Share

Bab 2

“Kenapa begini, kamu bisa mati. Gila ya!” 

Aku lekas menggendong Nada yang sudah lemah, bahkan nyaris kehilangan kesadarannya. Gamis berwarna hitam itu bahkan telah berubah warna menjadi lebih pekat, bercampur dengan darah dari pergelangan tangan Nada yang tersayat.

Bahkan tanganku ikut gemetar mana kala melihat begitu banyak darah di lantai. Namun, meski begitu Nada masih memberikan perlawanan dengan sedikit tenaga yang tersisa. Ia mencengkeram lenganku dengan tangan kirinya, yang juga ikut berlumur darah, karena sejak tadi ia gunakan untuk menahan tetasan darah itu agar tak terlalu menjejak di lantai.

“Jangan bawa aku pergi!”

“Gak gini caranya menyelesaikan masalah, kamu enggak punya iman, hah?”

Kau tahu bahkan rasanya saat itu tulangku seperti dipatahkan. Sakit sekali melihatnya tak berdaya. Seharusnya sejak awal aku tak membiarkan masalah ini berlarut-larut. Aku benar-benar tak peduli penolakan Nada. 

Sambil berlari secepat yang aku bisa, aku membawa tubuhnya ke mobil, tanpa memedulikan Ibu dan Arnav yang melontarkan pertanyaan yang entah. Rasanya seperti dunia menjadi gelap seketika. Aku benar-benar takut kehilangannya.

“Ayah Arnav ikut!”

Anak laki-laki tidak tahu diri itu, bahkan berani menghalangi jalanku.

“Puas kamu melihat ibumu begini, hah! Minggir kamu!”

“Bunda enggak akan bisa duduk dengan benar.”

“Ya sudah, ayo!” ajakku.

“Kenapa sih? Kok ya lebay banget. Ada masalah apa sampai mau bunuh diri, kayak enggak punya agama aja kamu,” ucap Ibu.

Bahkan saat kamu sudah seperti ini, aku masih tak bisa tegas untuk menghentikan ibuku bicara semaunya sendiri.

“Sebaiknya ibu jaga kata-kata Ibu ke depannya.”

“Jadi menurutmu, ini semua salah ibu?”

“Sudahlah, aku harus segera bawa Nada ke rumah sakit.”

“Ibu ikut, Ibu enggak terima ya, kamu salahin Ibu. Orang ibu enggak pernah ngapa-ngapain istrimu. Enak aja.”

Tanpa mendengar persetujuanku lebih dahulu. Ibu langsung membuka pintu dan duduk di depan. Sementara Arnav, memangku Bundanya yang sudah berlumur darah di belakang.

Entah apa yang mereka bicarakan, bahkan dengan jarak yang begitu dekat. Aku tak bisa mendengarnya. Suara Nada terlalu lemah. Namun, yang jelas aku bisa melihat penyesalan di wajah putraku. Mana kala Nada masih saja berusaha mengusap wajahnya yang basah.

Sampai di rumah sakit, tubuh Nada langsung ditempatkan di ranjang dorong. Aku dan Arnav mengikutinya dengan sedikit tergesa-gesa. Bisa kulihat Arnav bahkan tak bisa lagi menahan air matanya.

“Capek,” lirih Nada yang nyaris tak terdengar, tepat ketika aku menggenggam lengan kirinya, sambil berusaha menyeimbangkan langkah kaki dengan perawat yang mendorong ranjangnya dengan begitu cepatnya.

“Jangan bicara apa pun, kamu harus selamat!”

“Aku enggak rela kamu berakhir dengan cara seperti ini, Demi Allah aku engak rela. Kamu menyia-nyiakan ibadahmu seumur hidup, hanya untuk hari ini.”

“Nav.”

“Iya Mah.”

Nada hanya tersenyum, ia bahkan tak melanjutkan kalimatnya. Matanya tertutup dan entah sampai kapan akan kembali terbuka.

Kami semua tidak diizinkan masuk ke ruangan, hanya bisa berdiri di luar dengan perasaan yang entah. Aku tak pernah merasa sehancur ini.

“Maafin aku, Yah. Andai Nav enggak nyakitin hati Bunda.”

“Tolong jangan bicara apa pun Nav. Pergi, temani Nenekmu.”

“Tapi, Yah. Arnav pengen di sini.”

“Nav tolong jangan terus menguji kesabaran kami, enggak puas kamu bikin Bundamu begini? Pergi, jangan bikin Ayah khilaf dan memukulmu lagi!”

Aku tidak pernah tahu apa yang ada dalam benaknya. Namun, haruskah kamu mengakhiri hidupmu. Aku tahu kamu  wanita yang rajin beribadah, kamu bahkan lebih dekat dengan-Nya dibandingkan aku. 

Kenapa tidak mencurahkan semua keluh kesahmu pada-Nya seperti biasa, kenapa Nada? Tahukah kamu, perbuatanmu membuatku takut?

