Aku buru-buru memakai celana dalam dan celana yang agak panjang longgar untuk menutupi bagian bawahku.
“Tidur lah, jangan bikin malu!” gerutuku kesal.
Setelah memakai baju yang lebih normal dan mengusap keringat di dahiku, aku kembali ke depan dan membuka pintu apartemenku. Wanita itu masih ada di sana.
“Maaf, Mbak. Tadi Mbak mau minta tolong apa ya?” tanyaku lagi, sambil mengatur napas dan gestur yang senormal mungkin. Sesekali aku menggaruk kepala belakangku untuk membuang rasa canggung, meskipun tidak ada rasa gatal.
“Anu … Kran di kamar mandi saya macet, gak bisa keluar airnya. Bisa tolong benerin nggak? Saya tinggal sendirian soalnya, nggak tahu caranya,” katanya dengan nada yang terdengar agak aneh di telingaku.
Suaranya seperti agak … mendesah?
Tapi aku berusaha bersikap biasa.
“Oh … boleh, saya ambil peralatan dulu ya,” kataku, lalu buru-buru masuk lagi mengambil beberapa peralatan.
“Sumpah kenapa dia mirip banget sama cewek OF itu ya? Apa jangan-jangan itu dia?” gumamku sendiri sambil mencari kotak perkakasku, sesekali aku berdiri sambil menggaruk kepalaku.
Setelah mendapat kotak perkakasku, aku kembali ke hadapan wanita itu. “Ayo, di mana unitnya, Mbak?”
“Unit saya yang nomor 704, Mas,” jawabnya dengan nada lega, lalu menuntunku menuju apartemennya.
Aku berjalan di belakang wanita itu sambil memperhatikan lekuk tubuhnya yang benar-benar mirip dengan wanita di video itu.
‘Ah udahlah, jangan mikirin itu terus!’ gumamku dalam hati.
“Di sini, Mas,” kata wanita itu sambil membuka pintu apartemennya. “Krannya yang di kamar mandi, tadi tiba-tiba macet. Saya coba otak-atik sendiri, malah nyemprot ke saya airnya, sekarang macet lagi.”
Aku mengangguk, melangkah masuk ke apartemennya yang hanya berjarak satu unit dari tempatku.
Namun, begitu aku masuk dan melihat ruang tamu apartemen wanita itu, seketika aku terdiam.
Ruangan ini benar-benar mirip dengan ruangan yang ada di video wanita OF itu!
Dinding putih polos dengan poster film lama yang sama, sedikit pudar di sudut. Sofa merah di tengah ruangan yang sedikit usang, tapi masih terlihat nyaman, persis seperti yang kulihat di layar ponselku.
Di samping sofa, ada meja kecil dengan lampu tidur yang memancarkan cahaya kuning redup, menciptakan suasana hangat namun intim. Bahkan cermin besar di sudut ruangan itu ada, memantulkan bayangannya yang berdiri di dekatku.
Jantungku berdegup lebih kencang. Ini terlalu mirip untuk sekadar kebetulan.
Aku menatap wanita itu sekilas, mencocokkan sosok wanita di video itu.
‘Gila, ini beneran cewek itu gak sih?’ gumamku dalam hati penuh kebingungan.
Ketika aku masih dipenuhi kebingungan, wanita itu tiba-tiba menunjukkan kran wastafel di kamar mandi. Airnya hanya menetes pelan.
“Di situ, Mas,” katanya sambil menatapku sekilas.
Aku buru-buru menghapus pikiranku yang sebelumnya. Berusaha fokus pada masalah wanita itu sekarang.
“Oh … iya, Mbak. Permisi ya, Mbak.” Aku berjalan ke dalam kamar mandi itu, sedikit membungkuk untuk memeriksa saluran kran di bagian bawah.
Namun, saat aku sedang memeriksa saluran kran itu, tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang hangat dan kenyal menempel di lenganku.
Sontak aku langsung menoleh dan terkejut ketika melihat wanita itu ikut berjongkok di sebelahku. Tubuhnya terasa agak menekan lenganku hingga jelas hangatnya dada kenyal itu terasa di lenganku. Wajahnya sedikit maju, tepat di sampingku.
“Jadi, ini kenapa macet ya, Mas? Aku nggak ngerti soal beginian,” kata wanita itu tiba-tiba, suaranya terdengar menggoda dan sedikit ada desahan yang kudengar tepat di depan telingaku.
Glek!
Seketika aku terpaku.
“Mas?” panggil wanita itu karena aku malah diam.
“Eh … I–iya, Mbak.” Aku langsung mundur untuk mengambil sedikit jarak dengan wanita itu.
Ya Tuhan, cobaan macam apa ini.
“Jadi, itu krannya kenapa ya?” tanya wanita itu lagi sambil berusaha menempelkan tubuhnya padaku.
Sementara itu, aku juga berusaha menghindar agar wanita itu tidak sepenuhnya menempelkan tubuhnya kepadaku. Bisa gawat kalau seperti itu terus!
