ホーム / Urban / Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda / Bab 10: Kenapa Dia Dekat Banget Sama Hannah?

共有

Bab 10: Kenapa Dia Dekat Banget Sama Hannah?

作者: Anakin Detour
Di lantai atas...

"Sepertinya keributan di bawah sudah mereda," kata Faris sambil melirik ke arah tangga.

"Ya, aku juga menyadarinya." Emilia menyesap anggurnya, lalu tersenyum. "Itu cukup mengesankan, Tuan Faris. Aku tidak menyangka Anda akan turun tangan seperti tadi."

"Aku sudah bilang, Nona Emilia, keluarga kita sudah menjadi satu. Tidak perlu sungkan lagi."

"Anda benar sekali. Begitu putri Anda resmi menjadi bagian dari Keluarga Narayani, itu akan menjadi berkah bagi kedua keluarga," ujarnya sambil tersenyum. "Semoga saja dia juga akan memberi kita cucu-cucu yang cantik seperti dirinya."

"Tentu saja. Kecantikan memang mengalir di garis keturunan kami." Faris terkekeh.

Keduanya tertawa kecil menikmati momen itu.

Namun Faris melirik sekeliling dengan gelisah. "Kenapa pengawal itu begitu lama? Aku perlu kartu abu-abu itu kembali."

Seolah menjawab ucapannya, pintu terbuka dan pengawal itu masuk, napasnya sedikit terengah.

"Nona Emilia, Tuan Faris... orang itu, si orang asing itu, dia..."

Faris mengangkat tangan memotong ucapannya. "Aku tahu, aku tahu. Dia pasti ketakutan setengah mati setelah sadar kartu siapa yang dia pegang. Bagaimanapun, itu marga Wiratama."

"Bukan itu," sanggah pengawal dengan tegas. "Tuan Faris, Nona Hannah... dia bersikap intim dengan pria itu. Di depan semua orang."

Senyum Faris sempat pudar sejenak, tapi ia kembali menepisnya. "Oh, itu? Tidak masalah. Adinata dan Hannah kan sudah bisa dibilang pasangan. Anak-anak zaman sekarang memang suka melakukan sesuatu dengan cara mereka sendiri. Itu semua bagian dari pendekatan mereka. Sebenarnya, aku yang menyuruhnya agar lebih dekat dengan Adinata. Hannah selalu pemalu, jadi aku senang dia mulai berani."

"Betul sekali," sela Emilia, jelas merasa terhibur. "Aku sudah tidak sabar melihat seperti apa rupa anak-anak mereka nanti. Adikku dan suaminya pasti akan sangat senang."

Pengawal itu menatap keduanya dengan bingung. "Bukan, aku rasa itu bukan Tuan Adinata."

Ucapan itu membuat Faris terdiam sejenak.

"Apa maksudmu?" Suaranya kini datar, jauh lebih serius.

"Tuan Faris," kata pengawal itu menoleh padanya dengan nada mendesak. "Tolong ikut dengan saya. Anda harus melihat ini."

Faris berdiri perlahan, sementara Emilia menatap dengan rasa ingin tahu saat ia mengikuti pengawal itu keluar ruangan. Mereka berjalan menyusuri koridor menuju pagar kaca. Sang pengawal pun menunjuk ke bawah.

Di sana, di lantai utama, berdirilah Hannah.

Tapi dia tidak bersama Adinata.

Dia bersama pria yang tadi disebut sebagai pengacau itu dan mereka berdiri berdekatan. Terlalu dekat. Tertawa. Mengobrol. Terlihat nyaman.

Mata Faris menyipit. Wajahnya mengeras.

"Apa-apaan ini?!" bentak Faris.

Emilia segera bergegas keluar. "Ada apa? Adinata berulah lagi?" tanyanya.

Adinata memang punya catatan dan bukan catatan yang baik. Selama bertahun-tahun, Keluarga Narayani berhasil menutupi kelakuannya. Salah satu insiden paling serius terjadi di sebuah klub malam, ketika Adinata mencoba memaksa seorang gadis yang menolaknya. Masalah itu nyaris mencuat ke publik, tapi pengacara dan koneksi mereka membuatnya lenyap begitu saja. Ada insiden-insiden lain, yang sama cepatnya disembunyikan.

