Naya semakin tertawa terbahak-bahak, 'Ibu yang baik? Jangankan punya anak, suamiku bahkan jijik menyetuhku, Bu!' batin Naya.
"Kamu ini, di nasehati Ibu malah tertawa, Nak!" jawab Bu Btari. "Ibu sih, aku jadi berasa menantu Ibu, bukan anak Ibu, tau!" canda Naya, "Naya tau, Bu! Makasih sudah peduli dengan Naya, ya Bu! Tapi ini pilihan, Naya! Mas Lingga juga gak apa-apa, kok!" terang Naya. Naya sangat tau, Ibunya peduli dengannya, hanya beliau tidak tau apa yang terjadi di pernikahannya yang sebenarnya. Ibunya tak ingin Naya menjadi bahan gunjingan. Yah, beginilah resiko tinggal di desa! Bu Btari kamudian mengangguk, "Bahagia selalu ya, Nak!" "Naya berangkat ya, Bu!" Bu Btari mengangguk dan mengantar Naya sampai depan, melihat anaknya pergi dengan taxi itu. Naya memasuki rumah Lingga dengan kontainer box berisi barang-barangnya disambut oleh Lingga yang duduk di teras dengan si ulat bulu. 'Bagaimana betah aku di rumah, rumah ini penuh ulat bulu! Dia tidak pulang bahkan setelah menunt4skan kegatalannya! Bisa gila aku!' batin Naya berlalu begitu saja. "Lihatlah, Istri durhakaku, Sayang! Pergi tidak izin dan pulang semaunya! Bahkan mengabaikan suaminya!" sindir Lingga saat Naya berlalu di sebelahnya. Naya terus berlalu dan tidak menghiraukan ocehan aneh raja Iblis yang mulai playing victim itu. Siapa yang durhaka, disini? "Kan ... Udah durhaka, tuli juga!" sindir Lingga lagi. Panas sekali telinga Naya, namun dia cukup sadar untuk tidak terpancing ucapan suaminya di depan j4lang gatal itu. Naya akan menunjukkan dimana posisinya. "Oh, Suamiku ada disini!" ucap Naya meletakkan kontainer box dan berbalik ke arah suaminya yang tengah duduk di kursi teras, Naya kemudian duduk di pangkuan suaminya, "Kau pasti sudah merindukan istrimu ini, Bukan?" lanjutnya dengan ekspresi yang lembut dan imut dengan jari tangan yang menyentuh bibir Lingga. Membuat Lingga hanya bisa diam dan menelan salivanya dengan berat. Melihat itu, Naya mengalungkan tangannya di leher sang suami, "Hmm?" lirihnya. Membuat Lingga semakin menahan nafas karena hembusan nafas Naya membuatnya lupa, Naya semakin meringsek dan mengecup sekilas bibir Lingga, "Sayangnya aku istrimu, bukan wanita murahan! Aku suka laki-laki yang bersih!" ucapnya sambil berdiri dan berlalu begitu saja kembali ke kamar. Lirih terdengar rengekan ulat bulu, karena suamiku yang terlihat menginginkan aku! Naya menyeringai dan masuk ke dalam kamar. "Jika dia maupun dengankupun, aku tidak sudi memberikannya! Cukup saat malam pertama aku coba memberikan yang terbaik, namun penghinaan yang ku terima! Maka malam itu tidak akan pernah terjadi lagi!" gumamnya meletakkan kontainer box di walk in closed paling ujung. Tidak! Bukan Naya menata di almari, namun meletakkan begitu saja di pojokan, Naya cukup tau diri untuk tidak merusak tatanan kamar suaminya. Atau, raja Iblis itu akan punya alasan untuk marah dan mengumpatinya dengan kata-kata tajamnya, atau bahkan melakukan kekerasan. Namun, setelah meletakkan itu, pintu kamar terbuka dan Naya berjalan keluar walk in closed melewati suaminya menuju kamar mandi. "Hey, mau kemana kau, istri durhaka!" kesal Lingga. Naya berhenti dan