Malam itu, gerimis sedang mengguyur Jakarta sejak sore tadi, membuat udara terasa lebih dingin. Apalagi, apartemen yang kutinggali ini bukan tipe yang mewah, jelas dinding dan jendelanya bukan tipe yang bisa menghalau udara dingin.
Aku meringkuk di ranjang karena kedinginan. Jelas tidak ada yang memelukku karena aku tinggal seorang diri. Sampai akhirnya, aku mendengar suara pintu apartemenku diketuk, membuatku langsung bangkit dan membuka pintu. “Maaf, Mas … boleh minta tolong?” Wanita itu berkata sambil membenahi bagian buah dadanya, suaranya agak mendesah sambil menggigit bibir bawahnya. Aku terpaku menatapnya, mataku tidak lepas dari buah dadanya yang menonjol besar. Dia mengenakan daster longgar yang sedikit basah, menempel di tubuhnya sehingga lekuk tubuhnya terlihat jelas. Wajahnya cantik, dengan keringat tipis di dahi dan rambut panjang lurus yang tergerai, sedikit basah. Aku menelan ludah, entah kenapa pikiran liar itu langsung terlintas di pikiranku. Apa aku sedang bermimpi, malam-malam dingin begini tiba-tiba didatangi wanita seksi seperti ini. “Mas?” suaranya menggema lagi, menyadarkanku dari lamunan. “Eh … i-iya, minta tolong apa, Mbak?” Aku menggelengkan kepala pelan, berusaha fokus kembali. Wanita itu kini meremas ujung dasternya yang panjangnya hanya selutut, membuat kain itu sedikit terangkat seperti sengaja membuatku makin gila. “Anu … kran air di kamar mandi saya macet. Mas bisa tolong benerin gak? Ini sudah malam, saya gak tahu harus minta tolong ke siapa lagi.” Aku mengernyit sejenak, tapi akhirnya mengangguk. “Boleh, Mbak. Tunggu sebentar ya, saya ambil peralatannya dulu.” Aku bergegas mengambil kotak perkakas, lalu kembali ke hadapan wanita itu. “Ayo, di mana unitnya?” “Unit saya yang nomor 704, Mas,” jawabnya dengan nada lega, lalu menuntunku menuju apartemennya. Aku hanyalah drafter di sebuah kantor arsitektur kecil. Tinggal sendirian di apartemen sederhana di pinggir kota, jauh dari ibu dan adik perempuanku yang ada di kampung. Setiap bulan, aku selalu mengirim uang untuk mereka karena bapak sudah lama meninggal. Selama tinggal di sini, aku jarang berinteraksi dengan tetangga. Paling-paling hanya berpapasan, tanpa obrolan panjang. Apalagi, beberapa tetanggaku adalah wanita, membuatku semakin enggan berbaur. “Di sini, Mas,” kata wanita itu sambil membuka pintu apartemennya. “Krannya yang di kamar mandi, tadi tiba-tiba macet. Saya coba otak-atik sendiri, malah nyemprot ke saya airnya, sekarang macet lagi.” Aku mengangguk, melangkah masuk ke apartemennya yang hanya berjarak satu unit dari tempatku. Apartemen ini lebih rapi dibandingkan unitku, mungkin karena penghuninya wanita. Ada aroma bunga samar dari pengharum ruangan yang tercium di hidungku. Wanita itu menunjukkan kran yang agak berkarat di kamar mandi. Airnya hanya menetes pelan. “Di situ, Mas.” “Permisi ya, Mbak.” Aku membungkuk sedikit, memeriksa kran itu. “Sepertinya ini perlu diganti krannya, Mbak.” Aku mulai bekerja, melepas kran dengan obeng dan kunci inggris. Tapi begitu kran terbuka, air menyembur kencang, membasahi kaos dan celanaku dalam sekejap. “Aduh!” Aku mundur beberapa langkah, kaos dan celanaku kuyup. Wanita itu terkesiap karena ikut terkena semburan air. Daster tipisnya menempel di kulit, memperlihatkan siluet tubuhnya yang seksi secara samar. Padahal sebelumnya sudah basah, kini dasternya makin basah yang membuatku melotot karena bagian dada dan perut ratanya terlihat jelas. “Ah!” Mataku tak lepas dari dasternya yang basah, tapi buru-buru kualihkan pandangan. "Sial," batinku, jantungku berdegup tak karuan. Aku segera menutup kran agar airnya berhenti menyembur. Wanita