Home / Zaman Kuno / Reinkarnasi Dewa Perang / Perguruan Arus Hening

Share

Perguruan Arus Hening

Author: Zen_
last update Last Updated: 2025-09-12 20:10:15

Berdasarkan ingatan asli pemilik tubuh ini, Angkara tahu bahwa tempat tinggalnya hanyalah sebuah gubuk tua sederhana. Dengan langkah tertatih, tubuhnya yang penuh luka dipaksa menuruni bukit. 

Nafasnya pendek-pendek, setiap tarikan terasa seperti pisau yang menusuk paru-paru. Namun, tekadnya yang kuat membuat ia tetap melangkah.

Di kaki bukit, terbentang gerbang kota kecil bernama Jiran. Dua orang penjaga berdiri tegak, tombak mereka berkilat terkena sinar senja, memperlihatkan kewibawaan meski sekadar penjaga kota kecil. 

Pandangan mereka tajam, memindai setiap orang yang hendak masuk, seolah mata mereka bisa menembus kebohongan siapa pun yang mencoba berbuat curang. Karavan kuda silih berganti melewati gerbang, setiap pengendara diperiksa dengan teliti.

“Yak, silakan masuk,” ucap salah satu penjaga setelah memeriksa sebuah rombongan pedagang. Namun, langkah mereka terhenti ketika melihat sosok seorang pemuda berpakaian lusuh serba putih di belakang karavan. Pakaian itu sederhana, ciri khas seorang pelayan. Wajahnya penuh luka yang ditambal seadanya dengan herbal.

Mata kedua penjaga saling bertemu, kemudian salah satunya menegur. “Tunggu…” Suara keras itu membuat Angkara menghentikan langkah. Dengan lirih ia bertanya, “Ada apa?”

Sekilas, penjaga itu bisa membaca kondisi Angkara, pemuda di depannya benar-benar tampak sekarat. Dengan nada lebih lembut, ia bertanya, “Kamu pelayan dari mana?”

“Perguruan Arus Hening,” jawab Angkara singkat.

Mendengar nama perguruan itu, wajah kedua penjaga berubah. Empati dan rasa hormat tampak jelas. “Kalau begitu, kenapa penampilanmu sampai seperti ini, Nak?”

Angkara ingin berteriak kesal. Benaknya berbisik, ‘Orang ini banyak sekali tanya! Aku sedang kesakitan, kenapa tidak langsung membiarkanku masuk saja?’ Namun mulutnya memilih jalan aman. “Tidak apa-apa, Pak. Saya hanya terjatuh dari lereng bukit selatan.”

Salah satu penjaga mengangguk, lalu merogoh sakunya. Ia mengeluarkan sebuah wadah kecil berisi salep. “Ambil ini. Tidak manjur betul, tapi bisa sedikit mengurangi sakitmu.”

Tangan Angkara yang lemah bergetar saat menerimanya. “Terima kasih, Pak…” Tiba-tiba, tanpa ia sadari, air mata mengalir membasahi wajahnya. Ia terkejut. ‘Kenapa aku menangis? Apa tubuh ini bukan hanya lemah fisiknya, tapi juga hatinya? Aku bahkan tak bisa mengendalikan perasaan ini…’

Kedua penjaga itu menepuk pundaknya. “Baiklah, masuklah, Nak.”

Angkara menunduk singkat, lalu melangkah memasuki kota Jiran. Kota kecil itu penuh dengan lorong-lorong sempit dan gang yang membingungkan. Bangunan kayu berdiri seadanya, sebagian bahkan tampak miring seakan siap roboh. Namun meski strukturnya kacau, Angkara tidak tersesat. Ingatan tubuh aslinya membimbing langkahnya.

