Nicole tersenyum samar seolah tak mengenali Oliver. Wanita cantik itu memilih membuang pandangannya, tak mau sama sekali melihat ke arah Oliver. Yang dia rasakan seakan telah ditikam belati tajam dari belakang. Menyakitkan, namun dia akan bertahan menahan sesak ini.
“Oh, astaga, Nicole. Kau temani Oliver lihat-lihat dulu wedding venue di sini, ya? Aku lupa tadi belum menghubungi sekretarisku.” Shania mengalihkan pandangannya, menatap Sadie. “Sadie tolong kau ambilkan brosur di marketing. Brosurku ketinggalan di kamarku. Aku lupa membawanya.” Lanjutnya lagi memberikan perintah.
“Baik, Nona Shania.” Sadie segera pergi dari tempat itu, bersama dengan Shania yang meninggalkan tempat itu.
Ya, kini hanya ada Nicole dan Oliver. Mereka sekarang saling melemparkan tatapan satu sama lain. Jika Oliver menatap Nicole dengan tatapan penuh arti, lain halnya dengan Nicole yang menatap Oliver dengan tatapan penuh kebencian dan amarah.
“Maaf, aku harus pergi.” Nicole hendak meninggalkan tempat itu, namun Oliver menahan lengan Nicole. Pria itu tak membiarkan Nicole pergi darinya.
“Lepas!” Nicole menepis kasar tangan Oliver, yang berani menyentuhnya.
Oliver menjauhkan tangannya, tak memaksa Nicole. “Shania meminta kita berkeliling tempat ini. Bersikaplah professional, Nicole.” Nada bicara pria itu tenang dan dingin.
Nicole mengatur emosinya. Wanita itu menyeka sudut mata yang hampir meneteskan air mata. “Alright, kita akan berkeliling melihat wedding venue ini.”
Nicole melangkah lebih dulu dari Oliver, melihat-lihat wedding venue yang akan disewa oleh Shania. Sialnya jalanan basah akibat terkena air hujan. Heels Nicole terpeleset dan nyaris tersungkur. Refleks, Oliver menangkap tubuh Nicole, tapi terlambat karena kaki Oliver pun terpeleset. Mereka berguling di tanah yang tak rata itu.
Oliver memeluk kepala Nicole erat, melindungi kepala Nicole agar tak terkena benturan. Hingga ketika tubuh mereka tak lagi berguling, tubuh wanita itu tepat berhenti di atas tubuh Oliver. Tampak keduanya masih bergeming. Posisi mereka begitu intim dan dekat. Bahkan tatapan mereka seakan hanyut satu sama lain, seakan tenggelam pada lautan luas.
Nicole terpaku membisu di atas tubuh Oliver. Manik mata silver-nya tak lepas menatap manik mata cokelat gelap Oliver. Tatapan mereka seakan hanyut tenggelam ke dalam aliran sungai yang entah berujung ke mana.
Nicole tak menyadari masih berada di atas Oliver. Bahkan Oliver pun sama sekali tak bergerak. Tangan kokoh Oliver masih melingkar di pinggang Nicole. Pun tatapan mereka tersirat bermakna dalam sampai membuat mereka melupakan keadaan sekitar.
Hingga kemudian tiba-tiba terdengar suara …
“Oliver? Nicole?” Shania yang baru saja selesai menghubungi sekretarisnya, terkejut melihat Nicole dan Oliver di tanah. Terlebih posisi intim dan dekat itu membuat Shania jauh lebih terkejut.
Tatapan Nicole dan Oliver langsung terhenti saat mendengar suara Shania. Buru-buru Nicole bangkit berdiri dari tubuh Oliver. Akan tetapi posisi Nicole sedikit kesulitan untuk bangkit berdiri. Detik itu juga, Oliver bangkit berdiri sambil membantu Nicole. Oliver memiliki tubuh yang tinggi dan gagah. Memudahkan pria itu untuk membantu Nicole berdiri.
“Thanks,” ucap Nicole datar sambil menjauh dari Oliver. Dress di tubuh Nicole sedikit kotor akibat terkena tanah. Dia berusaha untuk tenang dan memasang wajah dingin. Dia mengalihkan pandangannya pada Shania yang sejak tadi masih menatapnya.
“Lain kali kalau kau pilih wedding venue gunakan otakmu dengan baik! Kenapa kau memilih outdoor? Cuaca yang tidak bagus seperti sekarang tidak cocok untuk mengadakan pesta outdoor. Lihatlah sekarang aku jadi terlepeset jatuh akibat ide konyolmu itu!” seru Nicole kesal pada Shania.