Begitu Emilia sampai di pagar kaca dan menunduk melihat ke bawah, senyumnya langsung menghilang.

"Apa-apaan ini?" seru Emilia tajam. "Tuan Faris, kenapa putrimu berdiri bersama pria lain seperti itu?"

Tuan Faris terlihat benar-benar bingung. "Aku... aku tidak tahu."

"Kita tadi baru saja membicarakan bagaimana kartumu membuat seorang rakyat jelata lari ketakutan," gumam Emilia sembari masih menatap ke bawah. "Sekarang dia malah ada di sini, berbincang dengan putrimu seolah tempat ini miliknya?"

"Aku sumpah, aku bahkan tidak tahu siapa dia," jawab Faris sambil sedikit mengangkat tangannya.

"Ini tidak bisa diterima!" teriak Emilia. "Gadis itu seharusnya menikah dengan keponakanku. Aku tidak akan membiarkannya mempermalukan marga Narayani di depan semua orang ini."

Suaranya kini tajam dan lantang. Orang-orang di sekitar mulai menoleh ke arah mereka.

"Sebaiknya kau cari tahu apa yang sedang terjadi, Tuan Faris," ujarnya dingin. "Atau kau sendiri yang akan menjelaskannya langsung pada kakak iparku."

"Nona Emilia, kalau aku jadi kamu, aku tidak akan buru-buru mengambil kesimpulan," sahut Faris tajam, kesabarannya mulai menipis. "Aku kenal putriku. Dia bukan tipe yang bertindak ceroboh."

Emilia mendengus. "Ada hal-hal yang tidak butuh penjelasan. Selama pria itu tidak ada hubungannya dengan keluargamu, dia tidak pantas berdiri sedekat itu dengan putrimu. Kau sendiri melihatnya, tidak mungkin salah paham."

Rahang Faris mengeras. Ia tidak ingin setuju, tapi tak bisa juga menyangkal apa yang tengah terjadi di bawah sana. "Biarkan aku bicara dengan putriku," katanya berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. "Aku yakin ada penjelasannya. Pasti ada."

"Bagus," jawab Emilia kaku. "Karena kalau tidak, seluruh perjanjian ini batal."

Tanpa sepatah kata lagi, keduanya menuruni tangga, langkah mereka cepat dan berat. Setiap mata di aula seolah beralih menatap mereka. Suasana pun seketika berubah.

Amarah Faris sudah mendidih begitu mereka sampai di lantai bawah. Suaranya menggema bahkan sebelum ia mendekat.

"Hannah!" teriaknya. "Apa yang sedang kau lakukan dengan pria itu? Di depan semua orang? Apa kau sudah gila?!"

Kerumunan membeku. Percakapan berhenti. Semua mata tertuju pada Hannah dan Evan.

Hannah segera menjauh dari Evan dan melangkah cepat ke arah ayahnya, suaranya penuh desakan. "Ayah, itu dia. Pria yang menyelamatkan kita malam itu. Ayah tidak ingat?"

Hannah menggenggam lengan ayahnya, mengguncangnya sedikit.

Mata Faris menyipit. Setelah hening sejenak, sebuah kesadaran akhirnya muncul di wajahnya.

"Oh... jadi kau orangnya. Pria yang sudah kucari hampir dua tahun ini." Ia melangkah maju, wajahnya berbinar saat mengulurkan tangan. "Aku mencarimu ke mana-mana. Tidak ada yang bisa melacakmu. Tidak satu pun jejak."

Ia menggenggam tangan Evan dengan erat. "Kalau bukan karena kau, aku tidak akan hidup sekarang. Terima kasih, sungguh."

"Tidak apa-apa, Tuan," jawab Evan tenang.

Faris menatap wajahnya lebih saksama, matanya sedikit menyipit. "Kau... wajahmu terlihat tidak asing."

"Aku juga sempat mengira begitu, Ayah," sahut Hannah cepat. "Tapi dia bukan Evan. Katanya namanya Rian."

