Home / Urban / Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda / Bab 11: Pencabut Nyawa Tiba!

Share

Bab 11: Pencabut Nyawa Tiba!

Author: Anakin Detour
Mata Emilia melebar tak percaya. "Apa?! Jangan khawatir, Adinata. Tidak ada yang bisa masuk ke wilayah Narayani dan membuat kekacauan tanpa konsekuensi. Dia akan dihukum."

Dengan amarah yang memuncak, ia berjalan cepat menghampiri Faris.

"Tuan Faris, apa-apaan ini?" Hardiknya sambil menunjuk ke arah Evan. "Ini penjelasan yang tadi kau maksud? Mendukung putrimu sementara dia bermesraan dengan pria lain, tepat di depan keponakanku? Aku tidak menyangka kau bisa sebegitu tidak tahu malu!"

Ekspresi Faris mengeras.

Sudah cukup lama ia menoleransi sikap meremehkan Emilia. Tapi sekarang, wanita itu sudah keterlaluan. Tidak seorang pun boleh menghina putrinya di hadapannya, apa pun alasannya. Meski keluarganya sedang menghadapi kesulitan finansial, mereka tetap bagian dari tujuh keluarga elit Kawungara. Dan ia tidak akan membiarkan siapa pun berbicara padanya dengan cara seperti itu.

"Cukup!" bentak Faris. "Jangan pernah berani bicara tentang putriku seperti itu."

Emilia berkedip tak percaya. "Apa kau bilang?"

"Kau sudah dengar," sahut Faris dingin. "Kau tidak punya hak berdiri di sini dan menyebut putriku murahan hanya karena keponakanmu cemburu."

Wajah Emilia menegang, berubah sinis. "Dasar bajingan tak tahu terima kasih. Aku sudah mempercayaimu! Dan ini balasannya? Pengkhianatan? Membiarkan putrimu menjajakan dirinya di depan umum?"

"Jaga ucapanmu. Keluarga Wiratama masih bagian dari elit kota ini!"

"Tidak, aku tidak akan diam. Elit apanya? Omong kosong. Semua orang tahu keluargamu sedang runtuh, dan kau hanya menyerahkan putrimu karena butuh bantuan Keluarga Narayani," sembur Emilia. "Kau membesarkan aib. Kalau kami tidak mengetahuinya sekarang, keponakanku bisa saja berakhir menikahi barang bekas!"

Faris menundukkan kepala dengan rasa malu. Ada setitik kebenaran dalam ucapannya.

Hannah terperanjat. Air mata mulai berkaca di matanya.

"Aku mau batalkan pertunangan ini sekarang juga," lanjut Emilia dengan tajam. "Dan karena kami sudah melunasi setengah utangmu sebagai bagian dari mahar, aku harap kau mengembalikannya sepuluh kali lipat. Kalau tidak, kakak iparku akan memastikan kau membayar dengan lebih dari sekadar uang."

Suara Hannah bergetar. "Teganya kau bilang gitu tentangku? Kejamnya kau mempermalukanku seperti ini?"

Mata Emilia menyala penuh amarah. "Tutup mulutmu, dasar jalang kecil. Kalian berdua, berlutut dan minta maaf pada Adinata. Kalau nggak aku pastikan kalian akan menyesal pernah muncul di sini."

Jarinya terarah lurus pada mereka.

Evan melangkah maju satu kali, tatapannya setajam baja. "Emang kau mau gimana buat kami berlutut?"

Suaranya tenang. Terlalu tenang.

"Kau sudah kelewatan, bocah," geram Emilia. "Kau akan menyesali setiap kata yang baru saja kau ucapkan."

Ia berbalik tajam. "Raka Baskoro!"

Ruangan langsung diliputi keheningan mencekam.

Seorang pria tua menuruni tangga perlahan. Ia mengenakan jubah biru gelap, kedua tangannya terlipat di belakang punggung, ekspresinya sulit terbaca.

"Ya, Presiden Emilia?" tanyanya, suaranya halus dan tenang.

Begitu melihatnya, napas Hannah tercekat. Seluruh tubuhnya menegang.

"Raka..." bisiknya gemetar. "Dia ada di sini."

