Share

Ibu Hilang

Rania memacu motor secepat mungkin, mendahului beberapa kendaraan bahkan puluhan. Sesampainya di depan rumah, setelah memasuki pagar, betapa terjekutnya ia mengetahui pintu depan terbuka lebar. Buru-buru Rania turun dan masuk ke dalam rumah.

“IBU!” Rania setengah berteriak memanggil ibunya dari ruang tengah, namun tidak ada jawaban.

“IBU!”

Masih tidak ada jawaban yang terdengar.

Rania berjalan ke ruang belakang, dapur, kamar mandi, tidak ada. Ada satu tempat yang ia lupa, kamarnya sendiri dan adiknya. Dengan segera ia pergi ke kamar, namun naas, tidak ada siapa-siapa di sana.

“Ibu, ibu ke mana?” Tidak terasa air mata Rania menetes. Adiknya juga tidak ada. Keadaan benar-benar sepi. Satu hal yang membuat Rania bertambah khawatir, pintu rumah yang terbuka lebar, serta pintu kamar ibunya.

Rania mencoba menghubungi adiknya.

Ting... ting... aitu

Dari kamarnya terdengar suara handphone berbunyi, itu adalah suara handphone adiknya, cepat-cepat Rania menghampirinya. Kosong, hp itu tergeletak tanpa pemiliknya. Adiknya tidak membawa hp, entah apa yang terjadi kepadanya saat ini. Hampir saja Rania putus asa.

Namun masih ada satu tempat lagi yang belum ia jamah, yaitu belakang rumah. Halaman belakang rumah sepi, Rania menyalakan flas dari handphonennya. Tidak ada siapa-siapa. Angin malam semilir menggerak-gerakkan dedaunan hijau tapi malam ini tampak hitam. Tiba-tiba Rania dikagetkan oleh suara sesuatu.

Wouw...

“Astaghfrullah...”

Ternyata itu adalah suara kucing yang sedang berkejar-kejaran dengan kucing lain. Rania kembali masuk ke dalam rumah, memutarinya sekali lagi.

Benar-benar tidak ada jejak. Rania tidak tahu lagi harus menghubungi siapa. Tidak ada rumah tetangga yang pintunya terbuka, mereka sudah mengelana pada mimpi masing-masing. Pukul sepuluh malam lebih.

Rania dengan khawatir menghempaskan diri di kursi tengah, di depan televisi. Hatinya tidak bisa tenang sama sekali. Tiba-tiba ada telefon masuk, Rania mengangkatnya.

“Kak Rania di mana?” ternyata itu adalah suara Asya, adik Rania.

“Kakak di rumah, kamu di mana, Sya?” tanya Rania tidak sabaran, dia bangkit dari dudukya, mondar-mandir tidak jelas.

“Asya di rumah sakit, Kak.” Terdengar suara dari seberang menahan tangis. “Ibu pingsan!” lanjutnya.

“Kamu sekarang ada di rumah sakit mana?” tanya Rania khawatir, air matanya menetes berkali-kali.

Asya menyebutkan salah satu nama rumah sakit di Surabaya. Segera Rania menyelakan motor yang dia parkir di depan rumah. Tujuannya sekarang adalah rumah sakit Harapan, berbeda dengan rumah sakit yang menangani Joni, terpaut beberapa menit.

Sepanjang perjalanan dia selalu ingat dengan wajah ibunya, adiknya. Mereka adalah harta yang paling berarti dalam hidupnya, tidak ada yang lain, bahkan dirinya sendiri. Kendaraan hilir-mudik saling mendahului, tidak ada yang ingin mengalah begitu saja.

Beberapa kali ia hampir saja manabrak kendaraan lain karena terlambat menginjak rem. Beberapa kali pula ia hampir saja menyerempet kendaraan lain, saking buru-burunya.

Dua puluh menit berlalu akhirnya dia sampai di halaman rumah sakit, cukup megah rumah sakit itu. Di halaman rumah sakit terbangun sebuah taman hijau cukup luas, dengan lampu-lampu taman berwarna putih bersinar terang. Rania buru-buru masuk ke dalam dan mencari adiknya.

