Home / Romansa / Ranjang pelunas hutang / Menuju hidup baru

Share

Menuju hidup baru

Author: Mom Aish
last update Last Updated: 2024-12-15 23:52:31

Pesawat mendarat. Satu persatu penumpang turun. Raya membantu Melati membawa kopernya.

"Nanti Mbak di jemput sama orangnya Pak Anjas di luar." Raya menyeret koper dan berhenti di pintu kaca.

"Mbak sudah kenal sama Pak Anjas?" Melati memberanikan diri bertanya.

"Inggih Mbak. Papa saya bekerja lama sama beliau. Dia orang yang sangat baik, beliau membiayai sekolah saya sampai lulus dan mencarikan saya pekerjaan. Pekerjaan ini contohnya." Raya menjelaskan dengan wajah riang.

Melihat ekpresi Raya, seharusnya Pak Anjas adalah sosok pria yang baik dan bijaksana. Tapi, kenpa dia memilih wanita untuk menjadi istrinya dengan umur yang terpaut jauh.

"Kalau istrinya Pak Anjas?" lanjut Melati bertanya sambil memainkan ujung bajunya.

Mata Raya membulat, dia dengar Ndoro Sri sedang sakit keras dan membutuhkan perawatan khusus. Terdengar kabar juga kalau Ndoro Sri mencari wanita untuk mengganti posisinya.

"Jangan-jangan njenengan!?" Raya menutup mulutnya.

"Matur Suwun Nggih Nduk Raya," ucap Andi, utusan Pak Anjas.

"Mbak Melati ya?" sapa orang itu.

Melati mengagguk. Andi meraih koper di tangan Raya dan mepersilahkan Melati menuju jalan keluar. Terdengar bisik-bisik di belakang. Sepertiya raya dan Andi adalah teman dekat sebelumnya.

Terdengar juga canda tawa di belakang sebelum Andi berjalan sejajar dengan Melati. Pria itu seumuran dengan Melati. Penampilanya juga sangat rapi, jauh dari pemuda yang pernah dia temui.

Angan Melati melambung jauh. Pantas saja Pak Anjas memberi nominal yan fantastis kepada orangtuanya. Melihat mua karyawannya berpenampilan rapi, sudah bisa di pastikan seberapa kekayaannya.

Andi membuka pintu mobil dan mempersiahkannya untuk masuk. Tidak lupa pria itu menaruh semua barang Melati di bagasi belakang lalu duduk di belakang kemudi dan menginjak pedal gas.

"Nama saya Andi, Mbak. Saya tukang kebun di rumah Pak Anjas. jadi kalau ada apa-apa Mbak bisa panggil saya," ucap Andi memperkenalkan diri.

Seorang tukang kebun saja pnampilanya rapi sekali? Melati menyamakan pakaiannya dan Andi, sangat beda jauh. Rasa minder mulai merasuk di jiwa Melati.

"Nggak usah takut, di sana orangnya baik-baik kok. Apalagi Den Bagus sama Den Agung. Mereka nggak pernah membedakan kasta," lanjut Andi bercerita.

Ada dua anak laki-laki dan di pastikan umurnya pasti tidak jauh berbeda, tubuh Melati mendadak lemas saat mendengar penjelsan Andi. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia akan berkomunikasi dengan mereka.

"Mbak sudah dapat pandangan kampus belum?" Andi melempar wajah cerahnya.

Bibir Melati kelu untuk menjelaskan kalau dia adalah calon istri Pak Anjas. jangankan membayangkan kampus, menghadapi semua orang di rumah itu dengan statusnya ini saja nyalinya sudah menciut.

"Biasanya kalau anak baru seusia Mbak Melati, pasti di carikan kampus. Jadi kita kerja sambil kuliah. Tapi jangan khawatir, gaji kitatetap sisa kok untuk bayar kuliah."

"Raya dulunya juga sama seperti aku, Dia jadi asisten pribadinya Ibu Sri, istri Pak Anjas," lanjut Andi berkisah.

"Istri?" Melati mengulang kaliamat tersebut.