Akhirnya ia tiba di depan gerbang besar dengan dua pilar biru. Di atasnya terukir sebuah papan kayu bertuliskan Perguruan Arus Hening. Angkara mendongak, menatap tulisan itu dengan tatapan sinis. “Jadi ini Perguruan Arus Hening… Di kehidupanku dulu, aku bahkan tak pernah mendengar nama perguruan ini. Pasti ini perguruan lemah, tidak masuk seratus besar pun di dataran luas.”

Gerbang itu tak dijaga siapa pun. Pintu kayu dibiarkan terbuka, seakan semua orang bebas keluar masuk. Dengan mudah Angkara mendorongnya, tubuhnya yang lemah pun masih sanggup melakukannya.

Di dalam, puluhan murid sedang berlatih. Mereka bergerak kaku tanpa instruktur, masing-masing berusaha meniru gerakan dasar bela diri. Suasana itu membawa Angkara pada kenangan lama. “Sudah lama aku tidak melihat pemandangan seperti ini,” gumamnya lirih. Namun, tak seorang pun peduli pada dirinya. Sebagian murid bahkan memandangnya dengan jijik, sekadar pelayan, bukan murid.

Dengan langkah berat, Angkara terus berjalan melewati mereka. Hingga akhirnya ia bertemu seorang pria tua berwajah teduh. Rambut putihnya menjuntai sampai bahu, janggutnya panjang, sorot matanya penuh wibawa. Orang itu menyapanya dengan nada rendah. “Angkara.”

Angkara segera menunduk, mengepalkan tangan di depan dada. “Salam, Tuan Seta.”

Ya, berdasarkan ingatan tubuh ini, pria tua di hadapannya adalah Tuan Seta, ketua Perguruan Arus Hening. Meski perguruan ini dianggap kecil, ia dikenal sebagai orang terkuat di kota Jiran. Murid maupun warga kota menghormatinya.

Tuan Seta mengusap jenggotnya perlahan. “Darimana saja kamu? Seharian ini aku tak melihatmu. Bukankah kau mendapat tugas membersihkan halaman luar?”

Ingatan Angkara terputar. Benar, tubuh ini memang ditugaskan membersihkan asrama. Namun karena permintaan Mandala dan kawan-kawannya yang sewenang-wenang, membersihkan kamar mereka sebelum fajar, dan bergelut dengan mereka. ia malah terjerat masalah di bukit selatan.

“Maaf, Tuan. Saya tadi berada di bukit selatan,” jawab Angkara akhirnya.

Mata Tuan Seta menyipit, menilai kondisi Angkara yang penuh luka. “Hm, begitu? Tapi kenapa sampai selama ini? Sekarang sudah senja.”

Angkara diam. Ia sudah lelah ditanya terus-menerus. Namun, tatapan tajam ketua perguruan itu membuatnya tak bisa mengarang alasan. Untungnya, pria tua itu akhirnya menghela napas. “Baiklah, istirahatlah dulu. Kau tampak tidak sehat.”

Angkara menunduk, merasa lega. Dan berusaha dengan tertatih menuju gubuk.

Sebuah gubuk reyot dari kayu menanti di kejauhan. Begitu masuk, bau asam menusuk hidungnya. Jerami berantakan memenuhi lantai, sarang laba-laba bergelayut di sudut langit-langit, dan di tengah ruangan berdiri ranjang kayu tua dengan kasur bolong di atasnya.

“Jadi, di tempat seperti inilah Angkara tinggal?” gumamnya lirih, menatap sekeliling.

Ia duduk di atas kasur rapuh itu dan menghela napas panjang. “Huft…”

“Sehari yang lalu, aku memiliki kastil megah, singgasana berlapis emas, dan dinding-dinding yang dihiasi zamrud. Kini? Yang kumiliki hanya gubuk busuk ini.”

Kontras yang tajam itu membuat hatinya diliputi ironi. Namun, apa daya? Ia sudah dikhianati, dijebloskan ke tubuh lemah, dan kini harus memulai hidup baru di dunia yang tak mengenalnya lagi.