“Ini kemungkinan katupnya yang bermasalah, Mbak” jawabku berusaha tenang.
Aku putar kran itu dengan obeng, berusaha mengabaikan kehadirannya yang terlalu dekat.
Namun, tiba-tiba air menyembur dari kran dengan kencang, mengenai kami berdua.
“Aduh!” Aku mundur beberapa langkah, kaos dan celanaku kuyup.
“Ah!” Wanita itu terkesiap karena ikut terkena semburan air.
Mataku tak lepas dari tanktop putih miliknya yang basah kuyup, menempel ketat di tubuhnya, memperlihatkan lekuk buah dadanya dengan jelas. Bahkan bra renda di baliknya terlihat samar-samar.
Tapi, buru-buru kualihkan pandangan.
"Sial, apa-apaan ini," batinku, jantungku berdegup tak karuan. Aku segera menutup kran agar airnya berhenti menyembur.
"Duh maaf, Mas. Aku lupa menutup saluran utamanya, jadinya basah deh," katanya, suaranya genit, sambil menarik tanktopnya sedikit, seolah sengaja memperlihatkan buah dadanya padaku
Aku menelan ludah dengan susah payah. Meskipun aku tidak melihatnya secara langsung, ekor mataku jelas bisa melihat apa yang dia lakukan!
“I–iya, gak apa-apa, Mbak,” jawabku terbata, lalu berusaha kembali fokus pada kran itu.
Namun, tiba-tiba wanita itu menyentuh lenganku dan berkata, “Mas aku cariin baju ganti ya? Kayaknya aku punya kaos agak besar.”
Aku buru-buru menggelengkan kepala. “Nggak usah, Mbak. Ini udah mau selesai kok, saya bisa langsung pulang aja.”
Wanita itu tampak tidak menyerah, “Ih jangan gitu, Mas. Kan ini belum selesai beneran, kalau ternyata lama gimana? Nanti Mas masuk angin loh.”
“Nggak kok, Mbak. Ini gak parah rusakya,” kataku sambil berusaha fokus mencari sesuatu yang menyumbat saluran kran itu. Sekilas aku melirik wanita itu dan berkata, “Mending Mbak aja yang ganti baju biar gak masuk angin.”
“Hm ya udah deh kalau gitu,” kata wanita itu yang kemudian langsung berdiri melepas tanktopnya.
“Eh!” pekikku langsung membuang muka.
Dia benar-benar membuka tanktopnya di depanku!
Tiba di apartemen, aku langsung mandi karena sudah hampir pukul tujuh malam. Air dingin menyegarkan tubuhku, tapi pikiranku masih tidak menentu. Aku ingin lepas dari ikatan Mbak Dini, tapi entah bagaimana caranya. Aku semakin malas setiap pulang dari kantor harus menemaninya.Awalnya, aku bersemangat merasa senang punya pekerjaan sampingan untuk mengirim uang lebih banyak ke Ibu. Tapi setelah tahu niat liciknya, aku merasa tertipu, seperti boneka di tangannya.Setelah mandi, aku bersiap menuju salon Mbak Dini seperti yang dia bilang tadi. Aku memesan ojek online karena taksi terlalu mahal untukku. Hingga tak berapa lama, ojek onlinenya datang akupun menuju salonnya Mbak Dini.Tak berapa lama, aku sampai di salonnya yang megah, dengan lampu-lampu terang dan dekorasi mewah. Saat hendak masuk, security di pintu sepertinya sudah mengenalku.“Mas Bima, ya? Sudah ditunggu Bu Dini di dalam,” katanya, tersenyum ramah.“Oh, iya, Pak. Terima kasih,” jawabku, mengangguk.Aku melangkah masuk, tap
Aku lupa, besok Mbak Vania memintaku untuk melatihnya di gym. Nadira juga bilang akan ikut gym lagi. Jadi, besok aku harus melatih mereka berdua. Pikiranku langsung sibuk membayangkan bagaimana caranya mengatur waktu dan menjaga situasi agar tidak canggung, apalagi dengan Nadira.Saat sedang merevisi desain proyek di kantor, pikiranku melayang ke jalan hidupku. Selama ini, aku terlalu sibuk dengan urusan orang lain, Nadira yang ingin lepas dari ikatan Pak Purnomo, dan Mbak Dini dengan teror misteriusnya.Padahal, aku sendiri punya banyak masalah. Memang membantu orang lain itu pahalanya besar, tapi aku juga harus memikirkan keluargaku terlebih dahulu yaitu Ibu dan Alisa di kampung.Sebentar lagi, aku, Mbak Renata, Bu Sarah, dan Mbak Vania akan ditugaskan ke luar kota untuk proyek. Tapi entah kenapa, semangatku justru semakin meredup. Hari ini, kantor berjalan seperti biasa, tapi hidupku terasa monoton. Tidak ada yang membuatku bersemangat.Saat jam makan siang tiba, aku mengajak Ardi