"Ya, Istri Pak Anjas yang sedang sakit. Saya kira Mbak penggantinya Raya, seoalnya suster yang kemarin di pecat." Andi masih fokus menyetir sambil lanjut bercerita.

"Kenapa di pecat?"

"Katanya sih dia menggoda Pak Anjas dan ketahuan Bu Sri, jadilah perang Baratayudha," jawab Andi enteng.

Seketika jantung Melai keluar dari raganya.Dia benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Bu Sri setelah tau semuanya. Jangankan di pecat, pasti tubuhnya sudah akan di cabik-cabik di tempat.

Mau kabur? Bahkan Melati tidak tau dimana dirinya sekarang. Dilihat dari cerita Andi, Pak Anjas adalah orang berkuasa, hanya dengan petikan jari pasti sudah bisa menemukannya.

Wajah Melati tiba-tiba pucat. Andi yang melihatnya mulai khawatir. Pria itu membuka laci mobil dan mengeluarkan kantong pelastik.

"Sebentar lagi nyampek kok. Ujung jalan itu adalah rumah Pak Anjas,"

Mobil masuk di sebuah halaman rumah yag cukup luas. Terdapat hiasan air mancur dan beberapa bunga yang cukup terawat.

Rumah ini begitu megah dan mewah. Deretan mobil berjejer di garasi yang bertempat di sebelah halaman rumah. Pantas saja Pak Anjas dengan mudah memberi sekolah gratis pada beberapa anak.

"Yuk saya antar masuk" ucap Andi membuka pintu dan membantu Melati membawa beberapa barang.

Andi masuk lewat pintu belakang, diikuti oleh Melati yang melangkah di belakangnya. Mata Melati membulat, tak henti-hentinya dia mengagumi rumah yang begitu mewah ini.

Melati menabrak Andi yang berhenti mendadak. Gadis itu terlalu fokus sampai tidak tau ada orang yang begitu di segani di depannya.

"Sugeng dalu Pak Anjas, Mbak Melati pun dugi," ucap Andi sambil memberi hormat.

Melati melempar pandangan ke epan saat telinganya mendengar nama sang calon suami. Kakinya lemas seketika saat melihat sosok gagah di hadapannya.

Umurnya memang jauh dua puluh tahun lebih tua darinya. Namun penampilannya begitu sempurna. Bahkan jika di lihat, tidak ada keriput yang menghiasi wajahnya.

Angan Melati buyar saat suara lembut Pak Anjas menyapanya. Andi melangkah pergi untuk menyiapkan kamar yang akan di tempati teman barunya itu.

"Ikut Saya!" Pak Anjas melangkah menaiki tangga dan menuju di salah satu kamar.

Mata Melati masih menyapu seluruh ruangan. Lampu gantung yang begitu indah dan ruangan mahal itu seperti di dalam sinetro televisi.

Pak Anjas memutar ganggang pintu dan mempersilahkan Melati untuk masuk. Seorang wanita sedang terbaring lemah. Pak Anjas duduk di tepi ranjang dan mencium tangan wanita itu.

"Bu, Nduk Melati sudah datang," suara lembut Pak Anjas membuat sepasang mata yang terpejam itu terbuka.

Dua pasang mata itu menatap sayu ke arah Melati Dengan susah payah dia mengangkat tangan, memberi kode agar gadis itu mendekat.

Melati segera mendekat dan menekuk kedua kakinya hingga kedua wajah mereka sejajar. Wanita yag terbaring itu begitu cantik meskipun wajahnya pucat.

Tubuhnya kurus kering. Selang infus terpasang di tangannya. Terdengar isak dari Pak Anjas. Jantung Melati sudah tidak bisa di kondisikan, semua perasaannya bercampur aduk hingga telapak tangannya mengeluarkan keringat.

"Kamu cantik sekali, semoga kerasan teng mriki nggih," ucap Wanita itu lirih, nyaris tidak terdengar.

"Inggih Bu,"

"Tugasmu di sini melayani Bapak, saget?" Wanita itu menggenggam tangan Melati.

