Share

Pertemuan

Dazzle menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana hari ini sangat sial baginya. Dering ponsel kembali menyadarkannya. Rama.

“Bro, kamu dimana? I want to tell you something,” kata Rama di seberang sana. Dazzle menahan geram.

“Lagi di Kuta? Ada apa?”

“Oh baguslah, nanti ketemuan di La Planca seperti biasa ya?” kata Rama seperti tidak ada apa-apa.

“Mau ngomongin apa? Aku gak ada waktu,” Dazzle berusaha mengelak.

“Penting Bro, please. Kali ini. Besok gak akan lagi,” kata Rama membuat Dazzle mengeratakkan giginya menahan amarah.

“Iya, besok gak akan menganggu lagi, karena mulai detik ini saja aku sudah tak ingin mengenalmu,” runtuk Dazzle dalam hati.

“Oke, aku tunggu di La Planca,” kata Dazzle menyerah.

Dazzle bergegas ke arah motornya di parkiran. Memasang helm dan melajukan motornya ke arah Legian. Jam segini jalanan Legian Seminyak sedang padat-padatnya. Wisatawan akan berburu senja di pantai dan berbondong-bondong menuju tempat yang ikonik di sepanjang garis pantai Legian sampai Seminyak.

Merah terus berjalan sambil mengibaskan pasir yang menempel di bajunya. Dia sedang menuju Kartika Plaza Hotel, ada janji temu untuk membicarakan pekerjaan yang dia terima beberapa waktu lalu. Di tengah kekalutan hatinya, setidaknya di masih bisa menyibukkan diri dengan pekerjaan yang bisa dia lakukan di mana saja.

“Maaf menunggu,” kata Merah sambil membungkuk kepada seorang lelaki muda yang duduk di lobi hotel Kartika Plaza.

“Tak apa, aku juga baru saja sampai,” katanya sambil tersenyum.

“Jadi benar namamu Merah Angkasa?” lanjutnya membuat Merah mengangguk.

“Nama yang unik,” imbuhnya.

“Aku terlahir saat langit sedang memerah karena matahari tenggelam.” Merah mengatakan alasan orang tuanya memberi nama Merah Angkasa.

“Oh ya? Wah sangat menarik. Oh aku lupa, panggil saja aku Gama. Aku tertarik dengan CV yang kamu kirimkan. Pengalaman editingmu sangat banyak, aku ingin menawarkan kerj sama tetap yang akan kita perbaharui setiap tiga tahun, dengan renumerasi yang sudah aku sertakan kemarin di email.” Gama mengeluarkan ponsel canggihnya dan menunjukkan dokumen yang bisa Merah tanda tangani secara digital.

“Baiklah, aku menyetujui kerja sama ini dengan baik, karena keuntungan tak perlu ke kantor.” Merah menanda tangani dokumen itu dan tersenyum pada Gama.

“Baiklah, Nona. Apakah kamu akan menemaniku makan malam sekalian atau ada urusan lagi?” tanya Gama seraya berdiri.

“Maaf, aki sudah ada janji temu dengan Kakak,” bohong Merah karena tak ingin terlibay lebih jauh dengan seseorang yang kini menjadi bosnya itu.

Seorang wanita berjalan anggun ke arah mereka.

“Oh baiklah, oh ya kenalkan, ini Sangka, istriku.” Gama memperkenalkan wanita yang teelihat anggun itu kepada Merah.

“Merah.” Merah menjabat tangan Sangka yang halus.

“Sangka, apakah urusan kalian sudah selesai?” Sangka menjabat tangan Merah dan kemudian berpaling pada Gama.

“Aku pamit dulu. Semoga malam kalian menyenangkan.” Merah berlalu dan meninggalkan pasangan muda itu.

Hatinya masih teriris bila melihat kedekatan romansa sepasang kekasih. Hatinya memberontak dengan kenyataan tentang dirinya sendiri.

Kemudian hatinya makin terasa ngilu begitu menngigat dia meninggalkan motornya di parkiran Hardrock. Sedemikian marahnya dia kepada Domi sudah membuatnya melarikan diri dari Domi secepatnya tanpa mengingat bagaimana dia datang ke sana.

Mau tak mau dia berjalan ke Hardrock kembali. Sepanjang jalan yang ada di hatinya hanyalah bagaimana dia harus mengelak dari permintaan ayahnya.

Dazzle memarkir motornya. Mencari spot untuk duduk, seraya menunggu dua mahkluk pengkhianat itu datang. Jingga yang semakin gelap membuat Dazzle teriris. Kenapa? Kenapa harus Danta dan Rama yang menorehkan luka sedalam ini.

