Share

Bab 4 : Kekecewaan Mendalam

“Astaghfirullahal'adzim, Inda! Lepasin Mega sekarang!” Dihan bergerak mendekati istri mudanya yang sedang hamil.

Inda menjauhkan tangan dengan enggan, lalu memutar bola mata malas. Inda berdecih pelan ketika melihat air mata madunya memupuk keluar.

Air mata rubah!

“Kamu baik-baik saja?” tanya Dihan lembut melebihi kain sutra.

Dihan lalu merapikan rambut wanita itu dengan pelan. Jujur saja, melihat adegan tidak adil itu berhasil membuat hati Inda merasa ngilu.

Sebelumnya Dihan juga memperlakukan Inda seperti itu selama 6 tahun belakangan ini.

“Mas, Kak Inda ... Aku didorong oleh Kak Inda, padahal aku hanya ingin melihat foto pernikahan Mas Dihan dengan Kak Inda. Lihat ini, tanganku berdarah, Mas ... Sakit ...” adunya.

Mendengar penjelasan dari Mega, emosi Inda memuncah. Wanita itu bagaikan ular, menuduhnya sembarangan hanya demi perhatian dari sang suami. 

"Omong kosong! Jangan percaya dia, Mas. Dia-"

Belum sempat Inda menyelesaikan kalimatnya, Dihan sudah memotongnya dengan suara yang tegas. “Diam kamu! Aku tahu kamu cemburu, tapi bukan berarti kamu bisa terus menyakiti Mega seperti ini!”

“Terserah Mas! Yang jelas, aku tidak melakukan apa-apa ke wanita pelakor itu!” Inda mengelak kemudian menunjuk ke Mega. “Dan kamu ... Tidak usahlah berpura-pura! Aku tahu semua hanya taktikmu saja!”

Inda sudah geram sama tingkah Mega yang sengaja mengadu domba hubungannya dengan Dihan.

Kening Dihan kian berkerut, tampaknya sangat kesal akan kelakukan istri pertamanya. Dia berjalan mendekat ke arah Inda.

Tak ada rasa takut sekali pun, Inda menatapnya dengan menantang.

Plak!

Inda terdiam bengong disertai air mata mengalir tanpa bisa ia cegat. Pipinya serasa terbakar. Mendadak kepala Inda pun terasa berputar dan pendengaran yang sedikit menghilang.

Tega sekali Dihan terus-menerus menyakiti Inda baik itu dari segi fisik atau batin seperti ini demi wanita selicik Mega. Mereka baru kenal berapa bulan dibandingkan dengan Inda.

Hati Inda kini merasa hampa. Percuma saja ia mejelaskan, melihat tuduhan suami yang akan terus berpihak ke istri mudanya.

Hati Inda terlalu sakit untuk berkata-kata lagi. Runtuh sudah semua kepercayaannya pada Dihan.

Ucapan manis Dihan semalam masih mengenang di telinganya. Begitu merdu. Tapi kini, terdengar menyayat hati Inda hingga berkeping-keping.

Ingin sekali Inda berteriak bahwa ia tak sanggup untuk dimadu. Muak dengan segalanya yang ada di sini. Kelembutan dari Dihan, kasih sayang yang cuma miliknya seorang, serta janji manis yang keluar dari mulut sang suami kini tak bisa Inda rasakan lagi.

Benci ... Inda benci suaminya yang membawa orang ketiga, sosok yang merusak rumah tangga harmonis ini menjadi bagaikan hidup di neraka.

Raut wajah Dihan terlihat frustasi. Bingung dengan kelakuan istri tuanya. “Sekarang kau bilang padaku, apa yang harus kulakukan agar kau bisa menerima Mega sebagai adik madumu?"

Inda tersenyum kosong. "Jadi ... Bagaimana pun, aku harus menerimanya, iya?!"

Tangan Inda sambil menekan dadanya yang seakan penuh dengan ribuan jarum. Menunjukkan betapa ia tersakiti.

Tapi apa gunanya? Ketika Inda tersiksa batin maupun fisiknya. Tetap saja istri keduanya cuma akting menangis, mencoba menunjukkan topengnya yang berhasil membuat Dihan kalang kabut.

"Inda, dengarkan aku." Dihan memegang bahu Inda, mencoba membuka pikirannya.

Inda berusaha mengempaskan tangan Dihan. Menolak untuk mendengar semua alasan yang tidak bisa ia terima.

"Sudah Mas! Cukup! Aku lelah dengan ucapanmu yang memberiku harapan palsu!"

Iris mata hitam pekat Inda melirik ke arah Mega tersenyum penuh kemenangan di belakang Dihan. Terlihat jelas dari ekspresi sang istri muda yang menunjukkan bahwa dirinya begitu bahagia melihat Inda sengsara.

Inda mengakui dirinya kalah dengan permainan kotor madunya yang berhasil mencuri kepercayaan Dihan.