Tangan pucat itu begitu dingin dan rapuh. Melati tak sampai hati melihatnya. Gadis itu meraih tangan pucat tersebut dan menganggukkan kepalanya.

"Sudah malam, Melati pasti capek. Ngobrolnya di lanjut besok nggih," ucap Pak Anjas meraih tangan wanita itu di dekapan Melati.

Wanita itu hanya tersenyum tipis kemudian menganggukkan kepalanya. pak Anjas membawa Melati keluar dari kamar.

"Kamarmu di bawah tangga sebelah dapur. Besok pagi Saya jelaskan apa tugasmu," ucap Pak Anjas sebelum masuk kembali ke kamar

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ranjang pelunas hutang   Teman rasa pacar

    Mobil mewah berwarna hitam berhenti di parkiran. Mawar turun lebih dulu sambil membawa parcel buah, di susul oleh Agung dan Dimas. Jantung Mawar berdebar kencang, dia tidak menyangka penantiannya selama ini akhirnya selesai. Berulangkali dia menghapus air mata yang terus menyelip di ujung matanya.Agung melangkah menuju salah satu kamar. Mata Mawar berbinar ketika menatap pintu yang perlahan kian dekat. Agung masuk di susul oleh Dimas. Terdengar suara Anjas yang menyapa kedua putranya.Mawar menarik napas panjang sebelum mengayunkan langkahnya memasuki ruangan itu. "Selamat siang Pak Anjas, saya Mawar sekertaris Pak Agung," ucap Mawar memperkenalkan diri, kepalanya masih tertunduk."Ya, saya sudah tau. Apakah ada meeting?" tanya Anjas melempar pandangan ke arah Agung dan Dimas. Tidak biasanya putranya itu mengajak karyawannya ke lingkungan pribadinya."Mawar ingin menjenguk Ibu, jadi aku bawa dia kesini," jawab Agung terbata."Menjenguk Ibu!?" ulang Anjas sambil menautkan alis.Sua

  • Ranjang pelunas hutang   Di batas penantian

    Melati duduk bersandar di ranjangnya. Matanya terus menatap pria yang masih terbaring lemah di hadapannya. Hatinya teriris melihat pemandangan ini, mungkin benar apa kata orang tuanya dulu. Dia hanyalah pembawa sial bagi orang di sekitarnya.Suara hentakan langkah kaki mendekat, pintu terbuka. Ada tiga orang dengan jas putih masuk ke dalam ruangan. Mereka memeriksa Bagus terlebih dahulu."Pagi mbok, bagaimana Mas Bagus?" sapa dokter dengan pin nama Andrian di jasnya. Si Mbok hanya bisa menggelengkan kepalanya. Mata senja itu mulai berkaca. Pria yang memakai jas putih dan kaca mata menghiasi wajahnya itu menepuk lembut pundak Si mbok."Nggak papa, nanti kita periksa ulang ya. Jangan sedih Mbok," ucap Andrian melempar senyum teduh.Sementara dua perawat memeriksa dan memberi obat pada Bagus, Andrian mendekati Melati yang masih duduk termenung."Bagaimana kepalanya? Masih sakit?" tanya Andrian penuh perhatian."Sudah sedikit berkurang dok, kapan saya pulang?" jawab Melati pelan."Seger

  • Ranjang pelunas hutang   Kondisi kritis

    Bunyi alat detak jantung berbunyi nyaring seolah memanggil malaikat maut saat ini juga. Para tenaga medis berhamburan memasuki ruang ICU. Anjas melangkah memasuki ruangan, namun seorang perawat menghadangnya."Bapak tunggu diluar!" ucap perawat sebelum menutup pintu.Dada Anjas kian sesak melihat para tenaga medis mulai menutup kelambu dan menyalakan lampu operasi. Waktu berputar begitu lambat bagi Anjas kali ini.Belum selesai dengan kecemasannya, seorang perawat yang lain datang dari balik pintu. Dia membawa papan dada yang berisi banyak lembaran kertas putih."Bapak Anjas! Keluarga Mas Bagus dan Mbak Melati?" lanjut perawat itu menyapu pandangan ke semua orang yang berdiri di depan pintu ruang ICU.Kaki Anjas terasa lemas saat mendengar nama yang baru saja disebut. Pria itu menoleh kebelakang dan berusaha sekuat tenaga menyeret kakinya mendekati perawat tersebut."Saya Sus," "Mas Bagus dan Mbak Melati sudah di pindah ke ruangan. Mari saya antar," ucap suster tersebut memutar langk

