Share

Bab 6 : Masa Lalu Pahit

“Mama!”

Baru saja Inda tiba di kantor, mendadak ada seorang anak kecil memeluk kaki betis ramping miliknya. Iris mata bulatnya sungguh menggemaskan sekali. Begitu polos dan penuh sinar cahaya.

“Sasha, sini.”

Sebuah suara membuat Inda menengadahkan kepala melihat atasannya, David berjalan menghampirinya—ralat, lebih tepat kepada Sasha.

“Dia bukan Mama, Sasha.”

Anak perempuan lugu itu cemberut, semakin kuat mengeratkan pelukannya. “Mama....”

David menghela napas berat. “Maafkan anakku.”

Inda mengagguk paham lalu beralih melihat Sasha. “Mau aku peluk?”

Sasha sontak tersenyum lebar dan merentangkan kedua tangan mungilnya. Inda dengan senang hati menggendong Sasha kemudian memberikan isyarat kepada atasannya bahwa tidak apa-apa.

Inda lalu menurunkan Sasha ketika sampai di ruang David. “Sasha, kamu baik-baik di sini ya."

“Mama mau ke mana? Mama mau tinggalin Sasha lagi?” tanya Sasha menarik celana panjang kerja putih Inda. Tatapan Sasha kembali berair.

David yang melihatnya langsung menjauhkan Sasha dari Inda agar tidak mengganggu pekerjaan Inda. “Sekali lagi aku minta maaf. Sebaikanya kamu kembali ke meja kerjamu.”

“Baik, Pak,” jawab Inda sopan.

“Tunggu,” panggil David sesaat.

“Ya, Pak? Masih ada yang bisa saya bantu?”

“Siapa namamu?”

“Inda Maharjani, Pak.”

David memunggut-munggut sebentar lalu meminta Inda segera pergi sebelum Sasha merengek lagi. Namun samar-samar Inda mendengar suara tangis histeris dari belakang yang pastinya berasal dari Sasha. Dia anak yang sangat manis dan cantik. Hati Inda tidak tega mendengarnya.

Inda akhirnya berbalik ke dalam dan mengentuk pintu ruangan David.

“Mamaa! Aku mau Mama!” seru Sasha dengan air mata membendung.

Kaki Inda melangkah lebar mendekati Pak David. “Bolehkan saya izin menemaninya sementara waktu, Pak? Saya sungguh tidak tega membiarkan Sasha menangis seperti ini.”

Hening sejenak sebelum David menyetujuinya.

“Baiklah, aku akan bekerja dulu. Kamu tolong bantuin jaga Sasha untukku.”

Tangan Inda mengelus pipi lembut milik Sasha pelan, menghapus air matanya. “Jangan nangis lagi ya, nanti cantiknya hilang loh.”

Sasha lalu tersenyum manis dan mulai berceloteh panjang lebar dari teman sebangkunya yang selalu membawa bekal dari sang mama, terus berlanjut ke mama teman sekolahnya yang juga ikut jemput mereka. Sesekali Inda tanggapi dengan senyuman khasnya.

Tanpa disadari, tangan Inda bergerak mengelus perut ratanya. Jika saja ia sudah memiliki anak, umurnya pasti sudah seumuran Sasha kali ya. Pasti juga sang suami, tidak akan berselingkuh, rumah tangga mereka juga tetap harmonis. Hembusan napas keluar dari bibir tipis Inda. Semuanya hanya andai.

Perkataan Dihan yang memicu pertengkaran lagi tadi, berputar kembali dalam benak Inda. Tangan Inda mengepal. Hatinya serasa dicubit. Tega sekali pria itu meminta izinnya untuk menikahi Mega secara resmi.

Ah, sudahlah, Inda. Mau kamu memiliki anak darinya pun, belum tentu Dihan tidak akan mendua. Kata 'pasti' sudah tidak ada lagi di antara mereka. Mungkin ini justru lebih baik. Anaknya tidak perlu memiliki ayah seperti Dihan, yang mudah tergoda dengan rubah betina.

“Mama? Mama?”

Inda tersadar dari lamunan ketika Sasha menggoyang kecil lengannya. “Iya, Sahsa?”

