Share

Para Pecundang

Author: Zen_
last update Last Updated: 2025-09-12 20:26:53

Setelah melewati malam panjang yang dipenuhi meditasi, Angkara akhirnya membuka matanya dengan perlahan. Udara dingin pagi hari masih menyelimuti gubuk reyot tempat ia beristirahat. Wajahnya yang penuh konsentrasi tampak sedikit lega, seolah ada pencapaian besar yang baru diraihnya.

“Bagus… tahap pertama berhasil juga,” ucapnya pelan sambil menghela napas dalam. “Meskipun harus menghabiskan semalaman penuh, setidaknya teknik pernapasan ini kini sudah stabil.”

Dalam dunia para praktisi bela diri, penguasaan teknik pernapasan merupakan dasar dari segala latihan bela diri. Ada yang bisa menguasainya hanya dalam satu jam, bahkan ada yang mampu menembus batas hanya dalam hitungan dua jam.

Namun, tidak pernah ada seorang murid atau pelajar seni bela diri yang sampai membutuhkan waktu sepanjang malam untuk sekadar menyeimbangkan aliran napas. Angkara tersenyum tipis, menyadari kelemahan tubuh barunya.

Ia bangkit, merenggangkan tubuhnya yang kurus, lalu mulai melakukan peregangan ringan. “Tubuh ini terlalu rapuh. Sebelum mempelajari jurus-jurus yang lebih tinggi, aku harus membentuk fondasi fisik lebih dulu,” gumamnya.

Keluar dari gubuk, ia menimba air dari sumur tua yang berdiri tak jauh. Dengan air segar itu, ia membasuh wajahnya hingga rasa kantuk yang tersisa lenyap. Setelah itu, ia memulai rangkaian gerakan pemanasan. Tubuhnya digerakkan perlahan, otot-ototnya yang lemah dipaksa mengikuti irama.

Sesudah merasa cukup, ia pun mulai berlari menyusuri jalur sempit di kaki bukit.

Waktu berjalan tanpa terasa. Empat jam penuh ia berlari, melatih daya tahan tubuhnya. Ketika matahari perlahan terbit dari balik pegunungan, para murid perguruan mulai memenuhi halaman latihan. Sementara itu, Angkara kembali ke gubuknya dengan napas terengah, tubuhnya basah oleh keringat.

“Huft… hari pertama selesai juga,” katanya lirih, terduduk di depan gubuk sambil menatap kosong ke arah tanah.

Bajunya lengket, tubuhnya mengeluarkan bau asam yang menusuk. Tanpa pikir panjang, ia melepaskan pakaian tipisnya dan mulai membasuh tubuhnya di dekat sumur. Air dingin mengalir di atas kulit pucat dan daging tipis yang membungkus tulang menonjol. “Tubuh ini benar-benar kurus… dan aku lapar,” keluhnya.

Belum sempat ia menenangkan diri, langkah kaki beberapa orang mendekat. Suara lirih terdengar di telinganya.

“Sudah kuduga, yang kemarin itu bukan hantu. Dia memang masih hidup,” bisik Sabda kepada Mandala dengan nada yakin.

Tak lama, suara lantang menggema. “ANGKARA!!!”

Angkara menoleh perlahan. Dari kejauhan, Mandala bersama dua rekannya berjalan mendekat dengan wajah dipenuhi amarah. 

Ia terkekeh dengan wajah meledek. “Apa pelajaran yang kemarin masih belum cukup?”

“Beraninya kau mempermainkan kami? Seorang pelayan yang harusnya mati, berani melawan tuannya sendiri?!” bentak Mandala sambil melangkah cepat. Tangannya menjulur, berusaha menjepit telinga Angkara. Namun, dengan sedikit gerakan kepala, Angkara menghindar.

Perlawanan sederhana itu justru membuat darah Mandala mendidih. Wajahnya memerah, urat-urat di pelipisnya menonjol, dan tangannya mengepal kuat. Ia mengayunkan tinjunya dengan tenaga penuh.

“Dasar pelayan tak tahu malu!”

Namun, pukulan itu meleset. Bagi seorang Dewa Perang yang sudah menaklukkan ribuan musuh, serangan seperti itu hanyalah gerakan konyol seekor cacing. Walaupun tubuh barunya lemah, refleks dan insting bertarungnya masih terjaga.

Tidak seperti kemarin saat melawan mereka, tubuhnya kini sudah berada kondisi pulih, berkat salep dari 2 penjaga.

Mandala kehilangan keseimbangan akibat tenaga yang ia keluarkan terlalu besar. Hampir saja tubuhnya jatuh menabrak tanah, namun Angkara dengan cepat menangkap bagian belakang leher bajunya. Tubuh Mandala terangkat sedikit, tergantung seperti anak kucing yang dicekal.

