Share

Redupnya Kecantikan Istriku Akibat Ulah Ibuku
Redupnya Kecantikan Istriku Akibat Ulah Ibuku
Penulis: ERIA YURIKA

Bab 1

“BUNDA KENAPA BAWEL BANGET SIH! KALAU ENGGAK TAHU APA-APA. DIEM AJA BISA ENGGAK SIH!” sentak Arnav pada Nada istriku.

“Minta maaf sama Bundamu, Arnav!”

“OGAH!”

“Kalian itu apa-apan, namanya anak kecil wajar salah. Kamu juga Nada, anak-anak juga butuh hiburan. Apa salahnya dukung hobi anak. Sudah sana kalian, pergi dari sini!”

Ibuku yang berada tak jauh dari sana, lekas memeluk anak laki-laki itu. Tak ada penyesalan di wajah Arnav, padahal saat itu Nada sudah menitikkan air matanya.

“Sebagai Bundanya, aku berhak didik anakku ke arah yang benar Bu. Dia bukan anak kecil yang enggak bisa dikasari.”

“Tapi, caramu ini salah.”

Nada tampak menghela nafasnya, terlihat sekali jika ia berusaha meredam emosi. Sesekali tampak, lengannya meremas erat ujung piyamanya.

“Lebih pengalaman aku atau kamu, dalam mengurus anak? Lihat suamimu, bisa sesukses ini juga karena didikanku ini benar!"

“Enggak ada namanya bekas ibu atau saudara, yang ada hanya bekas istri. Makanya, jangan samakan mertua dengan orang tua! Sekali kamu bikin sakit hati, enggak cukup cuma minta maaf.”

Aku merasa kali ini ibu sangat keterlaluan. Sampai-sampai Nada meninggalkan pembicaraan kami begitu saja. Dari pada bertahan di sini dan meladeni ibu yang tak akan ada habisnya, lebih baik menyusul Nada.

“Sayang, buka! Kita bicara di luar.”

Aku masih berusaha mengetuk pintu toilet yang tak kunjung di buka. Sepertinya uaranya kalah dengan derasnya cucuran air kran. Bahkan, hingga 10 menit berlalu Nada masih belum juga membuka pintu.

Aku terpaksa menggedor dengan kasar, setidaknya jika tak mendengar, ia masih menyadari jika ada seseorang tengah menunggunya keluar. Benar saja, tak lama pintu itu terbuka.

Nada hanya menatap datar, ia tak marah kali ini. Tak seperti biasanya, wanita itu memilih mengambil pakaian di lemari. Namun, saat ia akan bersiap memasuki toilet kembali.

Aku mencegah, lantas memeluk wanita itu. Namun, jangankan balasan, Nada bahkan lebih mirip seperti patung yang tak bergerak meski saat itu aku telah begitu emosional.

“Aku mengerti, kamu enggak bisa menentang kehendak ibu. Jadi lepaskan, aku hanya ingin mandi!"

“Aku tahu kamu sakit hati.”

“Ya terus?”

“Aku minta maaf untuk itu.”

Ia sedikit mendorongku agar menjauh.

“Aku mau keluar sebentar, ada sayuran yang habis.”

“Aku antar kamu, ya?"

“Enggak perlu, aku sudah biasa sendiri.”

Nada meninggalkanku begitu saja. Ia malah bersiap memakai pakaian seperti biasa lalu, pergi dengan motor kesayangannya.

“Mau ke mana?”

“Mau belanja.”

“Mas antar, ya?” tawarku.

Bagaimana pun aku sangat khawatir membiarkannya berkendara dalam keadaan yang kacau.

Selama ini ia mendedikasikan segalanya untuk keluarga. Ia bahkan mengesampingkan kebahagiaannya dan menempatkan keinginan pribadinya di urutan paling akhir.

Sebelum kedatangan Ibu kerumah ini semuanya masih baik-baik saja. Namun, sekarang ia seperti kehilangan sebagian semangat hidupnya.

~

Sudah puluhan pesan dan panggilan yang kulakukan namun belum juga ada tanggapan darinya.

Akhirnya sore hari wanita itu baru pulang. Sayangnya, di ambang pintu bahkan Nada sudah disambut dengan wajah masam ibuku.

“Abis dari mana? Bilangnya belanja sayuran, kok baru pulang? Main kali, ya,” sindir ibu ketus.

“Bu, biarin aja dulu Nada masuk.”

Ibu menatap kesal, ia memang selalu terlihat tidak suka jika aku memperlakukan Nada dengan lembut di hadapannya.

Aku meraih pundak Nada yang terasa sangat dingin. Aku kembali menatapnya dengan pandangan khawatir.

“Aku nabrak mobil orang.”

“Ya Allah terus bagaimana? Kamu enggak apa-apa?”

“Enggak apa-apa. Cuma orangnya nolak pas aku mau tanggung jawab, dia bilang ….”

Nada justru menghentikan ucapannya. Ia terlihat memikirkan sesuatu, lantas seketika ia menghembus nafas kasar. Seolah membuah kecewa yang terus saja menekan perasaannya.

“Bilang apa, Sayang? Kok enggak diterusin.”

