Share

Pemeriksaan Mantan

Author: AgilRizkiani
last update Last Updated: 2025-11-06 20:59:49

Kananta sudah pasrah ketika Zinia menunjuk kursi pemeriksaan sambil mengangkat dagu.

“Duduk, Kananta. Kudengar ‘junior’-mu ngadat?”

Kananta duduk. Kaku. Beku. Batu nisan pun lebih hidup dibanding dia.

Zinia menyilangkan kaki—klik—stocking hitamnya memantul seperti cermin. Roknya pendek sekali, dokter mana yang lulus etik begini? Seolah dia sengaja beli rok di toko baju malam.

“Itu rumor,” bantah Kananta cepat, bibirnya kaku.

“Rumor?” Zinia nyengir tipis, mata menyipit seperti ular yang melihat mangsa. “Atau kau memang sudah nggak bisa memuaskan siapa pun? Apa senjatamu karatan sampe bisa dipajang di museum?”

“Bukan urusanmu,” gumamnya, suara sekeras semut.

“Tentu urusanku. Aku doktermu. Tugas dokter? Memastikan barang pasiennya masih layak edar. Kalau nggak, mending aku rekomendasikan ke toko spare part.”

Kananta ingin menghilang jadi gas helium, terbang ke atap dan keluar dari klinik tanpa ada yang lihat.

Zinia mendekat. Parfumnya menusuk hidung—dulu manis kayak permen, sekarang versi mahal dan berbahaya kayak bom wangi.

“Siap diperiksa?” bisiknya, suaranya serak seolah baru selesai nyanyi rock.

Kalau jantungnya bohong sedikit saja, ia siap masuk UGD dengan diagnosis serangan jantung akut.

“Siap,” katanya, suara retak kayak radio jadul yang jelek sinyalnya.

Zinia puas, bibirnya melengkung ke atas. “Bagus. Kita mulai permainannya.”

Ia mengambil stetoskop sambil berjalan sengaja menggoyang pinggul—gerakan yang bikin Kananta lupa dia lagi di klinik, bukan di klub malam.

“Buka dua kancing.”

“Hah?”

“Jantungmu di sini. Jangan pura-pura lupa anatomi, pak pengusaha besar.” Sentilnya tajam, tepat ke titik lemah.

Kananta membuka dua kancing dengan tangan gemetar—seperti orang yang lagi membongkar bom. Zinia menaruh stetoskop tepat di atas dadanya, sentuhan alatnya dingin bikin dia meremang.

“Tarik napas.”

Ia menarik—seolah mau hisap seluruh udara di ruangan.

“Buang.”

Ia membuang—seolah mau buang semua kesalahan masa lalu.

“Masih sama,” komentar Zinia, suara penuh kesan. “Dulu disentuh dikit saja sudah kaku kayak kayu. Sekarang malah lebih parah.”

“Itu fitnah.”

“Bilang saja kangen. Lebih jujur.”

“TIDAK.”

Zinia cek tensi dengan gerakan cepat. “Tuh, naik sampe 150/95. Karena aku?”

"Mungkin.”

“Bagus.” Senyumnya seperti notifikasi setan yang muncul di ponsel.

Wanita itu mengambil rekam medis sambil mengayunkan pinggul seperti mempermalukan semua dokter di dunia yang baju rapi.

“Stres?” tanyanya tanpa menoleh.

“Kau penyebabnya.”

“Oh, jadi aku punya efek samping ke kesehatan mentalmu? Bagus, makin banyak tugasku.”

“Tentu. Kamu selalu bikin hidupku jadi drama Korea.”

Zinia tertawa kecil, suaranya merdu tapi menyakitkan. “Kita progress. Setidaknya kau sudah mau ngaku.”

Ia menutup map dan mendekat—langkahnya lembut tapi pasti, seolah menuju medan perang.

“Mau tanya sesuatu.”

Kananta deg-degan. Dada terasa sesak lagi.

Zinia bersandar ke meja, tubuh condong ke depan—cekungan dada yang terbuka dari kemeja yang kancingnya lepas bikin Kananta menelan ludah berkali-kali.

“Apa kau menyesal meninggalkanku?”

Ruangan mati. AC juga ikut meninggal. Hanya bunyi detak jantung Kananta yang kedengar keras banget.

“Zin, aku—”

“TUJUH tahun, Kan.” Ia mengetuk meja tiap kata—tap … tap … tap—seperti martil yang memukul hati. “Kau pergi tanpa menoleh. Seperti maling yang dapet barang langsung lari.”

“Kondisi kita waktu itu—”

“Berantakan? Atau kau pengecut yang takut tanggung jawab?”

Kananta terdiam. Sakit. Tapi ya valid juga. Dia memang pengecut waktu itu.

Zinia mendekat lebih jauh. Hembusan napasnya menyentuh pipi Kananta—hangat, bikin bulu kuduk berdiri.

“Apa. Kau. Menyesal?”

“Aku nggak tahu.”

“Tidak tahu?” Zinia mengangkat alis, matanya marah tapi juga sedih. “Setelah tujuh tahun, kau cuma bisa bilang ‘tidak tahu’?”