menoleh, "Istri durhaka? Maka akan seperti perkataanmu, Mas! Jangan salahkan aku jika aku durhaka beneran padamu!" sinisnya kemudian berjalan masuk ke kamar mandi. Dengan bath up besar yang membuat Naya ingin sedikit merilekskan pikirannya. Namun, saat tengah menikmati berendam, Lingga menyusul dan masuk ke dalam bath up yang sama dengan Naya berendam, membuat Naya menyeringai. "Kekasihmu, rupanya sudah turun performa ya! Hingga mendekati wanita murahan sepertiku?" sindir Naya. Sejujurnya Naya sangat takut, karena sisi tubuhnya bergesekan dengan tubuh Lingga yang polos, sehingga Naya mencoba menggores harga diri suaminya lagi agar tidak berani macam-macam dengannya. Entah kenapa, sekarang Naya tidak ikhlas disentuh oleh Lingga, dia tak sudi di sentuh, tak sudi menerima warisan penyakit dari aktivitas suaminya dengan wanita lain. "Sekali lagi kau menghina kekasihku seperti tadi, aku yakinkan padamu, kau akan menderita, Naya!" ancamnya. "Oh, okey!" jawab Naya sambil berdiri, tak peduli suaminya melihatnya, mengambil Badrobe dan memakainya perlahan, "Silahkan, nikmati kesenangamu dengan dia, Mas! Aku juga tidak peduli!" lanjutnya meninggalkan kamar mandi. "Oh, Iya!" Naya berhenti sebelum membuka pintu kamar mandi, "Seperti halnya kau yang tidak memperdulikan aku setelah menikah, maka jangan pedulikan urusanku kedepannya, Mas! Kita tidak ada hak untuk saling melarang! Aku akan melakukan semua hal yang aku inginkan! Aku akan durhaka padamu, sebanyak yang aku mau! Dan kau juga bebas, menciptakan sepanas apa neraka kita!" ucapnya tegas kemudian keluar dari kamar mandi. Menyisakan Lingga yang hanya tercengang, dan sesaat kemudian menyeringai, "Sh1iit, dia sangat berani, membuat milikku hidup lagi!" gumamnya terpengaruh dengan tubuh Naya, "Menarik sekali! Ternyata menikahimu cukup menantang adrenalin, Nay!" Sedangkan, Naya langsung bergegas ganti pakaian dan turun ke bawah, tak ingin berlama-lama dalam ruangan bersama si Raja Ibli5 itu. "Mbok Nem, Naya boleh masak tidak?" tanya Naya saat melihat Mbok Nem sibuk di dapur. "Ibu sudah lapar? Biar Mbok masakkan untuk, Ibu dan Tuan!" jawab Mbok Nem. "Tidak ... Tidak! Mbok Nem bantuin Naya saja, Naya mau masak sendiri!" pintanya. Mbok Nem menatap Naya sekejap kemudian mengangguk, setidaknya Mbok Nem menghargai keinginan majikan barunya untuk menyiapkan hidangan suaminya, begitulah isi pikiran Mbok Nem. Seperti wanita Jawa lainnya, yang akan tunduk dan patuh pada suaminya, walaupun suaminya bejat. Sedangkan Naya sendiri, dia hanya kurang terbiasa dilayani oleh pembantu. Naya kemudian dengan cekatan memasak makanan kesukaanya, terong telur rebus balado, goreng ayam, tempe, tahu dan lalapan timun. Aneh? Memang begitulah kesukaan Naya, makanan rumahan yang sangat sederhana, namun bisa menghabiskan nasi satu rice cooker. "Masak apa, Mbok?" tanya Lingga yang baru saja turun. "Bu Naya yang memasak, Tuan!" jawab Mbok Nem. Lingga hanya melirik Naya sekilas dan duduk di meja makan, bersamaan dengan Naya yang dibantu Mbok Nem memindahkan makanan ke meja makan. "Terong?" gumam Lingga. "Kalau tidak mau, tidak usah makan!" ketus Naya, "Minta masakin sama kekasihmu, Sana!" Lingga