Share

Bab 4

"Jangan pernah ulangi kesalahan lagi. Kalian telah bersumpah dengan darah kalian untuk mengabdi kepadaku! Camkan itu!" Suara lantang.

Semua pegawainya tertunduk dan setelah itu mereka memberikan hormat kepada atasan mereka.

Semenjak saat itu tidak ada satu pun yang meragukan kemampuan Lilac dalam memimpin.

Dia telah berubah menjadi sosok yang sangat ditakuti dan sekaligus dihormati oleh bawahan-bawahannya.

Di kamar Lilac.

"Aduh! Kenapa aku bisa bersikap kejam pada mereka?!" kata Lilac sambil menutupi wajah dengan tangannya.

"Nggak apa-apa kok Nona. Biar mereka tidak bersikap kurang ajar kepada Nona karena Nona sekarang yang menjadi pimpinan di perusahaan ini," kata Imelda menenangkan Lilac.

"Iya," 

"Aku akan mencari dan menghukum orang-orang yang telah membunuh kedua orang tuaku," gumamnya.

Perusahaan yang diwariskan oleh kedua orang tuanya kepada Lilac adalah perusahaan yang bergerak di bidang hukum, ekonomi dan pertahanan,"

Dia usia dua puluh dua tahun harus memimpin perusahaan itu yang sangat jauh berbeda dengan latar belakang pendidikannya yaitu Teknik Arsitektur.

Sudah satu semester dia absen karena sakit yang ia alami, namun setelah sembuh ia berkeinginan untuk melanjutkan kuliah tetapi bukan di jurusannya saat ini tetapi di jurusan Hukum kemudian bersamaan mengambil jurusan ekonomi.

***

Dari kejauhan pria yang merupakan pelaku terbunuhnya orang tua Lilac memperhatikan kediamannya. Di saat itu pandangannya terfokus pada satu sosok yang sedang bekerja.

Di tengah hari pria itu memotong rumput dan membersihkan pekarangan belakang kediaman Lilac.

"Sepertinya dia sangat cocok untuk jadi kelinci percobaanku." Tersenyum sambil memandangi Mahmud dari kejauhan.

Dia lalu mulai memerintahkan anak buahnya menyebarkan brosur akan membuat si targetnya jatuh.

Di ruang sempit berukuran 3x4 tiba-tiba terdengar suara. "Wah! Bisa kaya mendadak gue!" berdiri dan melompat-lompat kegirangan.

"Gue bisa beli rumah, mobil, dan liburan kemanapun seperti Nona Lilac," berkhayal membayangkan bisa seperti Lilac.

Mahmud adalah pelayan yang bekerja di kediaman Lilac sebagai tukang kebun. Sudah lima tahun ia bekerja di sana.

Pagi itu ia sangat gembira karena ia mendapatkan akun i*******m yang melayani investasi jangka pendek.

"Hari ini cerah banget." Tersenyum melihat langit.

Setelah tiba di tempat kerjanya yaitu kediaman Nona Lilac. Tanpa berpikir panjang Mahmud menghubungi pemilik usaha tersebut.

"Wah! Gue bisa punya duit banyak nih! Bisa beli mobil terus pamer sama yang lainnya." Gumamnya sambil senyum-senyum merapikan salah satu bunga yang ada di taman belakang.

"Shuit! Shuit! Loe kenapa? Tumben senyam-senyum? Kesambet loe ya?" tanya Fakri.

"Anjir! Nggak lah! Emang ada larangan ya untuk senyum-senyum?"

"Nggak." Cemberut.

"Eh! Loe kenapa diam mematung di situ. Bantuin gue cepat!" kata Mahmud.

"Iya! Iya! Bawel amat sih!" celetuk Fakri.

Fakri mengambil tangga di sudut gedung penyimpanan tempat perkakas kebun disimpan setelah digunakan oleh tukang kebun, membantu Mahmud memangkas tanaman.

Lilac melihat para pelayannya dari ruang makan sambil menikmati sarapannya.

"Imelda, apakah pelayan yang bekerja di kebun saat ini mereka sudah sejahtera dan tidak kekurangan sedikit pun?"

"Mereka sangat sejahtera Nona. Gaji mereka per bulan Rp 5.800.000," jawab Imelda.

Kemudian ia melanjutkan makan sambil membaca koran pagi itu. "Hum! Masih marak ternyata penipuan berkedok investasi," gumam Lilac.

"Imelda tolong lacak pelaku penipuan ini!" perintah Lilac.

"Baik Nona," ucap Imelda.

Jam 12 siang.

Mahmud menuju ke ruang makan khusus para pegawai yang bekerja di kediaman Lilac.

Mengeluarkan handphone dari saku celananya, "sebaiknya gua chat orang itu." senyum-senyum.

"Hei, Mahmud loe mau makan apa?" Tanya Fakri.

"Gue nasi sama mie goreng aja,"

"Tumben, biasanya ĺoe makan nasi ayam," ucap Fakri yang bingung dengan Mahmud.

"Gue hanya lagi pengen aja." Melirik ke arah lain.

"Katanya dua sampai empat jam terus di transfer ke rekening investor. Huu! Nggak sabar gue!" gumamnya.

Setelah beberapa lama.

"Ini pesanan loe. Ngehalu butuh tenaga juga bro heheheh," ledek Fakri sambil melihat wajah Mahmud yang sedang melamun.