“Kita waktu itu sama-sama keras kepala. Kau nggak mau ngalah, aku juga nggak mau mundur.”

“Aku keras kepala karena aku mencintaimu!”

Kata itu meluncur begitu saja—seperti peluru yang tepat mengenai jantung Kananta. Dia terpaku. Zinia juga bengong dua detik, mata terkejut, lalu wajahnya kembali datar seperti es batu.

“Itu dulu. Sekarang aku dokter yang harus memeriksa masalah kejantananmu.”

Kananta menutup wajah dengan kedua tangan. “Tuhan, ambil saja aku. Lebih baik mati daripada dipermalukan mantan.”

Zinia menepuk kursi pemeriksaan dengan kekerasan. “Bangun. Tahap berikutnya.”

“Ada tahap berikutnya?!” Kananta teriak kecil, khawatir orang luar dengar. “Aku sudah mau pulang, Zin!”

“Tentu. Pemeriksaan perut bawah. Masalahmu ada di situ, bukan?”

Perut bawah? Demi harga dirinya yang sudah tersisa sedikit, Kananta hampir kabur lewat ventilasi di pojok ruangan.

Zinia mengenakan sarung tangan putih—ceklek … ceklek—suara paling menakutkan setelah suara mantan bilang “kita perlu bicara” di tengah malam.

“Zinia, aku sibuk. Bisa lain kali—besok, minggu depan, tahun depan—”

“Tidak.” Zinia menatapnya, mata tajam seperti laser. “Kau datang hari ini, kita selesai hari ini.”

“Zin, serius—aku nggak siap untuk ini!”

“Tenang, Kan. Aku nggak akan menyakitimu. Cuma periksa biasa.”

Kalimat yang biasanya diikuti hal-hal traumatis. Seperti “aku cuma mau lihat” yang berujung bikin barang hancur.

Zinia mendekat lebih jauh, tangannya sudah siap menyentuh perutnya. “Kamu perlu fisioterapi. Dua minggu sekali. Supaya ‘junior’-mu kembali semangat.”

Kananta syok. “Zin, jadwal kerjaku gila. Aku nggak sempat fisioterapi tiap dua minggu. Aku ada rapat, pagi, siang, sore, malam!"

Zinia mendekat ke telinganya—sangat dekat, sampai dia bisa mencium aroma rambutnya yang wangi. Napasnya menyapu rahang Kananta, bikin dia meremang.

“Kalau mau sembuh,” bisiknya pelan, suaranya merdu seperti lagu yang dulu dia nyanyikan saat mereka berbaring di taman.

“Kamu harus ikut caraku ....”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Komite Sekolah

    Namun, saat Kananta semakin terbawa suasana, tiba-tiba Zinia menghentikannya.“Stop.”Suaranya terdengar seperti rem tangan ditarik mendadak di tikungan. Kananta berhenti freeze dengan pose tangan masih nemplok di dada si manekin—pose yang kalau difoto, bisa masuk grup WA keluarga dan bikin Mama pingsan.Zinia mendekat. Sangat dekat. Aroma parfumnya—mahal, segar, sedikit mint—mengikis sisa-sisa kewarasan yang masih tersisa di kepala Kananta.“Kananta,” ucapnya sambil menatap lurus ke matanya, “sekencang itu kamu imajinasinya?”Kananta menelan ludah. “Sa-saya cuma fokus pada sensasi?”Berusaha mencari alasan yang tentu saja mimik wajahnya seperti buku dengan tulisan capslock semua.“Fokus?” Zinia mengangkat alis. “Kamu dari tadi ngelus kayak orang lagi nyari koin jatuh.”Wajah Kananta memanas. Ini bukan terapi. Ini roasting session. Beginilah rasanya jika dokter yang menangani mantan yang pernah tersakiti. Mantan yang ia tinggalkan untuk menikahi wanita durjana. Mungkin memang benar

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Ternyata Seorang CEO

    Kali ini pulang fisioterapi membuat kananta sedikit lebih tenang, walaupun tadi ada sedikit gangguan dari sang mantan yang benar-benar tidak diharapkan. Seperti jelangkung yang datang tidak diundang, tapi berperawakan seperti kuyang! "Ayah!"Monster kecil itu berlari memeluknya. Bumi, putra sematawayang yang didapatkan dengan begitu sangat sulit. Tiga kali gagal dalam proses bayi tabung. Menghabiskan banyak sekali uang, tapi Kananta bersyukur karena memiliki anak seceria lincah dan juga cerdas Bumi."Wah, wah anak ayah. Ada apa ini sepertinya bahagia sekali?" Kananta dengan satu tangan saja mampu mengangkat tubuh putranya itu. Membawanya ke sofa panjang yang berada di ruang tamu. "Ayah tau tidak? Hari ini aku berhasil mencium tiga gadis di kelas. Hebat kan aku?" Bumi mengangkat kedua alisnya, seolah-olah apa yang dia lakukan itu adalah hal yang sangat membanggakan. Kananta terperangah, dirinya tidak menyangka ternyata Bumi se-playboy itu padahal masih kecil. Dulu ia sepertinya t

