Home / Urban / Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda / Bab 7: Siapa Orang Asing Ini?

Share

Bab 7: Siapa Orang Asing Ini?

Author: Anakin Detour
"Jelas sekali kau sedang terburu-buru ingin bertemu penciptamu, Pak Tua," ucap Evan tenang, suaranya rendah namun cukup tajam untuk membelah ketegangan udara layaknya sebilah pedang.

Mata Dorian menyipit. "Bajingan sombong! Cukup sudah ocehanmu!"

Tanpa sepatah kata lagi, ia menerjang ke depan, tinjunya terkepal memancarkan cahaya samar namun jelas berisi energi. Kerumunan pun meledak, berdiri dari kursi masing-masing dengan sorak-sorai penuh kegirangan. Suasana semakin memanas oleh antisipasi.

"Hajar dia, Dorian!"

"Ajari orang asing sombong itu pelajaran!"

"Hancurkan dia!"

Tetua dari Kawungara ditakuti bukan tanpa alasan, dan Dorian adalah salah satu yang paling kejam. Orang-orang menahan napas, yakin mereka akan segera menyaksikan tubuh Evan terkapar tak bernyawa di lantai.

Tinju Dorian menebas udara seperti misil, disertai hembusan angin kencang. Itu adalah pukulan yang ditujukan untuk menghancurkan tulang sekaligus harga diri.

Namun, bukannya hasil yang mereka bayangkan, seluruh aula justru membeku tak percaya.

Evan menangkap pukulan itu.

Dengan mudah.

Hanya dengan satu tangan.

Cahaya yang menyelimuti tinju Dorian padam seketika seperti nyala lilin yang ditiup. Ekspresinya berubah, terpelintir oleh keterkejutan.

"Terlalu banyak bicara untuk pukulan yang selemah ini," ucap Evan, genggamannya semakin mengencang.

Desahan kaget serempak bergema di seluruh aula.

"Dia... Dia menangkap tinju Dorian?"

"Apakah dia masih manusia?!"

Mata Evan tetap terkunci pada lawannya tanpa berkedip dan dingin. "Giliranku."

Tangan lainnya melesat ke depan, hantaman telak dan mematikan langsung menuju dada Dorian.

Krak!

Suara tulang yang patah bergema mengerikan di seluruh ruangan.

Dorian terlempar ke belakang seperti boneka kain, tubuhnya menghantam dinding dengan keras hingga bata-batanya retak. Darah muncrat dari mulutnya saat ia terpuruk ke lantai, terengah-engah memegangi dadanya dengan penuh rasa sakit.

"A… Apa... apa kau sebenarnya?" Dorian terbata, wajahnya penuh guratan perih. "Kau... monster..."

Tetua yang dulu ditakuti itu kini tergeletak tak berdaya. Kekuatan dan harga dirinya remuk di bawah kaki Evan.

Evan tidak langsung menjawab. Ia melangkah perlahan, tatapannya menyapu seluruh aula sementara kenangan kembali, kenangan yang dibalut duka.

"Dulu ada ayunan di sini," ucap Evan pelan, suaranya sarat nostalgia. "Tali putih, tempat duduk kayu. Adikku sangat menyukainya."

Ia terhenti sejenak, matanya menyipit.

"Kau juga yang menghancurkannya?"

Dorian berkedip bingung.

"Aku dan adikku dulu bermain ayunan seharian sampai kami lelah," lanjut Evan larut dalam kenangan. "Lalu dia akan berlari ke kotak musiknya. Itu memainkan lagu favoritnya. Katanya, bunyinya terdengar seperti kedamaian."

Suaranya mengeras saat ia melangkah lebih dekat ke Dorian. "Apakah itu juga kau singkirkan?"

Dorian menggeram di antara rasa sakit. "Apa sih yang kau bicarakan? Jawab pertanyaanku, siapa sebenarnya kau?!"

Seorang pengawal bergegas ke sisinya dan membantu Dorian berdiri.

"Aku tidak peduli siapa kau." Dorian meludah. "Mungkin kau kuat, tapi aku melayani Keluarga Narayani. Dan Bima Narayani, Patriark yang sekarang adalah pria terkuat di Kawungara. Dialah yang menguasai kota ini. Tidak ada yang berdiri di atasnya."

Mata Evan menggelap saat nama itu disebut.

Bima Narayani.

Pria yang dulu mengejar ibunya seperti anjing kelaparan. Yang setelah ditolak, entah bagaimana akhirnya menikahi Amara, wanita yang selalu menghina keluarga mereka.

Waktu itu, Bima adalah sosok yang dianggap tak terkalahkan di mata Kawungara. Tak ada yang bisa mengalahkannya. Tak ada yang berani menantangnya.

Evan pernah mengaguminya.

Sampai hari itu, saat ia tak sengaja mendengar kebenarannya.

