Share

Ratu Pinjol
Ratu Pinjol
Penulis: Irma Juita

Bab. 1: Kado Ulang Tahun

"Mbak Dinar, itu si Dani memangnya enggak di undang ke acara ulang tahunnya Kevin?" tanya Mbak Wiwit tetanggaku.

Ditangan kanannya terlihat sebuah kado berukuran cukup besar. Sementara tangan kirinya menuntun Raka, anak laki-lakinya yang memakai kemeja serta celana jeans panjang.

Baru saja aku akan menjawab pertanyaan Mbak Wiwit, Mbak Tina yang berada di belakangnya mendahului.

"Enggak di undang atau memang enggak punya duit buat beli kadonya?" cibir Mbak Tina.

"Iya bener. Jangankan beli kado, buat makan aja susah hahaha," sambung Mbak Beti yang berada di sebelah Mbak Tina menertawakanku.

Mereka bertiga begitu kompak kalau urusan menjulidi orang lain. Aku yang tadinya akan menjawab, jadi berubah fikiran. Aku melayangkan sebuah senyuman kepada mereka bertiga. Biar mereka puas sekalian. Pantas saja mereka bertiga mendapat julukan Trio Barokah di kampungku, karena hidupnya hanya mengurusi hidup orang lain. Aku merasa tidak ada gunanya meladeni mereka, karena hanya akan menguras emosi dan menambah dosa.

Julukan Trio Barokah di sematkan karena perkataan mereka yang selalu tidak bisa menghargai orang lain dan juga membuat sakit hati siapapun yang menjadi bahan gunjingan dan kejulidan mereka.

Aku sudah terbiasa menjadi bahan julidan mereka, karena kebetulan letak rumah berdekatan dengan kontrakan tempat tinggal mereka. Jadi Aku tidak menanggapi sikap mereka kali ini.

Aku berlalu masuk ke dalam rumah, menghampiri Dani yang sedang menemani adiknya Dina yang baru berusia satu setengah tahun bermain mobil-mobilan.

Biasanya pada jam segini, Dani bermain di depan rumah bersama teman-temannya. Akan tetapi hari ini aku sengaja melarang Dani untuk bermain diluar rumah. Alasanku melarang nya bermain di luar rumah agar dia tidak melihat teman-temannya berangkat memenuhi undangan acara ulang tahun Kevin, temannya.

Sepertinya Dani lupa kalau acara ulang tahun Kevin jatuh pada hari ini. Padahal sebelumnya, dia begitu antusias ingin datang ke acara itu. Dia sampai membongkar lemari pakaian, mencari pakaian yang cocok untuk dia gunakan nanti. Dani sedikit kecewa, karena tidak mendapati pakaian yang menurutnya bagus. Dani bilang, kata teman-temannya harus memakai pakaian bagus untuk datang ke acara ulang tahun Kevin nanti.

Memang sudah beberapa tahun terakhir, kami tidak pernah membeli pakaian baru. Jangankan membeli pakaian, untuk makan sehari-hari saja sudah sulit.

"Kakak lagi main apa sama Adik?" tanyaku berbasa-basi seraya duduk bergabung menemani mereka yang sedang bermain.

"Ini Kakak lagi ajakin Adik main mobilan" jawab Dani, anak laki-lakiku yang berusia hampir menginjak enam tahun.

"Mobilannya bagus, ya!" timpalku seraya tersenyum kepada kedua anakku.

Mereka tampak bahagia walaupun hanya bermain mobilan balap yang sudah tidak memiliki roda. Hanya itu satu-satunya mainan yang Dani miliki. Mainan yang di bawa Mas Dito sepulangnya mengojek. Dia menemukannya dekat pangkalan ojek di tempatnya menunggu penumpang. Walaupun sudah tidak memiliki roda, tetapi kondisi badan mobil masih nampak bagus.

Sementara Dita, dia belum mempunyai mainan satu pun. Seharusnya anak perempuan seusianya sudah bisa bermain boneka. Tetapi apa mau dikata, Allah belum memberikan Kami rezeqi yang lebih untuk membelikannya mainan.

Beberapa kali kulihat Dita menguap, menandakan dia sudah mulai mengantuk. Aku lalu menggendongnya dan berjalan menuju kamar.

"Dani, kamu tidak boleh main keluar rumah dulu, ya. Tunggu sebentar lagi Ayahmu pulang. Ibu mau menidurkan Adikmu dulu" pesanku pada Dani.

Dani hanya menganggukkan kepalanya karena dia sedang fokus bermain mobilan.

Aku melangkah memasuki kamar dan meletakkan Dita di tempat tidur, kemudian menyusul berbaring di sampingnya.

"Embu...nenen...nenen" ucap Dita dengan nada cadelnya. Dia menarik-narik ujung daster yang aku kenakan.