Shania berdecak pelan tak terima di kala Nicole menyudutkannya. “Kau saja jalan tidak hati-hati. Kenapa juga kau memakai heels? Harusnya kau memakai flatshoes, bukan malah memakai heels.”
Nicole menatap dingin Shania. Tatapan tersirat menahan emosi dalam dirinya. Entah kenapa kali ini Nicole seakan sangat membenci Shania. Namun, dia mati-matian menekan amarah dalam diri yang hampir meledak itu.
“Nona Nicole?” Sadie yang baru saja tiba membawa brosur cukup terkejut melihat noda dress Nicole. Dress yang dipakai Nicole berwarna putih. Jadi tak heran kalau noda itu sangat terlihat jelas di tubuh bosnya itu.
“Sadie, ambilkan aku sandal jepit di mobil. Jalanan di sini licin. Aku tidak mungkin masih memakai heels,” ucap Nicole dingin, memberikan perintah.
“Baik, Nona.” Sadie segera pamit undur diri dari hadapan Nicole.
Tak selang lama, ketika Sadie kembali, dia segera menyerahkan sandal jepit yang sudah dia bawa untuk Nicole. Pun Nicole mengganti heels-nya menggunakan sandal jepit yang diantar oleh asistennya itu.
Nicole menatap dingin Shania dan Oliver. Sejak tadi memang Oliver hanya diam tak banyak bicara. Namun, meski tak banyak bicara, tatapan mata pria itu tak lepas menatap Nicole.
“Kalau kalian ingin menikah dengan konsep outdoor, carilah musim yang cuacanya bagus. Tidak sekarang,” ucap Nicole dingin.
“Jadi maksudmu, kau meminta kami untuk menunda pernikahan?” Shania membalas tatapan dingin Nicole. Perkataan kakak tirinya itu membuat emosi dalam dirinya tersulut.
Nicole mendesah kasar. “Shania, tidak heran kalau kau lulus kuliah dengan nilai yang pas saja. Otakmu itu ternyata memang benar-benar dangkal. Aku memintamu untuk berpikir ulang konsep pernikahan di outdoor, bukan untuk menunda pernikahanmu,” jawabnya penuh ketegasan.
Shania tak terima mendapatkan jawaban penuh hinaan dari Nicole. Dia hendak menjawab, namun Oliver sudah langsung menginterupsi …
“Apa yang dikatakan Nicole benar. Cuaca sedang tidak bagus. Kita tidak mungkin menikah dengan konsep pernikahan outdoor.” Oliver melerai perdebatan antara Nicole dan Shania.
Shania mendesah kasar. Walaupun dia sangat menginginkannya, namun apa yang dikatakan Oliver dan kakak tirinya benar. Cuaca sedang tidak bagus. Tidak mungkin konsep pernikahannya outdoor, dalam kondisi cuaca yang seperti ini.
“Baiklah, aku akan memikirkan lagi konsep pernikahan,” jawab Shania datar, akhirnya setuju.
Nicole melirik arloji sekilas. “Aku tidak memiliki waktu. Aku harus kembali ke hotel.”
“Kenapa kau tidak pulang ke mansion, Nicole? Dad menanyakanmu,” ujar Shania seraya menatap Nicole.
“Katakan pada Dad, aku akan segera mengunjunginya, tapi tidak sekarang.”
“Apa sekarang kau sudah memiliki kekasih, Nicole?”
Pertanyaan Shania sukses membuat Oliver menatap Nicole dengan tatapan yang berbeda. Tatapan yang seolah menunjukkan bahwa Oliver ingin tahu lebih dalam tentang kehidupan pribadi Nicole.
Nicole tersenyum samar dan anggun mendengar pertanyaan Shania. “Tidak ada alasan untuk aku membuka kehidupan pribadiku. Maaf, aku tidak bisa berlama-lama. Aku harus pergi dulu.”
Nicole berbalik, dan melangkah pergi meninggalkan Oliver dan Shania bersama dengan sang asisten. Tampak tatapan mata Oliver terus menatap punggung Nicole yang mulai lenyap dari pandangannya. Oliver masih tetap diam kala Nicole mengaku telah memiliki ‘Kekasih’.
“Ck! Kakak tiriku itu menyebalkan, Oliver. Jika saja, dia tidak memiliki hubungan darah denganku, aku malas sekali bertemu dengannya,” seru Shania kesal mengeluh pada Oliver.