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Terapi Sentuhan

    Kananta dirinya langsung saja menggenggam lengan Maya untuk segera keluar dari ruangan. Dia tidak peduli tatapan orang-orang di luar—untung saja keadaan sudah sepi karena memang dia pasien terakhir hari itu. Tak menyangka si ratu nyinyir dunia daring, kembali lagi hadir untuk mengobrak-abrik hatinya. "Apa sih maksud kamu?" tanya Kananta dengan suara marah, menarik Maya keluar sampai ke koridor. "Kamu ini ya benar-benar sangat menyebalkan!" Maya berbalik, pakaiannya benar-benar seksi baju tanpa lengan yang ketat menyoroti bentuk badannya, dan rok hanya satu jengkal dari paha yang putih bersih. Dia bergoyang-goyang di hadapannya seolah-olah menggoda, rambutnya tergelincir ke satu sisi. "Kamu nggak lihat ya? Aku cuma mau cek apakah kamu beneran berobat atau cuma main-main sama dokter cantik itu," ujarnya dengan nada menggoda. Maya, setelah cerai dari dirinya benar-benar seperti wanita lajang bahkan lebih mirip jalang. Pole dance, tanpa mengenakan pakaian yang layak mungkinkah itu

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Kejadian Di Ruang Terapi

    Kananta tersentak, keringat dingin keluar di keningnya. “Dokter aku harus siap mental dulu?” “Sangat. Tapi waktu sudah habis.” Dia merinding sampai badan gemetar. “Apakah aku akan selamat dari terapi ini?” Zinia tersenyum tipis—senyum yang bikin hati berdebar lebih kencang, seperti ada getaran listrik di udara. “Tergantung seberapa patuh kau sebagai pasienku.” Kananta berdiri tegak meskipun tulang belakangnya kaku. “Baik dokter.” “Mulai hari ini, Kan .…” Ia menepuk dadanya dengan pulpen yang ada di tangannya—sentuhan itu ringan tapi bikin dada berdebar kencang, seolah mau melompat keluar dari tulang rusuk. “Kau milikku sebagai proyek penelitian.” Kananta hanya bisa membuka mulutnya, mata bengkak dengan kaget: “Apa?” Dia menatap Zinia dengan harap yang membanjiri. "Benarkah? Bagaimana caranya ….” Bagian dalam dirinya berteriak “Jangan terlalu percaya! Jangan terlalu percaya!”—Zinia terlalu misterius, terlalu sulit ditebak. Setiap kali ia mencoba mendekatinya, ia justru semakin t

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Terapi Pertama

    Kananta keluar dari ruang pemeriksaan seperti orang yang habis disodok kenyataan pahit. Pintu menutup klik, dan semua kepala di ruang tunggu langsung menoleh ke arahnya.Termasuk kakek tadi—yang senyumnya lebarnya kayak baru menikah lima kali.“Gimana, Nak?” Kakek itu mencolek lengannya dengan jari yang kaku seperti kayu. “Dokternya hebat, kan?”Kananta menghela napas panjang. “Kalau saya jawab, saya tambah stres.”Kakek mengangguk dramatis. “Ah, berarti cocok.”Kananta melangkah cepat keluar sebelum ada yang minta testimoni.Begitu keluar klinik, ia langsung menatap langit.“Tuhan … kalau ini cara-Mu mendewasakanku, boleh nggak cari cara lain yang nggak memalukan?”Tidak ada jawaban. Hanya burung lewat sambil berak di kap mobilnya.“Serius, Tuhan? Bahkan burung pun ngetawain aku?”Ia masuk ke mobil, banting pintu, dan menghela napas panjang.Dalam perjalanan pulang, ia mendengar suaranya sendiri mendengkus, “Aku nggak balik lagi. Titik.”Sampai rumah, baru buka sepatu bootnya yang be

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Pemeriksaan Mantan

    Kananta sudah pasrah ketika Zinia menunjuk kursi pemeriksaan sambil mengangkat dagu.“Duduk, Kananta. Kudengar ‘junior’-mu ngadat?”Kananta duduk. Kaku. Beku. Batu nisan pun lebih hidup dibanding dia.Zinia menyilangkan kaki—klik—stocking hitamnya memantul seperti cermin. Roknya pendek sekali, dokter mana yang lulus etik begini? Seolah dia sengaja beli rok di toko baju malam.“Itu rumor,” bantah Kananta cepat, bibirnya kaku.“Rumor?” Zinia nyengir tipis, mata menyipit seperti ular yang melihat mangsa. “Atau kau memang sudah nggak bisa memuaskan siapa pun? Apa senjatamu karatan sampe bisa dipajang di museum?”“Bukan urusanmu,” gumamnya, suara sekeras semut.“Tentu urusanku. Aku doktermu. Tugas dokter? Memastikan barang pasiennya masih layak edar. Kalau nggak, mending aku rekomendasikan ke toko spare part.”Kananta ingin menghilang jadi gas helium, terbang ke atap dan keluar dari klinik tanpa ada yang lihat.Zinia mendekat. Parfumnya menusuk hidung—dulu manis kayak permen, sekarang vers

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status