Share

Part 4, Menjadi Sasaran Kemarahan

   Selesai mengerjakan tugas di sekolah, seperti biasa, Siska meminta Pak Hadi untuk mengantarkannya pulang. Akhir-akhir ini Siska merasa tubuhnya sangat lelah dan ingin istirahat di rumah. 

  Tugas sekolah dan olahraga seni yang ia mainkan bersama teman-temannya, membuat semua waktunya terkuras habis. Meskipun begitu, Siska masih berusaha menikmati semua kesibukan yang ia rasakan setiap hari. 

Karena dengan begitu, setidaknya Siska bisa melupakan setiap tingkah dan sikap dingin dari keluarga yang memang sudah tak sepaham itu. 

  Mereka hanya sibuk dengan bisnis, bisnis dan bisnis mereka, berangkat pagi pulang malam. Hanya itulah yang diketahui oleh Siska, karena keempat malaikat pelindungnya itu juga tidak pernah mengatakan keluh kesahnya dengan Siska. 

  Sampainya di depan pintu mewah itu, Siska mendengar kedua orang tuanya dan juga kakak-kakaknya sedang beradu mulut, saling menyalahkan satu sama lain. Dengan melangkah pelan namun pasti Siska mendekati keluarganya yang sedang beradu mulut itu.

  "Ini semua gara-gara Papi, kalau saja Papi bisa secepatnya melunasi hutang-hutang itu, kita nggak akan bangkrut seperti ini!" 

  Hardik Mami Salwa yang terus menyalahkan sang suami. 

  "Mi, Papi juga nggak tau kalau akan terjadi hal seperti ini! Papi juga nggak mau bangkrut, Mi!"

  Papi Hardi pun tak mau kalah mengeluarkan argumennya. 

Sandy yang duduk dengan santai bersama Syam pun ikut terpancing emosi mendengar kedua orang tuanya yang saling menyalahkan. 

  "Pi, Mi, udahlah nggak usah bertengkar seperti ini! Sekarang yang harus kita pikirkan bagaimana caranya agar nama baik kita tetap terjaga," kata Sandy yang ikut bangkit dari tempat duduknya. 

  "Nggak bisa setenang dan sesantai itu juga Kak, Papi dan Mami lambat laun akan dicari oleh perusahaan dan semua aset kita akan disita bank!" jelas Syam yang ikut panik dan dengan keadaan mereka yang saat ini sedang terlilit hutang. 

  Mami Salwa menatap Papi Hardi penuh kemarahan, seakan ingin segera memangsanya. 

  "Kenapa Papi tega lakukan ini! Kenapa Papi tega gadaikan semua aset perusahaan hanya untuk bermain di meja judi! Kenapa, Pi?!"

  Terdengar vase bunga yang terletak di meja ruang tamu itu tiba-tiba terhempas berhamburan di lantai, Mami Salwa membantingnya dengan begitu keras. Hingga membuat Siska merasa ketakutan saat berdiri tidak jauh dari mereka. 

  Mami Salwa tak menyadari dan tak ada yang tahu bahwa selama ini, Papi Hardi sangat candu dan gemar sekali menghabiskan waktu di meja judi, berawal dari kemenangan satu, dua, tiga dan seterusnya, membuat Papi Hardi mengira bahwa itu semua keuntungan besar yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. 

Isak tangis dari Siska terdengar jelas ditelinga kedua orang tua dan kedua kakaknya itu. 

  Mami Salwa yang melihat Siska begitu ketakutan, langusng menghampiri dan meraih tubuh Siska. Namun hempasan penolakan dari kedua tangan Siska membuat Mami Salwa tercengang dan ikut meneteskan air mata. 

  "Untuk apa Mami peluk Siska! Bukankah selama Mami merasa senang dengan begitu banyaknya harta yang Mami punya, Mami tidak pernah memeluk Siska!" 

  Siska yang sudah lama memendam rasa kesal itu mulai menunjukkan kekecewaan kepada keluarganya. 

  Melihat aksi Siska yang menolak saat didekati oleh Mami Salwa, Papi Hardi pun melangkah maju dan mencoba untuk menyentuh hati putri kecilnya itu dengan sambutan kedua tangan yang siap memeluk tubuh Siska. 