Oliver terdiam mendengar keluhan dari Shania. Pria itu cukup dibuat terkejut akan perubahan sifat Nicole. Sosok gadis yang pendiam dan tak banyak bicara berubah menjadi wanita arogan dan tak tersentuh. Nicole seakan memasang pagar besi tinggi yang tak bisa tertembus oleh apa pun.
Oliver menatap Shania dingin. “Kenapa kau bisa menjadi adik tiri Nicole, Shania?” tanyanya ingin tahu. Selama ini yang Oliver tahu Nicole adalah anak tunggal.
“Alexa Tristan, ibu Nicole sudah meninggal sembilan tahun lalu karena sakit keras. Tidak lama ibu Nicole meninggal, ayah Nicole menikah dengan ibuku. Usiaku dan Nicole hanya berbeda satu tahun. Aku sudah ada sebelum ibu Nicole meninggal. Lebih tepatnya, sejak dulu ayahku dan ibuku berselingkuh di belakang ibu Nicole.”
“Jadi kau jangan heran kalau Nicole seperti membenciku. Dia masih belum bisa menerima kehadiranku. Membujuknya untuk kembali ke London saja sulit sekali. Dia selalu beralasan agar tidak kembali ke London. Sekarang, kalau kau bisa melihatnya ke London semua berkat ayahku yang memaksa Nicole untuk pulang. Kalau saja tidak ada bantuan ayahku, mana mungkin Nicole mau kembali ke London.”
Lagi, Oliver dibuat terdiam. Ternyata ibu Nicole sudah meninggal dunia. Setelah lulus sekolah menengah atas, Oliver memutuskan untuk ke Boston melanjutkan kuliah dan meninggalkan London cukup lama. Tak heran jika Oliver memang tak tahu sama sekali kabar tentang Nicole.
“Sejak kapan Nicole tinggal di Swiss?” tanya Oliver lagi. Harusnya pria itu tak peduli, tapi entah kenapa hatinya seakan mendorongnya ingin tahu tentang kehidupan Nicole dulu.
“Tidak lama setelah ibu Nicole meninggal dunia, Nicole pindah ke Swiss,” jawab Shania sambil memeluk Oliver. “Sudahlah, Sayang. Jangan lagi membahas kakak tiriku yang menyebalkan itu. Aku malas membahas tentangnya. Lagi pula hidupnya juga tidak ada yang menarik untuk dibahas. Lebih baik kita pergi sekarang. Aku ingin makan malam romantis denganmu.”
Oliver mengangguk merespon ucapan Shania. Pria itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Namun, tak bisa tertutupi wajah Oliver begitu menunjukkan tengah memikirkan sesuatu yang telah berhasil mengusik hati dan pikirannya.
Beberapa bulan berlalu … Wengen, Switzerland. Tiga pengasuh dibuat pusing luar biasa oleh Olivia yang begitu aktif. Balita kecil itu terus berlari-lari sambil bermain bola kecil yang sejak tadi dia lempar-lempar. Tiga pengawal sudah siap siaga melihat setiap gerak Olivia yang sangat cepat. Entah dulu Nicole mengidam apa sampai membuat Olivia selincah ini. Baik pengasuh dan pengawal tidak bisa santai dalam menjaga balita kecil itu. Sedikit saja terabaikan, pasti Olivia sudah berulah.Tindakan Olivia memang kerap membuat Nicole sakit kepala. Apalagi waktu ketika Nicole masih hamil besar. Dia dibuat pusing luar biasa dengan tindakan putri kecilnya yang sangat aktif. Olivia sering susah diberi tahu Nicole. Balita kecil itu paling tunduk pada ayahnya. Hal tersebut yang membuat Nicole terkadang jengkel.“Olivia, pelan-pelan, Nak. Jangan berlari seperti itu,” ucap Nicole berseru dengan nada sedikit keras, tapi sayangnya tak menghentikan balita kecil yang sangat aktif itu. Nicole sampai men
Oliver berlari menelusuri koridor rumah sakit. Raut wajah pria itu tampak sangat panik dan penuh khawatir. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, dia tak henti mengumpati kebodohannya. Harusnya hari ini dia tak pergi ke mana-mana. Jika sampai ada hal buruk yang menimpa istri dan anaknya, maka dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Saat Oliver sudah dekat dengan ruang persalinan, langkah kakinya terhenti melihat Joice mondar-mandir di depan ruangan persalinan. Raut wajah Oliver berubah, menatap lekat dan tegas sepupunya itu.“Joice?” tegur Oliver.Joice yang sejak tadi mondar-mandir tak jelas, terkejut melihat Oliver ada di hadapannya. “Oliver? Astaga, akhirnya kau muncul,” serunya bahagia melihat Oliver sudah datang. Sejak tadi dia sudah panik karena Oliver tak kunjung datang.“Di mana Nicole?” tanya Oliver cepat.Joice menyentuh lengan Oliver sambil berkata cemas, “Nicole ada di dalam. Segera kau masuk. Dari tadi dia terus menjerit kesakitan.” Oliver mengangguk, dan