 “Sekarang saatnya aku mencoba bermeditasi kembali, pertama aku harus menyembuhkan dahulu luka lukaku.” Ia mengoleskan secerik salep yang ia dapati dari 2 penjaga gerbang.

Ajaibnya dengan perlahan salep itu menutupi luka luka Angkara, walaupun tidak secepat seperti praktisi bela diri menyembuhkannya dengan meditasi.

Tapi, hal itu ampuh menutup luka lukanya, tidak seperti apa yang dikatakan oleh penjaga bahwa salep ini seperti memiliki banyak kekurangan. “Apa setelah sekian lama ku tinggalkan alam fana ini, mereka memiliki banyak terobosan?”

Angkara mengangkat kedua bahunya, ia tak pikir panjang setelah melakukan penyembuhan, dirinya langsung bermeditasi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Fase Selanjutnya

    Angkara melayang tinggi di udara, tubuhnya diselimuti pusaran aura berwarna hitam keemasan yang berkilau seperti cahaya senja di atas kegelapan. Dari ketinggian itu, ia menatap seluruh penjuru kota yang kini hanya menyisakan kehancuran dan hamparan debu. Ia memejamkan mata perlahan, mencoba merasakan setiap denyut kehidupan yang tersisa di bawah sana. Napasnya teratur, tenang, dan dalam keheningan itu ia mendengar bisikan alam, bahwa semua penduduk telah berhasil dievakuasi keluar dari kota. Tepat seperti yang ia rencanakan.Setengah hari telah ia habiskan untuk menahan serbuan pasukan tengkorak yang tak kunjung habis. Namun kini, beban itu sedikit terangkat dari bahunya. Matanya kembali terbuka, menatap lurus ke arah puncak menara tengkorak yang menjulang bagai tombak hitam menembus langit kelam. Di sana, berdiri sosok yang telah lama ia nantikan. Bibirnya melengkung, dan suara lirih keluar dari mulutnya, “Akhirnya, aku bisa bertarung tanpa beban.”Tanpa ragu, Angkara mulai mengal

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Utara

    Pasukan pemberontak segera berpencar ke segala penjuru kota, berlari menembus jalan-jalan sempit dan gang gelap untuk mengevakuasi para penduduk menuju tempat yang lebih aman. Teriakan dan suara langkah kaki bercampur menjadi satu, menciptakan suasana yang penuh kepanikan. Warga yang kebingungan berusaha memahami apa yang sedang terjadi, mengapa mereka harus meninggalkan rumah dengan tergesa, dan di mana para petugas kota yang biasanya menindas mereka kini tak tampak sama sekali.Franz, sang pemimpin pemberontak, berdiri di atap sebuah bangunan tiga lantai yang tak jauh dari pusat kota. Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat dengan jelas menara tengkorak yang menjulang tinggi, menjangkau langit dengan aura kelam yang mengerikan. Ia menggigit jarinya dengan gelisah, matanya menyipit, mencoba menilai seberapa besar ancaman yang mereka hadapi. “Jadi itu yang kau maksud, Mawar?” tanyanya tanpa menoleh.“Benar,” jawab Mawar pelan. Tatapannya menerawang, mengingat kembali sosok berjubah

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Evakuasi

    Di tengah lautan makhluk tengkorak berwarna putih yang jumlahnya tak terhingga, sosok Angkara berdiri di antara kabut perang. Dari tubuhnya memancar aura berkilau keemasan yang melingkupi pedang di tangan kanannya, sementara di tangan kirinya tergenggam perisai hitam berukir wajah mengerikan yang tampak seolah hidup.Ia mengayunkan pedangnya ringan, namun setiap tebasan menciptakan getaran hebat yang menghantam tanah dan menghancurkan barisan pasukan tengkorak di depannya menjadi debu. Tebasan demi tebasan ia lakukan tanpa henti, disertai suara benturan yang bergema di udara. Setiap serangan yang diarahkan kepadanya tak pernah berhasil menembus pertahanannya, perisai hitam itu menyerap seluruh serangan dan memantulkannya kembali, menghancurkan musuh dalam sekali benturan.Angkara, sosok yang dulunya dikenal sebagai Dewa Perang, kini telah bereinkarnasi dalam tubuh seorang pelayan biasa. Namun pada saat ini, ia bukanlah manusia biasa, ia adalah mesin pembantai yang bergerak tanpa ras