"Hahahaha, bangke lu!" hardik Mahmud. "Liat aja entar gue akan bikin loe terheran-heran nggak percaya kalau gue jadi orang kaya," 

"'Hah? Hahahahaha," tertawa mendengar omongan Mahmud yang tiba-tiba.

Lima jam kemudian.

"Buset! Maksudnya gimana ini? Gue kira feenya dibayar ketika gue udah punya profitnya," kata Mahmud terkejut.

Ia merasa dibohongi oleh pihak perusahaan itu karena ketika ia bertanya mengenai detail investasi tidak diberitahukan.

"Aduh! Gimana dong gue nggak punya uang untuk tebus profit itu! Gue udah pinjam sama teman gue masa gue harus minta lagi?"

Mahmud bingung dengan situasi yang dia alami. Ia takut jangan sampai dia dilaporkan ke polisi karena hal ini.

"Aduh! Gimana ini??" ucapnya bingung.

Keringatnya mengalir keluar dari pori-porinya seperti air sungai, bibirnya pucat dan pupil matanya mengecil memikirkan profit yang seharusnya ia terima namun ditahan oleh perusahaan itu.

"Aduh! Aduh! Aduh!" teriak Mahmud sambil mengacak-ngacak rambutnya.

Orang-orang yang melihat tingkah aneh Mahmud, mereka terheran-heran dan sedikit dari mereka tertawa karena baru kali itu melihat Mahmud gelisah.

"Kenapa orang itu? Aneh!" 

"Nggak tahu. Abaikan aja," jawab pegawai lain sambil senyum-senyum.

Kemudian ia memiliki ide untuk meminjam uang sebesar Rp 1.000.000 kepada orang terdekatnya. 

Namun sayang orang terdekatnya tidak memiliki uang untuk membantunya malah mengatainya. Dia gelisah karena perusahaan itu mendesaknya untuk membayar fee.

Mahmud merasa sistem yang digunakan perusahaan itu hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu pihak perusahaan.

Mahmud masih mengingat chat dari perusahaan itu "Wajib Pak selesaikan feenya dulu! Paling lambat 5 menit setelah anda selesaikan fee nya dulu Pak agar dananya bisa langsung masuk ke rekening anda senilai 5.000.000,"

Perasaan Mahmud campur aduk mengingat chat dari admin perusahaan itu. Ia jengkel dengan sistem yang digunakan oleh mereka.

"Ya sudah! biarkan aja uang itu. Toh! Katanya tidak bisa ditarik kalau bukan dari rekening yang di daftar," ucap Mahmud yang merelakan uangnya sebesar Rp 3.000.000.

Setelah beberapa lama ia merasa khawatir, pikirannya mulai memikirkan hal-hal lain yang lebih negatif.

"Ih! Jangan-jangan mereka bohong! Jangan-jangan mereka gunakan akunku untuk menambah beban yang harus gue bayar nanti," gumamnya.

Ia duduk terpaku memikirkan cara yang efektif agar keluar dari lingkaran itu. Dahinya mulai mengkerut bersama sepasang alis yang menghiasi wajahnya.

"Ah! Biarkan saja deh! Nanti si admin chat lagi baru gue balas!" kata Mahmud.

Mahmud berusaha untuk tidak memikirkan tentang nasib uangnya itu. Dia kembali berusaha memikirkan dan menyibukkan dirinya pada pekerjaan lain.

"Dia kenapa?" gumam Lilac.

"Imelda, siapa nama pegawai itu?" menunjuk Mahmud yang mengenakan kacamata dan baju bergaris-garis hitam tampak wajahnya tidak bisa menyembunyikan perasaan khawatir.

"Nanti saya bertanya pada Alexa bagian kepegawaian Nona, memangnya kenapa dengannya Nona? Tumben Nona memperhatikan mereka?" tanya Imelda.

"Wajahnya buat saya penasaran. Kenapa dia berekspresi seperti itu saat saya lewat di depannya," jawab Imelda.

"Saya harus disiplinkan pegawai itu!" 

"Nggak usah! Abaikan saja! Cukup kamu cari tahu siapa pegawai itu!" Kata Lilac.

Lilac dan Imelda berjalan melewati semua pegawainya. Ia merasa aneh dengan salah satu pegawai yang bekerja di kediamannya. 

Saat tiba di ruang kerjanya.

Lilac duduk dan menyandarkan badan mungilnya di sofa sambil menikmati secangkir kopi yang disuguhkan oleh Ila.

"Nona, hari ini agenda anda menghadiri rapat pemegang saham jam 9 pagi di Hotel Ariston," kata Imelda.

Melihat jam dinding "Ok, kita pergi tapi sebelum itu kita nikmati secangkir kopi dulu sebagai tanda kesiapan kita," mengkode pelayan yang ada di ruangan kerjanya untuk menyuguhkan kopi untuk Lilac dan Imelda.

Kemudian mereka menikmati kopi sambil berdiskusi ringan mengenai rapat yang akan di laksanakan di Hotel Ariston.

Ketika mereka tiba di Hotel Ariston banyak mata yang memperhatikan dan mengawasi Lilac. Di antara mata-mata itu ada pula yang terkagum-kagum karena kecantikan dan sikap anggunnya.

"Cantik!" kata seorang pengusaha yang menjadi peserta rapat.

"Cantik aja mana cukup, otaknya juga menjadi pertimbangan kali," ucap sarkas pengusaha lainnya.

Semua mata tertuju pada Lilac dan pergerakannya sekali lagi diawasi oleh si pelaku dari kejauhan.

"Tunggulah ...

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status