Waktu berputar sangat cepat, tak terasa sudah 3 bulan berlalu sejak kepindahan Dihan dan Mega dari rumah mereka. Dihan berjanji kepada Inda bahwa ia akan berkunjung seminggu sekali.
“Mas mau ke mana hari Minggu gini?” tanya Mega melihat sang suami memakai pakaiannya.“Pergi menemani Inda, Meg. Aku akan pulang sore.”Mendengar nama Inda, tentu Mega tidak senang. Kenapa wanita itu masih saja bersarang di hati Dihan?“Tidak boleh, Mas. Masa Mas tega ninggalin istrimu yang sudah besar kandungannya ini sendirian,” ujar Mega kesal.“Astaga, Meg, Inda juga istriku. Bagaimana pun aku masih punya tanggung jawab atas dirinya sebagai suami. Papa ada di bawah dan Mama sebentar lagi pulang dari pasar. Mereka akan menjagamu.”“Aku nggak mau tahu, aku mau Mas yang temenin aku. Anak kita juga pasti cariin terus nanti.”“Minggu lalu aku sudah tidak menjenguknya, Meg. Waktuku minggu ini harusnya buat Inda.” Dihan tetap keukeuh dengan pendiriannya.Mega mengentakkan kakinya setelah Dihan merapikan bajunya kemudian turun ke bawah berjumpa dengan mamanya yang mengerutkan kening melihat putra satu-satunya sudah rapi di pagi hari Minggu.“Ada urusan kantor, Nak?” tanya Mama Dihan—Jenny.Dihan hanya berdeham seadanya lalu lanjut menuju garasi, menyalakan mesin dan melajukan mobil sampai ke pekarangan rumahnya.Rumah pekarangan Dihan tidaklah besar, namun tidak juga kecil. Bisa dikatakan sedang dibandingkan perumahan tetangganya. Dihan turun dari mobil, merogoh kantung celana untuk mengambil kunci. Namun tak menemukan di saku mana pun.Dihan menepuk jidatnya teringat meninggalkan kunci rumah tersebut di nakas rumah orangtuanya. Ia pun menekan bel pintu.Setelah menunggu beberapa menit, masih tidak ada yang membuka pintu. Lagi-lagi Dihan memijit bel, kali ini dibunyikan terus menerus hingga 5 menitan. Tetap saja hasilnya nihil.“Ke mana Inda ini?”Dihan mengeluarkan ponsel dari saku celana panjangnya dan menelepon sang istri. Baru saja ia menempelkan benda mati persegi itu ke telinga, di sanalah muncul sosok Inda berjalan dari arah kanan.Dihan memperhatikan penampilan Inda dari atas sampai bawah. Inda memakai gaun hitam yang menonjolkan lekukan tubuh indahnya. Sungguh heran melihat istri tuanya memakai baju-baju cukup seksi seperti ini di hari Minggu.Inda memelankan langkah ketika iris mata cokelatnya menangkap keberadaan Dihan yang tampak tengah menunggu dirinya.“Kamu habis dari mana?” tanya Dihan menginterogasi.“Bukan urusanmu,” jawab Inda dingin lalu melewati Dihan, begitu saja masuk ke dalam rumah.Dihan membeo Inda dari belakang dan menarik lengan Inda. “Kamu pakai beginian mau godain lelaki mana? Kamu tidak lupa sudah bersuami kan?”Inda mengempaskan tangan Dihan. Bibirnya kemudian terkekeh pelan. “Mas memangnya masih ingat aku sebagai istrimu?”“Inda, kamu bukannya tidak tahu kalau Mega lagi hamil anakku, dia lebih membutuhkan aku di sisinya.”“Terus Mas ngapain datang ke sini? Pergi sana saja urusin si pelakor itu!”“Inda, jaga bicaramu! Dia bukan wanita seperti itu. Mau aku bilang berapa kali?”“Terserah, aku tidak peduli."“Inda ... aku ingin memperbaiki hubungan kita.”“Memperbaiki?” Inda maju selangkah lalu mendongak. Netranya menantang sepasang mata teduh Dihan—yang sialnya, masih membuat Inda merindu bahkan hingga detik itu. “Bagaimana mungkin hubungan kita diperbaiki jika kamu saja tidak bisa memilih salah satu, Mas? Kamu menginginkan dua-duanya, sedang aku tidak pernah ingin berbagi. Kamu serakah!”Nada bicara Inda meningkat di akhir kalimat. Dadanya naik turun dengan emosi yang mulai tumpah. Belum sempat Inda menata hati usai jumpa kemarin, kini Dihan kembali menampakkan batang hidungnya. Bersama wajah sok bersalah membuat Inda merasa muak.