Selesai mengerjakan tugas di sekolah, seperti biasa, Siska meminta Pak Hadi untuk mengantarkannya pulang. Akhir-akhir ini Siska merasa tubuhnya sangat lelah dan ingin istirahat di rumah.
Tugas sekolah dan olahraga seni yang ia mainkan bersama teman-temannya, membuat semua waktunya terkuras habis. Meskipun begitu, Siska masih berusaha menikmati semua kesibukan yang ia rasakan setiap hari.
Karena dengan begitu, setidaknya Siska bisa melupakan setiap tingkah dan sikap dingin dari keluarga yang memang sudah tak sepaham itu.
Mereka hanya sibuk dengan bisnis, bisnis dan bisnis mereka, berangkat pagi pulang malam. Hanya itulah yang diketahui oleh Siska, karena keempat malaikat pelindungnya itu juga tidak pernah mengatakan keluh kesahnya dengan Siska.
Sampainya di depan pintu mewah itu, Siska mendengar kedua orang tuanya dan juga kakak-kakaknya sedang beradu mulut, saling menyalahkan satu sama lain. Dengan melangkah pelan namun pasti Siska mendekati keluarganya yang sedang beradu mulut itu.
"Ini semua gara-gara Papi, kalau saja Papi bisa secepatnya melunasi hutang-hutang itu, kita nggak akan bangkrut seperti ini!"
Hardik Mami Salwa yang terus menyalahkan sang suami.
"Mi, Papi juga nggak tau kalau akan terjadi hal seperti ini! Papi juga nggak mau bangkrut, Mi!"
Papi Hardi pun tak mau kalah mengeluarkan argumennya.
Sandy yang duduk dengan santai bersama Syam pun ikut terpancing emosi mendengar kedua orang tuanya yang saling menyalahkan.
"Pi, Mi, udahlah nggak usah bertengkar seperti ini! Sekarang yang harus kita pikirkan bagaimana caranya agar nama baik kita tetap terjaga," kata Sandy yang ikut bangkit dari tempat duduknya.
"Nggak bisa setenang dan sesantai itu juga Kak, Papi dan Mami lambat laun akan dicari oleh perusahaan dan semua aset kita akan disita bank!" jelas Syam yang ikut panik dan dengan keadaan mereka yang saat ini sedang terlilit hutang.
Mami Salwa menatap Papi Hardi penuh kemarahan, seakan ingin segera memangsanya.
"Kenapa Papi tega lakukan ini! Kenapa Papi tega gadaikan semua aset perusahaan hanya untuk bermain di meja judi! Kenapa, Pi?!"
Terdengar vase bunga yang terletak di meja ruang tamu itu tiba-tiba terhempas berhamburan di lantai, Mami Salwa membantingnya dengan begitu keras. Hingga membuat Siska merasa ketakutan saat berdiri tidak jauh dari mereka.
Mami Salwa tak menyadari dan tak ada yang tahu bahwa selama ini, Papi Hardi sangat candu dan gemar sekali menghabiskan waktu di meja judi, berawal dari kemenangan satu, dua, tiga dan seterusnya, membuat Papi Hardi mengira bahwa itu semua keuntungan besar yang tidak bisa dilewatkan begitu saja.
Isak tangis dari Siska terdengar jelas ditelinga kedua orang tua dan kedua kakaknya itu.
Mami Salwa yang melihat Siska begitu ketakutan, langusng menghampiri dan meraih tubuh Siska. Namun hempasan penolakan dari kedua tangan Siska membuat Mami Salwa tercengang dan ikut meneteskan air mata.
"Untuk apa Mami peluk Siska! Bukankah selama Mami merasa senang dengan begitu banyaknya harta yang Mami punya, Mami tidak pernah memeluk Siska!"
Siska yang sudah lama memendam rasa kesal itu mulai menunjukkan kekecewaan kepada keluarganya.
Melihat aksi Siska yang menolak saat didekati oleh Mami Salwa, Papi Hardi pun melangkah maju dan mencoba untuk menyentuh hati putri kecilnya itu dengan sambutan kedua tangan yang siap memeluk tubuh Siska.
Namun, bukan hanya Mami Salwa yang mendapatkan penolakan. Papi Hardi juga menerima semua penolakan dari putrinya itu.
"Mami dan Papi selama ini nggak pernah ada buat Siska, dan sekarang Mami dan Papi mendekati Siska ingin memeluk Siska dan menangis haru, itu semua kalian lakukan karena kalian akan bangkrut! Hebat sekali!"
Siska dengan berani bertepuk tangan di hadapan kedua orang tuanya dan kedua kakaknya yang tidak pernah mengetahui bahwa adiknya akan terluka separah itu.
Namun tindakan Siska justru membuat Syam yang mendengarnya ikut terpancing karena kata-kata Siska yang sudah melebihi batas.
Plak
Tiba-tiba tamparan keras mendarat di pipi kanan Siska, Mami Salwa yang sedang merasa amat sangat kecewa itu, semakin menjadi dan mencoba untuk melampiaskan semua kekesalannya kepada Siska.
