"Omong kosong! Jangan percaya dia, Mas. Dia-"
Belum sempat Inda menyelesaikan kalimatnya, Dihan sudah memotongnya dengan suara yang tegas. “Diam kamu! Aku tahu kamu cemburu, tapi bukan berarti kamu bisa terus menyakiti Mega seperti ini!”“Terserah Mas! Yang jelas, aku tidak melakukan apa-apa ke wanita pelakor itu!” Inda mengelak kemudian menunjuk ke Mega. “Dan kamu ... Tidak usahlah berpura-pura! Aku tahu semua hanya taktikmu saja!”Inda sudah geram sama tingkah Mega yang sengaja mengadu domba hubungannya dengan Dihan.Kening Dihan kian berkerut, tampaknya sangat kesal akan kelakukan istri pertamanya. Dia berjalan mendekat ke arah Inda.Tak ada rasa takut sekali pun, Inda menatapnya dengan menantang.Plak!Inda terdiam bengong disertai air mata mengalir tanpa bisa ia cegat. Pipinya serasa terbakar. Mendadak kepala Inda pun terasa berputar dan pendengaran yang sedikit menghilang.Tega sekali Dihan terus-menerus menyakiti Inda baik itu dari segi fisik atau batin seperti ini demi wanita selicik Mega. Mereka baru kenal berapa bulan dibandingkan dengan Inda.Hati Inda kini merasa hampa. Percuma saja ia mejelaskan, melihat tuduhan suami yang akan terus berpihak ke istri mudanya.Hati Inda terlalu sakit untuk berkata-kata lagi. Runtuh sudah semua kepercayaannya pada Dihan.Ucapan manis Dihan semalam masih mengenang di telinganya. Begitu merdu. Tapi kini, terdengar menyayat hati Inda hingga berkeping-keping.Ingin sekali Inda berteriak bahwa ia tak sanggup untuk dimadu. Muak dengan segalanya yang ada di sini. Kelembutan dari Dihan, kasih sayang yang cuma miliknya seorang, serta janji manis yang keluar dari mulut sang suami kini tak bisa Inda rasakan lagi.Benci ... Inda benci suaminya yang membawa orang ketiga, sosok yang merusak rumah tangga harmonis ini menjadi bagaikan hidup di neraka.Raut wajah Dihan terlihat frustasi. Bingung dengan kelakuan istri tuanya. “Sekarang kau bilang padaku, apa yang harus kulakukan agar kau bisa menerima Mega sebagai adik madumu?"Inda tersenyum kosong. "Jadi ... Bagaimana pun, aku harus menerimanya, iya?!"Tangan Inda sambil menekan dadanya yang seakan penuh dengan ribuan jarum. Menunjukkan betapa ia tersakiti.Tapi apa gunanya? Ketika Inda tersiksa batin maupun fisiknya. Tetap saja istri keduanya cuma akting menangis, mencoba menunjukkan topengnya yang berhasil membuat Dihan kalang kabut."Inda, dengarkan aku." Dihan memegang bahu Inda, mencoba membuka pikirannya.Inda berusaha mengempaskan tangan Dihan. Menolak untuk mendengar semua alasan yang tidak bisa ia terima."Sudah Mas! Cukup! Aku lelah dengan ucapanmu yang memberiku harapan palsu!"Iris mata hitam pekat Inda melirik ke arah Mega tersenyum penuh kemenangan di belakang Dihan. Terlihat jelas dari ekspresi sang istri muda yang menunjukkan bahwa dirinya begitu bahagia melihat Inda sengsara.Inda mengakui dirinya kalah dengan permainan kotor madunya yang berhasil mencuri kepercayaan Dihan.Tak sanggup lagi ia melihat wajah Dihan dan Mega. Inda akhirnya memutuskan lari ke atas kamarnya kemudian menguncinya. Dia menenggelamkan wajah manisnya ke bantal lalu menangis histeris dan berteriak sekuat yang ia bisa. Meluapkan seluruh beban yang menyedihkan. Cuma itu yang bisa Inda lakukan sekarang.Teringat dulu seberapa bodohnya Inda mendukung usaha Dihan dari nol. Tanpa modal. Inda lah yang memberikan tabungannya untuk Dihan. Inda lah yang selalu berada di sisinya, menemani Dihan di