Melati turun dari tangga. Sampai di bawah Andi sudah menunggunya dan mengantarnya ke meja makan di belakang. Di sana ada empat orang yang berdiri menatap Melati dengan tatapan aneh.
"Kamu Susternya Bu Sri?" tanya seorang wania paruh baya dengan kebaya dan rambut yang di sanggul ala kadarnya. Melati hanya mengangguk lirih. Dia tidak berani mengucapkan yang sebenarnya pada barisan orang di hadapannya. Andi menuntun Melati untuk duduk di kursi. Di hadapannya sudah ada berbagai kudapan makan malam. Teman-temannya juga duduk. Mereka memperkenalkan diri masing-masing dan menceritakan kesan selama bekerja disini. Tidak ada pengalaman buruk sedikitpun mereka rasakan disini. Bahkan keluarga mereka juga ikut merasakan kebaikan Bu Sri dan Pak Anjas. Ingatan Melati kembali sepuluh menit yang lalu. Dia menebak kalau pernikahan ini juga bukan Pak Anjas yang mau. Dilihat dari betapa Pak Anjas mencintai istrinya tadi. "Bu Sri sudah sehat belom?" tanya Mbok Darmi wanita berusia sekitar lima puluh tahun dengan baju kebaya kuno. "Dereng, Bu Sri masih di tempat tidur, wajahnya pucat. Kalau boleh tau Bu Sri gerah nopo nggih?" tanya Melati lirih. "Nggak tau pasti, katanya di santet orang," timpal Mbok Darmi. "Hust, Mbok. ngawur ae!" Andi membentak si mbok. Andi memberi kode agar tidak sembarangan mengatakan hal yang belum pasti. Meskipun bukan rahasia umum lagi kalau banyak orang yang iri akan keberhasilan Pak Anjas, Selain Mbok Darmi dan Andi. Juga ada Pak Tejo dan Mbak Sarah. pak Tejo adalah supir pribadi sedangkan Mbak Sarah bertugas bersih-bersih rumah. Selesai makan malam sekaligus berkenalan dengan teman-temannya. Mbak Sarah mengantarkan Melati ke kamarnya yang hanya bersebelahan dengan kamar Sarah. Jam menunjukkan pukul sembilan. Rumah sudah sepi dan sebagian orang sudah terlelap. Namun tidak dengan Melati, matanya masih terjaga dan tidak mampu terpejam. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika rahasianya terbongkar. Calon istri muda Pak Anjas, bagaimana tanggapan teman-teman barnya nanti. Memikirkan nasibnya esok hari membuat perutnya mendadak mules. Melati mengetuk kepalanya sendri, dia lupa tidak bertanya kamar mandi sebelumnya. Melati membuka pintu. Kepalanya celingukan, mencari seseorang yang masih terjaga. Tidak ada sama sekali, bahkan setiap sudut ruangan hanya di terangi lampu redup. Melati memberanikan diri untuk mengayunkan langkahnya. gadis itu menuju dapur dan mulai membuka tiap ruangan. Tapi tidak menemukan kamar mandi di sana. Gadis itu malah menuju sebuah taman kecil yang berada di belakang dapur. Teringat di kampung halaman dengan ciri khas kamar mandi di luar, membuat Melati masuk ke taman itu dan mencari kamar mandi. Melati terkejut, tiba-tiba mulutnya di bekap dari belakang dan tangannya di cengkram kuat. Orang itu membalikkan tubuh Melati. "Arep maling yo!?" Seorang Pria melotot ke wajah Melati. Melati meronta, mencoba melepaskan diri. Dia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Suasana semakin riuh saat Pria itu berteriak kencang. Satu persatu penghuni rumah keluar dari kamar masing-masing. Termasuk itu Pak Anjas. Mereka segera berlari menuju taman belakang. Andi