"Melati, duduk sini Nak," ucap Joko lembut dan tersenyum bangga.
Melati duduk di samping Joko dan Mira. Gadis itu menegakan hatinya saat melihat calon suaminya. Penampilannya jauh dari bayangannya. Bukankah Pak Anjasmoro orang kaya. Tapi kenapa penampialnnya seperti ini. "Maaf, tidak bisa lama-lama. Saya izin membawa Mbak Melati sekarang," ucap seorang pria dengan seragam hitam. Dilihat dari penampilannya, dia seorang supir pribadi. Dari arah lain Mawar datang membawa nampan yang berisi kopi dan sengaja menjatuhkan diri agar kopi panas itu tumpah ke dua pria itu. "Mawar!" Joko dan Mira segera bangkit dan membersihkan baju dua orang tamu. "Maaf Pak," ucap Mawar melenggang pergi begitu saja. "Maafkan putri saya ya Pak," ucap Mira erasa bersalah. "Tidak apa-apa Bu, saya permisi sekarang," ucap sang supir. "Kita tidak punya banyak waktu, bawa barangmu ke mobil," ucap satu pria lain melempar pandangan ke arah Melati. "Inggih Pak," jawab Melati patuh. Gadis itu menyeret koper keluar rumah setelah mencium tangan Joko dan Mira. Hatinya semakin pedih saat melihat kedua orang tuanya bersandiwara. Melati menguatkan hatinya. Setelah sekian banyak pengorbanannya, bahkan dia harus merelakan cita-citanya. Kini dirinya juga harus mengorbankan masa depannya. Tidak ada sedikitpun rasa cinta untuknya. Mobil di buka, Melati masuk ke dalam mobil di ikuti oleh dua orang pria paruh baya. Sesekali gadis itu menoleh kebelakang, berharap kedua orang tuanya berubah pikiran. "Hati-hati ya Nduk," ucap Mira sambil melambaikan tangannya. Joko melambaikan tangannya dan sesekali mengusap air mata yang tidak benar-benar keluar. Melati tidak habis pikir dengan kedua orang tuanya itu. Mesin mobil muai menyala. Melati masih menatap pedih rumah yang sudah mengukir kisah hidupnya. Meskipun lima tahun belakangan ini dia tersiksa. Tapi rumah itu merupakan tempat ternyamannya dulu. 'Ibu, Melati pergi duu. melati janji akan sering kesini,' batin Melati. Pak supir menginjak pedal gas, perlahan mobil melaju. Di saat bersamaan Mawar keluar dari pintu. Gadis itu masih terisak. Melati menunjukan senyuman terbaiknya dan melambaikan tangannya ke Mawar. Mobil yang membawa Melatii sudah menghilang di balik persimpangan jalan. Mawar bangkit dan masuk ke dalam rumah. Terdengar sorak riuh di ruang tamu. Nominal yang fantastis baru saja masuk ke rekening kedua orang tuanya. Kedua orang tua Mawar seolah merayakan kemenangan mereka. Menjual anak yang paling berbakti. Mereka pikir hidup mereka akan sangat bahagia setelah keperian Melati. Apakah ini yang dimaksud anak adalah infestasi? Mawar bangkit dari lantai dan melangkah menuju ruang tamu. gadis itu meraih ponsel Mira dan membantingnya sampai hancur berkeping-keping. "Mawar! Kamu gila," bentak Mira. "Ya, aku sudah gila. Gila karena melihat kalian berdua," suara Mawar menggelegar. "Apa kalian nggak kasihan sama Mbak Melati? sedikit aja," lanjut Mawar menahan isak. "Melati sudah setuju, kenapa kamu yang ribut?" Mira meraih ponselnya yang hancur. "Besok kita beli hp lagi ya Pak. Hp yang lagi hits itu loh. yang ada logonya apel kroak," ucap Mira dengan mata berbinar. Mawar benar-benar tidak menyangka