Share

Birthday Gift

"Ian memang cemas setengah mati saat Jessica kecelakaan setelah basket summer camp-nya. Tetapi, jauh di lubuk hatinya, aku yakin kalau Ian bahagia karena kecelakaan itu membuat Jessica tidak bisa lagi bermain basket."

Aku seketika terdiam. Sejujurnya, aku kesulitan mencari sisi positif dari cerita daddy Austin barusan. Karena sebagai sesama pecinta basket, juga dengan pengalamanku dengan "olahraga dan Papa", aku otomatis tidak menyukai kenyataan itu. Terlepas dari itu memang kenyataan yang ada, atau hanya kesimpulan yang diambil oleh daddy Austin. Karena secinta apapun papa pada mama, tetap saja itu terdengar sangat egois.

Tiba-tiba seseorang menutup kedua telingaku. Saat aku menoleh ke kanan, Zean sudah berdiri di sampingku, menatap ayahnya dengan tatapan menegur.

"Jangan dengarkan Daddy, Anna. Dia sama isengnya dengan kedua saudaramu."

Spontan, aku menahan tawa.

"Kenapa? Kau cemburu karena Anna lebih suka berbincang denganku? Makanya jangan terlalu kaku, Nak. Jika begini terus, tidak akan ada wanita yang betah denganmu."

"Seperti Mommy betah dengan Daddy saja," balas Zean sambil memutar mata.

"At least she loves me." Daddy Austin menyombong.

"But she loves me more." Zean menjulurkan lidahnya mengejek, dan aku tertawa melihat interaksi mereka yang lucu.

Sayangnya, suara perutku yang agak kencang menginterupsi pertunjukkan sang ayah dan anak Kanatta. Keduanya kompak terdiam sesaat. Detik berikutnya, mereka menatapku bersamaan, kemudian tertawa. Hanya aku yang menunduk malu.

"Baiklah. Baiklah. Ayo kita makan. Tuan Putri sudah lapar, rupanya," ujar daddy Austin sebelum kembali tertawa.

"Kan Daddy yang mengulur waktu makan malam kami."

Daddy Austin yang berdiri di sisi kiriku mendesis sambil menatap putra tampannya yang tinggi menjulang seperti dirinya. Namun, detik berikutnya, ia menatap Zean jahil.

"Benar juga. Kalau Daddy tidak menginterupsi waktu bermesraan kalian tadi, kalian tidak akan lupa diri dan menganggap dunia milik berdua, ya? Atau bahkan melewatkan jam makan malam karena sangat asyik bermesraan?" Daddy Austin menaik turunkan alisnya genit.

"Bukan begitu, Dad!" sanggahku langsung.

"Bermesraan apanya?" sahutan Zean terdengar lebih kesal dariku. Meski saat aku menoleh ke arahnya, Zean tampak sedang menahan senyuman. 

Astaga. Kenapa akting Zean buruk sekali, sih?

"Sudah! Sudah! Ayo makan!" leraiku sambil menggandeng tangan keduanya dengan masing-masing tanganku, separuh menyeret keduanya segera menuju ruang makan. Namun, saat kami sudah dekat dengan ruang makan, tiba-tiba daddy Austin menghentikan langkah. 

"Kau pergilah dulu, Nak. Daddy ada perlu sebentar dengan Anna," ujar daddy Austin yang tiba-tiba menahan salah satu sikuku. Otomatis, langkahku berhenti. Begitupula dengan Zean yang berjalan di sampingku.

Zean memang tidak banyak bicara, tetapi sorot mata birunya terang-terangan menatap sang ayah tidak percaya.

Aku spontan tertawa melihat interaksi mereka berdua. Daripada ayah dan anak, mereka lebih terlihat seperti kakak-adik jika seperti ini.

Tepat ketika aku melirik ke arah daddy Austin, aku mengenali tatapan jahil itu. He has a plan, dan sepertinya aku akan dilibatkan dalam waktu dekat. 

Setelah menimbang keputusan sesaat, aku kembali menatap Zean, kemudian sedikit mendorong punggungnya agar bergerak ke arah ruang makan. "It's ok, Zean. I'd like to listen to what Daddy wanted to say first."

"Just scream if he did something weird," pesan Zean seraya melirik ayahnya curiga. Seolah sedang memberikan peringatan tanpa kata.