"Aku pria paling diidamkan di kota ini," ejek Bima kala itu. "Dan aku berasal dari salah satu keluarga terkuat. Apa kau sungguh mengira aku akan jatuh cinta pada seorang janda menyedihkan dengan dua anak? Aku hanya ingin menidurinya. Dia harusnya merasa terhormat."

"Oh Bima, kau memang licik sekali." Amara tertawa.

Kenangan itu menusuk lebih dalam daripada sebilah pedang.

Bima adalah salah satu alasan ibunya melompat dari atap hari itu. Evan tidak pernah lupa. Dan ia tidak pernah memaafkan.

"Kau sudah menyinggung orang yang salah." Dorian memperingatkan. "Kau merusak pesta putranya. Kalau kau mau berlutut sekarang dan jongkok seribu kali, mungkin tuan kami akan berbelas kasih."

Dorian menyeringai. Evan terdiam. Terlalu diam.

'Sekarang dia bungkam,' pikir Dorian. "Begitu aku menyebut nama Bima, dia membeku. Tidak ada yang berani menentang Keluarga Narayani."

Namun kepercayaan dirinya lenyap seketika oleh kata-kata Evan berikutnya.

"Aku tanya tentang kotak musik adikku," ucap Evan, suaranya dipenuhi amarah. "Bukan untuk mendengar sampah halusinasi darimu."

Tanpa peringatan, ia mengulurkan telapak tangannya. Sebuah gelombang energi kinetik meledak darinya, menghantam Dorian hingga tubuhnya terpental ke dinding dengan kekuatan dua kali lipat dari serangan pertama. Kali ini, suara tulang yang retak terdengar jelas, lebih dari satu.

"Argh!" Dorian menjerit sebelum tubuhnya terkulai lemas tak sadarkan diri.

"Si... siapa orang ini?!" Seseorang berteriak, suaranya penuh ketakutan.

"Dia baru saja menjatuhkan Dorian lagi! Seperti bukan apa-apa!"

Nona Larisa memegangi dadanya, tubuhnya gemetar. "Ti... Tidak mungkin... Tidak ada yang pernah mengalahkan Dorian!"

Kekacauan pecah di aula. Para pengawal mundur, tak satu pun berani ikut campur.

Evan merapikan mantelnya, lalu dengan tenang menoleh ke arah Adinata yang sejak tadi membeku di kursinya. Wajahnya pucat dengan mata membelalak.

Ia berhenti beberapa langkah di depannya, suaranya tenang namun penuh ancaman.

"Bagaimana denganmu, si kecil Narayani?" tanya Evan. "Pernahkah kau melihat kotak musik milik adikku?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 100

    Jalan-jalan di Kawungara sore itu terasa sangat tegang.Konvoi kendaraan lapis baja berwarna hitam melesat di tengah lalu lintas seperti hiu di laut lepas. Kaca jendelanya berwarna hitam pekat, gerakannya senyap dan terkoordinasi, seperti pemangsa dalam formasi.Di setiap pelat nomor ada lambang emas yang mencolok.Lambang Raja Perang.Di dalam salah satu kendaraan utama, seorang prajurit menekan jarinya ke penutup telinga. "Target berubah arah. Ulangi, lokasi Raja Perang bergeser. Sekarang dia menuju Emerald Palace.""Alihkan semua unit," jawaban dingin dan otomatis terdengar dari pusat komunikasi. "Pasang pengawasan di restoran dalam lima menit. Kunci area secara diam-diam. Jangan sampai ada yang tahu, dan jangan ada kepanikan. Dia tidak boleh terganggu.""Siap, Pak."Konvoi berbelok tajam di persimpangan, sirene dimatikan, ban berbisik di atas aspal saat mereka melaju ke salah satu mahkota kota.Restoran Emerald PalaceRestoran itu menyediakan pengalaman makan paling mewah di Kawung

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 99

    "Lihat yang aku punya!" Pandu menyambar, memamerkan layar ponselnya seperti benda suci. Suaranya penuh kesombongan, sikapnya congkak. "Aku kenal Tuan Baskara secara pribadi. Aku telepon dia sekarang juga!"Dia tersenyum, menunggu reaksi terkejut dan takjub. Tapi tak ada satupun yang datang.Sebaliknya, Ghara menggeletakkan jari-jarinya dengan suara ceklek, melangkah maju dengan ancaman tenang seorang predator. "Bajingan," geramnya. "Berani sekali kau menghina bosku di hadapanku. Kau bosan hidup, ya?"Matanya menyala-nyala. Satu kata lagi dari Pandu, dan pria itu akan mencium aspal.Tapi sebelum Ghara sempat meninju, sebuah tangan meraih lengannya."Jangan buang tenaga," kata Evan dingin, tatapannya teguh dan membeku. "Kamu tidak perlu bertarung di lumpur dengan babi. Nanti malah kamu yang kotor dan babinya malah menikmatinya."Dia berbalik ke arah pintu keluar, suaranya tenang tapi memerintah. "Ayo pergi."Pandu belum selesai. Belum. Dia menekan tombol panggil. "Kalian akan makan kata-