saat Dihan tidak punya apa-apa.Bahkan, kedua orangtua Inda juga tidak setuju dirinya menikah dengan Dihan, karena dulu Dihan tidak memiliki penghasilan.Inda satu-satunya yang ada pada saat itu. Ia terlalu yang percaya kepada Dihan, tetap menikahi dengannya. Tanpa meminta apapun untuk akad nikah, cukup mereka berdua dan Tuhan saja yang jadi saksi bisu cinta mereka.Karena waktu itu semuanya masih sangat susah. Hemat biaya pengeluaran dari tabungan Inda supaya usaha sang suami dapat bertahan sampai detik ini.Tapi begitukah balasannya? Setelah usaha Dihan mulai sukses, dia melirik wanita lain dengan alasan ingin punya anak? "Jahat sekali kamu Mas! Kamu mengkhianati cinta kita, pernikahan yang sudah kita lalui bersama bertahun-tahun. Dan teganya kamu sekarang lebih memilih wanita licik itu," 🌺🌺🌺Tok. Tok. Tok.Inda mengusap kedua mata sembabnya yang masih tersisa bekas-bekas air mata. Pintu masih diketuk secara tidak sabaran.“Inda, bukain pintunya. Kita butuh bicara.” Itu suara Dihan.Inda tersenyum miris. Apa lagi yang perlu dibicarakan? Menceramahinya untuk menerima pelakor itu? Tak ia pedulikan panggilan Dihan yang berusaha mengedor-ngedor sampai memutar kenop biar keluar menemuinya. Iya, hancurkan saja itu pintunya. Inda sudah tidak peduli lagi!Inda tidak sudi untuk mendengar omong kosong yang hanya terus menyayati hatinya saja.Lalu Inda langsung turun dari ranjang menuju kamar mandi membasuh seluruh wajah serta membersihkan diri.Pantulan kaca yang menampilkan seluruh badan Inda dari atas sampai bawah di kaca. Kacau dan berantakan. Rambut ikal gelombangnya acak-acakan tidak tersisir rapi, mata setengah bulannya membengkak ibratkan mata kodok. Dua kantung mata pun tak kalah hitam mencetak di sana."Bagus! Sempurna sekali dirimu Inda. Pantas saja Mas berpaling darimu," pikir Inda.Dihan nggak memanggil Inda lagi, mungkin sudah lelah tidak mendapat jawaban dari sang istrinya.Inda merasa bodoh amat, ia belum sanggup melihat wajah tidak bersalahnya Dihan. Seolah ia memang sepadan mendapatkan semua perlakuannya itu."Ya Allah ... Jika mendengar doaku, tolong kuatkan hati hambaMu agar bisa terus menjalani hidup ini." Inda berdoa dalam hati.Kemudian Inda bangkit dari lantai menuju pintu kamar lalu membukanya dan turun ke lantai dasar. Suasana tampak hening. Inda mengedarkan pandangan di sekujur ruang keluarga. Tidak ada tanda-tanda ada seseorang di sana. Apakah Dihan dan wanita itu sudah pergi?Bola mata Inda tak sengaja menangkap secarik kertas di atas meja. Inda melangkah dekat dan membaca isi di dalamnya. Tulisan Dihan.'Tadinya ingin berbicara langsung denganmu, tapi kamu tidak mau keluar. Ya sudah, aku memberi tahumu lewat pesan ini saja. Setelah aku pikir-pikir lagi, demi kesehatan dan keselamatan anakku, lebih baik aku dan Mega pindah ke rumah orangtuaku untuk sementara waktu. Jika kamu khawatir soal uang bulanan, aku akan tetap kirimin.'Senyum pahit terbit di wajah Inda. Tetesan-tetesan air mata merintik membasahi surat di tangannya.Dikoyak kertas itu jadi serpihan kayak hatinya saat ini dengan penuh emosi dan melempar serpihan itu ke atas.Inda menghapus kedua pipi secara kasar, mengepalkan tangan begitu erat.“Baik Mas, jika ini maumu. Maka aku akan membuatmu menyesal atas perbuatanmu yang menduakan aku kemudian sesuka hati melukai aku!”Hello, Hello. Mochi here! Dukung Mochi ya bila kalian suka cerita ini. Terima kasih guys. Regards, Mochi.