dan teman-temannya juga berlari tergopoh-gopoh menuju asal suara. Di sana mereka melihat Melati di dekap oleh putra pak Anjas yang bernama Agung. Mata Melati sudah mengeluarkan air mata, Dia takut bercampur malu. Dekapan Agung juga sangat kuat, membuat leher dan tangannya sakit. "Lepaskan dia!" Pak Anjas melangkah mendekat. "Loh Pak, dek e arep maling!" Agung masih tidak mau melepaskan dekapannya. "Mas Agung, dia Melati. Pembantu baru disini?" sahut Andi yang menundukkan kepalanya. Seketika Agung melepaskan dekapannya. Dua orang pria dan seorang wanita keluar dari pintu dapur. Mereka menyipitkan mata saat melihat Melati. "Pembantu baru?" ucap seorang pria memakai kaca mata, Dimas. 'Maaf Pak, saya tadi cari kamar mandi." Melati menahan air mata yang hendak melaju kian deras "Sudah-sudah, ayo bubar! Sudah malam, jangan buat keributan," ucap Pak Anjas tegas. Satu per satu masuk ke dalam rumah. Sarah menuntun Melati untuk kembali ke kamarnya setelah mengantarnya ke kamar mandi. "Kalau ada pertanyaan panggil aju aja,jangan sungkan nggih," ucap Sarah sebelum menutup pintu kamarnya. Melati masuk ke dalam kamar. Dia melihat lehernya yang memerah karena peristiwa tadi. Dirinya tidak menyangka akan terjadi hal yang memalukan malam ini. Gadis itu memutuskan untuk berbaring di sofa dan mencoba untuk memejamkan matanya. Bayangan pria bernama Agung itu terus memenuhi isi kepalanya. Melati berusaha melupakan bayangan itu dan mencoba untuk tidur. "Sejak kapan ada pembantu baru?" tanya Agung melempar pandangan ke arah tiga saudaranya. "Mana aku tau, wong aku kalau pulang nggak pernah ngecek pembantu," sahut Dina, putri sulung Pak Anjas. Tidak mau memperkeruh keadaan mereka masuk ke dalam kamar masing-masing. Mata mereka masih berat untuk terjaga. Keempat anak Pak Anjas memiliki tugas masing-masing. Banyaknya bisnis yang berbeda membuat Pak Anjas memberi satu bisnis pada anaknya untuk di kembangkan. Mayoritas mereka bergerak di bidang liburan rekreasi yang saling berhubungan. Yogyakarta memiliki banyak destinasi wisata membuat Pak Anjas memiliki beberapa hotel, rumah makan, dan tour travel. Agung masih duduk di tepi ranjang. Rasa bersalah masih memenuhi isi kepalanya. Dari keempat anaknya, Agung yang memiliki rasa welas asih jauh dari ketiga saudaranya. *** Hari yang cerah. Penghuni rumah mewah Pak Anjas mulai beraktivitas. Begitupun Melati, dia masih di dapur bersama Sarah. Menyiapkan beberapa menu sarapan. Setelah semua siap, Sarah menyodorkan nampan yang berisi sarapan untuk Bu Sri. Tidak langsung berangkat, Melati masih berdiri dan menyiapkan mentalnya. "Antar ini ke kamar Bu Sri! Kalau sudah selesai taruh di wastafel aja, biar aku yang beresin. Kamu fokus ke Bu Sri," ucap Sarah melempar senyum dan menjelaskan pekerjaan suster yang sebelumnya pada Melati. "Baik Mbak," ucap Melati meraih nampan dan mulia berjalan menuju tangga. Langkahnya terhenti saat Agung tiba-tiba datang menghalangi jalannya. Kali ini Melati benar-benar mengagumi ketampanan pria tersebut. Kulit putih bersih, postur tubuh tinggi tegap dan paras khas orang timur tengah. "Maaf, apakah Den Agung membutuhkan sesuatu?" tanya Melati memberanikan