Share

Langkah Pertama

Author: Zen_
last update Last Updated: 2025-09-12 20:35:54

Sebagai seorang pelayan di perguruan, Angkara menjalankan tugasnya dengan tekun. Ia merapikan kamar-kamar asrama murid luar, mencuci pakaian yang menumpuk, dan membersihkan halaman tempat para murid beraktivitas.

Semua pekerjaan itu dikerjakan satu per satu sampai rapi.

“Seorang mantan dewa perang melakukan pekerjaan seperti ini. Huft.” Ia menghela napas pendek, setengah bosan, setengah merendah. Rasa gengsi masih membara dalam dada.

Dahulu, banyak orang tunduk padanya, namun kini keadaan berbalik 180 derajat. Membereskan sampah, menyapu dedaunan, dan membenahi jerami di gubuk menjadi rutinitas yang sulit ia jalani dengan sepenuh hati.

Perguruan Arus Hening bukanlah kompleks luas. Murid luar di sini jumlahnya kurang dari seratus orang. Mereka berlatih di lapangan terbuka, di bawah pengawasan beberapa instruktur.

Angkara mengamati mereka dari kejauhan ketika ia menyapu. Mata tajamnya menangkap kesalahan pada kuda-kuda mereka. “Kuda-kuda mereka salah,” bisiknya mengkritik sendiri.

Meskipun ia menyadari banyak kesalahan teknik, Angkara menahan diri untuk tidak memberi komentar. Seorang pelayan yang tak mahir bela diri tentu tidak pantas mengoreksi murid yang sedang belajar. Itu akan menjadi bahan olok-olok dan menimbulkan masalah yang tak perlu. Ia memilih berdiri di sudut, menyapu perlahan sambil menghirup udara pagi yang sejuk.

Bangunan perguruan tampak biasa saja. Struktur kayu menjadi penopang utama, teras lantai juga berbahan kayu, dan beberapa patung hewan suci terpajang di halaman sebagai hiasan. Tidak ada kemewahan, sekadar wibawa sederhana sebuah tempat yang hidup dari tradisi dan latihan.

Angkara menyeka keringat di dahinya saat pekerjaan selesai. “Akhirnya beres,” gumamnya.

Setelah tugasnya tuntas, ia merasa waktunya untuk berlatih sendiri. Matanya mengarah ke bukit di sebelah selatan perguruan. Ia mengambil keputusan cepat. “Berlatih di sana, mungkin akan cocok,” ucapnya kemudian bergegas meninggalkan kompleks utama.

Bukit selatan dipenuhi pepohonan tinggi dan semak belukar. Suara serangga memenuhi udara, tanah di beberapa tempat masih basah dan becek karena embun pagi. Angkara melangkah menembus rimbun hingga menemukan sebuah celah, lalu ia berjalan beberapa ratus langkah sampai terdengar denting air.

Di situ terdapat sebuah air terjun kecil, dengan sebuah batu besar di tengahnya yang selalu disirami air.

“Tempat yang bagus,” pikirnya. Ia memanjat ke atas batu itu dan duduk, melepas pakaian kerja yang basah. Hujan air terjun membasahi kepala dan bahunya. Angin membawa aroma hutan yang menenangkan. Angkara menutup mata, duduk bersila, dan memulai meditasi.

Bagi praktisi bela diri sejati, meditasi menuntut konsentrasi penuh. Indra penglihatan ditutup rapat agar fokus tertuju pada aliran tenaga dalam. Ia merasakan napasnya menjadi teratur, setiap tarikan dan hembusan bagaikan pengukur detak.

Dalam keheningan itu ia mencoba mencari titik tingkat kemampuan bela diri yang sesuai untuk tubuh barunya.

Sebagai mantan dewa perang, ia pernah menguasai banyak ilmu. Namun kondisi tubuhnya kini berbeda. Banyak teknik terasa tidak cocok. “Sulit. Aku harus menentukan teknik apa yang paling cocok untuk tubuh ini,” pikirnya.

Mata batin dan indera halusnya bekerja tanpa terganggu oleh gemericik air terjun.

Tiba-tiba ia teringat pada sebuah teknik yang dilarang, teknik bela diri iblis. Teknik semacam itu tabu bagi praktisi murni karena membawa jejak neraka dan kutukan. Kalau ketahuan mempelajarinya, pelakunya akan dikejar para aliansi bela diri dan dihabisi sebagai peringatan.