"Hey! What do you think your father is, Young man?" protes daddy Austin yang tentu saja diabaikan Zean.

Begitu si putra tunggal berada dalam radius yang cukup jauh, aku menatap daddy Austin sambil tersenyum lebar.

"So, what's the plan?"

Daddy Austin yang belum berkata apa-apa, spontan tersenyum lebar. Beliau tampak bangga karena aku cepat tanggap.

***

Sejujurnya, aku sedikit kecewa. Dengan gesture daddy Austin yang terlihat penuh rahasia, aku tak kuasa membayangkan acara kejutan untuk Zean yang luar biasa. Entah itu kembang api, skenario drama penculikan, atau hal menegangkan lainnya.

Sayangnya, makan malam hari ini berlangsung seperti tahun-tahun sebelumnya. Tugasku pun tetap sama, sebagai pembawa kue ulang tahun si birthday boy. Atau lebih tepatnya, aku yang bertugas mendorong troli yang membawa kue ulang tahun  Zean yang selalu tampak lezat. Yang berbeda pada acara tahun ini hanyalah jenis kue dan angka pada lilin yang tertancap di atas kue. 

Benar-benar membosankan.

Thanks to the chef, mood-ku kembali pulih hanya dengan melihat makanan yang tersaji di hadapanku. Seperti biasanya, kemampuan plating yang memukau dengan rasa hidangan yang memanjakan lidah seolah menjadi signature para koki keluarga Kanatta yang selevel dengan para chef hotel bintang lima. Mulai dari fruit salad sebagai pembuka, dan dilanjutkan dengan steak yang menggiurkan. Semuanya membuatku hampir menangis karena bahagia. 

“Kak Eka.”

Sayangnya, kebahagiaan kecilku lagi-lagi diusik oleh pemuda kurang kerjaan yang duduk di sampingku. Siapa lagi kalau bukan si bungsu Reefhitch. Dengan gerakan malas, netra coklat tuaku melirik Chris. Karena para orangtua sedang berbincang tentang entah-apa-aku-tidak-peduli, bibirku bergerak, bertanya tanpa suara pada belia itu, “Kenapa?”

Bukannya langsung menjawab, Chris terdiam sejenak. Ia tampak ragu.

"Aku dengar, nanti dessert-nya puding mangga."

Dahiku mengernyit heran. "Lalu?"

"... Kalau kak Eka mau lagi, kakak bisa ambil punyaku."

Kerutan di dahiku semakin tebal. Tumben. Biasanya ia yang paling tidak sungkan untuk berebut dessert denganku. Apalagi kalau menunya puding yang adalah kesukaan kami.

Masih diliputi rasa curiga, aku kembali bertanya dengan nada datar, "What do you want?" 

Chris hanya menggelengkan kepala. Ekspresinya juga terlihat santai. Tangannya, yang tadi sempat berhenti karena bicara denganku, kini melanjutkan aktivitas memotong steak di atas piringnya.

Melihat gelagatnya yang mencurigakan, otakku otomatis memikirkan banyak prasangka. Namun, ketika aku mengamati ekspresi wajahnya, aku mendapatkan petunjuk penting. Begitu bisa menebak apa yang sedang terjadi, bibirku pun tak kuasa tersenyum lebar. 

Oh my. This freaking softboy. Hahaha! 

"Kenapa? Kamu merasa bersalah karena yang tadi?" godaku seraya menahan tawa.

Gerakan tangan Chris sempat berhenti sejenak, sebelum ia kembali memotong steak-nya. Dasar bocah! Kalau reaksinya sesuai dengan tebakanku seperti ini, aku kan jadi kesulitan untuk menahan tawa.

"Kalau pada akhirnya kamu merasa bersalah, nggak usah sok ngisengin orang, Anak Muda," celetukku sambil tersenyum lebar, sengaja mengejek Chris yang kini memasang ekspresi sok tidak peduli.

"... Mau pudingnya, nggak?" tanya Chris dengan nada sebal. Ya iya lah, sebal. Kan yang kukatakan memang benar. Hahaha! 

"Yes, of course!" seruku kelewat girang. Bagaimana aku tidak senang? Selain karena malam ini aku mendapatkan ekstra puding, aku juga bisa membalas keisengan si bungsu Reefhitch.