*Nicole, aku pergi sebentar ingin bertemu ayahku. Ada kasus rumit yang sedang aku tangani dan aku membutuhkan pendapat ayahku. Aku tidak akan lama. Aku akan segera pulang. Kau jangan ke mana-mana. Your husband—Oliver.* Nicole mengembuskan napas panjang membaca note dari suaminya itu. Raut wajahnya nampak kesal. Pagi ini, Nicole bangun terlambat sedangkan Oliver bangun lebih awal. Dia yakin Oliver tak membangunkannya, karena tidak mau mengganggunya. Sungguh, itu sangat menyebalkan. Nicole mengikat rambut asal, dan meminum susu hangat yang baru saja diantarkan. Hari ini, Nicole terbebas dari menjaga Olivia, karena putri kecilnya itu sedang diculik keluarganya. Well, Olivia memang kerap menjadi rebutan. Wajar saja, karena Olivia adalah cucu pertama di keluarga Nicole dan juga cucu pertama di keluarga Oliver. Hal tersebut yang menjadikan Olivia kerap sekali diculik sana sini.“Lebih baik aku mandi,” gumam Nicole yang memutuskan ingin mandi. Meskipun kesal masih ada, tapi dia tidak mau k
“Nicole, pakailah gaun ini.” Oliver menunjuk sebuah kotak yang berisikan sebuah gaun indah yang ada di hadapannya. Pria itu sengaja menyiapkan gaun cantik untuk sang istri tercinta.Nicole mengalihkan pandangannya, menatap gaun yang ditunjuk Oliver. “Sayang, kau ingin mengajakku ke mana sampai aku harus memakai gaun seindah itu?” tanyanya lembut. Jika hanya pergi ke tempat-tempat terdekat saja, mana mungkin Oliver memintanya memakai gaun secantik yang ada di hadapannya itu.Oliver mendekat dan memberikan kecupan di kening sang istri. “Aku akan mengajakmu dan Olivia makan malam di luar. Gantilah segera pakaianmu.” “Kau akan mengajakku dan Olivia makan malam di luar?” ulang Nicole begitu antusias bahagia.“Ya, kita akan makan malam di luar. Bersiaplah.” Oliver membelai lembut pipi Nicole.Nicole tersenyum bahagia. Detik selanjutnya, Nicole menggenggam tangan Olivia—mengajak putrinya untuk mengganti pakaian. Gaun yang dibelikan Oliver sangatlah cantik. Bahkan gaun Nicole itu kembaran d
Oliver meminta Nicole untuk tak lagi mengingat tentang masalah Joice dan Marcel. Pria itu tak ingin istrinya sampai terlalu kepikiran dan berdampak pada tumbuh kembang anak mereka. Usia kandungan Nicole sudah besar. Sebentar lagi anak kedua mereka akan lahir ke dunia. Yang Oliver inginkan adalah Nicole hanya fokus pada anak-anak mereka saja. Pun berita tentang Marcel sudah Oliver bungkam. Media dilarang lagi untuk memberitakan tentang salah satu anggota keluarganya.Pagi menyapa Nicole sudah bersiap-siap. Hari ini dia dan Oliver akan periksa kandungan. Wanita itu tampil sangat cantik dengan balutan dress khusus ibu hamil berwarna navy. Rambut panjang Nicole tergerai sempurna. Riasan tipis membuatnya semakin cantik. Meski hanya memakai lip balm tapi bibir penuh Nicole tampak sangat seksi.Nicole dianugerahi paras yang luar biasa cantik. Dia tak perlu memakai riasan tebal, karena wanita itu sudah sangat cantik. Hamil membuatnya bahkan bertambah cantik meskipun bentuk tubuhnya sudah mela