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Wali Kota

    Angkara yang baru saja menolong salah satu anggota pemberontak itu menatap lurus ke arah menara hitam di kejauhan. Aura kelam dari bangunan itu bergulung seperti kabut pekat yang menelan udara di sekitarnya. Dalam hatinya, ia sadar bahaya yang sedang mengintai. “Menara ini… berbahaya. Saat ini baru mencapai tahap pertama. Jika sampai tahap ketiga, bahkan para penghuni surgawi pun akan kesulitan. Setengah dari mereka terbantai pada kejadian sebelumnya…” pikirnya dengan wajah serius.Seraya mengangkat tangan kanannya, Angkara menggerakkan jari-jemarinya cepat, membentuk segel tak dikenal. Seketika aura hitam pekat mengalir dari tubuhnya dan membelit pasukan tengkorak di sekeliling mereka. Jeritan dari makhluk-makhluk itu bergema bersamaan, sebelum akhirnya tubuh-tubuh mereka terhimpit dan meledak menjadi abu. Namun bahkan setelah puluhan tengkorak hancur, masih banyak lagi yang bermunculan dari kaki menara, tak terbatas jumlahnya.Di tengah kekacauan itu, tawa mengerikan menggema dari

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Pasukan Tengkorak

    Menara itu memancarkan aura hitam pekat yang segera menelan seluruh kota. Warna gelap itu menjalar cepat, merayap di antara bangunan, menutupi jalanan, hingga perlahan menembus langit. Langit dunia bawah yang semula berwarna merah tanda datangnya pagi, berubah menjadi hitam legam seolah malam abadi baru saja lahir. Tak ada lagi cahaya, tak ada lagi bayangan, hanya gelap yang terasa menyesakkan dada, seperti kabut maut yang menindih seluruh kehidupan di bawahnya.Para penduduk menengadah, memandang langit dengan kebingungan dan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Tak ada yang berani bersuara lantang, beberapa hanya bergumam, mencoba memahami anomali yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah dunia bawah. Namun, keheningan cepat berubah menjadi kepanikan. Mereka bukan merasa kagum atas keajaiban langit, melainkan dicekam rasa takut yang menusuk tulang, sebuah firasat buruk bahwa sesuatu yang mengerikan telah bangkit.Di depan sebuah toko roti kecil, seorang bocah laki-laki bern

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Menara Tengkorak

    Setelah menyaksikan adegan kacau di dunia bawah, Angkara memutuskan sudah waktunya pergi. Di matanya, tak ada lagi manfaat atau tujuan tinggal lebih lama di tempat itu, semua yang bisa dipelajari atau dimanfaatkan dari peristiwa tersebut telah selesai.“Kalau tak salah, si pirang tadi menyuruh lebih dari separuh pasukannya menuju kantor walikota, kan?” gumamnya pelan, sambil tetap tak terlihat. Ia mengaktifkan kembali kemampuan menyamarkan wujudnya, lenyap dari pandangan siapapun yang mungkin mengincarnya.Angkara segera keluar dari persembunyian pemberontak dan menempatkan dirinya di atas atap sebuah bangunan yang rendah, posisi yang memungkinkan ia memantau sekeliling tanpa terganggu. Dari sana, ia mengamati lanskap kota dengan tajam. Ia hendak mengetahui di mana markas walikota berada, pengetahuan itu penting untuk arah langkahnya selanjutnya.Langit dunia bawah perlahan memerah menandakan pagi akan datang. Cakrawala di sini tak serupa dunia timur, tak ada bulan yang lembut atau ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status