Aku mengerutkan kening, tidak mengerti maksudnya. Tapi kemudian, dia melanjutkan, “Nanti tinggal diedit, bagian mukaku di-blur, cuma si Nadira aja yang kelihatan.”Kini aku paham. Kemarahan membuncah di dadaku. Aku mengepalkan tangan, ingin langsung menghajarnya. Begitu dia menutup telepon, aku melayangkan tinju ke perutnya. Dia mengaduh kesakitan, memegang perutnya.“Woi, lu apa-apaan?!” bentaknya, wajahnya memerah.“Lu apain Nadira, hah?” sergahku, mencengkeram kedua tangannya ke belakang hingga dia meringis.Pintu lift terbuka di lantai dasar, tapi aku buru-buru menekan tombol untuk naik lagi, lalu turun, agar tidak ada orang lain yang masuk.“Jangan bohong, lu! Gua denger tadi apa yang lu bilang. Lu merekam Nadira, kan? Videonya mau lu jual buat kepentingan lu? Cepat hapus videonya!” ancamku.“Lu salah denger, mungkin!” elaknya, suaranya gemetar.“Lu kira gue tuli? Cepat hapus, atau tangan lu gue patahin!” kataku, mempererat cengkeramanku.“Iya, iya, gue hapus! Tapi lepasin dulu,
“Udah, Mbak. Sekali lagi, terima kasih,” jawabku tulus.Tak lama, ada balasan dari Alisa. [Makasih banyak, Aa. Ini sekarang juga aku ke konternya Teh Dewi.]Aku tersenyum, tapi di dalam hati, ada rasa sedih yang menggerogoti. Sekeras apa pun aku bekerja, aku belum bisa membuat keluargaku bahagia. Gajiku selalu habis untuk kebutuhan, dan hasilnya tetap begini.Tiba-tiba, ketukan keras di pintu memecah suasana. Kami berdua terkejut. Mbak Dini buru-buru berdiri dan membuka pintu, tapi tidak ada siapa-siapa di luar.Aku ikut melongok, dan di lantai, di depan pintu, ada kotak kecil.Mbak Dini mengambilnya, membukanya dengan hati-hati, lalu tiba-tiba menjerit, “Aaaaaah!” Kotak itu refleks dia lempar.Isinya bangkai cicak, tapi ada selembar kertas di dalamnya. Aku memungut kertas itu, dan di sana tertulis, 'Dini, kau tidak akan pernah bisa menghindar sebelum kamu mengabulkan keinginanku.'Aku menatap Mbak Dini, jantungku berdegup kencang. “Siapa yang ngirim ini?”Mbak Dini membaca kertas it
Mbak Dini masuk kembali ke ruang tamu, membawa nampan berisi secangkir kopi dan tiga toples berisi camilan. Dia sudah berganti pakaian, kini mengenakan piyama pink yang sangat tipis dan mini. Bagian dadanya terlihat jelas, dan panjang bajunya hanya menutupi setengah pahanya. Aku berusaha menahan pandangan, merasa canggung sekaligus curiga.“Nih, diminum dulu,” katanya, meletakkan cangkir kopi di depanku. “Tenang aja, gak dikasih obat perangsang, kok.”Aku memandang cangkir itu dengan ragu. “Apa Mbak bisa jamin kalau minumannya gak pake obat perangsang?” tanyaku, nada suaraku penuh kecurigaan.Mbak Dini tersenyum kecil, seolah menganggapku berlebihan. “Kamu masih ragu? Tunggu sebentar.”Dia berbalik ke dapur, dan tak lama kemudian kembali dengan cangkir kopi lain. “Ini, aku buat satu lagi. Biar kopi itu aku minum,” katanya, meletakkan cangkir barunya di meja.Tapi aku masih tidak yakin. Bagaimana kalau kopi yang dia bawa itu yang mengandung obat? “Mbak minum aja kopi yang Mbak bawa tad
“Tahu gak, kamu pria pertama yang menurutku paling seksi dan perkasa,” ujar Nadira dengan nada manja, matanya menatapku penuh godaan. Tangannya membelai dadaku, lalu naik perlahan ke daguku, membuatku semakin gelisah.Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Sebaiknya kamu kembali ke unitmu, Nad. Aku mau mandi dulu, sebentar lagi ke unitnya Mbak Dini.”Tapi Nadira justru tidak bergerak dari pangkuanku. Dia malah mendekat, membuatku semakin gerah. “Kamu kalau keringetan gini makin seksi,” katanya, tersenyum nakal. “Nanti weekend ajarin aku gym lagi, ya?”“Iya, iya, tapi aku mau mandi dulu. Nanti telat,” jawabku cepat, berusaha mengalihkan situasi.Akhirnya, Nadira turun dari pangkuanku. Aku menghela napas lega dan buru-buru berdiri. Tapi, sial, “si Gatot” malah bereaksi, membuatku panik karena begitu terlihat jelas seperti tenda. Aku langsung menutupinya dengan tangan, wajahku memanas. Nadira tertawa kecil, matanya berbinar penuh ejekan.“Tanggung banget, padahal aku bisa bantuin bia