Tangannya bergetar saat ia meraih lengan Evan. "Evan, tolong... itu dia. Sang Pencabut Nyawa. Penegak hukum utama bawahannya Bima Narayani. Dia sudah melakukan hal-hal yang tak terbayangkan. Kalau kita melawannya, kita tidak akan punya kesempatan kedua."

Ia mencoba menarik Evan mundur, suaranya hampir tak terdengar. "Kumohon... berlututlah saja. Minta maaf. Kalau tidak, kita tidak akan selamat."

Saat Raka melangkah masuk ke aula, kehadirannya saja sudah cukup untuk membungkam semua bisikan. Rasa ngeri menyelimuti ruangan, bagaikan awan badai yang menggantung di atas kepala.

Emilia tidak membuang waktu sedikit pun. Suaranya bergema penuh racun. "Aku tidak mau dia mati cepat, Raka. Buat dia menderita. Patahkan setiap tulang di tubuhnya. Aku ingin dia memohon sebelum akhirnya mati."

Adinata ikut menyela, menunjuk Evan dengan marah. "Dia berani merebut tunanganku tepat di depan mataku! Ini hari paling memalukan dalam hidupku, bunuh dia, Raka! Cincang dia!"

Masih berlumuran darah dan terpincang-pincang, Dorian bersandar pada dua pengawal, jubahnya ternoda merah. Namun melihat Raka saja sudah cukup membuat senyum sinis terukir di wajahnya. "Raka... akhirnya. Keadilan sudah tiba. Sudah kuduga berpura-pura mati akan terbayar. Sekarang dengan kau di sini, aku bisa bernapas lega. Dia tidak akan bertahan sedetik pun melawanmu."

Raka tidak melangkah lebih dekat. Dia tidak perlu. Suaranya dingin tanpa emosi, menggema di seluruh aula seperti dentang lonceng kematian.

"Anak muda," ucap Raka, tangannya masih terlipat di belakang punggung, "Kau sudah menyinggung orang yang salah. Kau punya lima detik untuk berlutut. Kalau nggak, kau akan mati."

"Lima detik?" desis Emilia. "Dia memberinya pilihan? Aku sudah bilang bunuh dia, bukan ceramahi dia! Apa-apaan kemurahan hati ini?"

Namun bahkan dalam amarahnya, Emilia tahu tempatnya. Raka bukan anjing peliharaannya. Dia adalah pedang milik Bima Narayani dan dirinya hanyalah kerabat lewat pernikahan. Ia menahan amarahnya, meski dadanya mendidih.

Adinata melihat keraguannya dan maju selangkah, dadanya membusung dengan keberanian palsu. "Kau dengar itu? Kau beruntung Raka masih berbaik hati. Tapi jangan salah paham, kau sudah tamat."

Lalu Adinata berbalik ke arah Hannah, suaranya meneteskan kebencian. "Dan kau, perempuan tak tahu malu. Berani-beraninya kau genit dengan sampah ini di hadapanku? Kau akan menyesal sudah tidak menghormatiku!"

Hannah mundur, tubuhnya gemetar, namun matanya tetap menantang. "Aku tidak pernah mencintaimu, Adinata! Lepaskan aku!"

"Apa?!" Mata Adinata melotot dipenuhi amarah. Ia menerjang ke arahnya, tangan terangkat tinggi.

PLAK!

Namun bukan tangannya yang mengenai.

Telapak tangan Evan menghantam wajah Adinata keras bagaikan cambuk, membuat tubuhnya terpental jatuh ke lantai marmer. Seluruh aula terperanjat.

Evan tidak bergeming. Suaranya tetap datar. "Di mana kotak musik yang kusuruh kau bawa?"

Adinata meraung kesakitan, memegangi pipinya. "K... Kau masih berani menyinggung benda terkutuk itu di depan Raka? Bunuh dia! Raka, bunuh bajingan ini sekarang juga!"

Dan Raka pun bergerak.

Desahan kaget bergema di seluruh aula saat algojo yang ditakuti itu melesat maju.

"Orang bodoh ini bakal tamat!" bisik seseorang.

"Tidak ada yang bisa lolos dari Pencabut Nyawa," gumam yang lain.

"Sampai akhir masih sombong... Berani-beraninya minta kotak musik? Di depan Raka?"