  • Ranjang pelunas hutang   Kecelakaan

    Mawar merebahkan tubuhnya di atas kasur. Matanya masih menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Kejadian yang baru saja terjadi menyita semua tenaga dan perasaannya.Bisa-bisanya sang Kakak tinggal dengan orang mesum seperti atasannya itu. Dia tidak bisa membayangkan jadi sang Kakak, akan jadi apa nanti?Sudah satu bulan Mawar menjadi asisten pribadi Agung. Tapi tidak sedikitpun dia mendengar kabar tentang sang Kakak. Dia juga mencari info tentang pernikahan kedua Pak Anjas, namun hasilnya tetap nihil."Mbak Melati, kamu dimana sih? Aku capek banget!" Buliran air mata kembali membasahi pipi putih bersih Mawar."Aku nggak boleh menyerah, aku harus bertemu Mbak Melati dan membawanya kabur." mawar bangkit dan mengusap lembut wajahnya yang mulai berantakan....Udara pagi begitu segar dan memanjakan mata. Langit berwarna jingga, udara begitu sejuk walau sedikit dingin. Sri memakai jaket tebal dan duduk di balkon menatap jauh lautan yang begitu tanang.Dia mengeluarkan sebuah kertas d

  • Ranjang pelunas hutang   Rencana busuk Dimas

    "Apa yang kau lakukan!?" Anjas segera mendorong tubuh Dimas hingga terjatuh ke lantai. Sementara itu salah satu karyawan wanita yang terbaring di lantai segera bangkit dan merapikan pakaiannya. Rambutnya berantakan dengan beberapa bagian baju yang sobek.Dari arah belakang terdengar suara seseorang sedang berlari mendekat. Dina, sang adik yang datang dengan napas tersengal."Mas Dimas nggak papa?" tanya Dina dengan wajah khawatir."Nggak papa!? Lihat apa yang dia perbuat!" Amarah Anjas meletup sudah.Bisa-bisanya di kantornya ada tindak asusila dan pelakunya adalah putranya sendiri. Mau di taruk dimana muka Anjas jika sampai berita ini menyebar luas?"Ini jebakan! Dia yang mau menjebak Mas Dimas Pak!" ucap Dina dengan suara terisak.Dimas segera bangkit, ujung jarinya membersihkan cairan merah di ujung bibirnya. Rasa perih ini tidak sebanding rasa malunya."Wanita ini suka sama Mas Dimas, Pak! Aku yakin ini jeb

  • Ranjang pelunas hutang   Sebuah rasa

    Di sebuah gazebo di pinggir pantai, Melati dan Bagus duduk melihat deburan ombak yang begitu tenang. Keduanya menatap jauh ke arah lautan, berperang dengan pemikiran masing-masing."Apakah tidak ada cara untuk menyembuhkan penyakit Bu Sri? Keluar negeri contohnya," ucap Melati memecah keheningan. "Sudah, tapi ibu nggak mau." Bagus masih melihat ombak tepi pantai."Alasannya?" Melati menatap Bagus."Ibu nggak mau buang-buang waktu, toh penyakit itu sudah lama dan sangat minim untuk sembuh," jawab Bagus dengan menggeleng kepalanya pelan."Kami sudah beberapa kali meyakinkan Ibu untuk mau berobat. Tapi dia tetap bersikukuh pada pendiriannya, malah yang aku dengar dia sudah menyiapkan ibu tiri untuk kami," ucap Bagus tersenyum kecut.Mendengar itu seketika kerongkongan Melati terasa kering. Dia segera meraih cangkir yang berisi wedang uwuh di sampingnya.Tangannya gemetar dan tidak bisa memegang cangkir dengan benar, sehing

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status