Waktu berputar sangat cepat, tak terasa sudah 3 bulan berlalu sejak kepindahan Dihan dan Mega dari rumah mereka. Dihan berjanji kepada Inda bahwa ia akan berkunjung seminggu sekali.“Mas mau ke mana hari Minggu gini?” tanya Mega melihat sang suami memakai pakaiannya. “Pergi menemani Inda, Meg. Aku akan pulang sore.”Mendengar nama Inda, tentu Mega tidak senang. Kenapa wanita itu masih saja bersarang di hati Dihan?“Tidak boleh, Mas. Masa Mas tega ninggalin istrimu yang sudah besar kandungannya ini sendirian,” ujar Mega kesal.“Astaga, Meg, Inda juga istriku. Bagaimana pun aku masih punya tanggung jawab atas dirinya sebagai suami. Papa ada di bawah dan Mama sebentar lagi pulang dari pasar. Mereka akan menjagamu.”“Aku nggak mau tahu, aku mau Mas yang temenin aku. Anak kita juga pasti cariin terus nanti.”“Minggu lalu aku sudah tidak menjenguknya, Meg. Waktuku minggu ini harusnya buat Inda.” Dihan tetap keukeuh dengan pendiriannya. Mega mengentakkan kakinya setelah Dihan merapikan baj
“Mama!”Baru saja Inda tiba di kantor, mendadak ada seorang anak kecil memeluk kaki betis ramping miliknya. Iris mata bulatnya sungguh menggemaskan sekali. Begitu polos dan penuh sinar cahaya. “Sasha, sini.” Sebuah suara membuat Inda menengadahkan kepala melihat atasannya, David berjalan menghampirinya—ralat, lebih tepat kepada Sasha. “Dia bukan Mama, Sasha.” Anak perempuan lugu itu cemberut, semakin kuat mengeratkan pelukannya. “Mama....”David menghela napas berat. “Maafkan anakku.”Inda mengagguk paham lalu beralih melihat Sasha. “Mau aku peluk?” Sasha sontak tersenyum lebar dan merentangkan kedua tangan mungilnya. Inda dengan senang hati menggendong Sasha kemudian memberikan isyarat kepada atasannya bahwa tidak apa-apa. Inda lalu menurunkan Sasha ketika sampai di ruang David. “Sasha, kamu baik-baik di sini ya." “Mama mau ke mana? Mama mau tinggalin Sasha lagi?” tanya Sasha menarik celana panjang kerja putih Inda. Tatapan Sasha kembali berair. David yang melihatnya langsung
"Saya permisi dulu ya, Pak. Sudah larut juga," sela Inda cepat, sebelum bosnya bertanya lebih. David menahan pergelangan tangan Inda. "Biarkan aku yang mengantarmu pulang."Wajah Inda muncul tanda tanya besar di benaknya."Ah, aku tidak ada maksud lain. Ini sebagai tanda terima kasih sudah membantuku menenangkan Sasha," jelas David.Inda berpikir sesaat, kemudian menganggukan kepala menyetujui tawaran David."Tunggu sebentar ya." David segera membereskan barangnya dan mengambil kunci mobil. Tak lupa menggendong Sasha dengan pelan, takut gadis kecilnya terbangun.Inda terdiam melihat adegan hangat itu, dan mengekor David menuju parkiran."Boleh bantu aku buka pintu belakang?" tanya David ke Inda. Inda menuruti permintaan atasannya. Kemudian David menurunkan Sasha yang masih tertidur pulas. Setelah menutup pintu, kini gantian David membuka pintu mobil untuk Inda. "Terima kasih," balas Inda tersenyum sopan.David pun menyusul masuk ke dalam mobil tersebut. Kemudian terkekeh sembari men
Inda menatap dalam manik mata David dengan tatapan kebingungan."Pak, apa anda baik-baik saja?" tanya Inda melambaikan tangannya di hadapan David.David tanpa sadar menahan tangan Inda. "Bisakah kamu menjadi mama pengganti untuk Sasha?" tanya David akhirnya.Mulut Inda melongo seakan tak percaya dengan indera pendengarannya. "Ta-tapi Pak...." "Aku tahu kamu keberatan karena kemungkinan besar sudah punya pacar atau bahkan mungkin suami. Tapi, ini hanya permintaanku sebagai seorang Ayah. Kamu cukup menjaga Sasha ketika ia membutuhkan sosok seorang mama. Paling lama aku minta 1 tahun," jelas David. Inda tampak berpikir. "Kasih saya sehari untuk mempertimbangkan ini, Pak." David memangut-mangut paham. "Baiklah. Sebelumnya aku minta maaf bila permintaanku ini terlalu mendadak."🪷🪷🪷Inda membolak-balikkan badan di kasurnya. Baru pertama kali ia merasa susah sekali untuk masuk ke alam mimpi padahal jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Apakah aku harus menyetujui permintaan Pak Dav