Sepertinya waktu berjalan begitu lambat, malam ini. Aku masih larut dalam doa, sampai dokter laki-laki itu keluar dari ruangan dan mendekatiku dengan tatapan marah.

“Bagaimana keadaannya, Dok?”

“Istri Anda masih bisa diselamatkan, tetapi keadaannya masih kritis.”

Alhamdulillah.

Malam itu, rasanya duniaku kembali menemukan titik cahaya. Meski samar-samar. Setidkanya masih ada kesempatan bagiku. Sampai pertanyaan dari dokter itu seperti memukulku hingga kalah telak.

“Anda tidak tahu kalau pasien sedang hamil?”

Aku terdiam. Dari sinilah aku merasa, ini bukan lagi Nada. Ia menyembunyikan hal sebesar ini padaku.

“Sudah 16 minggu. Selama itu Anda tidak tahu? Anda masih beruntung, karena pasien ditangani tepat waktu, sehingga bayinya masih bisa selamat.”

Dokter itu menggeleng, lantas pergi setelah memberikan beberapa saran dan wejangan yang membuatku semakin merasa asing.

“Mungkinkah kita telah seasing itu, bahkan kamu tidak mau lagi membagi kebahagiaanmu padaku, atau kamu memang tidak ingin mengandung anakku? Kamu marah padaku? Tapi, bukankah dia yang ada di perutmu enggak salah apa pun. Kamu enggak berhak mencelakainya, Nada.”

Aku masih menatapnya yang kini terbaring lemah di ranjang. Sambil memperbaiki jilbabnya yang berantakan, aku memasukkan kembali anak-anak rambut Nada yang keluar. Lantas, memberikjan sentuhan lembut di keningnya. 

Malam itu aku bahkan terjaga semalaman. Memikirkan bagaimana aku harus mengatakan semua ini pada mertuaku. Jika, mereka tahu putrinya yang saliha ingin mengakhiri hidupnya. Aku tidak tahu akan semarah apa Abah padaku.

Menjelang matahari terbit, aku sudah membuka gorden. 

“Lihatlah, bukankah kamu selalu suka menikmati Arunika di waktu fajar. Ayo kita melihatnya dari lantai 12, pemandangannya menjadi sangat indah.”

Aku sudah seperti orang bodoh, terus mengajaknya bicara meski sejak semalam ia hanya menutup mata dan mulutnya.

Nada suka matahari, katanya ia merasa tenang saat menatapnya. Ia bersinar dan memberi warna pada kehidupan. Siang hari kita hanya perlu mendongak menatapnya, kata Nada itu seperti memberinya energi positif, meski terkadang mata kita akan merasa sakit karenanya. 

Namun, ketika fajar dan petang, kita hanya perlu menatap lurus. Menyaksikan ketika mentari itu terbit dan tenggelam ke peraduan. Itu indah dan menenangkan. 

“Aku selalu ingat kata-katamu Nada, jadi bisakah kamu membuka matamu sekarang? Aku butuh banyak penjelasan.”

Saat aku berbalik untuk kembali, Nada justru sudah membuka matanya. Ia hanya diam memperhatikanku. Nyaris tanpa ekspresi.

Alhamdulillah, kamu sadar. Kenapa wajahmu seperti itu? kecewa, karena masih diberi kesempatan hidup?”

Nada masih diam saja, tetapi sungguh cara dia menatapku seperti orang yang kehilangan keinginan untuk hidup. Hampa dan kosong.

“Kamu hamil, kenapa enggak bilang?”

“Aku enggak tahu.”

“Kamu hampir membunuh janinmu sendiri, enggak adakah kamu merasa bersalah.”

Nada diam lagi.

“Sudahlah lupakan saja, tapi bisakah kamu berikan penjelasan. Aku pikir hubungan kita baik-baik saja.”

“Aku enggak ingin menjelaskan apa pun.”

“Sudah sejauh ini, Nada dan kamu masih enggak mau menjelaskan apa pun.”

“Kenapa kamu membiarkan aku hidup?”

“Kamu tahu aku sangat mencintaimu, apa kamu tidak bisa melihat hal itu? bukankah kamu bilang, enggak peduli sekeras apa pun keluargamu menantangku? Asalkan aku memperlakukanmu dengan baik, kita akan tetap sama-sama, lalu kenapa kamu berubah pikiran secepat ini?”

Nada tak menjawab, melainkan hanya tersenyum tipis. Namun, aku merasa saat ini dia bukan sedang tersenyum, tetapi tengah menertawakanku.

Hening kembali tercipta sampai, ponselku berdering, itu adalah panggilan dari Ibu.

[Ya, Bu. Ada apa?]

[Arnav dibawa polisi Zayn, Hiks. Ibu harus bagaimana?]

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ada apa dengan nada sampai nekat bunuh diri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status