Begitu sadar, aku langsung menarik tanganku cepat-cepat, seolah tersengat listrik.
“Maaf! Saya … saya nggak sengaja,” ucapku terbata, wajahku memerah hebat. Nadira menunduk, wajahnya juga memerah, lalu berdiri sambil membetulkan dasternya. “Gak apa-apa, Mas…” bisiknya lirih. Tapi kami masih berdiri di sana, seperti menikmati rasa canggung dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Akhirnya, aku tersadar. “Saya … saya pulang dulu ya, Mbak.” Tanpa menunggu respon Nadira, aku berjalan cepat menuju unit apartemenku. Begitu masuk, aku menyandarkan tubuhku ke pintu. Aku menelan ludah, jantungku berdetak kencang. Aku mengangkat tanganku, menatapnya lekat, seolah masih bisa merasakan tekstur tubuh Nadira. Dan tiba-tiba— “Ah, sial!” seruku kesal, merasakan sesuatu yang mendadak bangun di bawah sana. Tentu saja aku lelaki normal yang bisa terangsang karena hal seperti itu! Sambil mengusap wajahku, aku berjalan ke kamar mandi. Aku berharap guyuran air dingin bisa mengusir pikiran dan hasrat itu. Air dingin mengalir, menelusuri dari ujung rambutku hingga punggungku yang menegang. Aku menggertakkan gigi pelan, menunduk sambil menutup mata. Tapi alih-alih meredakan, hawa sejuk dari pancuran malah terasa seperti pemantik lain bagi api di dadaku. Bayangan tubuh Nadira muncul lagi di pikiranku, begitu dekat, begitu nyata, begitu hangat. Aku menarik napas panjang, mencoba mengusirnya, tapi sia-sia. Tanganku tanpa sadar mengepal, lalu terbuka. Aku menatapnya dalam guyuran air, mengingat jelas betapa halus dan lembut kulit Nadira di sana. *Sial.* Rasanya masih membekas, bahkan lebih nyata daripada mimpi. “Astaga…” gumamku pelan, frustrasi. Beberapa menit kemudian, aku keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit pinggang. Rambutku masih basah, tapi wajahku jelas menunjukkan pikiranku jauh dari damai. Aku melempar tubuhku ke atas kasur, membiarkan punggungku terhempas pada kasur dingin. Tapi bahkan tempat tidur itu tak memberiku ketenangan. Bayangan dan rasa di telapak tanganku masih terus muncul. Akhirnya, aku tak punya pilihan lain. Aku harus menuntaskannya! Tanganku meraih pinggiran handuk yang masih melilit pinggangku, dan dengan gerakan malas, aku melonggarkannya. Kini tak ada sehelai benangpun yang menutupi tubuhku ini. Mataku setengah terpejam, mencoba memfokuskan diri sambil membayangkan lekuk tubuh Nadira yang begitu menggoda. Gerakan tanganku naik-turun menimbulkan rasa nikmat. Rasanya seperti nyata, aku sedang bercinta dengannya, daster longgarnya terlepas dan aku bisa menikmati tubuhnya secara utuh. Semakin lama semakin nikmat, gerakan tanganku semakin cepat, suara gerakan tanganku menggema membuatku semakin bergairah. Aku sudah tidak tahan lagi, aku harus segera menuntaskannya dan segera tidur. Gerakan tanganku semakin kencang, tubuhku bergetar hebat sebentar lagi kenikmatan itu segera tiba. "Ahh," akhirnya keluar, semburannya sampai mengenai wajahku. Baru beberapa menit, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu lagi. "Sial, siapa lagi itu?" Aku segera membersihkan cairan kenikmatanku, dengan pakaian bekas yang ada. Tidak ada waktu untuk memakai pakaian, suara ketukan itu seolah tidak sabar. Aku mengenakan handuk lagi, lalu segera membuka pintu. Pandanganku tertuju pada sepasang kaki mulus dan putih, semakin ke atas dan tertuju pada bagian