“Udah lama Bro?” Rama mengagetkan Dazzle. Hatinya berdesir saat Danta ada di samping Rama.

 “Ya, mereka sudah sepasang suami istri sekarang, kenapa aku masih kaget,” batin Dazzle.

Danta terlihat salah tingkah. Berusaha menutupi kejengahannya dengan tersenyum seperti biasa. Bahkan Danta belum mengucapkan kata putus terhadap Dazzle.

“Bro, aku …,” Rama tidak meneruskan kalimatnya, mungkin masih menimbang apa yang akan dikatakannya.

“Aku sudah tahu. Aku gak peduli tentang alasan kalian. Aku ke sini hanya ingin bilang. Terima kasih. Tindakan kalian membuatku seperti pecundang. Kenapa? Kenapa kalian tak jujur saja? Apa karena aku memang tak pantas?” Dazzle tak bisa lagi membendung emosinya.

“Daz, pelanin sedikit suaramu, malu dilihatin pengunjung lain,” Danta semakin salah tingkah.

“Apa?! Kalian malu?! Kalian masih punya perasaan malu setelah mengkhianatiku?! Trus apa kalian tidak malu kepadaku?!” Dazzle semakin kalap.

“Terserah kalian! Kita tak ada lagi hubungan. Terima kasih!” Dazzle meninggalkan Danta dan Rama yang masih berusaha kalem.

“Aku hamil Daz. Aku hamil dengan Rama, makanya kami melakukan ini,” kata Danta membuat Dazzle menghentikan langkahnya. Dazzle berbalik menghadapi mereka.

“Hah! Dan kamu bangga dengan itu? Kamu bahkan tak pernah kusentuh selama ini, apa karena itu? Karena aku tak bisa memberiku kenikmatan itu hingga kalian melakukannya di belakangku?! Aku semakin jijik dengan kalian,” Dazzle meninggalkan mereka dengan gusar. Dia juga jenggah menjadi perhatian orang lain di sini.

Tanpa melihat sekelilingnya, Dazzle masuk ke dalam bar terdekat.

“Aduh!” pekik seseorang saat Dazzle menabrak seseorang.

Dazzle segera membantu perempuan itu berdiri.

“Hah?! Kamu lagi?!” kata perempuan itu membuat Dazzle terkejut.

Perempuan itu menelisik Dazzle dari ujung kaki sampai kepala. Dazzle baru menyadari kalau itu perempuan yang tadi sore bertabrakan dengannya di Kuta.

“Kamu bahkan masih berpakaian yang sama. Kamu menggelandang di sini? Tidak bisa kembali ke asalmu? Kehabisan uang?” berondong wanita itu membuat Dazzle tersinggung.

“Apa kamu bilang? Dan siapa kamu menghakimiku?” serang Dazzle tak tahan.

Mereka terlibat adu mulut yang kemudian membuat mereka diseret keluar oleh petugas keamanan bar.

Perempuan itu menatap Dazzle sinis. Sementara Dazzle semakin merutuki harinya.

“Baiklah, ayo kutraktir minum sebagai permintaan maaf,” kata Dazzle sambil melangkah ke deretan bar yang ada disepanjang jalan.

Perempuan itu mengikuti Dazzle dengan enggan.

Setelah menemukan bar yang tidak begitu ramai, Dazzle masuk dan memilih tempat yang agak di sudut.

“Pesanlah,” kata Dazzle seraya mengangsurkan menu ke pada perempuan itu.

“Oh ya, namaku Dazzle. Kamu siapa?” tanya Dazzle mengawali pembicaraan.

“Merah,” jawab perempuan itu masih menelusuri buku menu.

“Mirah?”

“Merah. M-E-R-A-H,” eja perempuan itu sinis.

“Unik,” kata Dazzle singkat.

Perempuan itu melambaikan tangannya ke pelayan dan memesan mojito, Dazzle menyamakan pesanannya.

“BTW kamu kenapa? Seharian berkeliaran dengan pakaian yang sama, awut-awutan. Persis gelandangan,” kata Merah membuat Dazzle mendelik.

“Bukan urusanmu. Tapi yang pasti aku bukan gelandangan,” kata Dazzle menahan emosinya.

“Oh, apa Bali begitu sempit sampai aku harus berurusan denganmu lebih dari sekali hari ini?” Merah masih berusaha sarkatis.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ivan Haws
heuh.....lewat brow
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status