“KAU! Kenapa menghindar, Angkara?!” bentak Mandala dengan suara teredam karena bajunya menjerat leher.

‘Pertanyaan bodoh,’ pikir Angkara sambil mendengus dalam hati. ‘Memangnya ada orang waras yang akan dengan pasrah menerima pukulanmu?’ pikirnya mengejek.

Ingatan lama tubuh asli ini sekilas melintas, seorang pemuda penurut yang hanya bisa diam dipukuli tanpa perlawanan. Angkara tersenyum miring. “Bodoh sekali pemilik tubuh ini,” gumamnya lirih.

Saka dan Sabda yang melihat sahabat mereka dipermalukan, segera bereaksi. Mereka menyerbu bersamaan dari dua arah berbeda, berusaha menyergap Angkara.

Namun, dengan tenang ia melepaskan genggamannya. Tubuh Mandala jatuh tersungkur, sementara Angkara melangkah ke samping dengan ringan.

Brak! Saka dan Sabda justru saling bertubrukan. Tubuh mereka beradu keras, dahi masing-masing memerah.

“Ouch!” jerit keduanya bersamaan, mengusap kepala sambil meringis kesakitan.

Dari arah belakang, Angkara merasakan hembusan angin yang kasar menusuk kulitnya, disertai tekanan kuat yang jelas diarahkan tepat ke kepalanya.

Tanpa perlu menoleh, tubuhnya secara naluriah bergerak, memiringkan kepala dengan sedikit sentakan. Pukulan mendadak dari Mandala hanya menghantam udara kosong.

“BRENGSEK!!!” teriak Mandala, wajahnya merah padam menahan malu dan marah.

Namun, Angkara, atau lebih tepatnya jiwa seorang mantan Dewa Perang dalam tubuh lemah seorang pelayan, sudah kehilangan minat untuk sekadar bermain-main dengan bocah-bocah ini. Baginya, gangguan mereka hanya setitik kerikil di jalan panjang balas dendamnya.

Dengan gerakan sederhana namun presisi, ia menekukkan lutut dan menendang cepat ke arah leher Mandala. Serangannya bukan sembarang tendangan, melainkan tepat mengenai beberapa titik vital tubuh. Seketika, Mandala terjerembab ke tanah, tubuhnya kaku, hanya bisa menggeliat tak berdaya.

Haish… bocah berisik sekali,’ pikir Angkara sambil mendesah bosan.

Di atas tanah, Mandala menjerit kesakitan, tubuhnya bergeliat seperti cacing yang kehilangan tanah basah. “APA YANG KAU LAKUKAN PADAKU, ANGKARA?! TEKNIK YANG KEMARIN KAU PAKAI KEMBALI KAN?!”

Angkara menatapnya dengan dingin, lalu meletakkan telapak kaki kanannya tepat di wajah Mandala. “Hei, dasar bajingan! Kau ini hanya murid luar di perguruan. Bagaimana bisa aku, seorang pelayan perguruan, dipaksa melayanimu secara khusus?” suaranya tegas, menusuk seperti pisau yang menusuk hati.

Perguruan Arus Hening memang memiliki sistem yang jelas, murid luar dan murid dalam. Murid luar adalah pemula, anak-anak baru yang sekadar menginjakkan kaki untuk mencicipi jalan seni bela diri. Mereka belum memiliki dasar kokoh, jurus-jurus mereka mentah, dan ilmu napas mereka masih berantakan.

Sedangkan murid dalam adalah para senior, mereka yang telah lama berlatih, memperoleh pengakuan, dan memiliki kemampuan lebih tinggi. Mandala hanyalah murid luar, sama lemahnya dengan pengikutnya.

“Dengarkan baik-baik, kalian para bedebah!” suara Angkara bergemuruh, matanya tajam menatap ketiga remaja itu. “Aku tidak akan melaporkan kalian pada ketua perguruan. Tapi, jika kalian berani menggangguku lagi… kalian akan menanggung akibatnya.”

Ancaman itu keluar begitu saja, dingin, tegas. Namun, bagi Mandala dan kedua pengikutnya, mendengar perlawanan dari seorang pelayan hanyalah lelucon. Sejak awal, Angkara hanyalah obyek hiburan mereka, korban empuk untuk melampiaskan rasa minder mereka.

“HEH! Seorang yatim piatu berani mengancam se—” kalimat Mandala terputus. Kaki Angkara menekan wajahnya dengan berat, menghentikan kata-kata arogan itu. Tekanan kakinya semakin kuat, darah segar merembes keluar dari hidung Mandala, bercampur dengan goresan merah di pipinya.