Nicole merasakan kebebasan di kala Selena dan Samuel menculik Olivia. Well, Olivia menjadi cucu pertama di keluarga Maxton—membuat Olivia benar-benar seperti anak emas. Selena dan Samuel kerap sekali membawa Olivia ke rumah mereka untuk menginap. Mengingat tiga adik kandung Oliver yang lain berada di luar negeri—membuat kehadiran Olivia menjadi warna yang baru di keluarga Maxton.“Ah, perutku kenyang sekali.” Nicole mengusap-usap perut buncitnya di kala baru saja selesai menikmati tiramisu cake yang diantarkan oleh sang pelayan.Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tak banyak aktivitas Nicole selain bersantai. Pekerjaannya sudah ditangani oleh asistennya. Sejak di mana dia hamil lagi, Oliver meminta Nicole menyerahkan pekerjaannya pada sang asisten.Jarak kehamilan pertama dan kehamilan kedua tidak jauh. Bisa dikatakan kehamilan kedua ini memang tak Nicole sangka. Nicole pikir dia tidak akan langsung hamil, karena baru saja melahirkan. Jadi setiap berhubungan badan dengan sang suami—
Satu tahun berlalu … “Olivia, jangan naik-naik ke atas meja, Nak.”Nicole mendesah panjang dengan raut wajah yang begitu kelelahan. Olivia—putri pertamanya yang baru bisa berjalan itu amat sangat aktif. Baru saja Oliva berusia satu tahun—dan harapan Nicole adalah Olivia menjadi anak yang tenang dan lembut seperti anak-anak perempuan lain.Sayangnya harapan Nicole tinggal harapan. Semakin hari Olivia semakin aktif. Dua pengasuh saja harus menjaga Olivia dengan baik. Pasalnya, jika tak diawasi, Olivia selalu saja berusaha memanjat posisi tempat yang tinggi. Hal itu yang membuat Nicole khawatir luar biasa. Ucapan Nicole tak didengar oleh Olivia. Balita kecil itu terus memanjat meja. Dengan penuh waspada, dua pengasuh sudah siaga merentangkan tangan—berjaga jika sampai Olivia terjatuh, maka dua pengasuh itu berhasil menangkap tubuh Olivia.Nicole memijat keningnya di kala rasa pusing menyerangnya. Menjaga Olivia harus extra hati-hati. Beberapa minggu lalu saja, Olivia hampir tercebur ke
Oliver mondar-mandir panik di dalam ruang bersalin. Suara jeritan menggema membuat Oliver tidak bisa tenang. Dua jam lalu, dokter mengatakan masih belum waktunya, karena kepala bayi belum terlihat. Teriakan sakit Nicole disebabkan oleh kontraksi. Masih butuh beberapa waktu sampai waktunya siap untuk Nicole melahirkan.Oliver nyaris gila akibat kepanikan dan ketakutannya. Berkali-kali dia meminta dokter untuk memberikan obat agar istrinya tidak kesakitan, tapi sang dokter mengatakan bahwa kontraksi adalah hal normal dirasakan ibu hamil.Otak Oliver seakan blank tidak mampu berpikir jernih. Pria itu tidak tahu harus melakukan apa selain mondar-mandir tidak jelas. Setiap kali sang istri menjerit kesakitan, membuat seluruh tubuh Oliver seakan mati rasa.Dulu, di kala ibunya melahirkan adiknya, dia tidak ikut di dalam ruang bersalin. Hal itu menyebabkan Oliver tak tahu perjuangan seorang wanita hamil. Yang Oliver lihat sekarang—sang istri seperti berada di ambang kematian.“Ahg!” jerit Nic
“Iya, Mom. Aku sudah meminta pelayan menyiapkan makan malam untuk kita. Kau tidak usah membawa makanan apa pun. Makanan yang sudah disiapkan sangat banyak.”“Hm, tadinya Mommy ingin membuat cake.” “Tidak usah, Mom. Dessert juga sudah disiapkan. Kau tidak usah repot-repot. Kau dan Dad cukup datang saja. Semua menu makanan sudah disiapkan.”“Baiklah, Sayang. Sampai nanti malam.” “Iya, Mom. Sampai nanti malam.”Panggilan tertutup. Nicole meletakan ponselnya ke tempat semula. Tampak senyuman di wajah wanita itu terlukis begitu hangat. Hari ini adalah hari di mana Nicole akan makan malam bersama dengan keluarganya. Pun tentu ibu tiri dan saudara tirinya juga akan datang.Nicole sekarang sudah tidak lagi memanggil Esther dengan sebutan ‘Bibi’. Sekarang, dia sudah memanggil Esther dengan sebutan ‘Mommy’. Jika dulu, Nicole tidak pernah dekat dengan ibu tirinya, kali ini dia sangat dekat dengan ibu tirinya yang baru.Sosok Esther bukanlah sosok ibu tiri yang kejam. Malah yang ada Esther sela