
Tubuh Lucius Black tergeletak di lantai, napasnya berat dan tak beraturan. Bau samar serbuk racun masih menggantung di udara. Jill Maxim berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang.Calvin Reed mundur perlahan, bahunya goyah, lalu dipapah oleh Dahlia hingga kembali duduk di sofa. Keringat dingin menetes dari pelipisnya, wajahnya pucat. Meski matanya tetap tajam, jelas tubuhnya berada dalam kondisi lemah.Dahlia menoleh pada Jill. “Jangan terlalu dekat dengan serbuk tadi,” katanya tegas. “Itu racun. Calvin memberikannya padaku sebelumnya, berjaga-jaga untuk situasi seperti ini.”Mata Jill membelalak. Dalam sekejap, perasaan malu menusuk dadanya. Ia sempat meragukan Calvin, mengira pria itu menyerah begitu saja dan tak memiliki rencana cadangan. Kini ia sadar, Calvin sudah mempersiapkan jalan keluar sejak awal. Ia menggenggam erat tangannya, menahan rasa bersalah.“Calvin, apa yang harus kulakukan terharap orang ini? Haruskah aku membunuhnya selagi ia lemah?” tanya Jill berharap ia bis
Calvin Reed berdiri perlahan dari sofa. Gerakannya sederhana, namun cukup untuk membuat seluruh ruangan berubah. Udara yang semula penuh dentuman pertarungan Jill dan Lucius kini seakan terkunci dalam hening yang berat.Lucius Black merasakan dingin merayap di punggungnya. Wajahnya masih menyeringai, tetapi kakinya sedikit gemetar. Kharisma Calvin yang muncul tiba-tiba membuat pikirannya goyah. Informasi yang ia terima sebelumnya menyebutkan bahwa hari ini Calvin berada dalam keadaan lemah, sekarat, karena pengaruh New Moon. Namun jika informasi itu bohong, jika Calvin masih memiliki kekuatan penuh, ia tahu satu hal pasti: dirinya tidak akan keluar dari Regal Ridge Villa dalam keadaan hidup.Calvin melangkah maju. Setiap langkahnya terdengar mantap di lantai marmer. Jill Maxim menatapnya dengan napas tercekat, matanya berkilat penuh harapan. Dahlia bahkan mencondongkan tubuhnya, seolah siap menyaksikan Calvin memusnahkan pria asing yang berani masuk ke rumah mereka.Lucius merasakan j
Calvin Reed duduk waspada di sofa, jemarinya mengetuk sandaran lengan seirama dengan detak waktu. Wajahnya tetap tenang, meski telinganya jelas menangkap bunyi gesekan halus dari gagang pintu. Dahlia melirik panik, sementara Jill meluruskan punggungnya, seolah sudah siap menghadapi sesuatu.Pintu villa berderit terbuka perlahan. Bukan dengan keras, bukan pula terburu-buru. Justru gerakannya pelan, penuh kesengajaan, seperti seseorang yang tahu bahwa setiap detik keheningan adalah pisau yang bisa menusuk saraf penghuni rumah.Seorang pria masuk, langkahnya ringan namun berirama mantap. Ia mengenakan turtleneck hitam yang menempel erat di tubuh rampingnya, dipadu celana hitam rapi. Rambut pirang keemasan tersisir rapi, kontras dengan tatapan mata abu-abu yang dingin dan menghujam. Rahangnya tegas, dan senyum samar di bibirnya seperti ejekan yang sudah disiapkan.“Hmm… tempat yang nyaman,” ucapnya, suaranya rendah tapi cukup untuk memenuhi ruangan. Tatapannya bergulir dari Calvin, lalu s