diri menatap pria di hadapannya. "Oh, enggak. Saya hanya mau minta maaf masalah tadi malam," jawab Agung menatap Melati penuh rasa bersalah. "Tidak apa-apa Den, saya yang harusnya meminta maaf. Seharusnya Saya meminta Mbak Sarah untuk mengantarkan agar tidak terjadi salam paham seperti semalam." Melati menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajah merah karena malu hingga tidak dapat menyusun kalimat dengan benar. "Yaudah, untuk permintaan maaf, nanti malam aku ajak kamu jalan-jalan ya," ucap Agung mengulurkan tangannya. "Jalan-jalan?" Jantung Melati seolah berhenti berdetak.Mawar merebahkan tubuhnya di atas kasur. Matanya masih menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Kejadian yang baru saja terjadi menyita semua tenaga dan perasaannya.Bisa-bisanya sang Kakak tinggal dengan orang mesum seperti atasannya itu. Dia tidak bisa membayangkan jadi sang Kakak, akan jadi apa nanti?Sudah satu bulan Mawar menjadi asisten pribadi Agung. Tapi tidak sedikitpun dia mendengar kabar tentang sang Kakak. Dia juga mencari info tentang pernikahan kedua Pak Anjas, namun hasilnya tetap nihil."Mbak Melati, kamu dimana sih? Aku capek banget!" Buliran air mata kembali membasahi pipi putih bersih Mawar."Aku nggak boleh menyerah, aku harus bertemu Mbak Melati dan membawanya kabur." mawar bangkit dan mengusap lembut wajahnya yang mulai berantakan....Udara pagi begitu segar dan memanjakan mata. Langit berwarna jingga, udara begitu sejuk walau sedikit dingin. Sri memakai jaket tebal dan duduk di balkon menatap jauh lautan yang begitu tanang.Dia mengeluarkan sebuah kertas d
"Apa yang kau lakukan!?" Anjas segera mendorong tubuh Dimas hingga terjatuh ke lantai. Sementara itu salah satu karyawan wanita yang terbaring di lantai segera bangkit dan merapikan pakaiannya. Rambutnya berantakan dengan beberapa bagian baju yang sobek.Dari arah belakang terdengar suara seseorang sedang berlari mendekat. Dina, sang adik yang datang dengan napas tersengal."Mas Dimas nggak papa?" tanya Dina dengan wajah khawatir."Nggak papa!? Lihat apa yang dia perbuat!" Amarah Anjas meletup sudah.Bisa-bisanya di kantornya ada tindak asusila dan pelakunya adalah putranya sendiri. Mau di taruk dimana muka Anjas jika sampai berita ini menyebar luas?"Ini jebakan! Dia yang mau menjebak Mas Dimas Pak!" ucap Dina dengan suara terisak.Dimas segera bangkit, ujung jarinya membersihkan cairan merah di ujung bibirnya. Rasa perih ini tidak sebanding rasa malunya."Wanita ini suka sama Mas Dimas, Pak! Aku yakin ini jeb
Di sebuah gazebo di pinggir pantai, Melati dan Bagus duduk melihat deburan ombak yang begitu tenang. Keduanya menatap jauh ke arah lautan, berperang dengan pemikiran masing-masing."Apakah tidak ada cara untuk menyembuhkan penyakit Bu Sri? Keluar negeri contohnya," ucap Melati memecah keheningan. "Sudah, tapi ibu nggak mau." Bagus masih melihat ombak tepi pantai."Alasannya?" Melati menatap Bagus."Ibu nggak mau buang-buang waktu, toh penyakit itu sudah lama dan sangat minim untuk sembuh," jawab Bagus dengan menggeleng kepalanya pelan."Kami sudah beberapa kali meyakinkan Ibu untuk mau berobat. Tapi dia tetap bersikukuh pada pendiriannya, malah yang aku dengar dia sudah menyiapkan ibu tiri untuk kami," ucap Bagus tersenyum kecut.Mendengar itu seketika kerongkongan Melati terasa kering. Dia segera meraih cangkir yang berisi wedang uwuh di sampingnya.Tangannya gemetar dan tidak bisa memegang cangkir dengan benar, sehing
