Share

BAB 3

Kedua tangan Agung mengepal lalu tanah yang dipijaknya bergetar.

Meskipun kini Agung dan Iyad harus menghadapi sepuluh orang sekaligus, tak sedikitpun mereka menunjukkan wajah gentar.

Sementara itu, di dataran yang lebih tinggi dari lokasi pertarungan.

“Biar saya saja yang turun.” Guntur berkata cepat, saat ia melihat Agni menurunkan satu kakinya.

“Jangan bikin lama, Gun. Kita lagi buru-buru neh,” sahut Agni.

Guntur mengangguk. Tanpa banyak berkata, ia melompat turun sambil mengempaskan energinya ke arah pengeroyokan itu.

Sebentuk angin cukup besar meliuk cepat lalu mendorong dan melempar beberapa dari sepuluh lelaki berseragam hitam itu.

Guntur seorang elemen angin.

Terlihat dari tekanan dan besarnya kekuatan yang dihasilkan, Guntur --pemuda berlogat jawa itu-- memiliki kekuatan lebih besar dibanding Iyad dan Agung.

Guntur berada di tingkat yang lebih tinggi dari kedua rekannya yang lebih dulu bertarung.

Erangan terdengar sesaat dari mereka yang terlempar oleh pukulan angin dari Guntur.

Namun mereka bergegas kembali berdiri dan balik menyerang ke arah Guntur dengan berbagai terjangan bebatuan dan juga pusaran angin.

Namun Guntur dapat memblokir serangan tersebut dan kembali melempar mereka. Kali ini dengan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya.

Dhuaaagg!!

Braaaaaggg!!

“Aaaarrgghhh!!!!”

Guntur tidak memberikan kesempatan kepada lawan yang berjatuhan untuk kembali bangkit, ia melemparkan pukulan energi lagi dengan kekuatan yang sama.

Wuuuuussshhhh!!!

Pusaran angin memukul kembali lawan yang telah jatuh hingga terpukul mundur beberapa meter.

Agung lalu menyambung dengan melempar bebatuan ke arah lawan disusul Iyad yang mengerahkan energinya lalu membungkus bebatuan lemparan Agung tersebut dengan gelombang panas miliknya.

Dhuaaagg!!

Dhuaaagggg!!

Saat lawan terkapar kesakitan, Guntur membuat pusaran angin lainnya di sekeliling sepuluh lawan itu dengan gerakan cepat.

Semakin cepat dan semakin cepat, pusaran itu menyedot udara di sekitar lawan, hingga mereka akhirnya jatuh pingsan.

Guntur mengembuskan napas perlahan dari mulutnya seolah menetralisir energi yang berpacu dalam dirinya.

Agung dan Iyad melangkah mendekat ke Guntur sambil tetap mengawasi tubuh pingsan sepuluh lawan mereka.

“Nuwun sewu. Bukan ndak percaya kalian, tapi Agni minta segera diselesaikan,” ucap Guntur pelan sambil menganggukkan kepala.

“Aman Mas,” tukas Agung.

“Yup. Kita juga pengen cepet beres,” Iyad menyambung.

Mereka bertiga berdiri berdampingan sambil tetap memandang lurus ke arah lawan yang telah tak berdaya. Mata mereka menatap lekat, untuk memastikan lawan benar-benar dalam keadaan sudah tak bisa melawan lagi.

Agung menghela napas lega. Begitu pula Iyad.

Tak lama terdengar gema suara Agni, si pemuda tampan yang masih duduk di atas batu besar.

“Gimana Bro?! Beres?”

Iyad mengacungkan jempol kanannya tinggi-tinggi. “Beres Ni!!”

Baru saja Iyad menurunkan tangan kanan yang teracung tadi, Agni telah berada lima meter di belakang mereka dan berjalan santai mendekati.

“Oke kalo gitu,” sahut Agni.

Tidak satupun baik itu Iyad, Agung ataupun Guntur yang kaget dengan kemunculan Agni yang tiba-tiba di belakang mereka. Karena itu telah menjadi suatu hal yang biasa bagi mereka dan lumrah bagi Agni sebagai seorang elemen Level Dua di Tingkat Menengah yang memiliki kecepatan di atas normal untuk bergerak.

