Share

Bab 5 : Pertengkaran Tiada Habis

Waktu berputar sangat cepat, tak terasa sudah 3 bulan berlalu sejak kepindahan Dihan dan Mega dari rumah mereka. Dihan berjanji kepada Inda bahwa ia akan berkunjung seminggu sekali.

“Mas mau ke mana hari Minggu gini?” tanya Mega melihat sang suami memakai pakaiannya.

“Pergi menemani Inda, Meg. Aku akan pulang sore.”

Mendengar nama Inda, tentu Mega tidak senang. Kenapa wanita itu masih saja bersarang di hati Dihan?

“Tidak boleh, Mas. Masa Mas tega ninggalin istrimu yang sudah besar kandungannya ini sendirian,” ujar Mega kesal.

“Astaga, Meg, Inda juga istriku. Bagaimana pun aku masih punya tanggung jawab atas dirinya sebagai suami. Papa ada di bawah dan Mama sebentar lagi pulang dari pasar. Mereka akan menjagamu.”

“Aku nggak mau tahu, aku mau Mas yang temenin aku. Anak kita juga pasti cariin terus nanti.”

“Minggu lalu aku sudah tidak menjenguknya, Meg. Waktuku minggu ini harusnya buat Inda.” Dihan tetap keukeuh dengan pendiriannya.

Mega mengentakkan kakinya setelah Dihan merapikan bajunya kemudian turun ke bawah berjumpa dengan mamanya yang mengerutkan kening melihat putra satu-satunya sudah rapi di pagi hari Minggu.

“Ada urusan kantor, Nak?” tanya Mama Dihan—Jenny.

Dihan hanya berdeham seadanya lalu lanjut menuju garasi, menyalakan mesin dan melajukan mobil sampai ke pekarangan rumahnya.

Rumah pekarangan Dihan tidaklah besar, namun tidak juga kecil. Bisa dikatakan sedang dibandingkan perumahan tetangganya. Dihan turun dari mobil, merogoh kantung celana untuk mengambil kunci. Namun tak menemukan di saku mana pun.

Dihan menepuk jidatnya teringat meninggalkan kunci rumah tersebut di nakas rumah orangtuanya. Ia pun menekan bel pintu.

Setelah menunggu beberapa menit, masih tidak ada yang membuka pintu. Lagi-lagi Dihan memijit bel, kali ini dibunyikan terus menerus hingga 5 menitan. Tetap saja hasilnya nihil.

“Ke mana Inda ini?”

Dihan mengeluarkan ponsel dari saku celana panjangnya dan menelepon sang istri. Baru saja ia menempelkan benda mati persegi itu ke telinga, di sanalah muncul sosok Inda berjalan dari arah kanan.

Dihan memperhatikan penampilan Inda dari atas sampai bawah. Inda memakai gaun hitam yang menonjolkan lekukan tubuh indahnya. Sungguh heran melihat istri tuanya memakai baju-baju cukup seksi seperti ini di hari Minggu.

Inda memelankan langkah ketika iris mata cokelatnya menangkap keberadaan Dihan yang tampak tengah menunggu dirinya.

“Kamu habis dari mana?” tanya Dihan menginterogasi.

“Bukan urusanmu,” jawab Inda dingin lalu melewati Dihan, begitu saja masuk ke dalam rumah.

Dihan membeo Inda dari belakang dan menarik lengan Inda. “Kamu pakai beginian mau godain lelaki mana? Kamu tidak lupa sudah bersuami kan?”

Inda mengempaskan tangan Dihan. Bibirnya kemudian terkekeh pelan. “Mas memangnya masih ingat aku sebagai istrimu?”

“Inda, kamu bukannya tidak tahu kalau Mega lagi hamil anakku, dia lebih membutuhkan aku di sisinya.”

“Terus Mas ngapain datang ke sini? Pergi sana saja urusin si pelakor itu!”

“Inda, jaga bicaramu! Dia bukan wanita seperti itu. Mau aku bilang berapa kali?”

“Terserah, aku tidak peduli."

“Inda ... aku ingin memperbaiki hubungan kita.”

“Memperbaiki?” Inda maju selangkah lalu mendongak. Netranya menantang sepasang mata teduh Dihan—yang sialnya, masih membuat Inda merindu bahkan hingga detik itu. “Bagaimana mungkin hubungan kita diperbaiki jika kamu saja tidak bisa memilih salah satu, Mas? Kamu menginginkan dua-duanya, sedang aku tidak pernah ingin berbagi. Kamu serakah!”

Nada bicara Inda meningkat di akhir kalimat. Dadanya naik turun dengan emosi yang mulai tumpah. Belum sempat Inda menata hati usai jumpa kemarin, kini Dihan kembali menampakkan batang hidungnya. Bersama wajah sok bersalah membuat Inda merasa muak.

“Pergilah, Mas. Temui dan temani saja istri tercintamu itu,” ucap Inda kemudian berjalan melewati Dihan.

Namun, langkah Inda terhenti. Pinggangnya direngkuh oleh kedua lengan kokoh pria yang memang masih berstatus suaminya. Untuk sesaat Inda terbuai dalam hangat peluk itu. Napasnya tercekat. Jantung memompa kian cepat.

Dihan menyusupkan kepalanya di ceruk leher Inda. “Maaf,” dia berbisik, lantas menghidu aroma wanita yang dulu pernah menjadi satu-satunya cinta yang bertakhta di hatinya. “Mas tidak  ingin kehilanganmu, Inda. Tidak bisakah kita membuka lembar baru? Kita tata lagi rumah tangga kita. Aku cinta padamu dan aku tahu kamu pun masih mencintaiku.”

Inda terdiam. Niat untuk memberontak diurungnya sejenak. Ragu Inda menyentuh tangan Dihan yang terkunci di perutnya, ketika kata demi kata pria itu dicecap otaknya dan memupuk benih harap yang kini sudah hampir mati.

Netra Inda terpejam. Bersungguh-sungguhkah Dihan sekarang? Apa akhirnya pria itu mengingat cinta mereka dan menyesal menduakannya?

Inda menunduk. Sebuah senyum hendak terbit di wajah yang sudah lama kusut. Penantiannya mungkin berbuah manis. Dihan akan kembali padanya dan meninggalkan Mega—wanita rubah perebut milik orang lain.

“Apa kamu serius, Mas?” tanya Inda. Bunga di hatinya mulai mekar kembali begitu Dihan menggumam dan mengeratkan peluknya.

“Aku serius, Inda. Karena itu ....”

Sayang, tidak peduli betapa cepat Dihan menumbuhkan harap, secepat itu pula dia meracuninya hingga layu kemudian membusuk. Inda menahan napas hanya untuk menuai ladang tandus.

“Izinkan aku menikahi Mega secara resmi. Berdamailah dengannya. Maafkan kami. Anak Mega akan menjadi anakmu juga.”

Bella Angeline

Terima kasih sudah membaca💕 Semoga kalian suka ya.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status