"Apa itu, Pak?" tanya Inda tanpa mengalihkan tatapannya dari Sasha. David berdeham sesaat. "Hubungan kamu dengan suamimu kurang baik ya?" Refleks Inda memalingkan wajahnya ke David dengan kaget."Semalam ketika aku mau balikin kunci aku mendengar laki-laki itu berteriak," jelas David yang menangkap raut kebingungan di muka Inda.Inda menoleh dan menunduk, memainkan jari-jari tangannya. Gugup untuk bercerita kepada David."Aku tahu ini bukan urusanku, tapi di luar ini kita bisa jadi teman kan? Dan kamu bisa langsung memanggilku nama." Mendengar hal itu, Inda berpikir sejenak sebelum menghela napas berat. "Suamiku ... dia menikah lagi." "Nikah siri tanpa sepengetahuanku. Dan wanita itu mengandung anaknya," lanjut Inda.David menganga lebar, seakan tidak bisa memercayainya. "Jadi kamu?" "Tetap istri pertama, ya cuma sebutan saja. Tak ada berpengaruh apa pun di rumah tanggaku sekarang." David bisa menangkap kekecewaan dan kesedihan di balik mata hitam pekat itu. Sungguh, ia tidak sa
Kini Inda berdiri di depan pagar yang menjulang tinggi dengan halaman yang cukup luas menuju pintu utama.Tangan Inda sedikit bergetar untuk menekan bel rumah milik David. Gugup, itulah yang Inda rasakan."Eh, Non. Anda mencari siapa?" tanya seorang paman paruh baya yang sedang menggunting dedaunan."Em.... Saya.... Tidak apa-apa. Saya salah alamat," kata Inda akhirnya mengulas senyum tipis kemudian berbalik arah dan menghela napas gusar."Mamaaa!" teriak Sasha sambil melambaikan tangannya melalui jendela mobil.David memarkirkan mobilnya di samping Inda. Lalu Sasha buru-buru membuka pintu mobil."Sasha, hati-hati, Nak." Inda gercep menggendong Sasha berkaki pendek itu turun. "Tadi Sasha bangun dan langsung mencarimu, aku tak enak hati mengganggumu lagi, jadi aku bawa dia makan es krim," jelas David. "Kamu sendiri kenapa ada di sini?" Inda menunduk malu. "Itu ... aku—" "Mama! Mari kita masuk!" ajak Sasha menarik tangan Inda. Inda tersentak, terpaksa membiarkan Sasha membawanya ke
Inda langsung mundur beberapa senti ke belakang. "Ti-tidak kok. Aku sehat-sehat saja."Kening David mengkerut, tatapannya tampak khawatir. Apalagi takut karena jaga Sasha yang menyebabkan Inda sakit. "Jangan gerak, tunggu sebentar di sini." David bergegas pergi mengambil kotak P3K yang berisi cek suhu tubuh. David langsung menuntun Inda berbaring di sofa, dan memasuki alat cek suhu ke telinga Inda."Astaga, tidak us—""Diam, jangan gerak, Inda," cegat David.Inda mengedipkan mata beberapa kali. Ada rasa gugup dan terharu. Seorang atasan mengkhawatirkan kesehatan karyawannya. "David," panggil Inda pelan. "Hm?" "Terima kasih, sudah mengkhawatirkan aku." Tangan David berhenti bergerak dari menyusun kembali barang-barang ia keluarkan secara berserakan.Kemudian tatapan keduanya saling bertautan satu sama lainnya. Seakan-akan dunia milik mereka berdua."Papa?" tanya Sasha yang berhasil membangunkan keduanya untuk memutuskan kontak mata. "Mama gimana?"David lalu mengeluarkan alat ter
Inda turun dari mobil secepat kilat menghampiri Sasha yang tengah meracau di dalam ruang UKS. "Sasha!" seru Inda."Anda Mama Sasha ya?" tanya petugas UKS tersebut."Iya, saya, Bu," jawab Inda tanpa berpikir lagi."Sasha demamnya tidak mau turun-turun padahal sudah kasih obat," terangnya.Inda mengangguk paham, dan segera duduk di tepi Sasha. Mengelap peluh yang terus bercucuran dari kening Sasha."Kita ke rumah sakit saja," saran David melihat kepucatan Sasha di wajahnya.Inda lalu menggendong Sasha di dekapannya. "Permisi, Bu."Inda dan David mengambil langkah lebar hingga menuju mobil David. "Kenapa panas sekali ya," gumam Inda khawatir sambil menepuk-nepuk punggung Sasha. David menginjak pedal gas dengan kecepatan di atas rata-rata hingga sampai di rumah sakit.&&&"Tenang, dia cuma salah makan sesuatu saja yang membuat dia seperti ini. Aku sudah buka resepnya nanti tebus di apotek saja," ucap dokternya.Kini Inda dan David akhirnya bisa menarik napas lega."Terima kasih, Dok,"