“Sasha tadi tanya apa Mama besok bisa antar jemput Sasha ke sekolah bareng Papa?”

“Sasha, dia bukan mamamu. Seharusnya kamu panggil dia Kakak.” David datang mengusap puncuk kepala Sasha.

Sasha tidak menerima perkataan dari sang ayah. “Dia Mama Sasha, Pa. Sasha tidak akan salah, Papa bohong bilang Mama sudah pergi jauh. Bohong!”

“Sasha!” tegur David dengan nada keras.

Inda terlonjat kaget mendengar David meninggikan volum suara secara tiba-tiba.

Air mata Sasha spontan terjun begitu saja dari kelopak mata indahnya. “Papa jahat!”

Inda mencoba menahan David yang akan bersuara lagi. “Biarkan saya saja, Pak.”

Tidak sampai 30 menit dari anak perempuan itu merengek, Sasha sudah tertidur dengan tenang setelah berhasil dibujuk oleh Inda.

"Ini kah rasanya mempunyai seorang anak?" batin Inda sambil membelai rambut anak perempuan yang terpejam cantik di pelukannya. Inda bisa melihat dengan jelas wajah sang ayah yang diturunkan ke Sasha.

“Saya berterima kasih sekali, Inda. Kamu sudah menjaganya hari ini, dan tampaknya Sasha salah sangka kamu mamanya. Kamu dan istri saya sama—sama memiliki rambut panjang yang hitam legam. Sungguh, saya minta maaf atas hal itu.”

Inda menggelengkan kepala. Mendengarkan tuturan dari bosnya membuat Inda penasaran. Pasalnya, Inda tak pernah melihat bosnya dengan seorang perempuan. “Tidak apa-apa, Pak. Sasha sangat menggemaskan, saya juga jadi terhibur. Kalau boleh tahu, apa yang terjadi dengan mamanya Sasha, Pak?”

“Istri saya meninggal saat melahirkan Sasha, dan Sasha sendiri tidak pernah melihat wajah mamanya. Dia hanya mengenal mamanya dari sebuah foto yang hanya menggambarkan punggung mamanya.” David menjelaskan, sesekali pria itu menghela napas untuk menahan emosinya.

“Kenapa hanya foto punggung, Pak? Apa istri Bapak tidak sedih di alam sana kalau Sasha tidak mengenali wajah mamanya sendiri?” tanya Inda penasaran.

Entah kenapa saja, Inda merasa terdorong untuk bertanya hal yang sensitif dan pribadi itu.

David menoleh ke arah Sasha, mengelus-ngelus pelipisnya. “Itu permintaan dari istri saya. Dia tidak ingin Sasha kemudian hari terus mengingat wajahnya dan menangis. Dia juga meminta saya untuk menikah lagi supaya Sasha memiliki seorang Mama. Hanya saja saya belum niat mencari wanita yang akan mengganti posisi istri saya.”

Jawaban dari Pak David membuat hati Inda terenyuh. Sejujurnya, Inda merasa iri karena dia selalu menginginkan suami yang setia hingga akhir hidupnya. Namun, kini yang dia dapatkan justru suami yang menyakitinya, menduakannya dengan seorang wanita yang bahkan sudah mengandung.

"Da ... Inda ..." Suara dan lambaian tangan dari pria bermanik cokelat terang yang ada di hadapannya membuyarkan lamunan Inda. Tak sadar, air mata Inda menggelinang di pelupuk matanya.

“Maaf, cerita saya jadi merusak suasana. Saya tidak berniat untuk membuat Kamu menangis,” ucap David sembari menyodorkan sapu tangannya untuk menghapus air mata yang mulai membasahi pipi Inda.

"Tidak apa-apa, Pak. Saya hanya kelilipan tadi," balas Inda. Dia pun terkejut ketika mengetahui dirinya menangis. Inda tidak ingin mengakui atau bahkan menumpahkan semua masalahnya kepada bosnya sendiri.

David hanya bisa tersenyum kecil ketika mendengar jawaban dari Inda. Pria itu tahu bahwa wanita bermanik hitam di depannya hanyalah beralasan karena mereka saat ini berada di lantai 45 kantornya, tidak mungkin ada debu yang membuat wanita itu kelilipan.

"Inda, apa kamu--"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status