Aku segera memberinya asi sambil mengusap lembut punggungnya. Sampai akhirnya dia tertidur tetapi mulutnya masih menghisap asi. Perutku mulai berbunyi, menandakan minta di isi. Sejak pagi perutku belum terisi makanan sama sekali. Karena hari ini aku tidak kebagian sarapan nasi goreng yang dibuat dari nasi sisa kemarin. Sarapan hari ini hanya cukup untuk anak-anak dan juga suamiku.

Aku meremas perut yang berbunyi, berharap rasa lapar segera berkurang. Perlahan kedua mata terasa berat, sepertinya aku mulai mengantuk. Akhirnya aku pun tertidur dalam keadaan lapar.

Aku terbangun dari tidur, ketika mendengar suara orang menangis. Aku menajamkan pendengaran, untuk memastikan siapa gerangan yang menangis. Aku mengucek mata yang terasa masih lengket dan segera beranjak dari tempat tidurku menuju arah suara tangisan berasal.

Nampak Dani sedang berjongkok dan menangis tersedu di pojokan rumahku. Aku segera menghampirinya dengan perasaan khawatir.

"Dani sayang, Kamu kenapa, Nak?" tanyaku seraya mengusap punggungnya dengan lembut.

Dani menggelengkan kepalanya, bahunya bergerak-gerak karena menahan isak tangis.

"Tidak mungkin Kamu menangis kalau tidak ada sebabnya. Ayo cerita sama Ibu, Nak?" Aku tetap berusaha mencari tahu alasannya menangis.

Dani Anak laki-lakiku yang kuat. Dia jarang sekali menangis, jika tidak ada hal yang membuatnya sakit hati.

"Kenapa Dani tidak datang ke acara ulang tahunnya Kevin, Bu? Apa karena Dani miskin, makanya Dani gak bisa beli kado buat Kevin?" Dani mengungkapkan alasannya menangis.

Aku terkejut mendengar ungkapan hati Dani. Darimana dia tahu kalau hari ini adalah hari ulang tahun Kevin? Sepertinya tadi ketika aku tertidur, dia pergi keluar rumah dan bertemu temannya yang baru pulang dari rumah Kevin.

"Memang hari ini Kevin ulang tahun, ya? kok Ibu bisa lupa ya? lain kali kalau ada yang ulang tahun, Dani ingetin Ibu, ya. Maklum, Ibu udah tua dan mulai pikun hehehe!" ucapku berbohong, bermaksud untuk menghibur Dani yang sedang bersedih.

Aku merasa gagal menjadi orang tua. Karena tidak bisa membahagiakan anak-anakku. Penghasilan Mas Dito sebagai tukang ojek pangkalan yang tidak seberapa, membuat keluargaku sering kekurangan hanya untuk makan setiap harinya. Bahkan Dani yang seharusnya sudah masuk Taman Kanak-kanak pun terpaksa aku ajari mandiri di rumah karena tidak adanya biaya.

"Dani selalu berdoa supaya Ayah dapat rezeqi yang banyak, tetapi kenapa Allah tidak mengabulkan doa Dani, Bu? Dani ingin seperti teman-teman yang lain. Bisa sekolah, bisa jajan dan bisa makan setiap hari. Apa Allah enghak sayang sama kita ya, Bu?" teriak Dani. Dia menghambur ke pelukanku.

Air mataku yang sejak tadi kutahan, akhirnya luruh juga. Aku bukannya tidak bersyukur dengan keadaan keluargaku saat ini. Tetapi Aku paling tidak tahan melihat anakku bersedih. Hatiku terasa tersayat-sayat sembilu. Aku rela menahan lapar setiap hari, asalkan mereka jangan sampai merasakannya. Setiap Ibu di belahan dunia manapun pasti menginginkan kebahagiaan untuk anaknya. Bahkan nyawa sekalipun akan di berikan untuk anak tercintanya.

"Dani enggak boleh ngomong seperti itu ya, sayang. Itu tandanya Allah sedang menguji kesabaran kita. Sampai sejauh mana Kita bisa sabar menerima ujian-Nya, Insya Allah kita akan di naikkan derajat-Nya kalau bisa melewati semua ujian-Nya!" Aku masih berusaha menghibur Dani.

Dani tidak pernah bersikap seperti ini, biasanya dia selalu menerima dengan ikhlas keadaan kami.

"Benar, Bu? Allah akan mengangkat derajat kita? Dani sudah bosan diejek terus sama teman-teman, mereka bilang Dani miskin karena enggak bisa sekolah. Sekarang, Dani juga gak bisa beli kado buat Kevin!" ujar Dani meluapkan semua kekesalan yang ada di hatinya.

Aku hanya bisa mengusap dada dan beristigfar dalam hati. Jadi itu alasannya Dani bersikap tidak biasanya. Dia sudah berada di puncak kesabarannya, karena sering di ejek dan dibuli oleh teman-temannya.

Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status