itu cepat-cepat mengambil handuk dari gantungan, menekannya ke bagian depan tubuhnya. Pipinya memerah, dia tampak kikuk, tapi berusaha tenang. “Maaf, Mas! Saya lupa tutup saluran utamanya. Mas bajunya basah semua... sebaiknya dibuka aja, takut masuk angin. Nanti saya keringkan,” katanya, berusaha terdengar biasa. Aku menggeleng, menahan senyum. “Nggak apa-apa, Mbak. Cuma basah sedikit.” Dia tersenyum canggung, masih memegang handuk di dadanya. “Duh… saya malah bikin ribet ya. Harusnya tadi saya cek dulu salurannya.” “Nggak apa-apa, Mbak.” Aku membungkuk lagi, kembali memperbaiki kran sambil menahan tawa kecil. Tapi pikiranku sedikit terganggu. Tetesan air dari ujung daster wanita itu menarik perhatianku karena secara tidak sengaja, aku melihat bagian tubuhnya yang terlarang. Dia memperhatikanku bekerja, lalu pandangannya turun ke kaosku yang menempel erat di tubuh karena basah. “Mau saya ambilin baju gantinya, Mas?” tanyanya pelan, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Aku menoleh. Ada jeda sejenak di antara kami, sunyi yang terasa berbeda. “Nggak usah repot-repot, Mbak. Basahnya hanya sedikit, kok," “Tapi Mas bisa masuk angin kalau terus pakai baju basah,” katanya, lalu tanpa menunggu jawabanku, dia berbalik cepat menuju kamar. Langkahnya tergesa, tubuhnya yang basah, dan handuk yang tadi digunakannya tak mampu menutupi seluruh tubuhnya dengan sempurna. Aku meneguk ludah pelan, lalu mengalihkan pandangan kembali ke kran. Tapi pikiranku tak sepenuhnya tenang. Aroma sabun samar dari tubuhnya tercium, bercampur dengan kelembaban air dari semburan tadi. Sepertinya dia baru saja mandi. Beberapa menit kemudian, dia kembali membawa kaos oblong abu-abu dan celana pendek pria. “Ini… baju suami saya. Tapi udah bersih, kok,” katanya, menunduk sedikit, seolah ingin menjelaskan tanpa mempermalukan siapa pun. Aku menerima baju itu dengan anggukan. “Makasih ya, Mbak.” “Kalau mau ganti di kamar mandi, silakan aja… atau di kamar saya juga nggak apa-apa,” katanya, mencoba terdengar santai, meski nada suaranya terdengar pelan dan… menggantung. Aku menatapnya sejenak, lalu berkata, “Di kamar mandi ini saja, Mbak.” Dia meninggalkanku di kamar mandi. Tak lama, aku keluar dengan kaos yang ternyata agak kekecilan di tubuhku. Tapi aku berusaha tetap santai. “Mbak, itu besok dibelikan kran yang baru aja soalnya yang ini udah gak bisa dipakai,” kataku sambil menunjuk kran air itu. Ternyata dia masih memakai daster basah itu belum mengganti pakaiannya, padahal dia menyuruhku mengganti pakaian. Pandangannya sempat terpaku padaku, mungkin karena kaos yang kekecilan membuat tubuhku lebih jelas terlihat, lalu dia buru-buru mengalihkan pandangan. “Oh iya, Mas. Nanti saya minta tolong sama Mas lagi buat pasangnya gapapa, kan?” katanya sambil menatapku dengan penuh harapan. Aku mengangguk pelan. “Boleh kok, Mbak.” “Makasih banyak ya Mas. Mas baik banget.” Dia tersenyum malu, lalu kembali berkata, “Ngomong-ngomong, Mas namanya siapa ya? Dari tadi fokus sama kran sampai lupa tanya namanya.” Aku terkekeh pelan. “Saya Bima. Kalau Mbak siapa?” “Saya Nadira,” jawabnya, tampak masih malu. “Sekali lagi, makasih banyak ya, Mas. Maaf merepotkan malam-malam sampai bikin basah kuyup.” Aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal. Jujur saja, penampilan Nadira saat ini membuatku gugup. Bentuk tubuhnya benar-benar terlihat jelas di balik daster basah itu. “Hehe, gak apa-apa, Mbak,” jawabku, berusaha santai, lalu dengan hati-hati bertanya, “Kalau boleh tahu, memangnya suami Mbak ke mana? Apa lagi ke luar kota? Soalnya kok bukan suaminya yang bantu.” “Suami saya orang pelayaran, jarang pulang, Mas. Sekalinya pulang juga cuma malas-malasan, gak pernah mau bantu urus rumah. Kalau gak, ya pergi keluar sama teman-temannya, saya dibiarkan sendirian,” jelas Nadira. Suaranya mendadak sendu, tangannya meremas daster basah itu lagi, dan matanya sedikit berkaca-kaca. Aku hanya bisa diam, merasa bersalah karena pertanyaanku tadi. “Eh, maaf malah curhat,” katanya lagi, mengusap matanya. Aku tersenyum kikuk. “O–oh … gak apa-apa, Mbak. Ya udah kalau gitu, saya pamit ya. Kaosnya, besok saya cuci dulu ya, Mbak.” Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Nadira berjalan di belakangku, tetesan air dari dasternya membasahi lantai. Tiba-tiba, aku mendengar teriakannya. “Aduh!” Aku berbalik cepat, melihat tubuhnya oleng ke depan. Refleks, aku menangkapnya. Tapi dalam gerakan panik itu, salah satu tanganku tak sengaja menyentuh bagian depan tubuhnya, tepat di dada penuhnya. Waktu seperti berhenti. Tubuh Nadira jatuh ke pelukanku, lengannya melingkar di pundakku, sementara tanganku yang lain masih menopang pinggangnya. Tapi tangan yang tadi refleks terangkat… masih menempel di tempat yang seharusnya tak tersentuh. Daster tipis dan basah itu membuat semuanya terasa tanpa perantara. Hangat, lembut, dan… kenyal. Aku membeku. Mataku terbelalak. Napasku tertahan.“Sama-sama, Mbak,” jawabku pelan, suaraku hampir tenggelam oleh keheningan malam.Aku masih mengatur nafasku yang tersengal-sengal, aku sadar yang aku lakukan ini salah tapi semuanya terjadi begitu saja.Nadira bersandar di dadaku, tubuhnya hangat di bawah selimut tipis. Aku ingin menarik diri, tapi matanya yang berkaca-kaca dan suaranya yang rapuh membuatku ragu. Kita berdua tidur tanpa memakai sehelai benangpun, di bawah selimut tipis Akhirnya, kelelahan menyerangku aku merasa sangat lelah dan mengantuk. Kami tertidur pulas di sofa, dalam posisi canggung yang entah bagaimana terasa… nyaman.Satu jam kemudian, suara benda jatuh membuyarkan mimpiku. Aku membuka mata, masih setengah sadar, dan melihat Nadira duduk di kursi dekat meja makan, wajahnya pucat. Sebuah kaleng susu tergeletak di lantai, sepertinya dia tak sengaja menjatuhkannya. Dia menoleh padaku, matanya penuh rasa bersalah.“Maaf, aku membangunkanmu. Maaf sudah merepotkanmu… dan lagi-lagi aku…” suaranya lirih, hampir putu
Aku mainkan lidahku menari-nari di pentil buah dadanya, ia menggeliat dan terus meracau."Ahh, terus Bima enak sekali. Kamu memang sangat pintar dalam urusan kenyot mengenyot, puaskan aku, berikan aku kenikmatan." racaunya, matanya tetap terpejam, tubuhmu lemas.Aku tidak berhenti mengenyot buah dadanya, sesekali aku gigit kecil hingga meninggalkan bekas merah. Akan aku lukis buah dadanya dengan maha karyaku. Sampai leher dan buah dadanya banyak noda merah.Lalu aku membuka rok nya, hingga dalam sekejap sudah tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya. Aku memperhatikan tubuhnya yang begitu seksi, wajahnya yang cantik, kulitnya putih mulus, buah dadanya besar, pinggangnya yang ramping dan bokongnya yang bahenol.Laki-laki mana yang tidak akan tergoda dengan wanita cantik seperti Nadira. Tepat di depan matanya, terbaring seorang perempuan tanpa busana yang membuat aliran darahku mengalir lebih cepat. Aku merasa kurang nyaman jika kita bergulat di atas sofa, kurang leluasa jika kita berdua