Malam tiba. Bu Asih sudah siap dengan makan malamnya. Anggota keluarga Anjas sudah siap makan malam dan duduk di kursi masing-masing. Di saat seperti ini jantung Melati selalu berdebar, menerka apa yang akan terjadi nanti.Bu Sri sering sekali memberi kejutan saat acara makan bersama. Entah itu makan malam, ataupun sarapan. Jika di suruh memilih, Melati ingin di kamar saja."Jangan canggung, kamu kan sudah ikut kita lama." Bu Sri melempar senyum teduh ke Melati agar wanita itu tidak canggung"Maaf Bu, tempatnya masih asing." Melati tersenyum kikuk."Nanti kita jalan-jalan. Kamu pasti suka sama tempat ini," ucap Bu Sri penuh semangat."Bagus, ajak Melati jalan-jalan!" sahut Pak Anjas dengan suara datar."Inggih pak," jawab bagus penuh semangat.Tau apa yang di rencanakan sang istri, Anjas memutuskan untuk melangkah lebih awal. DIa tidak mau Sri memegang kendali lagi dengan hubungan tak wajar ini.Sri menoleh ke a
Bu Asih, istri Pak Tarno mengantar Melati menuju kamarnya. Bangunan ini adalah bangunan kuno seperti peninggalan Belanda. Tembok putih bersih terawat, beberapa lukisan Noni Belanda, dan beberapa furniture antik. Langkah Bu Asih berhenti di depan sebuah kamar. "Ini kamar Non, kalau butuh apa-apa bisa panggil saya lewat bel yang berada di dekat ranjang," ucap Bu Asih penuh hormat."Saya pembantunya Bu Sri, jangan panggil Saya Non Bu. Panggil Melati saja," ucap Melati sungkan."Mboten nopo-nopo Non. Jangan takut tinggal disini ya Non, nuansanya memang sedikit seram, tapi saya jamin rumah ini bersih kok." Bu Asih tersenyum teduh."Mboten kok Bu, rumah ini nyaman. Saya nggak takut," jawab Melati sedikit ragu.Melati melangkah memasuki kamar. Melihat dekorasi kamar, sepertinya Bu Sri memang suka dengan Style Belanda. Ranjang di kamar ini terdapat kelambu yang menggantung indah dan sprei yang memiliki renda. Semua ini mengingatkannya tentang fi
Pagi itu Sri sudah siap dengan dua kopernya. Hari ini adalah hari yang paling dia tunggu. Semakin Anjas menolak rencananya, maka semakin kukuh pendiriannya untuk menyiapkan pernikahan kedua suaminya.Suara pintu di ketuk. "Masuk!" ucap Sri dengan suara lembut.Melati masuk, Sri dapat melihat ada keraguan di wajah wanita polos tersebut. Melati masuk dan duduk di samping Sri."Bu, Saya tidak tau apa yang ibu lihat dari saya. Ada banyak sekali pertanyaan di kepala saya mengenai pernikahan ini. Akan tetapi yang jelas, ini tidak di benarkan Bu. Pak Anjas sangat mencintai Bu Sri dan Saya tidak bisa hadir dengan tiba-tiba memecah semuanya. Saya mohon ibu pertimbangkan lagi, saya yakin Bu Sri pasti bisa sembuh," ucap Melati dengan bibir bergetar menahan tangis."Aku punya penilaian sendiri dan penilaianku tidak pernah meleset. Aku tau jarak umur kalian begitu jauh. Tapi aku yakin kalau kalian berdua bisa menerima satu sama lain kelak, aku melihat diriku dalam dirimu." Sri membelai lembut ramb