Sialnya, aku bicara cukup keras saat semuanya mendadak hening. Otomatis, semua pasang mata di ruang makan menatapku. Termasuk, papa Ian. Anehnya, beliau menatapku terkejut, tanpa ada unsur kemarahan dari caranya melihat lurus ke arahku. Biasanya, kalau aku membuat keributan yang tidak terduga, tatapan tajam nan dingin dari netra hitamnya akan menusukku tanpa ampun. Membuatku seketika merasa bersalah tanpa ada kata yang terucap. Namun, kali ini berbeda. Papa tampak terkejut, tapi ia tidak marah. Benar-benar mencurigakan!

Tepat ketika rasa penasaranku mencapai batasnya, tawa daddy Austin tiba-tiba memecah keheningan. Kemudian, disusul oleh tawa anggun dari mommy Jasmine dan mama Jessica. Baru setelahnya, papa Ian ikut tertawa lirih.

“Aku tidak menyangka kalau reaksi putrimu begini antusias, Kawan,” ujar daddy Austin di tengah tawanya.

So do I,” jawab papa Ian lirih, masih dengan bibir yang tersenyum tipis.

Aku, yang masih belum memahami situasi, spontan melirik Chris. Sialnya, pemuda itu balas melirikku sambil mengedikkan bahu. He’s just as clueless as me.

“Eka!” panggil kak Naki dengan nada berbisik.

Aku segera menoleh ke arah kak Naki yang duduk di sisi kanan Chris. Dalam hati, aku berharap pria itu bisa memberikan kejelasan situasi sebelum aku ketahuan kalau jawaban tadi adalah untuk pembicaraan pribadiku dengan Chris. 

Pasalnya, mood yang terbangun sudah terlanjur bagus. Bahkan, sangat bagus karena para tetua terlihat bahagia dengan apapun pembicaraan mereka barusan. Aku merasa kalau akan dalam masalah besar jika ternyata aku memberikan jawaban yang tidak seharusnya aku lontarkan.

“Kamu serius?” tanya kak Naki dengan ekspresi tidak percaya.

Aku mengernyitkan dahi, membentuk ekspresi bingung sebagai kode agar kak Naki merangkum situasi untukku.

“Kamu yakin?” Sialnya, kodeku tidak sampai pada kak Naki. 

Saatnya mengubah target. Tepat ketika aku mengedarkan pandangan, mata coklat tuaku tidak sengaja bertemu pandang dengan Zean yang duduk di sampingku, sisi yang berlawanan dengan posisi Chris. Pria itu tersenyum, tapi sinar matanya tampak gugup. Saat aku mengirimkan kode yang sama, yang tadi kuberikan pada kak Naki, tiba-tiba Zean tersenyum lebih lebar.

It’s ok, Anna,” ujarnya separuh tertawa. Anehnya, ia tampak ... lega? Namun, ketika aku melirik ke arah tangannya, ujung jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya bergerak bersamaan, seperti sedang mengetuk meja tiga kali. Itu adalah kode yang kami sepakati tadi pagi. Sinyal agar aku mengabulkan inginnya.

Netra coklat tuaku kembali menatap Zean, meminta konfirmasi bila aku tidak salah menangkap sinyal. Pria itu pun mengangguk samar. Baiklah. Zean adalah orang baik. Dia tidak akan menjerumuskanku dalam hal yang salah. Jadi, mari percaya saja padanya.

Do you⎼

Yes.

Aku dan mommy Jasmine tidak sengaja bicara bersamaan. Situasi mendadak menjadi canggung. Namun, lagi-lagi, hening yang terasa aneh itu dipecahkan oleh tawa daddy Austin yang terdengar lebih bersemangat dari sebelumnya. Semua orang pun tertular tawanya, dan suasana seketika menjadi ceria lagi.

Calm down, Baby,” ujar daddy Austin kepada istrinya yang langsung direspon dengan pukulan manja di lengan oleh mommy Jasmine.

I just want to be sure, Sweetheart. Because she looks confused,” dalih mommy Jasmine kepada sang suami, sebelum menatapku dengan senyum lebarnya yang menawan. Ia tampak sangat bahagia. Membuatku ikut tertular senyum sukacitanya.

“Thank you for accepting our marriage proposal, Anna. I’m so glad that we’re really going to be a family soon.

Wait.... WHAT?!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status