Tak sanggup lagi ia melihat wajah Dihan dan Mega. Inda akhirnya memutuskan lari ke atas kamarnya kemudian menguncinya. Dia menenggelamkan wajah manisnya ke bantal lalu menangis histeris dan berteriak sekuat yang ia bisa. Meluapkan seluruh beban yang menyedihkan. Cuma itu yang bisa Inda lakukan sekarang.

Teringat dulu seberapa bodohnya Inda mendukung usaha Dihan dari nol. Tanpa modal. Inda lah yang memberikan tabungannya untuk Dihan. Inda lah yang selalu berada di sisinya, menemani Dihan di saat Dihan tidak punya apa-apa.

Bahkan, kedua orangtua Inda juga tidak setuju dirinya menikah dengan Dihan, karena dulu Dihan tidak memiliki penghasilan.

Inda satu-satunya yang ada pada saat itu. Ia terlalu yang percaya kepada Dihan, tetap menikahi dengannya. Tanpa meminta apapun untuk akad nikah, cukup mereka berdua dan Tuhan saja yang jadi saksi bisu cinta mereka.

Karena waktu itu semuanya masih sangat susah. Hemat biaya pengeluaran dari tabungan Inda supaya usaha sang suami dapat bertahan sampai detik ini.

Tapi begitukah balasannya? Setelah usaha Dihan mulai sukses, dia melirik wanita lain dengan alasan ingin punya anak? 

"Jahat sekali kamu Mas! Kamu mengkhianati cinta kita, pernikahan yang sudah kita lalui bersama bertahun-tahun. Dan teganya kamu sekarang lebih memilih wanita licik itu," 

🌺🌺🌺

Tok. Tok. Tok.

Inda mengusap kedua mata sembabnya yang masih tersisa bekas-bekas air mata. Pintu masih diketuk secara tidak sabaran.

“Inda, bukain pintunya. Kita butuh bicara.” Itu suara Dihan.

Inda tersenyum miris. Apa lagi yang perlu dibicarakan? Menceramahinya untuk menerima pelakor itu? 

Tak ia pedulikan panggilan Dihan yang berusaha mengedor-ngedor sampai memutar kenop biar keluar menemuinya. Iya, hancurkan saja itu pintunya. Inda sudah tidak peduli lagi!

Inda tidak sudi untuk mendengar omong kosong yang hanya terus menyayati hatinya saja.

Lalu Inda langsung turun dari ranjang menuju kamar mandi membasuh seluruh wajah serta membersihkan diri.

Pantulan kaca yang menampilkan seluruh badan Inda dari atas sampai bawah di kaca. Kacau dan berantakan. Rambut ikal gelombangnya acak-acakan tidak tersisir rapi, mata setengah bulannya membengkak ibratkan mata kodok. Dua kantung mata pun tak kalah hitam mencetak di sana.

"Bagus! Sempurna sekali dirimu Inda. Pantas saja Mas berpaling darimu," pikir Inda.

Dihan nggak memanggil Inda lagi, mungkin sudah lelah tidak mendapat jawaban dari sang istrinya.

Inda merasa bodoh amat, ia belum sanggup melihat wajah tidak bersalahnya Dihan. Seolah ia memang sepadan mendapatkan semua perlakuannya itu.

"Ya Allah ... Jika mendengar doaku, tolong kuatkan hati hambaMu agar bisa terus menjalani hidup ini." Inda berdoa dalam hati.

Kemudian Inda bangkit dari lantai menuju pintu kamar lalu membukanya dan turun ke lantai dasar. Suasana tampak hening. Inda mengedarkan pandangan di sekujur ruang keluarga. Tidak ada tanda-tanda ada seseorang di sana. Apakah Dihan dan wanita itu sudah pergi?

Bola mata Inda tak sengaja menangkap secarik kertas di atas meja. Inda melangkah dekat dan membaca isi di dalamnya. Tulisan Dihan.

'Tadinya ingin berbicara langsung denganmu, tapi kamu tidak mau keluar. Ya sudah, aku memberi tahumu lewat pesan ini saja. Setelah aku pikir-pikir lagi, demi kesehatan dan keselamatan anakku, lebih baik aku dan Mega pindah ke rumah orangtuaku untuk sementara waktu. Jika kamu khawatir soal uang bulanan, aku akan tetap kirimin.'

Senyum pahit terbit di wajah Inda. Tetesan-tetesan air mata merintik membasahi surat di tangannya.

Dikoyak kertas itu jadi serpihan kayak hatinya saat ini dengan penuh emosi dan melempar serpihan itu ke atas.

Inda menghapus kedua pipi secara kasar, mengepalkan tangan begitu erat.

“Baik Mas, jika ini maumu. Maka aku akan membuatmu menyesal atas perbuatanmu yang menduakan aku kemudian sesuka hati melukai aku!”

Bella Angeline

Hello, Hello. Mochi here! Dukung Mochi ya bila kalian suka cerita ini. Terima kasih guys. Regards, Mochi.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status