LOGINNamun, saat Kananta semakin terbawa suasana, tiba-tiba Zinia menghentikannya.“Stop.”Suaranya terdengar seperti rem tangan ditarik mendadak di tikungan. Kananta berhenti freeze dengan pose tangan masih nemplok di dada si manekin—pose yang kalau difoto, bisa masuk grup WA keluarga dan bikin Mama pingsan.Zinia mendekat. Sangat dekat. Aroma parfumnya—mahal, segar, sedikit mint—mengikis sisa-sisa kewarasan yang masih tersisa di kepala Kananta.“Kananta,” ucapnya sambil menatap lurus ke matanya, “sekencang itu kamu imajinasinya?”Kananta menelan ludah. “Sa-saya cuma fokus pada sensasi?”Berusaha mencari alasan yang tentu saja mimik wajahnya seperti buku dengan tulisan capslock semua.“Fokus?” Zinia mengangkat alis. “Kamu dari tadi ngelus kayak orang lagi nyari koin jatuh.”Wajah Kananta memanas. Ini bukan terapi. Ini roasting session. Beginilah rasanya jika dokter yang menangani mantan yang pernah tersakiti. Mantan yang ia tinggalkan untuk menikahi wanita durjana. Mungkin memang benar
Kali ini pulang fisioterapi membuat kananta sedikit lebih tenang, walaupun tadi ada sedikit gangguan dari sang mantan yang benar-benar tidak diharapkan. Seperti jelangkung yang datang tidak diundang, tapi berperawakan seperti kuyang! "Ayah!"Monster kecil itu berlari memeluknya. Bumi, putra sematawayang yang didapatkan dengan begitu sangat sulit. Tiga kali gagal dalam proses bayi tabung. Menghabiskan banyak sekali uang, tapi Kananta bersyukur karena memiliki anak seceria lincah dan juga cerdas Bumi."Wah, wah anak ayah. Ada apa ini sepertinya bahagia sekali?" Kananta dengan satu tangan saja mampu mengangkat tubuh putranya itu. Membawanya ke sofa panjang yang berada di ruang tamu. "Ayah tau tidak? Hari ini aku berhasil mencium tiga gadis di kelas. Hebat kan aku?" Bumi mengangkat kedua alisnya, seolah-olah apa yang dia lakukan itu adalah hal yang sangat membanggakan. Kananta terperangah, dirinya tidak menyangka ternyata Bumi se-playboy itu padahal masih kecil. Dulu ia sepertinya t
Kananta dirinya langsung saja menggenggam lengan Maya untuk segera keluar dari ruangan. Dia tidak peduli tatapan orang-orang di luar—untung saja keadaan sudah sepi karena memang dia pasien terakhir hari itu. Tak menyangka si ratu nyinyir dunia daring, kembali lagi hadir untuk mengobrak-abrik hatinya. "Apa sih maksud kamu?" tanya Kananta dengan suara marah, menarik Maya keluar sampai ke koridor. "Kamu ini ya benar-benar sangat menyebalkan!" Maya berbalik, pakaiannya benar-benar seksi baju tanpa lengan yang ketat menyoroti bentuk badannya, dan rok hanya satu jengkal dari paha yang putih bersih. Dia bergoyang-goyang di hadapannya seolah-olah menggoda, rambutnya tergelincir ke satu sisi. "Kamu nggak lihat ya? Aku cuma mau cek apakah kamu beneran berobat atau cuma main-main sama dokter cantik itu," ujarnya dengan nada menggoda. Maya, setelah cerai dari dirinya benar-benar seperti wanita lajang bahkan lebih mirip jalang. Pole dance, tanpa mengenakan pakaian yang layak mungkinkah itu
Kananta tersentak, keringat dingin keluar di keningnya. “Dokter aku harus siap mental dulu?” “Sangat. Tapi waktu sudah habis.” Dia merinding sampai badan gemetar. “Apakah aku akan selamat dari terapi ini?” Zinia tersenyum tipis—senyum yang bikin hati berdebar lebih kencang, seperti ada getaran listrik di udara. “Tergantung seberapa patuh kau sebagai pasienku.” Kananta berdiri tegak meskipun tulang belakangnya kaku. “Baik dokter.” “Mulai hari ini, Kan .…” Ia menepuk dadanya dengan pulpen yang ada di tangannya—sentuhan itu ringan tapi bikin dada berdebar kencang, seolah mau melompat keluar dari tulang rusuk. “Kau milikku sebagai proyek penelitian.” Kananta hanya bisa membuka mulutnya, mata bengkak dengan kaget: “Apa?” Dia menatap Zinia dengan harap yang membanjiri. "Benarkah? Bagaimana caranya ….” Bagian dalam dirinya berteriak “Jangan terlalu percaya! Jangan terlalu percaya!”—Zinia terlalu misterius, terlalu sulit ditebak. Setiap kali ia mencoba mendekatinya, ia justru semakin t
Kananta keluar dari ruang pemeriksaan seperti orang yang habis disodok kenyataan pahit. Pintu menutup klik, dan semua kepala di ruang tunggu langsung menoleh ke arahnya.Termasuk kakek tadi—yang senyumnya lebarnya kayak baru menikah lima kali.“Gimana, Nak?” Kakek itu mencolek lengannya dengan jari yang kaku seperti kayu. “Dokternya hebat, kan?”Kananta menghela napas panjang. “Kalau saya jawab, saya tambah stres.”Kakek mengangguk dramatis. “Ah, berarti cocok.”Kananta melangkah cepat keluar sebelum ada yang minta testimoni.Begitu keluar klinik, ia langsung menatap langit.“Tuhan … kalau ini cara-Mu mendewasakanku, boleh nggak cari cara lain yang nggak memalukan?”Tidak ada jawaban. Hanya burung lewat sambil berak di kap mobilnya.“Serius, Tuhan? Bahkan burung pun ngetawain aku?”Ia masuk ke mobil, banting pintu, dan menghela napas panjang.Dalam perjalanan pulang, ia mendengar suaranya sendiri mendengkus, “Aku nggak balik lagi. Titik.”Sampai rumah, baru buka sepatu bootnya yang be
Kananta sudah pasrah ketika Zinia menunjuk kursi pemeriksaan sambil mengangkat dagu.“Duduk, Kananta. Kudengar ‘junior’-mu ngadat?”Kananta duduk. Kaku. Beku. Batu nisan pun lebih hidup dibanding dia.Zinia menyilangkan kaki—klik—stocking hitamnya memantul seperti cermin. Roknya pendek sekali, dokter mana yang lulus etik begini? Seolah dia sengaja beli rok di toko baju malam.“Itu rumor,” bantah Kananta cepat, bibirnya kaku.“Rumor?” Zinia nyengir tipis, mata menyipit seperti ular yang melihat mangsa. “Atau kau memang sudah nggak bisa memuaskan siapa pun? Apa senjatamu karatan sampe bisa dipajang di museum?”“Bukan urusanmu,” gumamnya, suara sekeras semut.“Tentu urusanku. Aku doktermu. Tugas dokter? Memastikan barang pasiennya masih layak edar. Kalau nggak, mending aku rekomendasikan ke toko spare part.”Kananta ingin menghilang jadi gas helium, terbang ke atap dan keluar dari klinik tanpa ada yang lihat.Zinia mendekat. Parfumnya menusuk hidung—dulu manis kayak permen, sekarang vers