Moral dalam dirinya menolak ide itu. Ia tahu risikonya sangat besar.

Namun dendam yang berkobar terhadap penghianat dan para dewa surgawi membuat hati kecilnya mengeras. “Tidak, ini terlalu berbahaya,” bayangnya menolak sejenak.

Lalu ia menepis suara nurani itu. “Siapa yang peduli,” gumamnya dengan nada dingin. “Aku bukan lagi Dewa Perang. Jika aku mempelajari teknik apa pun, alam surgawi tidak akan lagi punya urusan denganku.”

Dalam hening di bawah guyuran air terjun, keputusan mulai mengendap. Angkara membuka mata perlahan, menatap derasnya aliran air. Di sanubarinya muncul tekad yang samar namun tegas. Ia tahu jalan yang dipilih penuh risiko, namun amarah dan keinginan untuk membalas menenggelamkan rasa takut. Langkah berikutnya akan menentukan nasibnya.

Angkara kembali memusatkan perhatiannya pada meditasi, kali ini memilih jalur terlarang: teknik iblis. Ilmu tersebut memang menjanjikan kekuatan besar dalam waktu singkat, namun ada harga yang harus dibayar.

Setiap orang yang berani menggunakannya akan merasakan penderitaan seolah disayat-sayat kematian, dan apabila gagal, tubuhnya bisa langsung hancur di tempat.

Keputusan nekat itu membuat tubuh Angkara dilanda rasa sakit luar biasa. Setiap otot seperti tercabik, tulang-tulangnya bagai diremukkan satu per satu, sementara organ dalam seakan dicincang tanpa ampun.

'Tahan…' batinnya menjerit, menekan diri agar tidak menyerah. Mental baja yang dulu menuntunnya di medan perang kini menjadi satu-satunya sandaran untuk bertahan.

Darah mulai merembes dari mata, kemudian dari hidung dan mulutnya. Urat-urat di seluruh tubuh menonjol hingga kulitnya tampak hendak robek. Perlahan, aura hitam pekat membungkus tubuhnya, menggetarkan udara di sekitarnya. Hewan-hewan yang berada terlalu dekat langsung lenyap menjadi abu saat terkena semburan aura itu, sementara sisanya melarikan diri sejauh mungkin.

“Uakh!” Angkara memuntahkan darah kental, namun ia tetap fokus, terus menahan kesakitan sambil memperdalam konsentrasi.

Berjam-jam lamanya ia bertarung dengan rasa sakit yang nyaris memutuskan kesadarannya. Hingga akhirnya aura hitam itu mulai mereda, meresap kembali ke dalam tubuhnya. Angkara perlahan membuka kelopak mata, lalu berdiri dengan napas teratur.

Tubuhnya terasa jauh lebih ringan. “Bagus. Aku berhasil.”

Ia segera menguji hasilnya. Di atas batu besar yang diguyur air terjun, Angkara melancarkan beberapa gerakan, tendangan cepat, sikutan, dan pukulan beruntun. Rasa puas menyelinap di wajahnya. “Akhirnya, aku telah menembus lapisan pertama tingkat awal.”

Malam pun datang. Bintang-bintang bergemerlapan di langit, sementara bulan purnama berdiri gagah di antara mereka. Di lapangan latihan murid luar, seorang pemuda tengah berlatih seorang diri. Wajahnya yang tampan semakin terlihat kharismatik saat disinari cahaya bulan.

Jika ada wanita yang melihatnya, mungkin ia akan jatuh terpikat seketika.

“Huft… huft…” Angkara mengatur ritme pernapasan yang berat. “Masih kurang.” Tubuhnya basah oleh keringat, namun semangatnya tidak padam.

Setelah berhasil menembus tingkat awal, ia langsung berlatih diam-diam ketika semua murid lain sudah tertidur lelap. Tak seorang pun menyadari keberadaannya di lapangan itu.

“Aku butuh sebuah eliksir,” gumamnya. Ia tahu kemajuan ini terasa terlalu lambat. Diperlukan sesuatu untuk mempercepat proses penguatan tubuhnya. Senyum tipis muncul di bibirnya. “Ah, aku tahu caranya.”

Di dalam asrama murid luar, semua penghuni tenggelam dalam mimpi, termasuk Mandala bersama kedua temannya, Saka dan Sabda. Mereka tidur di ruangan yang sama, dengan empat ranjang empuk dan beberapa meja sederhana sebagai perabot. Tiba-tiba, jendela asrama berderit terbuka, membiarkan udara dingin masuk menusuk ke dalam ruangan.