Lima menit mencari akhirnya dia bertemu dengan Asya, adiknya, bersama dengan satu tetangga.

“Bagaimana keadaan ibu, Sya?” tanya Rania duduk di samping adiknya.

“Entah, Kak. Ketika di bawa ke rumah sakit ibu tidak sadarkan diri!” ujar Asya menambah kepanikan Rania, keduanya tenggelam dalam lautan tangis.

“Tenang saja, semoga dokter memberikan yang terbaik!” ujar Pak Arman menenangkan, dia adalah tetangga Rania yang baik hati.

“Terima kasih banyak, Pak, untuk bantuannya!” kata Rania berterima kasih.

Pak Arman tersenyum ramah. Hilang sudah rasa kantuk dari mata, hilang sudah lapar yang meraja, semua karena ibu. Ibu adalah nyawa yang mampu menggerakkan hati setiap manusia, manusia yang akan selalu ada dalam hakikat walaupun sepertinya tiada.

“Kamu tidur saja, Asya, biar kakak yang menunggu ibu!” kata Rania kepada adiknya.

“Iya, Kak,” sahut Asya, tapi dia tidak memejamkan mata, air matanya masih sesekali mengalir.

Ada sebuah hal yang menjadi pikiran Rania sekarang ini, yang mungkin Asya tidak pernah memikirkannya, yaitu biaya. Rumah sakit ini lumayan megah, Rania mengira bahwa biayanya pun akan mahal. Dari mana uang untuk membayarnya?

Tabungan? Tidak mungkin cukup. Salah satu cara yang menurutnya sangat mungkin adalah mencari pinjaman dari teman-temannya. Itu adalah jalan yang paling mungkin.

Pukul setengah dua belas malam, dokter keluar dari ruangan. “Bagaimana keadaan ibu saya, Pak Dokter?” tanya Rania gugup.

“Silakan salah satu menemani, dan satunya lagi ikut saya ke ruang kerja saya!” ujar dokter.

“Asya, kamu temani ibu, dan kakak akan ikut Pak Dokter!”

Asya menurut saja dengan apa yang dikatakan kakaknya. Sesampainya di dalam, ibu belum sadarkan diri. di tangannya tertempel selang infus, juga di hidungnya. Syukurlah, ibu masih bisa bernafas tanpa bantuan tabung dan selang oksigen.

Rania berjalan di belakang dokter, mengira-ngira apa yang dikatakan dokter itu kepadanya. Sebuah ruangan berukuran 3x3 meter, Rania dan dokter memasukinya.

“Apakah anda adalah anaknya?” tanya dokter kepada Rania.

“Iya, Dok, saya anaknya!” jawab Rania.

“Ibu anda menderita penyakit bronkitis kronis.” Dokter memandang Rania dengan pandangan prihatin.

Rania sebenarnya tidak begitu tahu menahu tentang penyakit. Namun nama penyakit itu sangat pasaran di telinga anak kuliahan, jadi Rania mengetahui betapa beratnya penyakit yang diderita ibunya saat ini.

“Lalu apa yang sekarang harus saya lakukan, Dok?” tanya Ranai wajah memelas, bingung, khawatir, semua menjadi satu.

“Pada dasarnya penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan, namun hanya bisa diringankan gejalanya. Kecuali dengan operasi, maka sekarang yang perlu kita lakukan adalah menjaga keseimbangan ibu anda. Jangan terlalu lelah, jangan terlalu memikirkan hal-hal yang berat!” saran dokter.

Dokter kembali melanjutkan, “Tapi untuk beberapa hari ini ibu anda saya harap diinapkan saja, jangan dibawa pulang terlebih dahulu!”

“Baik, Dok!” Rania pasrah.

“Ini adalah berkas-berkas yang perlu ditandatangani!” Dokter menyodorkan dua lembar kertas yang ia keluarkan dari stopmap.

Deg...

Betapa terkejutnya membaca nomimal biaya pengobatan dan perawatan. Rania tertegun beberapa saat, matanya terpejam, membayangkan uang sebanyak itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status