tersenyum, "Kau sangat cemburu, rupanya!" "Aku? Cemburu?" tanya Naya menghentikan gerakannya sambil menunjuk dirinya sendiri, "Apa otak Anda mulai geser, Tuan?" sindirnya. Brak! Lingga menggebrak meja dengan keras sambil membuang sepiring terong telur balado ke arahnya Naya. "Aku tidak sudi makan masakanmu yang menjijikkan ini!" Prang!"Naya tak punya uang, jadi hanya dibantu tetangga!" ucapnya. "Kenapa kamu harus pergi, atau kalau tak ingin ditemukan oleh Lingga, kamu masih punya ibu, Nak! Kamu masih bisa meminta uang pada Ibu!" Naya menggeleng, "Naya merasa bersalah meninggalkan ibu dan Mas By, tapi saat itu Naya terpukul dengan kehamilan Naya! Saat itu hujan sangat deras, Naya sudah kesakitan sejak pagi namun tak tahun harus kemana, Naya memilih terus menahannya di dalam kontrakan, hingga tetangga Naya datang, dan melihat Naya!" ceritanya, "Dia punya anak tiga, jadi berbekal pengalaman, Mbak Can membantu Naya melahirkan Nendra! Sakit sekali, Bu!" ceritanya sambil melirik tangan Lingga yang bergerak. "Nak, kali ini kamu tidak akan sendirian! Ibu akan menemani kamu, suaminya akan menemani kamu! Tidak apa jika ingin melahirkan di ruangan ini! Kalau sampai suamimu tak kunjung bangun, nanti ibu sendiri yang akan carikan suami baru, yang bisa menemanimu!" ucap Bu Btari. Membuat Lingga meneteskan air mata, "Tidak m
"Ada Dimas, ada Masmu!""Biarkan Mas Dimas kencurahkan waktu sedikitnya itu untuk anak dan istrinya! Kasihan mbak Bia, Bu!""Tuhkan! Kamu tidak ingin menghentikannya, Ngga? Ibu sudah sangat bingung memperingatinya!" ucap Ibu tak menjawab Naya lagi, justru kembali curhat pada Lingga. "Nay! Tangan Lingga gerak!" pekik Bu Btari sesaat kemudian menekan tombol emergency, Naya sendiri langsung melemparkan sendoknya dan mendekatimu tempat tidur suaminy, "Mas! Bangun Mas! Aku tidak akan lagi menuntut cerai! Mas, kamu dengar? Aku mau selamanya bersama kamu, Mas!" ucap Naya mencoba terus memancing suaminya terbangun. Dia yakin, suaminya itu akan mendengarnya. Tak lama dokter masuk dengan beberapa suster, "Permisi, ada apa, Bu?" "Tangan suami saya bergerak, dok!" Dokter kemudian kembali mengecek semuanya, detak jantung, saturasi, dan lain-lain, "Alhamdulillah, Pak Lingga pertama kali menunjukkan perkembangan! Semoga sebentar lagi akan ada keajaiban!" ucap dokter itu. "Aman dok?""Aman, Bu,
Naya terbangun, dan semua perasaannya itu hanyalah halusinasi, dan ternyata tangan yang melingkari perutnya adalah tangan Nendra. Entah sejak kapan, Nendra diantara ke mari, "Anakku!" Naya meraih Nendra dan membawanya berbaring di tengah-tengah antaranya dan Lingga, "Cepat sembuh anak, Mama, tidur yang nyenyak! Nendra mau temani Papa, juga ya!" gumamnya mengusap putranya yang masih setia tertidur.Setelahnya, dia kembali tertidur mengapit Nendra, dan tidur bersama suaminya. Keesokan harinya, sesuai jadwal operasi Lingga, Naya dan Nendra menemani berdua, karena Bu Btari menemani Bia yang sudah memasuki HPL dan Mas Byakta menghandle rapat penting hari ini. Pada akhirnya dunia berjalan, setiap manusia memiliki kesibukannya, dan Naya beruntung sejak awal dia tak bergantung pada siapapun. Dia berusaha kuat, agar Nendra dan Lingga bisa bergantung padanya. Operasi terakhir ini, cukup lama, memakan waktu kurang lebih delapan jam, dan Naya habiskan dengan keterdiaman, karena Nendra juga