Dorian mengepalkan tinjunya lemah, matanya liar. "Ya! Habis dia sekarang. Dia mungkin berhasil mengalahkanku, tapi Raka berada di tingkat yang berbeda."

Mata Emilia berkilat. "Habisi dia!" teriaknya.

Adinata masih tergeletak di lantai, menyeringai dengan bibir bengkak. "Setelah Raka selesai dengannya, akan kubuat dia merangkak seperti anjing di kakiku."

Tinju Raka menyala dengan pusaran energi, kehancuran murni yang siap dilepaskan, saat ia menerjang. Namun tiba-tiba, ia berhenti.

Matanya menangkap sesuatu.

Sebuah pelat lambang berkilau samar di bahu Evan.

Pupil Raka menyusut. Langkahnya goyah. Tinju yang tadi terangkat perlahan turun.

Pelat itu... tak ada orang lain yang memilikinya.

Hanya satu orang yang pernah diberikan lambang itu.

Raja Perang.

Suara Raka merendah, nyaris tak terdengar. "I... itu... tidak mungkin... Siapa kau sebenarnya?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 100

    Jalan-jalan di Kawungara sore itu terasa sangat tegang.Konvoi kendaraan lapis baja berwarna hitam melesat di tengah lalu lintas seperti hiu di laut lepas. Kaca jendelanya berwarna hitam pekat, gerakannya senyap dan terkoordinasi, seperti pemangsa dalam formasi.Di setiap pelat nomor ada lambang emas yang mencolok.Lambang Raja Perang.Di dalam salah satu kendaraan utama, seorang prajurit menekan jarinya ke penutup telinga. "Target berubah arah. Ulangi, lokasi Raja Perang bergeser. Sekarang dia menuju Emerald Palace.""Alihkan semua unit," jawaban dingin dan otomatis terdengar dari pusat komunikasi. "Pasang pengawasan di restoran dalam lima menit. Kunci area secara diam-diam. Jangan sampai ada yang tahu, dan jangan ada kepanikan. Dia tidak boleh terganggu.""Siap, Pak."Konvoi berbelok tajam di persimpangan, sirene dimatikan, ban berbisik di atas aspal saat mereka melaju ke salah satu mahkota kota.Restoran Emerald PalaceRestoran itu menyediakan pengalaman makan paling mewah di Kawung

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 99

    "Lihat yang aku punya!" Pandu menyambar, memamerkan layar ponselnya seperti benda suci. Suaranya penuh kesombongan, sikapnya congkak. "Aku kenal Tuan Baskara secara pribadi. Aku telepon dia sekarang juga!"Dia tersenyum, menunggu reaksi terkejut dan takjub. Tapi tak ada satupun yang datang.Sebaliknya, Ghara menggeletakkan jari-jarinya dengan suara ceklek, melangkah maju dengan ancaman tenang seorang predator. "Bajingan," geramnya. "Berani sekali kau menghina bosku di hadapanku. Kau bosan hidup, ya?"Matanya menyala-nyala. Satu kata lagi dari Pandu, dan pria itu akan mencium aspal.Tapi sebelum Ghara sempat meninju, sebuah tangan meraih lengannya."Jangan buang tenaga," kata Evan dingin, tatapannya teguh dan membeku. "Kamu tidak perlu bertarung di lumpur dengan babi. Nanti malah kamu yang kotor dan babinya malah menikmatinya."Dia berbalik ke arah pintu keluar, suaranya tenang tapi memerintah. "Ayo pergi."Pandu belum selesai. Belum. Dia menekan tombol panggil. "Kalian akan makan kata-

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 98

    Saat Evan dan Ghara melangkah keluar dari gedung tinggi Pratama, suasana di belakang mereka masih terbakar dengan ketegangan yang sunyi. Pintu kaca besar menutup dengan desis, mengunci kekacauan yang baru saja mereka buat. Ghara tetap diam, tapi pandangannya melirik ke samping, waspada seperti biasa.Lalu..."Evan!" Suara yang dikenalnya memanggil.Evan menoleh, melihat Hannah berlari ke arahnya, wajahnya campuran antara khawatir dan lega. Kunciran rambutnya yang panjang melambai di belakang seperti bendera darurat. Clara mengikuti dengan langkah lebih anggun, tumitnya berderak ringan di atas trotoar, tangannya terlipat, dan ekspresinya sulit dibaca."Kamu ke mana saja?" Hannah terengah saat tiba di sampingnya. "Kami sudah cari-cari kamu sepanjang hari! Kamu tiba-tiba hilang!"Evan tersenyum tenang. "Mengurus sesuatu yang penting.""Kamu bukannya harusnya ada di alun-alun Menza? Untuk latihan itu?" tanya Evan."Ya, kami memang harusnya di sana," jawab Hannah sambil menarik napas. "Tapi