memiliki kedua orang tua tidak waras seperti mereka. Dengan amarah yang meletup, Mawar membantik meja hingga pecah. Serpihan kaca dari meja itu menyebar kemana-mana. Kaca itu juga menggores kaki Mira dan Joko dan membuat mereka segera menyingkir. "Aku nggak sudi punya orang tua seperti kalian!" Mawar masuk ke dalam kamar dan membereskan semua barangnya. Tanpa Melati, dia tidak bisa hidup dan berdampingan dengan kedua orang tuanya. Dirinya sangat malu dengan perbuatan mereka. Tidak peduli dengan kaki yang mengeluarkan cairan merah kental, Mawar tetap berkemas dan keluar dari rumah. "Berani kamu pergi! Kamu tidak akan mendapatkan warisa sedikitpun!" bentak MIra. Mawar menghentikan langkahnya, dia memutar tubuh dan menatap Mira dengan mata melebar. Seketika Mawar terbahak. "Ibu pikir aku mau? Aku tuh malu punya ibu seperti kamu! Udah ngerusak rumah tangga orang, masih saja sombong. Kapan Ibu sadar kalau Ibu itu salah, yang berhak atas rumah ini itu Mbak Melati, bukan Ibu!" Mawar tertawa pedih. Mendengar ucapan anaknya, amarah Mira meledak. Dia melangkah mendekati Mawar dan melayangkan tamparanhingga Mawar terjatuh. Sepanjang hidupnya, baru kali ini dia kasar pada putri semata wayangnya. Joka meraih tangan Mira dan mencoba meredam amarah Mira. Pria itu membawa Mira menjauh dan menolong Mawar untuk bangun. "Minggir, aku jijik sama Bapak." Mawar mendorong Joko. "Kalian dengar baik-baik! Aku nggak akan pernah anggap kalian orang tuaku lagi. Aku udah anggap kalian udah mati. Satu lagi ... Jangan perna anggapaku anak, aku bisa ngurus hidupku sendiri. "Pergi! Aku juga ngak akan pernah cari kamu," ucap Mira lantang. Mawar mengagguk, dia melangkah keluar dari rumah. Suara Joko yang memanggil namanya tidak membuat Mawar kembali. Gadis itu terus melangkah tanpa ragu. Di tempat lain, di dalam mobil Melati tangannya saling meremas menahan degupan jantung yang terus berdebar. Ini adalah kali pertamanya keluar dari rumah. Meninggalkan rumah cukup jauh. Dia tidak pernah membayangkan akan meninggalkan kampung halamannya engan cara seperti ini. Mobil itu berhenti di bandara. Sebelum turun, pria yang duduk di sampingnya meraih ponsel dan menghubungi seseorang. "Kami sudah membawa Melati Ndoro, sudah sampai bandara ... Inggih Ndoro," sambugan terputus, pria itu memaskkan benda pipih itu lagi ke dalam saku kemejanya. Dia turun dari mobil dan membantu Melati membawa barang bawaan. Pria paruh baya yang berpenampilan rapi itu memesan tiket dan melangkah menuju sebuah ruangan yang terpisah dengan kaca. "Perkenalkan saya Adi, sekertaris Pak Anjasmoro. Beliau tidak bisa datang menjemput karena satu hal. Saya akan mengantarkan Mbak Melati sampai disini. Mbak Raya akan membantu Mbak masuk ke dalam pesawat," ucap Pak Adi sopan. "Sinten Pak?" tanya wanita yang memakai seragam pramugari itu dan mencium tangan Pak Adi. "Tamunya Pak Anjas, bantu dia sampai pesawat turun nggih," ucap Andi lembut. "Inggih pak," "Yowes, ati-ati lek megawe," ucap Pak Adi berlalu pergi dan mengelus kepala Raya. Raya meraih koper Melati dan membantunya untuk mencari tempat duduk. Raya sangat baik, sesekali dia mengajak Melati ngobrol sebelum meninggalkannya dan membantu penumpang yang lain. 