Saat kedua orang tuanya dan kedua kakaknya sibuk dengan harta yang selangkah lagi akan menjadi milik bank itu, Siska justru menerapkan gaya hidupnya yang lebih bar-bar dari sebelumnya bersama teman-temannya di luar rumah.
Berawal dari luka hati yang terus digores oleh perlakuan sang keluarga, Siska lebih memilih untuk merusak hidupnya dan masa depannya sendiri.
Siska justru membuat dirinya seakan-akan bodoh dan tak memiliki ilmu apa-apa di sekolah, nilai semua mata pelajaran turun dengan pesat, ia berpikir bahwa semua biaya yang dikeluarkan oleh kedua orang tuanya selama ini bukanlah dari pekerjaan yang tulus dan jujur.
Melainkan dari sebuah permainan semu di meja judi, yang pastinya perbuatan itu dianggap salah besar di mata semua orang bahkan agama.
Semua rasa sakit hatinya justru ia lampiaskan kepada pergaulan bebas dan semua hal yang buruk ia lakukan, meskipun hanya bersama dengan ketiga sahabatnya.
Sudah hampir satu bulan Bu Tuti memperhatikan Siska yang tampil begitu terbuka, dan seksi. Dilengkapi dengan warna rambut yang berubah kemerah-merahan membuat Bu Tuti berniat untuk menegur Siska.
Setelah mata pelajaran kedua usai, Siska dan ketiga sahabatnya yang langsung pergi ke sebuah taman tidak jauh dari sekolahan. Bu Sri memanggil Siska yang sedang asik berbincang-bincang dengan ketiga Sahabatnya.
"Siska, Ibu mau bicara," kata Bu Tuti dengan wajah serius dan menatap Siska tajam.
Wajah Siska pun berubah menjadi masam, dan senyum yang sejak tadi menghiasi wajahnya kini redup dengan kesal.
Bu Tuti berjalan lebih dulu dan memilih untuk menunggu di ruangannya, sementara Siska masih tetap berdiri mematung dengan sejuta kekesalan.
"Udah Kia, Lo ikutin dulu panggilan Bu Tuti, mungkin ada yang ingin dia bicarakan," kata Runi yang dengan wajah ikut kesal, karena acara pesta yang mereka rencanakan harus terhenti dengan panggilan itu.
"Gue tahu, kalau Bu Tuti bakal negur Gue, ya nggak salah lagi! Tapi kenapa si hidup Gue lagi-lagi dihadapkan dengan masalah yang ujung-ujungnya memojokkan Gue lagi?!" omel Siska dengan nada khasnya saat merasa kesal dan marah.
Siska selalu menyalahkan bahkan kerap kali menolak dengan garis takdir kehidupannya, dengan kesal Siska melangkah maju mendekati ruangan Bu Tuti dengan tatapan mata para siswa dan siswi yang seakan memandang dirinya sangat buruk.
Saat tiba di depan pintu, tanpa basa basi, Siska membuka pintu ruangan kepala sekolahnya itu dengan kasar. Beruntunglah bahwa kepala sekolah di tempatnya mengenyam pendidikan itu seorang wanita, masih bisa dengan santai dan melawan saat murid-muridnya melakukan kesalahan, terlebih lagi sikap lemah lembut yang selalu ditunjukkan oleh Bu Tuti. Membuat para murid terkadang salah dalam mengartikan sikap itu.
Ada yang mencontoh sikap baiknya, namun tak sedikit juga yang justru memberontak dengan semua aturan yang diberikan oleh Bu Tuti.
Siska duduk berhadapan dengan Bu Tuti, setelah sikapnya yang membuka pintu tanpa permisi.
"Ada apa Ibu memanggil saya?" tanya Siska dengan wajah tidak suka.
"Siska, apa kamu sudah tidak merasa ada yang berubah dengan penampilan kamu dan sikap kamu belakangan ini? Lalu bagaimana dengan sikap sopan santun kamu yang Ibu terapkan sehari-hari di sekolah ini? Kenapa untuk mengetuk pintu ruangan saya saja, kamu tidak melakukannya?!"
Bu Tuti melemparkan semua pertanyaan yang memang sudah sangat banyak ia pendam, perihal semua sikap yang dikeluarkan oleh Siska akhir-akhir ini.
"Maaf Bu. Saya lupa dan saya juga tidak ingin berbasa basi karena masih ada pekerjaan yang mau saya selesaikan." jawab Siska dengan santai dan tanpa merasa itu sebuah kesalahan.
"Pekerjaan? Pekerjaan apa yang kamu ingin kerjakan? Bukankah di sekolah ini yang perlu kamu kerjakan adalah belajar dan mengikuti setiap pelajaran yang Ibu bagikan kepada kamu?!" tanya Bu Tuti yang sedikit meninggikan suaranya karena kesal.
Mendengar sebuah pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan Bu Tuti kepadanya, membuat Siska murka dan bangkit dari tempat duduknya.