Aku menelan ludah, jantungku berdetak kencang. Aku melirik ke arah pintu unit Nadira, tapi aku baru sadar jika aku tidak tahu kata sandinya untuk masuk. “Sial, sekarang gimana?” gumamku panik. Setelah berpikir sejenak, aku menghela napas dan memutuskan untuk membawa Nadira ke unitku sendiri. Tidak mungkin jika aku membiarkannya tergeletak di koridor. Dengan hati-hati, aku menggendong Nadira. Badannya terasa berat, sebenarnya aku tidak ingin menyentuhnya lagi setelah kejadian malam itu, tapi sekarang situasinya darurat. Aku melangkah cepat ke unit apartemenku, membuka pintu dengan susah payah, lalu membaringkan Nadira di sofa. Napas Nadira tak beraturan meski pelan, wajahnya pucat. Aku menatapnya sejenak, masih belum percaya wanita ini kini terbaring di ruang tamuku. Karena sebelumnya, aku bahkan tidak pernah membawa wanita masuk ke apartemenku. Apartemenku kecil, satu kamar tidur, sofa lama, dan meja makan yang nyaris tak pernah kupakai. Mantan pacarku dulu bahkan menolak masu
“Ada nasi di bibirmu, Bim,” kata Mbak Renata, suaranya pelan tapi jelas. Aku membuka mata, wajahku langsung panas. Astaga, aku kira apa! Semenjak putus dengan pacarku, pikiranku jadi kotor, selalu ke arah yang aneh-aneh dan mudah sekali terangsang. “Terima kasih, Mbak,” gumamku, berusaha menutupi rasa malu. Kalau saja disini ada lubang, rasanya aku ingin bersembunyi di sana saking malunya. Mbak Renata tersenyum tipis, lalu memanggil pelayan untuk membayar makanan. Kami berjalan kembali ke kantor, dan aku berusaha fokus ke trotoar di depanku, menghindari tatapan Mbak Renata yang sesekali melirikku. Di kantor, aku kembali ke mejaku, melanjutkan revisi denah yang hampir selesai. Hingga tidak terasa, sebentar lagi tiba waktunya pulang. Pak Hadi, manajer kami, belum pulang masih di ruangannya. Dia orang yang tegas, selalu buru-buru, dan maunya semua beres cepat. Orang bilang dia perfeksionis. Aku fokus ke layar komputer, mencoba melupakan momen canggung tadi di restoran. Lalu Mbak Ren
Pagi harinya, aku bangun dengan kepala sedikit pusing. Mungkin karena tidurku cuma sebentar, pikiranku penuh dengan bayangan semalam. Aku berharap itu hanya mimpi, aku sudah melakukan kesalahan yang besar.Aku masih ingat Mbak Nadira yang begitu sangat agresif, ia seperti orang lain. Mungkin akibat sudah lama di tinggal suaminya, ia sangat kesepian sehingga ia melampiaskan nafsunya padaku.Aku buru-buru mandi, mengenakan kemeja putih dan celana bahan, lalu berlari ke lift. Tidak pernah ada waktu untuk sarapan, bahkan ruangan ini cukup berantakan. Di dalam lift, aku bertemu Dini lagi, tetangga yang sama-sama membuatku gagal fokus.Dia berdiri dengan blazer biru tua yang ketat, memamerkan lekuk tubuhnya yang padat, dan rok pendek yang memperlihatkan paha mulusnya. Rambut pendeknya rapi, tapi riasan tebalnya memberi kesan jika itu memang gayanya.“Pagi, Mbak Dini,” sapaku, masuk ke lift dan berdiri di sisi lain.“Pagi, Mas Bima,” balas Dini, senyumnya lebar. Dia memandangku sekilas, lalu
“Ini kopinya, Mas. Maaf ya agak lama,” ujar Nadira, tiba-tiba sudah berdiri di dekatku, memecah lamunanku.Dia menunduk untuk menaruh cangkir kopi di meja depanku, dan saat itu daster bagian depannya ikut turun, memperlihatkan belahan dada yang lembut di bawahnya. Aku menahan napas, berusaha keras untuk tidak menatap.“Eh? Mas Bima kenapa mukanya begitu?” tanya Nadira, suaranya kaget, tapi ada senyum kecil di wajahnya saat dia melihatku yang jelas-jelas tegang.“Hah? Oh… gak, Mbak. Kayaknya aku mulai ngantuk,” jawabku terbata, berusaha tenang. “Makasih kopinya, Mbak. Aku minum ya.”Nadira mengangguk, tersenyum, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Enak gak kopinya? Apa mau ditambah susu?” tanyanya, suaranya lembut tapi ada nada genit yang sulit kulewatkan.“Uhuk!” Aku terbatuk pelan, bukan cuma karena kopi yang masih panas, tapi juga karena ucapan Nadira yang bikin jantungku melompat. “Eh, kenapa, Mas?” Nadira panik, buru-buru mengambil tisu dan mengelap bibirku.Tangannya