Mandala menggeliat di bawah selimut, tubuhnya kedinginan. “Tutup jendelanya…” gumamnya setengah sadar.

Sebuah bayangan melayang masuk, lalu menutup kembali jendela itu dengan tenang. “Terkima… kcascih…” Mandala bergumam dalam tidurnya, mengira itu perbuatan temannya.

Bayangan itu berkeliling, menatap satu per satu murid yang tertidur. Hingga akhirnya berhenti tepat di sisi ranjang Mandala.

“Argh…” Mandala mengerang, kepalanya mendadak sakit karena disentil keras. Perlahan, ia membuka mata, pandangan masih kabur.

Ia mengucek-ucek matanya, lalu bergumam, “Hem… siapa kau? Saka? Sabda?” Namun kedua temannya tetap terlelap, tidak bereaksi sedikit pun.

Instingnya menuntunnya menoleh ke belakang. Saat melihat sosok yang berdiri di sana, bulu kuduknya langsung berdiri. “Siapa kau?!” teriaknya setengah berbisik. Ia mundur beberapa langkah dengan wajah pucat, namun bayangan itu justru mengikuti setiap gerakannya.

“Hhhmm—!” Mandala terhenti ketika mulutnya tiba-tiba disumpal tangan dingin. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tak keluar. Panik, ia meraih lilin di samping ranjang, lalu menyalakannya. Nyala kecil itu menyibak kegelapan, memperlihatkan wajah orang yang berdiri di hadapannya.

Jantung Mandala berdegup semakin kencang. Cahaya lilin membuatnya yakin. Bukan hantu, bukan juga makhluk gaib. Sosok itu jauh lebih menakutkan.

“Angkara…?” bisiknya lirih, nyaris tanpa suara.

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Fase Selanjutnya

    Angkara melayang tinggi di udara, tubuhnya diselimuti pusaran aura berwarna hitam keemasan yang berkilau seperti cahaya senja di atas kegelapan. Dari ketinggian itu, ia menatap seluruh penjuru kota yang kini hanya menyisakan kehancuran dan hamparan debu. Ia memejamkan mata perlahan, mencoba merasakan setiap denyut kehidupan yang tersisa di bawah sana. Napasnya teratur, tenang, dan dalam keheningan itu ia mendengar bisikan alam, bahwa semua penduduk telah berhasil dievakuasi keluar dari kota. Tepat seperti yang ia rencanakan.Setengah hari telah ia habiskan untuk menahan serbuan pasukan tengkorak yang tak kunjung habis. Namun kini, beban itu sedikit terangkat dari bahunya. Matanya kembali terbuka, menatap lurus ke arah puncak menara tengkorak yang menjulang bagai tombak hitam menembus langit kelam. Di sana, berdiri sosok yang telah lama ia nantikan. Bibirnya melengkung, dan suara lirih keluar dari mulutnya, “Akhirnya, aku bisa bertarung tanpa beban.”Tanpa ragu, Angkara mulai mengal

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Utara

    Pasukan pemberontak segera berpencar ke segala penjuru kota, berlari menembus jalan-jalan sempit dan gang gelap untuk mengevakuasi para penduduk menuju tempat yang lebih aman. Teriakan dan suara langkah kaki bercampur menjadi satu, menciptakan suasana yang penuh kepanikan. Warga yang kebingungan berusaha memahami apa yang sedang terjadi, mengapa mereka harus meninggalkan rumah dengan tergesa, dan di mana para petugas kota yang biasanya menindas mereka kini tak tampak sama sekali.Franz, sang pemimpin pemberontak, berdiri di atap sebuah bangunan tiga lantai yang tak jauh dari pusat kota. Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat dengan jelas menara tengkorak yang menjulang tinggi, menjangkau langit dengan aura kelam yang mengerikan. Ia menggigit jarinya dengan gelisah, matanya menyipit, mencoba menilai seberapa besar ancaman yang mereka hadapi. “Jadi itu yang kau maksud, Mawar?” tanyanya tanpa menoleh.“Benar,” jawab Mawar pelan. Tatapannya menerawang, mengingat kembali sosok berjubah