'Ya Allah, lindungilah hamba dimanapun hamba berada' Melati menatap langit biru dengan awan putih bersih lewat jendela. Matanya menatap dalam awan bersih itu. Bayangan Mawat terlihat jelas di sana. Hatinya merasa kepedihan yang sama. Selama ini hanya Mawar orang yang dekat dengannya. Saat ini dia harus pergi jauh. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya nanti. "Mawar, doakan aku biar bisa kuat dan hebat sepertimu. Aku takut,"Mobil mewah berwarna hitam berhenti di parkiran. Mawar turun lebih dulu sambil membawa parcel buah, di susul oleh Agung dan Dimas. Jantung Mawar berdebar kencang, dia tidak menyangka penantiannya selama ini akhirnya selesai. Berulangkali dia menghapus air mata yang terus menyelip di ujung matanya.Agung melangkah menuju salah satu kamar. Mata Mawar berbinar ketika menatap pintu yang perlahan kian dekat. Agung masuk di susul oleh Dimas. Terdengar suara Anjas yang menyapa kedua putranya.Mawar menarik napas panjang sebelum mengayunkan langkahnya memasuki ruangan itu. "Selamat siang Pak Anjas, saya Mawar sekertaris Pak Agung," ucap Mawar memperkenalkan diri, kepalanya masih tertunduk."Ya, saya sudah tau. Apakah ada meeting?" tanya Anjas melempar pandangan ke arah Agung dan Dimas. Tidak biasanya putranya itu mengajak karyawannya ke lingkungan pribadinya."Mawar ingin menjenguk Ibu, jadi aku bawa dia kesini," jawab Agung terbata."Menjenguk Ibu!?" ulang Anjas sambil menautkan alis.Sua
Melati duduk bersandar di ranjangnya. Matanya terus menatap pria yang masih terbaring lemah di hadapannya. Hatinya teriris melihat pemandangan ini, mungkin benar apa kata orang tuanya dulu. Dia hanyalah pembawa sial bagi orang di sekitarnya.Suara hentakan langkah kaki mendekat, pintu terbuka. Ada tiga orang dengan jas putih masuk ke dalam ruangan. Mereka memeriksa Bagus terlebih dahulu."Pagi mbok, bagaimana Mas Bagus?" sapa dokter dengan pin nama Andrian di jasnya. Si Mbok hanya bisa menggelengkan kepalanya. Mata senja itu mulai berkaca. Pria yang memakai jas putih dan kaca mata menghiasi wajahnya itu menepuk lembut pundak Si mbok."Nggak papa, nanti kita periksa ulang ya. Jangan sedih Mbok," ucap Andrian melempar senyum teduh.Sementara dua perawat memeriksa dan memberi obat pada Bagus, Andrian mendekati Melati yang masih duduk termenung."Bagaimana kepalanya? Masih sakit?" tanya Andrian penuh perhatian."Sudah sedikit berkurang dok, kapan saya pulang?" jawab Melati pelan."Seger
Bunyi alat detak jantung berbunyi nyaring seolah memanggil malaikat maut saat ini juga. Para tenaga medis berhamburan memasuki ruang ICU. Anjas melangkah memasuki ruangan, namun seorang perawat menghadangnya."Bapak tunggu diluar!" ucap perawat sebelum menutup pintu.Dada Anjas kian sesak melihat para tenaga medis mulai menutup kelambu dan menyalakan lampu operasi. Waktu berputar begitu lambat bagi Anjas kali ini.Belum selesai dengan kecemasannya, seorang perawat yang lain datang dari balik pintu. Dia membawa papan dada yang berisi banyak lembaran kertas putih."Bapak Anjas! Keluarga Mas Bagus dan Mbak Melati?" lanjut perawat itu menyapu pandangan ke semua orang yang berdiri di depan pintu ruang ICU.Kaki Anjas terasa lemas saat mendengar nama yang baru saja disebut. Pria itu menoleh kebelakang dan berusaha sekuat tenaga menyeret kakinya mendekati perawat tersebut."Saya Sus," "Mas Bagus dan Mbak Melati sudah di pindah ke ruangan. Mari saya antar," ucap suster tersebut memutar langk