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 98

    Saat Evan dan Ghara melangkah keluar dari gedung tinggi Pratama, suasana di belakang mereka masih terbakar dengan ketegangan yang sunyi. Pintu kaca besar menutup dengan desis, mengunci kekacauan yang baru saja mereka buat. Ghara tetap diam, tapi pandangannya melirik ke samping, waspada seperti biasa.Lalu..."Evan!" Suara yang dikenalnya memanggil.Evan menoleh, melihat Hannah berlari ke arahnya, wajahnya campuran antara khawatir dan lega. Kunciran rambutnya yang panjang melambai di belakang seperti bendera darurat. Clara mengikuti dengan langkah lebih anggun, tumitnya berderak ringan di atas trotoar, tangannya terlipat, dan ekspresinya sulit dibaca."Kamu ke mana saja?" Hannah terengah saat tiba di sampingnya. "Kami sudah cari-cari kamu sepanjang hari! Kamu tiba-tiba hilang!"Evan tersenyum tenang. "Mengurus sesuatu yang penting.""Kamu bukannya harusnya ada di alun-alun Menza? Untuk latihan itu?" tanya Evan."Ya, kami memang harusnya di sana," jawab Hannah sambil menarik napas. "Tapi

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 97

    "Kamu..." Suara William pecah, lalu stabil dengan penuh racun. "Kamu mungkin kuat, tapi aku peringatkan, kalau kamu coba ganggu kedatangan Raja Perang, aku yang akan membunuhmu sendiri."Kerumunan bergumam saat nama itu disebut. Bahkan para tentara bayaran paling berani pun pucat mendengarnya. Nama Raja Perang sakral, ditakuti di seluruh Kawungara seperti nama dewa yang hidup.William menghela napas, berusaha menjaga ketenangan. Ia merapikan jasnya dan mengatur manset emasnya, ekspresinya berubah dari agresif ke penuh perhitungan."Aku tak punya waktu untuk menghiburmu." Ia melambaikan tangan. "Bilang... berapa yang kalian mau?"Evan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, tatapannya tak terbaca.William mengatupkan giginya erat dan berpikir, 'Para gila sialan ini pasti cuma karena uang. Pasti itu alasannya. Kalau ini makin parah, Raja Perang bakal mengubur aku beserta seluruh keturunanku!'Ketegangan di udara tajam seperti pisau cukur.Bibir Evan tersenyum sinis yang tak sampai

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 96

    Keheningan berat menyelimuti area itu, kerumunan membeku seperti patung.William Pratama melangkah maju dengan langkah pelan dan penuh perhitungan. Sepatu hitamnya menginjak genangan darah dengan ringan saat ia berlutut di samping sosok tak bernyawa itu. Sehelai kain putih setengah basah oleh darah merah.Dengan tangan gemetar, ia menarik kain itu ke belakang.Dan dunianya berhenti."Peter...?"Suaranya pecah. Dingin yang mengalir dalam tubuhnya bukan dari angin.Itu Peter, anak didiknya yang terakhir. Penerus yang ia pilih. Masa depan Pratama.Sekarang tinggal mayat yang hancur."Tidak... tidak tidak tidak!" geram William, wajahnya memelintir antara amarah dan duka. Giginya mengatup begitu keras hingga otot rahangnya berdenyut. "Bagaimana bisa ini terjadi... lagi?!"Ia menarik tubuh Peter yang terkulai lebih dekat, kepala bocah itu berguling tanpa nyawa di lengannya.Beberapa hari lalu, ia baru saja mengubur putranya satu-satunya, Bagas yang tewas dalam pembunuhan misterius yang menin

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 95

    "Tuan William... Anda terlihat tegang," kata Rama sambil menampilkan senyum yang tidak sampai ke matanya. "Kalau Anda punya urusan yang lebih penting, silakan saja pergi. Aku bisa mengurus penyambutannya."William tidak menoleh padanya. "Hmph. Apa yang bisa lebih penting daripada menyambut Raja Perang?"Suaranya terdengar halus, bahkan sopan, tapi lapisan es di bawahnya tidak mungkin terlewatkan. Keduanya tersenyum. Keduanya saling membenci sampai ke akar. Begitulah dunia bisnis.Rama merapikan ujung mansetnya. "Tentu. Bagaimanapun juga ini perusahaan Anda.""Benar," jawab William, sedikit memutar tubuhnya untuk menghadap. "Grup Pratama adalah milik Keluarga Pratama. Jadi wajar saja kalau aku yang memberikan penghormatan yang layak kepada seseorang... sekelas dia."Sindiran itu tepat sasaran.Rahang Rama menegang. Senyumnya tetap terpasang, tapi diamnya berkata banyak.'Pembohong. Kamu berkeringat karena akan membunuh seseorang. Dan aku tahu itu.'Tidak ada lagi kata yang terucap.Kete

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status