“Kau ini terlalu banyak bicara,” kata Angkara dingin. “Bela dirimu saja selevel sampah, bagaimana berani menyebut dirimu murid perguruan?”

Mandala meringis, suaranya tercekat di bawah injakan. Sementara itu, Saka dan Sabda yang biasanya ikut tertawa puas setiap kali Mandala menyiksa pelayan, kini hanya bisa gemetar. Kedua bocah itu saling merapat, tubuh mereka bergetar seperti anak ayam kehujanan.

Langkah Angkara yang lambat dan mantap mendekati mereka membuat suasana semakin mencekam. “Kalian berdua juga… bagaimana bisa rela menjadi anjing dari pemuda lemah ini? Hanya karena dia anak seorang pedagang kaya?” suaranya berat, bergemuruh bagaikan lonceng maut.

Napas Saka dan Sabda mulai tersengal, dada mereka naik turun dengan panik. Sosok pelayan yang dulu menjadi bahan ejekan kini berubah menjadi bayangan menakutkan, seolah malaikat maut yang siap merenggut jiwa mereka kapan pun ia mau.

“Ucapkan sesuatu…” suara Angkara menekan, penuh wibawa.

Namun, lidah mereka kelu, tubuh kaku, keringat dingin mengalir. Angkara menajamkan tatapan. “Tak berkata sedikit pun?!”

Seketika, keduanya serempak jatuh berlutut. Kepala mereka membentur tanah keras, suara duk terdengar jelas. “Maafkan kami!!!” pekik Saka.

“Kami hanya mengikuti perintah Mandala! Dia berjanji memberi kami kehidupan yang sejahtera…” suara Saka bergetar, hampir tersendat.

“Benar, itu saja alasannya!” imbuh Sabda dengan nada memohon.

Mereka tampak kompak seperti saudara kembar, namun di mata Angkara, mereka tak lebih dari dua pengecut yang rela menjual harga diri demi iming-iming kecil.

Ia mendengus, lalu menendang wajah keduanya dengan satu gerakan ringan. Tubuh mereka terlempar ke belakang, lalu tergeletak pingsan.

Kini, di hadapannya hanya ada tiga remaja yang terkapar tak berdaya. Angkara berdiri dengan tenang, lalu menarik napas panjang. “Huft… hanya buang-buang waktu. Dasar pecundang. Bahkan ketua perguruan ini tidak becus menyeleksi murid, orang selemah ini bisa masuk?”

Beberapa saat kemudian, Mandala yang sempat tak sadarkan diri perlahan membuka mata. Pandangan kabur membuatnya terkejut bukan main, karena yang pertama kali dilihat adalah sosok Angkara yang sedang duduk di atas perutnya.

“Urgh… Angka…ra… Sialan kau…” Mandala berusaha bernapas, suaranya lirih.

Namun, belum sempat ia melanjutkan, kepalan tangan Angkara menghantam wajahnya. “Berisik.” Satu kata singkat, diikuti bunyi plak! keras. Mandala kembali jatuh ke dalam kegelapan, pingsan untuk kedua kalinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Langkah Pertama

    Sebagai seorang pelayan di perguruan, Angkara menjalankan tugasnya dengan tekun. Ia merapikan kamar-kamar asrama murid luar, mencuci pakaian yang menumpuk, dan membersihkan halaman tempat para murid beraktivitas.Semua pekerjaan itu dikerjakan satu per satu sampai rapi.“Seorang mantan dewa perang melakukan pekerjaan seperti ini. Huft.” Ia menghela napas pendek, setengah bosan, setengah merendah. Rasa gengsi masih membara dalam dada.Dahulu, banyak orang tunduk padanya, namun kini keadaan berbalik 180 derajat. Membereskan sampah, menyapu dedaunan, dan membenahi jerami di gubuk menjadi rutinitas yang sulit ia jalani dengan sepenuh hati.Perguruan Arus Hening bukanlah kompleks luas. Murid luar di sini jumlahnya kurang dari seratus orang. Mereka berlatih di lapangan terbuka, di bawah pengawasan beberapa instruktur.Angkara mengamati mereka dari kejauhan ketika ia menyapu. Mata tajamnya menangkap kesalahan pada kuda-kuda mereka. “Kuda-kuda mereka salah,” bisiknya mengkritik sendiri.Meski