Mawar merebahkan tubuhnya di atas kasur. Matanya masih menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Kejadian yang baru saja terjadi menyita semua tenaga dan perasaannya.Bisa-bisanya sang Kakak tinggal dengan orang mesum seperti atasannya itu. Dia tidak bisa membayangkan jadi sang Kakak, akan jadi apa nanti?Sudah satu bulan Mawar menjadi asisten pribadi Agung. Tapi tidak sedikitpun dia mendengar kabar tentang sang Kakak. Dia juga mencari info tentang pernikahan kedua Pak Anjas, namun hasilnya tetap nihil."Mbak Melati, kamu dimana sih? Aku capek banget!" Buliran air mata kembali membasahi pipi putih bersih Mawar."Aku nggak boleh menyerah, aku harus bertemu Mbak Melati dan membawanya kabur." mawar bangkit dan mengusap lembut wajahnya yang mulai berantakan....Udara pagi begitu segar dan memanjakan mata. Langit berwarna jingga, udara begitu sejuk walau sedikit dingin. Sri memakai jaket tebal dan duduk di balkon menatap jauh lautan yang begitu tanang.Dia mengeluarkan sebuah kertas d
"Apa yang kau lakukan!?" Anjas segera mendorong tubuh Dimas hingga terjatuh ke lantai. Sementara itu salah satu karyawan wanita yang terbaring di lantai segera bangkit dan merapikan pakaiannya. Rambutnya berantakan dengan beberapa bagian baju yang sobek.Dari arah belakang terdengar suara seseorang sedang berlari mendekat. Dina, sang adik yang datang dengan napas tersengal."Mas Dimas nggak papa?" tanya Dina dengan wajah khawatir."Nggak papa!? Lihat apa yang dia perbuat!" Amarah Anjas meletup sudah.Bisa-bisanya di kantornya ada tindak asusila dan pelakunya adalah putranya sendiri. Mau di taruk dimana muka Anjas jika sampai berita ini menyebar luas?"Ini jebakan! Dia yang mau menjebak Mas Dimas Pak!" ucap Dina dengan suara terisak.Dimas segera bangkit, ujung jarinya membersihkan cairan merah di ujung bibirnya. Rasa perih ini tidak sebanding rasa malunya."Wanita ini suka sama Mas Dimas, Pak! Aku yakin ini jeb
Di sebuah gazebo di pinggir pantai, Melati dan Bagus duduk melihat deburan ombak yang begitu tenang. Keduanya menatap jauh ke arah lautan, berperang dengan pemikiran masing-masing."Apakah tidak ada cara untuk menyembuhkan penyakit Bu Sri? Keluar negeri contohnya," ucap Melati memecah keheningan. "Sudah, tapi ibu nggak mau." Bagus masih melihat ombak tepi pantai."Alasannya?" Melati menatap Bagus."Ibu nggak mau buang-buang waktu, toh penyakit itu sudah lama dan sangat minim untuk sembuh," jawab Bagus dengan menggeleng kepalanya pelan."Kami sudah beberapa kali meyakinkan Ibu untuk mau berobat. Tapi dia tetap bersikukuh pada pendiriannya, malah yang aku dengar dia sudah menyiapkan ibu tiri untuk kami," ucap Bagus tersenyum kecut.Mendengar itu seketika kerongkongan Melati terasa kering. Dia segera meraih cangkir yang berisi wedang uwuh di sampingnya.Tangannya gemetar dan tidak bisa memegang cangkir dengan benar, sehing