“Giliran tim cleaning nih Gung,” lanjut Agni pada Agung.

“Yoi, saya tahu. Bentar lagi mereka datang,” jawab Agung.

“Bro,” Iyad menyela. “Perlu berapa yang dibawa buat interogasi?”

Agni menggeleng. “Kagak perlu. Tadi gua dah dapet laporan satu penyusup dibawa ke bunker. Kita interogasi dia. Karena dia pemegang informasi lebih banyak ketimbang sepuluh tamu ga diundang ini.”

Iyad mengangguk mantap. “Oke! Paling demen gue bagian wawancara.”

“Bukan sesi wawancara kamu sih. Sesi durjana,” tuding Agung sembari nyengir. “Penyiksaan tiada henti.”

“Kagak lah Gung,” elak Iyad.

“Kagak salah,” ujar Agung lagi.

“Gua kagak sekejam itu,” kilah Iyad lagi. “Kecuali terpaksa…” sambungnya sambil menyeringai.

“Yuk ah, balik,” tukas Agni memotong perdebatan Iyad dan Agung. Ia lalu langsung membalikkan badannya dan berjalan. “Kita pan ada janjian ama Moony neh.”

Iyad dan Agung langsung menyusul dan mensejajari langkah Agni yang panjang. Sementara Guntur mengikuti dari belakang.

“Liya masih di rumah?” tanya Agung.

“Yoi. Diawasi bang Nawi,” jawab Agni singkat. “Pan bang Water masih di Ibukota.”

“Masih ngga tau soal ini kan?” Kali ini Iyad yang bertanya.

Agni menggeleng. “Biar Moony tenang lah. Gak perlu tau soal sepele ini.”

“Beruntung dah tu para penyusup,” bisik Agung sambil melambatkan langkah lalu mendekat ke  telinga Iyad.

“Bener. Mood si Agni masih bagus, secara Aliya aman sentosa di rumah. Coba aja mereka sempet menjejak kaki masuk ke kota yang sama dengan Aliya, bakal hangus mereka dibakar Agni…” balas Iyad dengan berbisik pula.

“Ngapain lu bedua? Ngomongin gua?” Agni melirik malas.

“Nggaaa,” kilah Agung dan Iyad bersamaan. Mereka lalu saling lirik dan nyengir.

Mereka semua adalah Penjaga Aliya, Sang Ratu Bumi.

Dalam tim mereka, tidak ada satu orang pun yang tidak tahu temperamen seorang Agni ketika menyangkut diri Aliya.

Mungkin karena paling muda, Agni adalah yang paling emosional ketika Aliya diganggu penyusup seperti tadi.

Sehari sebelumnya, mereka mendapatkan laporan bahwa mereka akan kedatangan tamu tak diundang.

Lalu pagi dini hari tadi, mereka berempat meluncur ke wilayah ini untuk menghadang para penyusup yang datang itu.

Untung saja, meskipun lawan berjumlah sepuluh orang dan satu orang informan, mereka semua berada pada level 4. Sehingga tidak menyulitkan Agni dan kawan-kawan untuk membereskan mereka semua dalam waktu cukup singkat.

Selama tahun 2017 ini, sudah dua kali mereka kedatangan tamu tak diundang yang berasal dari luar negara.

Keberadaan Ratu Bumi di negara ini, mulai terembus ke negara lain, menghasilkan kaum nekad untuk datang dan mencoba mengusik ketenangan wanita yang mereka jaga dengan baik selama hampir tiga tahun ini.

“Dasar tukang ngibul lu bedua,” sergah Agni menanggapi kalimat Agung dan Iyad sebelumnya.

Agung terkekeh pelan. “Ya syukur aja sih Liya ga tau soal ini. Bener kata kamu, Agni. Biar dia tenang. Kasian juga kan, kalo hampir tiap hari harus ngadepin teror dari dunia kek gini…”

“Bener, Gung. Gue pernah sempet mikir, jangan-jangan ntar Aliya muak sama dunia elemen ini, saking capek nya dikejar-kejar terus…” tambah Iyad dengan suara pelan.