Evan tersenyum tipis. Momen itu hampir terasa nostalgis. Saat mereka masih kecil, Hannah sering membawanya dan adiknya mampir setelah pulang sekolah. Faris selalu menyambut mereka seperti anak sendiri. Memastikan mereka makan sebelum pulang. Untuk seorang pria kaya di Kawungara, kebaikan seperti itu sangatlah langka.

Sebelum ada yang bisa berkata lebih jauh, Adinata bergegas masuk dan langsung meraih lengan Emilia.

"Bibi! Syukurlah kau ada di sini," katanya terengah. "Pria itu, dia gila! Dia masuk sambil membawa sesuatu yang dibungkus kain putih, memukuli para pengawal, dan hampir membunuh Dorian!"

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 100

    Jalan-jalan di Kawungara sore itu terasa sangat tegang.Konvoi kendaraan lapis baja berwarna hitam melesat di tengah lalu lintas seperti hiu di laut lepas. Kaca jendelanya berwarna hitam pekat, gerakannya senyap dan terkoordinasi, seperti pemangsa dalam formasi.Di setiap pelat nomor ada lambang emas yang mencolok.Lambang Raja Perang.Di dalam salah satu kendaraan utama, seorang prajurit menekan jarinya ke penutup telinga. "Target berubah arah. Ulangi, lokasi Raja Perang bergeser. Sekarang dia menuju Emerald Palace.""Alihkan semua unit," jawaban dingin dan otomatis terdengar dari pusat komunikasi. "Pasang pengawasan di restoran dalam lima menit. Kunci area secara diam-diam. Jangan sampai ada yang tahu, dan jangan ada kepanikan. Dia tidak boleh terganggu.""Siap, Pak."Konvoi berbelok tajam di persimpangan, sirene dimatikan, ban berbisik di atas aspal saat mereka melaju ke salah satu mahkota kota.Restoran Emerald PalaceRestoran itu menyediakan pengalaman makan paling mewah di Kawung

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 99

    "Lihat yang aku punya!" Pandu menyambar, memamerkan layar ponselnya seperti benda suci. Suaranya penuh kesombongan, sikapnya congkak. "Aku kenal Tuan Baskara secara pribadi. Aku telepon dia sekarang juga!"Dia tersenyum, menunggu reaksi terkejut dan takjub. Tapi tak ada satupun yang datang.Sebaliknya, Ghara menggeletakkan jari-jarinya dengan suara ceklek, melangkah maju dengan ancaman tenang seorang predator. "Bajingan," geramnya. "Berani sekali kau menghina bosku di hadapanku. Kau bosan hidup, ya?"Matanya menyala-nyala. Satu kata lagi dari Pandu, dan pria itu akan mencium aspal.Tapi sebelum Ghara sempat meninju, sebuah tangan meraih lengannya."Jangan buang tenaga," kata Evan dingin, tatapannya teguh dan membeku. "Kamu tidak perlu bertarung di lumpur dengan babi. Nanti malah kamu yang kotor dan babinya malah menikmatinya."Dia berbalik ke arah pintu keluar, suaranya tenang tapi memerintah. "Ayo pergi."Pandu belum selesai. Belum. Dia menekan tombol panggil. "Kalian akan makan kata-

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 98

    Saat Evan dan Ghara melangkah keluar dari gedung tinggi Pratama, suasana di belakang mereka masih terbakar dengan ketegangan yang sunyi. Pintu kaca besar menutup dengan desis, mengunci kekacauan yang baru saja mereka buat. Ghara tetap diam, tapi pandangannya melirik ke samping, waspada seperti biasa.Lalu..."Evan!" Suara yang dikenalnya memanggil.Evan menoleh, melihat Hannah berlari ke arahnya, wajahnya campuran antara khawatir dan lega. Kunciran rambutnya yang panjang melambai di belakang seperti bendera darurat. Clara mengikuti dengan langkah lebih anggun, tumitnya berderak ringan di atas trotoar, tangannya terlipat, dan ekspresinya sulit dibaca."Kamu ke mana saja?" Hannah terengah saat tiba di sampingnya. "Kami sudah cari-cari kamu sepanjang hari! Kamu tiba-tiba hilang!"Evan tersenyum tenang. "Mengurus sesuatu yang penting.""Kamu bukannya harusnya ada di alun-alun Menza? Untuk latihan itu?" tanya Evan."Ya, kami memang harusnya di sana," jawab Hannah sambil menarik napas. "Tapi