"Anak tidak tahu diri! Selama ini Mami bekerja untuk membiayai semua kebutuhan hidup kamu! Tapi dengan seenak hati kamu mengatakan hal seperti itu kepada Mami!!"
Hardik Mami Salwa tak terima dengan semua protesan yang dilakukan oleh Siska kepadanya .
"Mi, apa-apaan kamu, Mi. Kenapa kamu menampar Siska yang jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan masalah ini!"
Papi Hardi seolah-olah muncul sebagai pahlawan kesiangan untuk Siska, yang tanpa ia sadari bahwa hal itu justru membuat Siska semakin benci.
"Ha ha ha, Siska sangat puas dan senang sekali mendengar kabar berita ini, Siska yakin kalau kalian masih di atas langit dan mampu membeli semua waktu dengan uang, pasti kalian tidak akan ada di rumah siang-siang bolong begini," ungkap Siska tertawa lepas saat mendengar bisnis keluarganya sudah diambang kebangkrutan.
"Anak kurang ajar, nggak tahu diri! Memangnya kamu makan minum dan berangkat sekolah diantar oleh supir menggunakan mobil mewah itu bisa kamu dapatkan jika tidak dari usaha dari kedua orang tuamu, ini?!" hardik Mami Salwa dengan kedua mata melotot seperti mau keluar.
"Iya Mi, memang semua itu dari Mami dan Papi. Tapi terlepas dari semua kemewahan itu Siska justru lebih bahagia mendengar kabar ini, kalian bangkrut karena kesalahan kalian sendiri!"
Siska menjawab dengan penuh keberanian, Sandy dan Syam yang menyadari sikap Siska yang sudah terlewat batas justru menarik paksa tubuh mungil Siska dan menyeretnya naik ke lantai dua.
Teriakan dan penolakan Siska tak mendapatkan jawaban apapun, mereka sibuk dengan masalah yang harus mereka selesaikan, semua ucapan Siska justru menambah kepala mereka menjadi sangat pusing.
Sandy melempar paksa tubuh Siska dan Syam pun menutup serta mengunci pintu kamar Siska dengan cepat.
"Kak, buka Kak, kalian nggak bisa memperlakukan Siska seperti ini!" teriak Siska menggedor-gedor pintu kamarnya.
"Karena kamu sudah berani kurang ajar, maka kamu harus terima semua resikonya," sahut Sandy dengan suara tak kalah lantang.
"Tapi Siska nggak mau di kurung seperti ini! Siska nggak mau!!"
Dengan sekuat hati Siska berusaha menolak semua prilaku yang diberikan oleh orang tua dan kakak-kakaknya itu.
Tangis kekesalan Siska pun ia tumpahkan tanpa ada satu orang pun yang tahu,
"Kenapa harus Gue yang selalu menjadi korban? Bukankah merekah lah sebagai pelaku yang seharusnya dikenakan hukuman setimpal?!!"
Hardik Siska yang terus menggedor pintu sampai tubuhnya terasa lemas tak berdaya, isak tangisnya tak lagi ia rasakan saat tubuhnya tersungkur di lantai.
Siska jatuh pingsan tak mampu menahan seluruh tubuhnya yang terasa sakit karena seretan dari kakaknya.
Beberapa Hari KemudianDimas berniat untuk menemui Siska yang sudah beberapa hari tidak ia temui, rasa rindu yang dirasakan oleh Dimas semakin besar karena semakin ia pendam perasaan itu semakin dalam.Dengan menyemprotkan beberapa parfum di pakaiannya, Dimas pun keluar untuk menemui Siska."Semoga saja Siska ada di rumah." harap Dimas yang sudah terlihat rapi.Sampainya di depan rumah kontrakan Siska, Dimas pun memberhentikan sepeda motornya dan segera berjalan mendekati pintu rumah.Tok... Tok... Tok....Ketukan pintu Dimas pun membangunkan Siska dan Runi yang baru saja menikmati istirahatnya, setelah semalaman begadang mencari uang."Kia, buka pintunya," pinta Runi yang masih memejamkan kedua matanya."Lo saja, Ni. Gue masih ngantuk, nih!" protes Siska tak kalah merasakan kantuk."Ih, Kia. Kok lo gitu si."Runi merasa kesal, namun ia tetap bangkit untu
Karena ketidakbisaan Dimas menjaga Siska, akhirnya Siska sudah tidak ada harapan lagi untuk mempertahankan Kesuciannya, Siska menerima orderan manapun yang bisa menghasilakan uang dan ia tidak perduli dengan ucapan Dimas yang melarangnya melakukan pekerjaan itu. Siska dengan brutal merusak dirinya sendiri dan lebih sering bersama dengan Kalvin, seiring berjalannya waktu Siska pun mulai melupakan perasaannya dengan Dimas. Laki-laki yang dianggap misterius namun memiliki jiwa yang baik dan tulus. "Siska, apa lo akan selamannya bekerja sebagai wanita penghibur seperti ini?" tanya Kalvin yang sedang asik menikmati minuman yang tersedia. "Gue nggak tahu, yang jelas gue harus mencukupi kehidupan gue melalui pekerjaan ini." jawab Siska yang tidak memiliki alasan lain. Kalvin pun melempar senyum saat mendengar jawaban ringan namun mencakup semua kebutuhan sehari-hari Siska, menjadi par penikmat mata laki-laki yang datang menggoda bukan