“Enggak penting.”

“Sayang, soal Arnav Mas minta maaf.”

“Maaf tanpa solusi percuma, sudahlah aku cuma orang luar. Abis ini aku mau masak, atau ibu enggak akan makan, karena lauknya dingin. Lalu, menyalahkan aku kalau dia sakit dan bilang ke semua orang di sini kalau aku enggak pernah masak dan lain-lain. Jadi, sebelum semuanya semakin rumit. Biarkan aku mengerjakan tugasku sebagaimana mestinya.”

“Dia ibuku, seburuk itu kamu membicarakannya? Kamu tahu apa yang kamu ucapkan itu menyinggungku, kamu keberatan ibu di sini? Lalu, kenapa pura-pura baik?”

“Kalau aku jawab untuk bertahan hidup apa kamu puas?”

Aku terdiam, Nada biasanya tak sekasar ini.

“Ini bukan Nada yang aku kenal.”

“Nadamu telah mati Zayn, mati setelah kamu membiarkannya terus menerus disalahkan tanpa sebuah kesalahan. Dihakimi tanpa sebuah pembelaan.”

“Tunggu di sini!”

“Mau apa kamu, Mas?”

Sebenarnya aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Namun, pandanganku justru beralih pada cermin. Di mana meja itu bahkan kosong, tak ada alat make up atau skincare di sana.

Hanya ada pantulan wajahnya yang tampak layu. Belakangan ini wajah Nada bahkan tak terlihat berseri lagi. Kecantikannya seakan memudar, bahkan kurasa ia tampak lebih tua dari usianya. Saat itu di meja malah terdapat satu set alat untuk menjahit yang baru ia beli.

Entah kenapa juga ia terus menatap benda itu dengan mata yang nanar.

Nada tanpa sadar tersenyum, mana kala ia mengusap wajahnya telah dipenuhi garis-garis halus, juga bercak hitam.

Entah apa alasannya berhenti merawat diri setelah kedatangan ibu ke rumah ini.

“Aku akan menegur anak itu.”

“Jangan, Mas. Kamu hanya akan membuat masalah makin melebar.”

Aku yang sudah tak tahan memilih untuk menegur Arnav dengan keras, ia bahkan telah berani bertindak kasar pada ibunya, tanpa merasa hal itu sebuah kesalahan.

“Minta maaf sama Bundamu!” teriakku.

“Enggak mau,” jawan Arnav tak kalah keras.

“Apa-apaan sih kamu, Zayn. Jangan ikut-ikutan kayak Nada, pasti kamu ya yang nyuruh Zayn kasar sama anaknya sendiri. Lepasin enggak!” ancam ibu sambil menarik lengan cucunya.

Namun, kali ini aku yang sudah terpancing emosi. Malah menarik Arnav dengan kasar, lantas membawa anak laki-lakinya ke hadapan Nada.

“MINTA MAAF!”

“ENGGAK!”

PLAK!

Aku menampar Arnav begitu saja, hingga meninggalkan jejak merah di wajahnya. Sebagai seorang ibu, nyatanya Nada tetap tak tega melihat putranya dikasari. Nada gegas mendekat dan memisahkan kami.

“JANGAN SENTUH AKU!” sentak Arnav sambil menepis lengan ibunya, tak puas dengan itu ia sedikit mendorong tubuh Nada, hingga membuat wanita itu kehilangan keseimbangan. Beruntung, aku masih sempat menangkapnya.

“Kamu kenapa, baik-baik aja ‘kan?” tanyaku sedikit khawatir. Melihat bagaimana Nada yang pucat lekas mendudukkan wanita itu di sofa.

“Alah manja, sudah Nav masuk aja ke kamar!” ucap ibu sambil menggandeng cucu kesayangannya kembali ke kamarnya.

“Bukan seperti ini yang aku inginkan,” kata Nada lemah, matanya kembali mengembun. Sambil menatapku dengan pandangan yang sayu, ia berusaha untuk bangkit dari sofa meski sedikit sulit.

“Aku mau masak, kamu selesaian aja urusan kantor kamu.”

“Kamu yakin enggak apa-apa.”

“Hm.”

Nada melangkah pelan menuju dapur, sejujurnya aku ingin sekali menahannya, tetapi ia sendiri tahu, bagaimana ibunya pasti akan membuat keadaan semakin rumit. Aku terjebak sekarang. Antara ingin membela istrinya atau tetap pada ibunya yang salah, tetapi harus selalu ia bela.

Aku kembali ke kamar, sambil berjalan menunduk, mengingat aku baru saja menjatuhkan bolpoin. Namun, alangkah terkejutnya ia saat menyadari ada cairan merah yang menetes di sepanjang jalan yang mengarah ke kamar.

Menyadari sesuatu yang salah, aku langsung keluar dan berlari mengikuti jejak tetesan cairan merah itu.  Aku bahkan masih terengah-engah, saat dipaksa menyaksikan di mana seorang wanita duduk bersandar pada dinding, yang kini bahkan menatapku dengan senyuman.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya
goodnovel comment avatar
Yuyun Yuningsih
kata dan kalimat nya banyak yg typo thor.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status