Semenjak pulang dari memeriksakan Nendra, hari Naya berubah drastis. Semua informasi yang dia terima sangat memukul telak hatinya, hingga remuk redam. Sakit akinat kecelakaan Lingga masih belum kering dan harus dihadapkan dengan cobaan baru yang lebih luar biasa. Rasa bersalah begitu besar membebani hatinya, pada Nendra, Lingga maupun pada anak yang kini dia kandung. Anak yang hadir karena hubungan mau sama mau antara Lingga dan Naya, Naya cukup tau untuk tidak membuat anaknya kembali menjadi korban, seperti yang dialami oleh Nendra. Dan Naya langsung mengirimkan surat pengunduran diri ke perusahaan tempatnya bekerja, karena Naya tau, perjuangannya akan dimulai. Disini! Dikota dimana dia dilahirkan dan besar, kembali menetap di kota malang dengan semua beban dan tanggung jawab yang harus dia pikul sendirian. Sangat berat, Namun bukanlah perempuan adalah tiang dalam rumah tangga, dan Naya bertekad akan menjadi tiang yang kuat di rumah tangganya. Tiang wajib kuat demi kokohnya ban
Naya semakin dikejutkan oleh pertanyaan Ibunya, "Memangnya Naya wanita tidak benar?" lanjutnya. "Lalu, kenapa kau memaksa cerai?" pekik Bu Btari kesal, bersamaan dengan Bia membawa Nendra untuk keluar. "Ha? Jawab Naya? Kau dan Lingga berhubungan begitu intim sampai menghasilkan adik untuk Nendra, tapi kau meminta Cerai? Hatimu di mana? Bagaimana perasaan Lingga?" pekik Bu Btari dengan mata berkaca-kaca. Naya bergeming, melihat ibunya sedikit tempramen mendengar kabar ini, membuat Naya hanya bisa meledakkan tangisannya. Merasa bersalah. Benar, dirinyalah yang naif, dirinyalah yang keras kepala dan egois. Naya nyaman bersama Lingga, Naya menyukai kehangatan yang Lingga suguhkan, namun dirinya tetap tak mau memberikan kesempatan, bahkan setelah suaminya berlutut memohon. Naya tak tau dengan keadaan ini, dan dia akhirnya kembali menjatuhkan tubuhnya memeluk Lingga, "Bangun, Mas ... Aku hamil!" isaknya di dada Lingga. Byakta yang melihat pertikaian itu, hanya bisa mengamankan Naya
Byakta lebih dulu menggendong Naya dan menidurkan di bangku panjang itu sambil menunggu suster membawa kursi roda atau tempat tidur dorong. "Dok, Jawab, Apa yang terjadi?" tanya Bia yang masih menunggu jawaban di depan pintu operasi itu. Byakta kembali menemani Bia dan Ibunya, sedangkan Nendra berjalan menjauh menemani Naya. Tak ada kata atau tangisan, Nendra hanya menggenggam tangan Mamanya dengan tatapan nanar. Sakitnya tak bisa dijelaskan, Papanya sedang berjuang hidup, dan Mamanya sakit, mamanya terus-terusan pingsan sepanjang hari. Dunia seakan tidak memihak pada laki-laki kecil itu, dilahirkan tanpa mengenal Papanya, hidup hanya mengenal mamanya seorang, menjadi bahan bullyan dan tak memiliki teman. Sekarang, disaat dia merasa dunianya indah, semesta kembali merebutnya paksa. Nendra jelas sangat terluka. Semesta seakan meminta papa yang dia harapkan sejak dulu, papa yang sangat dia tunggu kehadirannya. Di usianya yang baru genap tujuh tahun itu, dia sudah harus mengalam