"Kalau Ibu tidak menerima sikap saya seperti ini, saya akan keluar dari sekolah ini!" Pungkas Siska yang menatap kedua mata Bu Tuti dengan tajam.
Bu Tuti yang awalnya duduk dengan santai, kini ikut bangkit berdiri sejajar dengan Siska yang sudah diselimuti kemarahan.
"Siska, kalau kamu keluar dari sekolah ini, lalu kegiatan apa yang akan kamu lakukan di luar sana, kamu tahu? Di luar sana banyak sekali yang ingin merasakan bangku pendidikan, tapi kamu justru ingin meninggalkannya begitu saja!"
Bu Tuti masih dengan sabar dan tenang menghadapi pemberontakan Siska yang jelas-jelas sudah sangat melampui batas, bahkan untuk sedikit sopan dengan gurunya sendiri, tidak ia lakukan.
"Bu, saya tidak perduli dengan pendidikan ini! Bahkan saya sama sekali tidak berniat untuk belajar lagi, saya ingin menghabiskan waktu saya untuk bersenang-senang, karena saya tahu bahwa takdir buruk ternyata memihak saya, bahkan tak mau enyah dari hidup saya!" hardik Siska kepadanya dirinya sendiri.
"Tapi sikap kamu ini justru akan membuat teman-teman kamu mengikuti, Siska! Mereka akan menilai bahwa sikap dan tindakan kamu ini sebuah kebenaran, saya minta kamu untuk jangan bawa-bawa mereka!" protes Bu Tuti dengan nada tidak suka dengan jawaban Siska
Meskipun Bu Tuti sebenarnya tidak ingin mengatakan hal itu, namun ia merasa bahwa Siska sudah tidak bisa lagi diajak bicara dengan cara baik-baik.
"Kalau Ibu merasa bahwa kehadiran saya hanya untuk membawa mereka ke jalan yang salah, saya akan pergi dan keluar dari sekolah ini sekarang juga!" lanjut Siska yang langsung memilih untuk pergi meninggalkan ruangan Bu Tuti.
Dengan kasar, Siska pun membanting pintu ruangan Bu Tuti dengan berani, langkah kakinya begitu membara penuh dengan kemarahan menuju ruang kelas dan mengambil tas yang berisi dengan buku-buku pelajarannya.
Ketiga sahabatnya yang mengetahui tindakan Siska pun, berlari menghampiri Siska yang sudah tak mampu menahan air mata.
"Kia, Lo kenapa?" tanya Anggun mengusap pucuk kepala sahabatnya itu.
"Iya Kia, Lo mau kemana bawa tas, Lo?" timpal Runi dengan wajah kasihan.
Dengan kasar, Siska menyeka air matanya yang tak mampu ia bendung lagi.
"Gue mau keluar dari sekolah ini! Kalau Gue masih sekolah di sini, Gue akan membawa pengaruh buruk untuk kalian dan temen-temen semua di sini, jadi lebih baik Gue keluar!" jelas Siska dengan suara serak karena menangis.
"Kata siapa si, Kia? Lo melakukan ini bukan sengaja kan? Karena hati Lo aja yang sedang terluka dan Lo mutusin melakukan ini untuk menghibur jiwa Lo." jawab Runi yang senasib dengan dirinya.
Siska terdiam saat sahabatnya saling memberi pembelaan, bagi Siska hanya mereka lah yang mengerti apa yang ia rasakan.
Beberapa Hari KemudianDimas berniat untuk menemui Siska yang sudah beberapa hari tidak ia temui, rasa rindu yang dirasakan oleh Dimas semakin besar karena semakin ia pendam perasaan itu semakin dalam.Dengan menyemprotkan beberapa parfum di pakaiannya, Dimas pun keluar untuk menemui Siska."Semoga saja Siska ada di rumah." harap Dimas yang sudah terlihat rapi.Sampainya di depan rumah kontrakan Siska, Dimas pun memberhentikan sepeda motornya dan segera berjalan mendekati pintu rumah.Tok... Tok... Tok....Ketukan pintu Dimas pun membangunkan Siska dan Runi yang baru saja menikmati istirahatnya, setelah semalaman begadang mencari uang."Kia, buka pintunya," pinta Runi yang masih memejamkan kedua matanya."Lo saja, Ni. Gue masih ngantuk, nih!" protes Siska tak kalah merasakan kantuk."Ih, Kia. Kok lo gitu si."Runi merasa kesal, namun ia tetap bangkit untu
Karena ketidakbisaan Dimas menjaga Siska, akhirnya Siska sudah tidak ada harapan lagi untuk mempertahankan Kesuciannya, Siska menerima orderan manapun yang bisa menghasilakan uang dan ia tidak perduli dengan ucapan Dimas yang melarangnya melakukan pekerjaan itu. Siska dengan brutal merusak dirinya sendiri dan lebih sering bersama dengan Kalvin, seiring berjalannya waktu Siska pun mulai melupakan perasaannya dengan Dimas. Laki-laki yang dianggap misterius namun memiliki jiwa yang baik dan tulus. "Siska, apa lo akan selamannya bekerja sebagai wanita penghibur seperti ini?" tanya Kalvin yang sedang asik menikmati minuman yang tersedia. "Gue nggak tahu, yang jelas gue harus mencukupi kehidupan gue melalui pekerjaan ini." jawab Siska yang tidak memiliki alasan lain. Kalvin pun melempar senyum saat mendengar jawaban ringan namun mencakup semua kebutuhan sehari-hari Siska, menjadi par penikmat mata laki-laki yang datang menggoda bukan