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 97

    "Kamu..." Suara William pecah, lalu stabil dengan penuh racun. "Kamu mungkin kuat, tapi aku peringatkan, kalau kamu coba ganggu kedatangan Raja Perang, aku yang akan membunuhmu sendiri."Kerumunan bergumam saat nama itu disebut. Bahkan para tentara bayaran paling berani pun pucat mendengarnya. Nama Raja Perang sakral, ditakuti di seluruh Kawungara seperti nama dewa yang hidup.William menghela napas, berusaha menjaga ketenangan. Ia merapikan jasnya dan mengatur manset emasnya, ekspresinya berubah dari agresif ke penuh perhitungan."Aku tak punya waktu untuk menghiburmu." Ia melambaikan tangan. "Bilang... berapa yang kalian mau?"Evan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, tatapannya tak terbaca.William mengatupkan giginya erat dan berpikir, 'Para gila sialan ini pasti cuma karena uang. Pasti itu alasannya. Kalau ini makin parah, Raja Perang bakal mengubur aku beserta seluruh keturunanku!'Ketegangan di udara tajam seperti pisau cukur.Bibir Evan tersenyum sinis yang tak sampai

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 96

    Keheningan berat menyelimuti area itu, kerumunan membeku seperti patung.William Pratama melangkah maju dengan langkah pelan dan penuh perhitungan. Sepatu hitamnya menginjak genangan darah dengan ringan saat ia berlutut di samping sosok tak bernyawa itu. Sehelai kain putih setengah basah oleh darah merah.Dengan tangan gemetar, ia menarik kain itu ke belakang.Dan dunianya berhenti."Peter...?"Suaranya pecah. Dingin yang mengalir dalam tubuhnya bukan dari angin.Itu Peter, anak didiknya yang terakhir. Penerus yang ia pilih. Masa depan Pratama.Sekarang tinggal mayat yang hancur."Tidak... tidak tidak tidak!" geram William, wajahnya memelintir antara amarah dan duka. Giginya mengatup begitu keras hingga otot rahangnya berdenyut. "Bagaimana bisa ini terjadi... lagi?!"Ia menarik tubuh Peter yang terkulai lebih dekat, kepala bocah itu berguling tanpa nyawa di lengannya.Beberapa hari lalu, ia baru saja mengubur putranya satu-satunya, Bagas yang tewas dalam pembunuhan misterius yang menin

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 95

    "Tuan William... Anda terlihat tegang," kata Rama sambil menampilkan senyum yang tidak sampai ke matanya. "Kalau Anda punya urusan yang lebih penting, silakan saja pergi. Aku bisa mengurus penyambutannya."William tidak menoleh padanya. "Hmph. Apa yang bisa lebih penting daripada menyambut Raja Perang?"Suaranya terdengar halus, bahkan sopan, tapi lapisan es di bawahnya tidak mungkin terlewatkan. Keduanya tersenyum. Keduanya saling membenci sampai ke akar. Begitulah dunia bisnis.Rama merapikan ujung mansetnya. "Tentu. Bagaimanapun juga ini perusahaan Anda.""Benar," jawab William, sedikit memutar tubuhnya untuk menghadap. "Grup Pratama adalah milik Keluarga Pratama. Jadi wajar saja kalau aku yang memberikan penghormatan yang layak kepada seseorang... sekelas dia."Sindiran itu tepat sasaran.Rahang Rama menegang. Senyumnya tetap terpasang, tapi diamnya berkata banyak.'Pembohong. Kamu berkeringat karena akan membunuh seseorang. Dan aku tahu itu.'Tidak ada lagi kata yang terucap.Kete

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status