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Evakuasi

    Di tengah lautan makhluk tengkorak berwarna putih yang jumlahnya tak terhingga, sosok Angkara berdiri di antara kabut perang. Dari tubuhnya memancar aura berkilau keemasan yang melingkupi pedang di tangan kanannya, sementara di tangan kirinya tergenggam perisai hitam berukir wajah mengerikan yang tampak seolah hidup.Ia mengayunkan pedangnya ringan, namun setiap tebasan menciptakan getaran hebat yang menghantam tanah dan menghancurkan barisan pasukan tengkorak di depannya menjadi debu. Tebasan demi tebasan ia lakukan tanpa henti, disertai suara benturan yang bergema di udara. Setiap serangan yang diarahkan kepadanya tak pernah berhasil menembus pertahanannya, perisai hitam itu menyerap seluruh serangan dan memantulkannya kembali, menghancurkan musuh dalam sekali benturan.Angkara, sosok yang dulunya dikenal sebagai Dewa Perang, kini telah bereinkarnasi dalam tubuh seorang pelayan biasa. Namun pada saat ini, ia bukanlah manusia biasa, ia adalah mesin pembantai yang bergerak tanpa ras

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Wali Kota

    Angkara yang baru saja menolong salah satu anggota pemberontak itu menatap lurus ke arah menara hitam di kejauhan. Aura kelam dari bangunan itu bergulung seperti kabut pekat yang menelan udara di sekitarnya. Dalam hatinya, ia sadar bahaya yang sedang mengintai. “Menara ini… berbahaya. Saat ini baru mencapai tahap pertama. Jika sampai tahap ketiga, bahkan para penghuni surgawi pun akan kesulitan. Setengah dari mereka terbantai pada kejadian sebelumnya…” pikirnya dengan wajah serius.Seraya mengangkat tangan kanannya, Angkara menggerakkan jari-jemarinya cepat, membentuk segel tak dikenal. Seketika aura hitam pekat mengalir dari tubuhnya dan membelit pasukan tengkorak di sekeliling mereka. Jeritan dari makhluk-makhluk itu bergema bersamaan, sebelum akhirnya tubuh-tubuh mereka terhimpit dan meledak menjadi abu. Namun bahkan setelah puluhan tengkorak hancur, masih banyak lagi yang bermunculan dari kaki menara, tak terbatas jumlahnya.Di tengah kekacauan itu, tawa mengerikan menggema dari

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Pasukan Tengkorak

    Menara itu memancarkan aura hitam pekat yang segera menelan seluruh kota. Warna gelap itu menjalar cepat, merayap di antara bangunan, menutupi jalanan, hingga perlahan menembus langit. Langit dunia bawah yang semula berwarna merah tanda datangnya pagi, berubah menjadi hitam legam seolah malam abadi baru saja lahir. Tak ada lagi cahaya, tak ada lagi bayangan, hanya gelap yang terasa menyesakkan dada, seperti kabut maut yang menindih seluruh kehidupan di bawahnya.Para penduduk menengadah, memandang langit dengan kebingungan dan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Tak ada yang berani bersuara lantang, beberapa hanya bergumam, mencoba memahami anomali yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah dunia bawah. Namun, keheningan cepat berubah menjadi kepanikan. Mereka bukan merasa kagum atas keajaiban langit, melainkan dicekam rasa takut yang menusuk tulang, sebuah firasat buruk bahwa sesuatu yang mengerikan telah bangkit.Di depan sebuah toko roti kecil, seorang bocah laki-laki bern

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Menara Tengkorak

    Setelah menyaksikan adegan kacau di dunia bawah, Angkara memutuskan sudah waktunya pergi. Di matanya, tak ada lagi manfaat atau tujuan tinggal lebih lama di tempat itu, semua yang bisa dipelajari atau dimanfaatkan dari peristiwa tersebut telah selesai.“Kalau tak salah, si pirang tadi menyuruh lebih dari separuh pasukannya menuju kantor walikota, kan?” gumamnya pelan, sambil tetap tak terlihat. Ia mengaktifkan kembali kemampuan menyamarkan wujudnya, lenyap dari pandangan siapapun yang mungkin mengincarnya.Angkara segera keluar dari persembunyian pemberontak dan menempatkan dirinya di atas atap sebuah bangunan yang rendah, posisi yang memungkinkan ia memantau sekeliling tanpa terganggu. Dari sana, ia mengamati lanskap kota dengan tajam. Ia hendak mengetahui di mana markas walikota berada, pengetahuan itu penting untuk arah langkahnya selanjutnya.Langit dunia bawah perlahan memerah menandakan pagi akan datang. Cakrawala di sini tak serupa dunia timur, tak ada bulan yang lembut atau ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status