dadanya yang menonjol, tertutupi kain tipis yang transparan. Dia ternyata Nadira, ia tersenyum lalu mengibaskan rambutnya seolah sengaja. "M-mbak, kerannya bocor lagi?" suaraku agak serak, rasanya sulit untuk berbicara. Dia mendekat, mendorong tubuhku lalu menutup pintunya. Tiba-tiba ia melepaskan pakaiannya begitu saja, lalu melemparnya sembarang. "Kali ini bukan kerannya yang bocor, tapi.... sepertinya ini tersumbat," tangannya mengelus bagian intinya secara perlahan, "Aku butuh obeng Mas untuk menyumbatnya," Aku masih berdiri, mataku sulit berpaling dari tubuhnya yang tidak tertutupi apapun. Tanpa menunggu jawabanku, ia menarik handukku dan "Sial," tidak bisa menahan rangsangan itu, bagian bawahku ternyata sudah mengeras. Nadira semakin mendekat, tangannya meremas bagian intiku yang menimbulkan sengatan listrik yang nikmat. Aku ingin menolak, tapi tubuhku justru menikmatinya dan membiarkan semuanya terjadi. "Mbak, ini....," jari telunjuknya menyentuh bibirku lembut. Ia berbisik pelan di telingaku, "Nikmati saja, kamu menginginkannya, bukan? Aku suka obeng mu, lebih besar dari yang kamu gunakan tadi," Aku menelan ludah dengan susah payah, imanku runtuh tidak bisa menahan godaan yang nyata di depanku. Ia mendorong tubuhku ke atas sofa, ia terlihat lebih berani dan liar dari sebelumnya. Ia berjongkok, kedua tangannya yang halus, meremas bagian intiku yang semakin keras. Kini aku membiarkannya, ia mulai melahapnya dengan rakus. Aku menikmati mulutnya, gerakan lidahnya yang menari-nari di sana. Aku sudah tidak tahan lagi, aku bangkit dan menarik tubuhnya lalu mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Tanganku meremas buah dadanya, yang sedari tadi terlintas di pikiranku. Aku mendorongnya ke atas sofa, aku mendekatkan tubuhku dan kembali mencium bibirnya. Aku mulai menyumbat kerannya yang bocor, ia tersentak ketika aku berhasil membobolnya. Rasanya begitu nikmat, aku menggerakkan pinggulku dengan kencang. Ia terus menggeliat, tangannya meremas rambut belakangku dan terus mendesah. "Ahhh terus, Mas," Ketika aku hampir sampai, tiba-tiba alarm dari ponselku berbunyi keras. Aku terbangun dengan kepala berat, aku mendapati diriku masih memakai handuk dan ada cairan mengering di perut dan dadaku. "Sial, aku mimpi. Aku harus segera bergegas," Aku hampir kesiangan, aku buru-buru untuk pergi ke kantor. Aku tidak sarapan di rumah, karena biasanya aku membeli bubur atau nasi uduk di pinggir jalan untuk dimakan di kantor. Saat melangkah keluar unitku, aku berpapasan dengan seorang wanita di koridor. Dia mengenakan blazer ketat berwarna merah marun yang membuat tubuh padat dengan dada menonjolnya sangat terlihat. Rok pendeknya memperlihatkan kaki jenjang. Rambutnya pendek sebahu, wajahnya cantik dengan riasan tebal yang sedikit menor, tapi ada aura keibuan yang lembut di baliknya. Dia adalah Mbak Dini, penghuni apartemen juga, di unit 705. Kami pernah berpapasan beberapa kali, tapi kami jarang sekali berbincang. Setahuku, Mbak Dini sudah menjanda, tapi mantan suaminya sering datang untuk meminta uang dan memukulnya jika tidak memberi uang. Aku tahu karena beberapa kali sempat mendengar keributan itu. Aku merasa kasihan padanya, tapi aku tidak bisa berbuat banyak karena tidak ingin begitu ikut campur dengan urusan orang lain. "Eh Bima, tumben jam segini baru berangkat," sapanya