"Tapi sayangnya gue nggak mau lagi bertemu dengan lo!" jawab Siska yang memilih untuk segera masuk ke dalam rumah.Dimas pun berusaha untuk membuka pintu dan terjadi saling tarik ulur diantara Dimas dan Siska, Siska yang masih merasakan sakit akibat permainan Kalvin itu akhirnya menyerah dan memilih untuk mengalah.Dengan lunglai Siska terduduk di lantai dan membiarkan Dimas masuk dengan melihat keadaan Siska yang sudah dibanjiri dengan air mata."Kia, lo kenapa?" tanya Dimas membelai pundak Siska pelan."Jangan sentuh gue! Lo jahat, lo tega, lo bilang kalau lo mau lindungi gue agar gue tidak disentuh oleh laki-laki, tapi nyatanya lo biarkan gue tidur bersama laki-laki lain!" omel Siska yang benar-benar merasa kecewa."Gue minta maaf, Kia. Bukan keinginan gue untuk sakit seperti ini," ucap Dimas yang masih menutup wajahnya dengan masker."Itu hanya alasan lo aja kan, mulai sekarang lo pergi dari sini karena lo tidak ada tempat lagi di sini!"
Karena merasa Siska cukup lama di dalam kamar mandi, membuat Kalvin yang sudah melepaskan kemejanya itu memilih untuk segera menyusul Siska dan memanggilnya. Tok... Tok... Tok.... Suara ketukan pintu pun terdengar dari dalam kamar mandi Siska, dengan cepat Siska pun membalikkan tubuhnya dan mengatur napasnya kembali. 'Ya ampun, laki-laki itu pasti sudah sangat tidak sabar menunggu gue!' batin Siska yang tak bisa lagi mengelak. Ketukan itu terdengar kembali, karena Siska tak kunjung keluar dari kamar mandi. "Siska, lo nggak papa kan?" tanya Kalvin memastikan keadaan Siska. Siska yang mendengar itu akhirnya pasrah dengan apa yang akan terjadi malam ini, karena Dimas memang tak ada kabar sampai saat ini. Ceklek Siska membukakan pintu dan menatap ke arah Kalvin yang sudah bertelankang dada, dengan cepat Siska menutup kedua mata menggunakan kedua tangannya. "Kok l
Setelah merasa aman dari sekelompok orang yang ingin menghajar Syam habis-habisan, Runi segera memberikan obat yang telah ia beli untuk Syam. Dengan pasrah Syam menerima perlakuan baik dari wanita yang baru saja ia kenal itu.Tatapan mata Runi yang begitu tulus mengobati Syam membuatnya merasa sangat bersyukur karena telah ditolong oleh Runi yang sebelumnya tidak dikenalnya."Thanks ya, lo udah nolongin gue," ucap Syam yang menatap wajah Runi tajam."Sama-sama, lagian lo kenapa sampai dikeroyok begitu si?" tanya Runi penasaran."Gue nggak sengaja nimpuk salah satu dari mereka dengan botol bekas, dan mereka marah besar." jelas Syam masih menahan sakit.Runi yang ingin berangkat bekerja itu akhirnya menyadari bahwa dirinya sudah terlalu lama bersama Syam, dan harus segera pergi karena Siska sudah lebih dulu berangkat."Lo nggak papa kan, kalau gitu gue mau pergi dulu!"Runi pun segera beranjak hendak mening
Mendengar suara wanita yang mengira bahwa dirinya akan bunuh diri membuat Syam bangkit dan menghadap Runi, Runi yang tidak mneyadari bahwa laki-laki yang ada di hadapannya itu adalah kakak Siska membuatnya bersikap sangat asing dengan Syam. "Enak saja lo, siapa juga yang bunuh diri, memangnya gue gila!" celetuk Syam yang merasa kesal. "Ya gue kira lo duduk di sini sendiri karena mau bunuh diri, lagian untuk apa lo duduk-duduk nggak jelas begitu?" sahut Runi yang merasa kepo. "Ya urusan gue lah, kenapa lo yang repot si." jawab Syam memilih untuk segera pergi. Syam meninggalkan Runi yang masaih memandangi Syam dengan pandangan yang aneh. 'Dasar aneh, berjalan saja tidak bersemangat seperti itu, seperti sedang menanggung beban hidup yang cukup berat.' batin Runi. Karena tidak ingin mengambil pusing, akhirnya Runi pun kembali meneruskan perjalannya menuju rumah kontaran. Siska yang sedang asik menikmati kesendiriannya di dala