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 97

    "Kamu..." Suara William pecah, lalu stabil dengan penuh racun. "Kamu mungkin kuat, tapi aku peringatkan, kalau kamu coba ganggu kedatangan Raja Perang, aku yang akan membunuhmu sendiri."Kerumunan bergumam saat nama itu disebut. Bahkan para tentara bayaran paling berani pun pucat mendengarnya. Nama Raja Perang sakral, ditakuti di seluruh Kawungara seperti nama dewa yang hidup.William menghela napas, berusaha menjaga ketenangan. Ia merapikan jasnya dan mengatur manset emasnya, ekspresinya berubah dari agresif ke penuh perhitungan."Aku tak punya waktu untuk menghiburmu." Ia melambaikan tangan. "Bilang... berapa yang kalian mau?"Evan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, tatapannya tak terbaca.William mengatupkan giginya erat dan berpikir, 'Para gila sialan ini pasti cuma karena uang. Pasti itu alasannya. Kalau ini makin parah, Raja Perang bakal mengubur aku beserta seluruh keturunanku!'Ketegangan di udara tajam seperti pisau cukur.Bibir Evan tersenyum sinis yang tak sampai

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 96

    Keheningan berat menyelimuti area itu, kerumunan membeku seperti patung.William Pratama melangkah maju dengan langkah pelan dan penuh perhitungan. Sepatu hitamnya menginjak genangan darah dengan ringan saat ia berlutut di samping sosok tak bernyawa itu. Sehelai kain putih setengah basah oleh darah merah.Dengan tangan gemetar, ia menarik kain itu ke belakang.Dan dunianya berhenti."Peter...?"Suaranya pecah. Dingin yang mengalir dalam tubuhnya bukan dari angin.Itu Peter, anak didiknya yang terakhir. Penerus yang ia pilih. Masa depan Pratama.Sekarang tinggal mayat yang hancur."Tidak... tidak tidak tidak!" geram William, wajahnya memelintir antara amarah dan duka. Giginya mengatup begitu keras hingga otot rahangnya berdenyut. "Bagaimana bisa ini terjadi... lagi?!"Ia menarik tubuh Peter yang terkulai lebih dekat, kepala bocah itu berguling tanpa nyawa di lengannya.Beberapa hari lalu, ia baru saja mengubur putranya satu-satunya, Bagas yang tewas dalam pembunuhan misterius yang menin

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 95

    "Tuan William... Anda terlihat tegang," kata Rama sambil menampilkan senyum yang tidak sampai ke matanya. "Kalau Anda punya urusan yang lebih penting, silakan saja pergi. Aku bisa mengurus penyambutannya."William tidak menoleh padanya. "Hmph. Apa yang bisa lebih penting daripada menyambut Raja Perang?"Suaranya terdengar halus, bahkan sopan, tapi lapisan es di bawahnya tidak mungkin terlewatkan. Keduanya tersenyum. Keduanya saling membenci sampai ke akar. Begitulah dunia bisnis.Rama merapikan ujung mansetnya. "Tentu. Bagaimanapun juga ini perusahaan Anda.""Benar," jawab William, sedikit memutar tubuhnya untuk menghadap. "Grup Pratama adalah milik Keluarga Pratama. Jadi wajar saja kalau aku yang memberikan penghormatan yang layak kepada seseorang... sekelas dia."Sindiran itu tepat sasaran.Rahang Rama menegang. Senyumnya tetap terpasang, tapi diamnya berkata banyak.'Pembohong. Kamu berkeringat karena akan membunuh seseorang. Dan aku tahu itu.'Tidak ada lagi kata yang terucap.Kete

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status