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Para Pecundang

    Setelah melewati malam panjang yang dipenuhi meditasi, Angkara akhirnya membuka matanya dengan perlahan. Udara dingin pagi hari masih menyelimuti gubuk reyot tempat ia beristirahat. Wajahnya yang penuh konsentrasi tampak sedikit lega, seolah ada pencapaian besar yang baru diraihnya.“Bagus… tahap pertama berhasil juga,” ucapnya pelan sambil menghela napas dalam. “Meskipun harus menghabiskan semalaman penuh, setidaknya teknik pernapasan ini kini sudah stabil.”Dalam dunia para praktisi bela diri, penguasaan teknik pernapasan merupakan dasar dari segala latihan bela diri. Ada yang bisa menguasainya hanya dalam satu jam, bahkan ada yang mampu menembus batas hanya dalam hitungan dua jam.Namun, tidak pernah ada seorang murid atau pelajar seni bela diri yang sampai membutuhkan waktu sepanjang malam untuk sekadar menyeimbangkan aliran napas. Angkara tersenyum tipis, menyadari kelemahan tubuh barunya.Ia bangkit, merenggangkan tubuhnya yang kurus, lalu mulai melakukan peregangan ringan. “Tub

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Perguruan Arus Hening

    Berdasarkan ingatan asli pemilik tubuh ini, Angkara tahu bahwa tempat tinggalnya hanyalah sebuah gubuk tua sederhana. Dengan langkah tertatih, tubuhnya yang penuh luka dipaksa menuruni bukit. Nafasnya pendek-pendek, setiap tarikan terasa seperti pisau yang menusuk paru-paru. Namun, tekadnya yang kuat membuat ia tetap melangkah.Di kaki bukit, terbentang gerbang kota kecil bernama Jiran. Dua orang penjaga berdiri tegak, tombak mereka berkilat terkena sinar senja, memperlihatkan kewibawaan meski sekadar penjaga kota kecil. Pandangan mereka tajam, memindai setiap orang yang hendak masuk, seolah mata mereka bisa menembus kebohongan siapa pun yang mencoba berbuat curang. Karavan kuda silih berganti melewati gerbang, setiap pengendara diperiksa dengan teliti.“Yak, silakan masuk,” ucap salah satu penjaga setelah memeriksa sebuah rombongan pedagang. Namun, langkah mereka terhenti ketika melihat sosok seorang pemuda berpakaian lusuh serba putih di belakang karavan. Pakaian itu sederhana, ci

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Tubuh Lemah

    Angkara merasakan denyut perih dari luka di pinggang setiap kali bergerak. Ia bisa membaca setiap celah serangan lawan, tapi tubuh ini tak mampu mengeksekusi perlawanan sempurna.“Ck…” Mandala mendecik, tak puas dengan serangannya. Matanya membelalak penuh kebencian. Pukulan berikutnya ia kerahkan dengan tenaga lebih besar, amarahnya semakin menguasai nalar.Dari arah samping, Saka dan Sabda melesat bersamaan. Mereka mencoba menangkap kedua lengan Angkara, berusaha menahan geraknya agar Mandala bisa melancarkan serangan telak. Angkara mendengus pendek dan memilih mundur beberapa langkah. Itu keputusan bijak, jika ia maju, serangan Mandala di depan pasti akan mendarat tepat di wajahnya.Kaki Angkara lalu berputar, berputar penuh hampir seratus delapan puluh derajat. Tidak seperti teknik Arus Hening yang sunyi, setiap gesekan kakinya di tanah menimbulkan suara berdenyit kasar.“Ciiiittt…”Suara itu menusuk telinga, memecah keheningan di bukit selatan. Mandala, Saka, dan Sabda yang begi

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Reinkarnasi

    Di sebuah bukit yang terletak di selatan sebuah kota kecil, berdiri sunyi dengan rimbunan pohon yang menjulang tinggi. Ada seorang mayat yang tergeletak dengan penuh bersimbah darah di wajahnya.Tiba tiba.sebuah cahaya dari langit melesat turun dengan kecepatan yang mustahil dijangkau mata. Cahaya itu menembus tubuh yang sudah tak bernyawa. Dalam sekejap, roh asing memasuki jasad yang terkapar.Kilatan cahaya tipis menyelimuti tubuhnya. Jemari yang tadinya kaku perlahan bergerak. Otot-otot mulai mengencang, hingga tubuh itu tiba-tiba bangkit dengan posisi duduk bersila. Nafas berat terdengar, seakan ia baru saja kembali dari perjalanan panjang.“Urgh…” suara serak keluar dari mulutnya. Kepala terasa berputar, pandangan bergetar seperti dilanda gempa, dan kunang-kunang berkelip di depan matanya. Ia mengusap pelipis, merasakan darah kering menempel di tangannya. “Darah…? Apa yang terjadi denganku?”Ketika ia menatap tubuhnya, keterkejutan tak bisa disembunyikan. Tubuh kurus, tulang me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status