“Eh betewe, lepas dari nemenin makan siang ama Aliya, kita jadi latihan simulasi battle-nya kang Nawidi?” Seakan baru teringat, Iyad bertanya pada Agni.

Agni mengangguk. “Yeah. Siap-siap aja, bro.”

Terlihat Iyad meringis. “Baru kemaren lusa kita ngikutin simulasi satu, padahal.”

Agung menepuk punggung Iyad sambil memberikan cengirannya. “Sabar, Yad. Siapin parasetamol aja yang banyak.”

“Saya masih banyak stok pereda nyeri di kamar, Yad. Kalau mau, sampean boleh ambil,” celutuk Guntur yang sejak tadi hanya diam memerhatikan.

Tak ada satupun dari keempat pria muda itu yang  tak paham beratnya latihan yang diberikan oleh Nawidi, seorang elemen Air berlevel tinggi yang menjadi pelatih khusus mereka sejak kedatangannya.

“Gue kok kangen kang Dean, ya…” cetus Iyad. Ia mengangkat kepalanya memandang langit. “Di mana sekarang ya, si akang bageur (baik) eta teh?”

“Pastinya keur (lagi) sibuk, Yad. Matakna can balik ge (Makanya belum balik juga),” jawab Agung. Namun sorot matanya pun mengamini pernyataan Iyad.

“Sibuk apa ya… Ini udah mau dua tahun…”

“Yang jelas bukan sibuk ngecengin cewek kayak lo, Yad,” cetus Agni.

“Siapa yang suka ngeceng?” elak Iyad. Ia lalu menghela napasnya pelan. “Asli ini mah, gue beneran kangen kang Dean.”

Agni terdiam sejenak.

“Lu tau kagak, saat Moony awal-awal tau dunia elemen?”  kenang Agni tiba-tiba, untuk mengubah topik pembahasan mereka.

Sesungguhnya, sudut hatinya juga merindukan sosok pria bernama Dean itu.

Tanpa setahu teman-temannya yang lain, mungkin dirinyalah yang paling sering teringat Penjaga Inti ber-elemen Bumi dan juga elemen angin tersebut.

Agni menarik napas dalam dan meneruskan, saat tatapan ketiga teman terarah padanya. “Moony komen gini, kok kaya film kartun avatar sih?”

“Trus kamu jawab apa, Ni?” Agung menoleh penasaran.

“Ya gua bilang, lah emang ide cerita itu muncul dari mana?”

”Eh emang dari mana?” Iyad kini balik bertanya.

“Ya lu pikir dari mana lagi?” Agni mendelik sewot. “Dari tetangga lo?”

Iyad mengangkat kedua alisnya. “Wah, emang beneran penulisnya elemen juga?”

Agni menyunggingkan cengiran iseng. “Lu tanya sendiri aja sono ke penulisnya,” jawabnya acuh lalu dengan santai berjalan lebih cepat, mendahului Iyad dan Agung yang saling berpandangan.

Mereka berempat berlalu sambil terus bercengkerama dengan asyiknya, seolah tidak pernah terjadi pertarungan apapun sebelum ini.

Agni melirik ketiga temannya dan tersenyum simpul. Perlahan ia tengadahkan kepala dengan pandangan menyebar pada cakrawala.

Terbersit ingatan pada momen-momen lama bersama sosok pria itu. Momen perjalanan dan perjuangan mereka dalam melindungi Aliya di waktu lalu.

Momen yang juga masih melekat kuat pada tiap dinding memori miliknya.

Agni mendesah samar.

‘Om, lu lagi apa?’ bisik hati kecilnya kemudian.

* * *

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Fifi123
Dean muncul jg di s2 ini kan ya?
goodnovel comment avatar
Joy
iih samaa,, kangen si om dean jg nih,,,
goodnovel comment avatar
Handy Mustakim
menunggu kemunculan elemen bumi angin itu,,,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status