dengan senyum di wajahnya. “Iya, Mbak. Aku bangun kesiangan,” jawabku sedikit canggung. Kami berdiri di depan lift yang sama. Saat lift berbunyi dan pintunya terbuka, kami melangkah masuk bersamaan. “Memangnya, Mas Bima semalam habis lembur ya?" pertanyaannya itu seolah mengingatkanku pada mimpi sialan itu. "I-iya, Mbak. Banyak kerjaan yang harus aku selesaikan," jawabku terbata, aku mencoba bersikap tenang. Akhirnya, lift sampai di lantai dasar. Aku langsung berpamitan pada Mbak Dini, “Mbak, aku duluan ya.” Mbak Dini mengangguk pelan sambil tersenyum, dia juga melambaikan tangannya dan sedikit membusungkan dadanya, entah untuk apa. “Iya Mas Bima, hati-hati ya.”“Sama-sama, Mbak,” jawabku pelan, suaraku hampir tenggelam oleh keheningan malam.Aku masih mengatur nafasku yang tersengal-sengal, aku sadar yang aku lakukan ini salah tapi semuanya terjadi begitu saja.Nadira bersandar di dadaku, tubuhnya hangat di bawah selimut tipis. Aku ingin menarik diri, tapi matanya yang berkaca-kaca dan suaranya yang rapuh membuatku ragu. Kita berdua tidur tanpa memakai sehelai benangpun, di bawah selimut tipis Akhirnya, kelelahan menyerangku aku merasa sangat lelah dan mengantuk. Kami tertidur pulas di sofa, dalam posisi canggung yang entah bagaimana terasa… nyaman.Satu jam kemudian, suara benda jatuh membuyarkan mimpiku. Aku membuka mata, masih setengah sadar, dan melihat Nadira duduk di kursi dekat meja makan, wajahnya pucat. Sebuah kaleng susu tergeletak di lantai, sepertinya dia tak sengaja menjatuhkannya. Dia menoleh padaku, matanya penuh rasa bersalah.“Maaf, aku membangunkanmu. Maaf sudah merepotkanmu… dan lagi-lagi aku…” suaranya lirih, hampir putu
Aku mainkan lidahku menari-nari di pentil buah dadanya, ia menggeliat dan terus meracau."Ahh, terus Bima enak sekali. Kamu memang sangat pintar dalam urusan kenyot mengenyot, puaskan aku, berikan aku kenikmatan." racaunya, matanya tetap terpejam, tubuhmu lemas.Aku tidak berhenti mengenyot buah dadanya, sesekali aku gigit kecil hingga meninggalkan bekas merah. Akan aku lukis buah dadanya dengan maha karyaku. Sampai leher dan buah dadanya banyak noda merah.Lalu aku membuka rok nya, hingga dalam sekejap sudah tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya. Aku memperhatikan tubuhnya yang begitu seksi, wajahnya yang cantik, kulitnya putih mulus, buah dadanya besar, pinggangnya yang ramping dan bokongnya yang bahenol.Laki-laki mana yang tidak akan tergoda dengan wanita cantik seperti Nadira. Tepat di depan matanya, terbaring seorang perempuan tanpa busana yang membuat aliran darahku mengalir lebih cepat. Aku merasa kurang nyaman jika kita bergulat di atas sofa, kurang leluasa jika kita berdua
Aku menelan ludah, jantungku berdetak kencang. Aku melirik ke arah pintu unit Nadira, tapi aku baru sadar jika aku tidak tahu kata sandinya untuk masuk. “Sial, sekarang gimana?” gumamku panik. Setelah berpikir sejenak, aku menghela napas dan memutuskan untuk membawa Nadira ke unitku sendiri. Tidak mungkin jika aku membiarkannya tergeletak di koridor. Dengan hati-hati, aku menggendong Nadira. Badannya terasa berat, sebenarnya aku tidak ingin menyentuhnya lagi setelah kejadian malam itu, tapi sekarang situasinya darurat. Aku melangkah cepat ke unit apartemenku, membuka pintu dengan susah payah, lalu membaringkan Nadira di sofa. Napas Nadira tak beraturan meski pelan, wajahnya pucat. Aku menatapnya sejenak, masih belum percaya wanita ini kini terbaring di ruang tamuku. Karena sebelumnya, aku bahkan tidak pernah membawa wanita masuk ke apartemenku. Apartemenku kecil, satu kamar tidur, sofa lama, dan meja makan yang nyaris tak pernah kupakai. Mantan pacarku dulu bahkan menolak masu