“Pergilah, Mas. Temui dan temani saja istri tercintamu itu,” ucap Inda kemudian berjalan melewati Dihan.Namun, langkah Inda terhenti. Pinggangnya direngkuh oleh kedua lengan kokoh pria yang memang masih berstatus suaminya. Untuk sesaat Inda terbuai dalam hangat peluk itu. Napasnya tercekat. Jantung memompa kian cepat.Dihan menyusupkan kepalanya di ceruk leher Inda. “Maaf,” dia berbisik, lantas menghidu aroma wanita yang dulu pernah menjadi satu-satunya cinta yang bertakhta di hatinya. “Mas tidak ingin kehilanganmu, Inda. Tidak bisakah kita membuka lembar baru? Kita tata lagi rumah tangga kita. Aku cinta padamu dan aku tahu kamu pun masih mencintaiku.”Inda terdiam. Niat untuk memberontak diurungnya sejenak. Ragu Inda menyentuh tangan Dihan yang terkunci di perutnya, ketika kata demi kata pria itu dicecap otaknya dan memupuk benih harap yang kini sudah hampir mati.Netra Inda terpejam. Bersungguh-sungguhkah Dihan sekarang? Apa akhirnya pria itu mengingat cinta mereka dan menyesal menduakannya?Inda menunduk. Sebuah senyum hendak terbit di wajah yang sudah lama kusut. Penantiannya mungkin berbuah manis. Dihan akan kembali padanya dan meninggalkan Mega—wanita rubah perebut milik orang lain.“Apa kamu serius, Mas?” tanya Inda. Bunga di hatinya mulai mekar kembali begitu Dihan menggumam dan mengeratkan peluknya.“Aku serius, Inda. Karena itu ....”Sayang, tidak peduli betapa cepat Dihan menumbuhkan harap, secepat itu pula dia meracuninya hingga layu kemudian membusuk. Inda menahan napas hanya untuk menuai ladang tandus.“Izinkan aku menikahi Mega secara resmi. Berdamailah dengannya. Maafkan kami. Anak Mega akan menjadi anakmu juga.”Terima kasih sudah membaca💕 Semoga kalian suka ya.
"Inda apakah kamu marah?" tanya David sambil mencengkram pergelangan tangan wanita bersurai sepanjang dada itu. Inda belum menyahutnya. Ia kebingungan atas perasaannya sendiri. Dari arah belakang, Felicia melihat adegan ini dari dalam mobil dengan wajah tak senang. Tangannya terkepal erat menatap Inda."Dasar wanita tak tau diri, sudah bersuami saja masih menggoda pria lain," gumam Felicia kesal.Salah satunya cara ia menjauhkan Inda dari David adalah ibunya David. "Aku mau ke mansion David," perintah Felicia kepada bodyguardnya.Mobil Felicia pun melaju pergi dengan hati panas seakan terbakar.Sementara, David masih menunggu jawaban dari Inda. Sepenting itukah tanggapan Inda tentangnya? "Aku tidak marah," jawab Inda seadanya. Inda bukan tidak marah, tapi dia tidak ada hak untuk marah. Dia bukan siapa-siapa, hanya seorang karyawan rendahan saja. "Tapi wajahmu berkata lain, Inda." David memaksa. "Aku bilang tidak ada! Untuk apa aku marah, aku tidak punya hak. Kamu bebas mau berd
Mega memilih-milih pakaian yang akan dikenakannya siang ini. Susah seharian ia di rumah saja, rasa bosan pun menyapa. Maka dia memutuskan untuk keluar mempercantik kukunya. Sebuah dentingan notifikasi terdengar dari ponsel Mega. "Ck, nanti sajalah," gumam Mega kepada dirinya sendiri, mengabaikan pesan yang mengganggu aktivitasnya.Selesai mengganti pakaiannya, ia baru melihat pesan yang dikirimkan oleh nomor asing lagi. Sebuah pesan berisi ajakan untuk bertemu. Tangan Mega terkepal kuat. Dalam hatinya mengobarkan api amarah. "Pasti Rion. Mau apa sih dia?!" keluh Mega kesal.Tanpa memedulikan isi pesan tersebut, Mega keluar dari rumah menuju ke tempat yang ditujunya dengan supir pribadi yang direkrut oleh sang suaminya, Dihan.Di belakangnya, Rion mengikuti Mega secara diam-diam. Tak lupa juga dengan penyamarannya memakai kacamata culun dan tas ransel sekolah yang besar.&&&&"David," panggil seseorang paruh baya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.David yang sedah memeriksa lapor