"Tapi sayangnya gue nggak mau lagi bertemu dengan lo!" jawab Siska yang memilih untuk segera masuk ke dalam rumah.Dimas pun berusaha untuk membuka pintu dan terjadi saling tarik ulur diantara Dimas dan Siska, Siska yang masih merasakan sakit akibat permainan Kalvin itu akhirnya menyerah dan memilih untuk mengalah.Dengan lunglai Siska terduduk di lantai dan membiarkan Dimas masuk dengan melihat keadaan Siska yang sudah dibanjiri dengan air mata."Kia, lo kenapa?" tanya Dimas membelai pundak Siska pelan."Jangan sentuh gue! Lo jahat, lo tega, lo bilang kalau lo mau lindungi gue agar gue tidak disentuh oleh laki-laki, tapi nyatanya lo biarkan gue tidur bersama laki-laki lain!" omel Siska yang benar-benar merasa kecewa."Gue minta maaf, Kia. Bukan keinginan gue untuk sakit seperti ini," ucap Dimas yang masih menutup wajahnya dengan masker."Itu hanya alasan lo aja kan, mulai sekarang lo pergi dari sini karena lo tidak ada tempat lagi di sini!"
Karena merasa Siska cukup lama di dalam kamar mandi, membuat Kalvin yang sudah melepaskan kemejanya itu memilih untuk segera menyusul Siska dan memanggilnya. Tok... Tok... Tok.... Suara ketukan pintu pun terdengar dari dalam kamar mandi Siska, dengan cepat Siska pun membalikkan tubuhnya dan mengatur napasnya kembali. 'Ya ampun, laki-laki itu pasti sudah sangat tidak sabar menunggu gue!' batin Siska yang tak bisa lagi mengelak. Ketukan itu terdengar kembali, karena Siska tak kunjung keluar dari kamar mandi. "Siska, lo nggak papa kan?" tanya Kalvin memastikan keadaan Siska. Siska yang mendengar itu akhirnya pasrah dengan apa yang akan terjadi malam ini, karena Dimas memang tak ada kabar sampai saat ini. Ceklek Siska membukakan pintu dan menatap ke arah Kalvin yang sudah bertelankang dada, dengan cepat Siska menutup kedua mata menggunakan kedua tangannya. "Kok l
Setelah merasa aman dari sekelompok orang yang ingin menghajar Syam habis-habisan, Runi segera memberikan obat yang telah ia beli untuk Syam. Dengan pasrah Syam menerima perlakuan baik dari wanita yang baru saja ia kenal itu.Tatapan mata Runi yang begitu tulus mengobati Syam membuatnya merasa sangat bersyukur karena telah ditolong oleh Runi yang sebelumnya tidak dikenalnya."Thanks ya, lo udah nolongin gue," ucap Syam yang menatap wajah Runi tajam."Sama-sama, lagian lo kenapa sampai dikeroyok begitu si?" tanya Runi penasaran."Gue nggak sengaja nimpuk salah satu dari mereka dengan botol bekas, dan mereka marah besar." jelas Syam masih menahan sakit.Runi yang ingin berangkat bekerja itu akhirnya menyadari bahwa dirinya sudah terlalu lama bersama Syam, dan harus segera pergi karena Siska sudah lebih dulu berangkat."Lo nggak papa kan, kalau gitu gue mau pergi dulu!"Runi pun segera beranjak hendak mening
Mendengar suara wanita yang mengira bahwa dirinya akan bunuh diri membuat Syam bangkit dan menghadap Runi, Runi yang tidak mneyadari bahwa laki-laki yang ada di hadapannya itu adalah kakak Siska membuatnya bersikap sangat asing dengan Syam. "Enak saja lo, siapa juga yang bunuh diri, memangnya gue gila!" celetuk Syam yang merasa kesal. "Ya gue kira lo duduk di sini sendiri karena mau bunuh diri, lagian untuk apa lo duduk-duduk nggak jelas begitu?" sahut Runi yang merasa kepo. "Ya urusan gue lah, kenapa lo yang repot si." jawab Syam memilih untuk segera pergi. Syam meninggalkan Runi yang masaih memandangi Syam dengan pandangan yang aneh. 'Dasar aneh, berjalan saja tidak bersemangat seperti itu, seperti sedang menanggung beban hidup yang cukup berat.' batin Runi. Karena tidak ingin mengambil pusing, akhirnya Runi pun kembali meneruskan perjalannya menuju rumah kontaran. Siska yang sedang asik menikmati kesendiriannya di dala