“Ada nasi di bibirmu, Bim,” kata Mbak Renata, suaranya pelan tapi jelas. Aku membuka mata, wajahku langsung panas. Astaga, aku kira apa! Semenjak putus dengan pacarku, pikiranku jadi kotor, selalu ke arah yang aneh-aneh dan mudah sekali terangsang. “Terima kasih, Mbak,” gumamku, berusaha menutupi rasa malu. Kalau saja disini ada lubang, rasanya aku ingin bersembunyi di sana saking malunya. Mbak Renata tersenyum tipis, lalu memanggil pelayan untuk membayar makanan. Kami berjalan kembali ke kantor, dan aku berusaha fokus ke trotoar di depanku, menghindari tatapan Mbak Renata yang sesekali melirikku. Di kantor, aku kembali ke mejaku, melanjutkan revisi denah yang hampir selesai. Hingga tidak terasa, sebentar lagi tiba waktunya pulang. Pak Hadi, manajer kami, belum pulang masih di ruangannya. Dia orang yang tegas, selalu buru-buru, dan maunya semua beres cepat. Orang bilang dia perfeksionis. Aku fokus ke layar komputer, mencoba melupakan momen canggung tadi di restoran. Lalu Mbak Ren
Pagi harinya, aku bangun dengan kepala sedikit pusing. Mungkin karena tidurku cuma sebentar, pikiranku penuh dengan bayangan semalam. Aku berharap itu hanya mimpi, aku sudah melakukan kesalahan yang besar.Aku masih ingat Mbak Nadira yang begitu sangat agresif, ia seperti orang lain. Mungkin akibat sudah lama di tinggal suaminya, ia sangat kesepian sehingga ia melampiaskan nafsunya padaku.Aku buru-buru mandi, mengenakan kemeja putih dan celana bahan, lalu berlari ke lift. Tidak pernah ada waktu untuk sarapan, bahkan ruangan ini cukup berantakan. Di dalam lift, aku bertemu Dini lagi, tetangga yang sama-sama membuatku gagal fokus.Dia berdiri dengan blazer biru tua yang ketat, memamerkan lekuk tubuhnya yang padat, dan rok pendek yang memperlihatkan paha mulusnya. Rambut pendeknya rapi, tapi riasan tebalnya memberi kesan jika itu memang gayanya.“Pagi, Mbak Dini,” sapaku, masuk ke lift dan berdiri di sisi lain.“Pagi, Mas Bima,” balas Dini, senyumnya lebar. Dia memandangku sekilas, lalu
“Ini kopinya, Mas. Maaf ya agak lama,” ujar Nadira, tiba-tiba sudah berdiri di dekatku, memecah lamunanku.Dia menunduk untuk menaruh cangkir kopi di meja depanku, dan saat itu daster bagian depannya ikut turun, memperlihatkan belahan dada yang lembut di bawahnya. Aku menahan napas, berusaha keras untuk tidak menatap.“Eh? Mas Bima kenapa mukanya begitu?” tanya Nadira, suaranya kaget, tapi ada senyum kecil di wajahnya saat dia melihatku yang jelas-jelas tegang.“Hah? Oh… gak, Mbak. Kayaknya aku mulai ngantuk,” jawabku terbata, berusaha tenang. “Makasih kopinya, Mbak. Aku minum ya.”Nadira mengangguk, tersenyum, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Enak gak kopinya? Apa mau ditambah susu?” tanyanya, suaranya lembut tapi ada nada genit yang sulit kulewatkan.“Uhuk!” Aku terbatuk pelan, bukan cuma karena kopi yang masih panas, tapi juga karena ucapan Nadira yang bikin jantungku melompat. “Eh, kenapa, Mas?” Nadira panik, buru-buru mengambil tisu dan mengelap bibirku.Tangannya