Senyum Inda mewarnai wajah ketika menyuapkan es krim durian kesukaannya. David yang memperhatikan tingkah Inda hari ini layaknya bocah kecil, terkekeh pelan.Setelah makan di restoran, Inda dan David memutuskan berjalan-jalan sekitar restoran di taman terdekat. "Kamu tampak senang," kata David."Sudah lama aku tidak makan ini. Eh! Ada gulali!" seru Inda dengan mata berbinar-binar. David lekas menyusul Inda di belakang seraya menggelengkan kepalanya."Mas, satu ya." Inda hendak mengeluarkan dompat dari tas, sebelum akhirnya sebuah lembaran uang seratus muncul di depannya."Kembaliannya di ambil saja," ujar David."Kamu sudah membayarkan makanan, dan membeliku es krim, David. Biarkan aku membayarmu kali ini," kata Inda merasa tak enak hati."Tidak apa-apa, harga itu kecil bagiku." "Sombong," cibir Inda sambil menjulurkan lidahnya."Sombong katamu?" ulang David kemudian menangkap badan Inda dan menggelitiknya."Aduh! Geli! Geli David! Hentikan ...," pinta Inda dengan tawa meledak."Dav
Apakah ini termasuk Nge-date?Inda kebingungan saat tidak menemukan siapa pun di rumahnya, selain dirinya dan David.“Bu? Ayah? Indra? Di mana kalian?” Tanya Inda mencari ke dapur, taman belakang dan ruang keluarga.“Sasha pun tidak ada,” kata David. “Coba telpon?”Inda mengangguk menyetujui saran dari David. Panggilan terhubung. “Halo Kak? Ada apa?” Tanya Indra di seberang. “Dra, kalian semua pergi ke mana?” “Ah, kami lagi di luar bawa Sasha bermain. Jangan khawatir, kami akan bantuin kakak jagain Sasha. Nikmati saja waktu berduaan.” Terdengar tawa geli sebelum Indra memutuskan sambungan. “Bagaimana? Apa yang dibilangnya?” David menatap penasaran. Inda menelan ludahnya. “Me-mereka lagi bermain di luar.”David tampak berpikir. “Baiklah, apakah kita juga harus keluar? Makan bersama misalnya?” “Bo-boleh, tapi aku bersih-bersih dulu.” David mengangguk kepalanya dan juga menyusul ke kamar membersihkan diri. &&&&Inda mencari pakaian yang bagus untuk dikenakan, tapi semua tidak lagi
Seharian ini, Inda terus menjaga sang Ayah—Rudy--di sampingnya. Meski Inda tahu ayahnya gengsi untuk menerima bantuan darinya tapi Inda tahu jelas bahwa Rudy sangat rindu padanya. “Kau pergi saja sana, kenapa masih di sini?” Entah sudah berapa kali Rudy mengatakan hal ini, bukannya Inda sakit hati atau sedih, melainkan tertawa. “Benar nih Ayah mau usir aku?” tanya Inda terkekeh geli. Inda tahu jelas sifat ayahnya satu ini. Mulut Rudy menyuruhnya pergi padahal dalam hati justru berkebalikannya.Belum sempat Rudy membalas ledekan sang anak, panggilan Jeni dari luar kamar menginterupsi keduanya. “Nak Inda, itu ada orang bilang teman kerjamu, Nak.”Dahi Inda berkerut dalam. Siapa teman kerjanya yang tahu alamat rumah kampungnya? Inda kemudian keluar dari kamar ayah menuju ruang tamu. Matanya terkuak lebar ketika melihat sosok yang tak pernah terpikirkan olehnya.Sasha berlarian langsung menghambur ke pelukan Inda. “Mamaaa! Mama liburan kok tidak bawa Sasha.”Jeni dan Rudy yang di bel
"Menjauh dariku Dihan!" ucap Inda kesal seraya memberontak."Tidak. Sudah lama kita tidak berdekatan seperti ini. Wangimu masih sama." Dihan menghirup dalam-dalam aroma vanila minta yang menjadi aroma favoritnya.Inda terkekeh kecil. "Kau kira dengan perkataanmu itu, aku bakalan luluh? Aku sudah jijik denganmu!""Jangan begitu, sayang. Kasih aku kesempatan terakhir. Aku berani bersumpah, kali ini aku akan memperbaiki hubungan kita balik seperti dulu," pinta Dihan semakin erat memeluk Inda dari belakang.Dengan geram, Inda mengigit lengan Dihan sekeras mungkin membuat pria itu mengerang kesakitan hingga melepaskan pelukannya."Astaga, Inda! Aku ini suamimu!"Inda tersenyum mengejek. "Kedepannya bukan lagi. Dan asal kau tahu Dihan! Aku bukan tidak pernah memberimu kesempatan, tapi sudah berkali-kali! Cuma kau yang tidak menghargainya." Inda lalu naik ke kamarnya dan mengunci diri di sana. Membersihkan diri sebelum akhirnya ia memutuskan untuk baring ke kasur miliknya yang sudah kosong