 Namun, bukan hanya Mami Salwa yang mendapatkan penolakan. Papi Hardi juga menerima semua penolakan dari putrinya itu. 

  "Mami dan Papi selama ini nggak pernah ada buat Siska, dan sekarang Mami dan Papi mendekati Siska ingin memeluk Siska dan menangis haru, itu semua kalian lakukan karena kalian akan bangkrut! Hebat sekali!"

  Siska dengan berani bertepuk tangan di hadapan kedua orang tuanya dan kedua kakaknya yang tidak pernah mengetahui bahwa adiknya akan terluka separah itu. 

  Namun tindakan Siska justru membuat Syam yang mendengarnya ikut terpancing karena kata-kata Siska yang sudah melebihi batas. 

  Plak

  Tiba-tiba tamparan keras mendarat di pipi kanan Siska, Mami Salwa yang sedang merasa amat sangat kecewa itu, semakin menjadi dan mencoba untuk melampiaskan semua kekesalannya kepada Siska. 

  "Anak tidak tahu diri! Selama ini Mami bekerja untuk membiayai semua kebutuhan hidup kamu! Tapi dengan seenak hati kamu mengatakan hal seperti itu kepada Mami!!"

 Hardik Mami Salwa tak terima dengan semua protesan yang dilakukan oleh Siska kepadanya .

  "Mi, apa-apaan kamu, Mi. Kenapa kamu menampar Siska yang jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan masalah ini!" 

  Papi Hardi seolah-olah muncul sebagai pahlawan kesiangan untuk Siska, yang tanpa ia sadari bahwa hal itu justru membuat Siska semakin benci. 

  "Ha ha ha, Siska sangat puas dan senang sekali mendengar kabar berita ini, Siska yakin kalau kalian masih di atas langit dan mampu membeli semua waktu dengan uang, pasti kalian tidak akan ada di rumah siang-siang bolong begini," ungkap Siska tertawa lepas saat mendengar bisnis keluarganya sudah diambang kebangkrutan. 

  "Anak kurang ajar, nggak tahu diri! Memangnya kamu makan minum dan berangkat sekolah diantar oleh supir menggunakan mobil mewah itu bisa kamu dapatkan jika tidak dari usaha dari kedua orang tuamu, ini?!" hardik Mami Salwa dengan kedua mata melotot seperti mau keluar. 

  "Iya Mi, memang semua itu dari Mami dan Papi. Tapi terlepas dari semua kemewahan itu Siska justru lebih bahagia mendengar kabar ini, kalian bangkrut karena kesalahan kalian sendiri!"

  Siska menjawab dengan penuh keberanian, Sandy dan Syam yang menyadari sikap Siska yang sudah terlewat batas justru menarik paksa tubuh mungil Siska dan menyeretnya naik ke lantai dua. 

  Teriakan dan penolakan Siska tak mendapatkan jawaban apapun, mereka sibuk dengan masalah yang harus mereka selesaikan, semua ucapan Siska justru menambah kepala mereka menjadi sangat pusing. 

  Sandy melempar paksa tubuh Siska dan Syam pun menutup serta mengunci pintu kamar Siska dengan cepat. 

  "Kak, buka Kak, kalian nggak bisa memperlakukan Siska seperti ini!" teriak Siska menggedor-gedor pintu kamarnya. 

  "Karena kamu sudah berani kurang ajar, maka kamu harus terima semua resikonya," sahut Sandy dengan suara tak kalah lantang. 

  "Tapi Siska nggak mau di kurung seperti ini! Siska nggak mau!!" 

  Dengan sekuat hati Siska berusaha menolak semua prilaku yang diberikan oleh orang tua dan kakak-kakaknya itu. 

  Tangis kekesalan Siska pun ia tumpahkan tanpa ada satu orang pun yang tahu, 

  "Kenapa harus Gue yang selalu menjadi korban? Bukankah merekah lah sebagai pelaku yang seharusnya dikenakan hukuman setimpal?!!" 

  Hardik Siska yang terus menggedor pintu sampai tubuhnya terasa lemas tak berdaya, isak tangisnya tak lagi ia rasakan saat tubuhnya tersungkur di lantai. 

  Siska jatuh pingsan tak mampu menahan seluruh tubuhnya yang terasa sakit karena seretan dari kakaknya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status